Selasa, 02 Oktober 2012

Biar Kunikmati


Hari dimulai dengan enggan menyapa matahari.
Rasa yang tak semestinya.
Langkah dimulai dengan senyum yang tak ingin bangun.
Tak usah ditebak,
hari ini telat lagi.
Meski aku benci, aku malu, dan enggan.
Biar, suara-suara tersembunyi menyapaku saja.
Aku diam saja.
Biar rasa ini bisa kunikmati.
Aah, jangan tanya bagaimana.
Senyum ini bersembunyi,
enggan bertemu siapa pun.
Namun, sudah kubilang kan?
Rasa-rasa ini dikocok-kocok.
Biar kunikmati setiap sepersekian detiknya.
Dan biar senyum ini bangkit seperti mukjizat.
Hidup memanglah mukjizat.
Seperti semangatnya matahari ditransfer ke hatiku.
Meski dengan fisik babak belur tak kuasa menyamai ini siklus.
Jiwa seperti mengejar setiap finish kecil.
Meski tanpa peduli waktu.
Ah, lupakan penjara sialan itu.
Bertahun-tahun sudah aku dipenjara waktu.
Dan, memang rasa ini dikocok-kocok.
Senyum ini labil.
Sesungguhnya bukanlah orang ramah aku ini.
Aku bertepuk tangan untuk keramahan orang lain padaku.

Bekerja, bekerja, bekerja.
Berpikir, berpikir, berpikir.
Pada akhirnya aku menyadari rasa..
Mengapa orang Jepang mati karna jam kerja berlebihan.
Ah, kepala ini sakit.
Hari ini aku pulang terlampau malam.
Meski malam membawaku menemui sesuatu yang penasarannya mengangguku sebelumnya.
Dan, semoga aku masih bisa bernapas.
Karna sungguh, belum siap mati.
Yah, bisa bernapas adalah karunia luar biasa,
nomor 1 di dunia ini, demi Tuhan!

Segala yang di depan akan segera di belakang pada akhirnya.
Ketakutan adalah bayangan yang tak masuk akal.
Hidup hanyalah permainan sandiwara,
yang pemerannya mungkin terhipnotis di dalamnya.

Hanya siklus-siklus yang fana.
Ya, fana, sementara, dan sandiwara.
Apa yang mesti kutakutkan?
Hahah

Dan,
biarlah saja kunikmati segala macam rasa ini.
Toh, aku mesti professional di atas panggung ini.
Biar sang sutradara punya alasan lain untuk memujiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar