Kamis, 21 Desember 2017

deletion

Apakah kita pernah memetakan perasaan kita sendiri? Dalam fluktuasi rasa, yang kita coba rasionalisasikan. Siapa yang menjamin kebenarannya?

Karna terlalu sering mengklaim kebenaran, aku jatuh dalam ketidakpastian. Karna terlalu sibuk dalam peranan, aku lupa memberi diriku sendiri makanan. Untuk apa hidup kita? Untuk menerangi yang lain? Untuk tenggelam dalam peranan? Aku benci orang-orang baik. Dan ketika diriku sendiri mulai menunjukkan tanda-tanda kebaikan aku mulai membencinya. Mungkin aku iblis. Dengan alasan apa lagi kujelaskan kebencianku terhadap kebaikan?

Aku terlalu tenggelam dalam lautan perasaan. Mungkin karna aku terlalu bodoh mendayung sampan. Kalau aku boleh memilih, akan kubunuh perasaan. Dan hidup tanpa merasakan apapun.


Minggu, 26 November 2017

"Kalah"

Aku tau aku patut dibenci. Aku bukan orang baik. Aku berusaha baik, dan jika aku berusaha maka apa yang tidak bisa kucapai dengan bantuan Tuhan? Segala usaha ini menghabiskan energi. Aku tau melakukan hal baik memang menguras energi, tapi mengapa semudah itu kau bangkit untuk siap menggunakan energi lagi?

Aku kalah, dari semua kebaikan yang orang lain tunjukkan padaku, kepadaku, terutama kau.

Kebaikan mengalahkanku dan membuatku menyadari betapa tidak baiknya aku.

Segala yang kusebut sandiwara mungkin patut dibenci. Atau mungkin akulah yang melarikan diri dari rasa malu karena berbuat kebaikan dan memanipulasi orang berpikir bahwa aku seburuk itu. Ah yang kulakukan hanya berputar-putar untuk akhirnya tersesat di dalam labirin.

Apapun yang terjadi, bumi masih berputar.

Aku hanya berharap segala usahaku diganjar dengan hal yang seimbang atau bahkan lebih, oleh Dia yang mereka sebut Tuhan.  


Gila

Di dunia ini ada orang-orang yang partikelnya terlalu kuat berikatan sehingga tak akan lebur dilarutkan dengan apa pun. Mereka dengan individualitas. Mereka pasti cepat mati. Mereka tak akan bertahan di dunia yang luar biasa horror ini.

Aku adalah salah satu dari mereka yang menolak patuh. Aku pengingkar. Aku pemberontak. Aku tak akan mematuhi sesuatu kecuali aku mengizinkannya untuk menjadi sesuatu yang bisa kupatuhi. Aku pasti mati, tak akan bertahan. Jika aku ingin bertahan, kendurkanlah ikatan partikel-partikel sehingga lebih mudah melebur dengan pelarut. Dan jika itu dilakukan aku bisa gila. Aku kehilangan diriku sendiri. Lalu apakah semacam “kata-kata motivasi” dari Tuhan atau manusia mampu menyembuhkan?

Pada tahap ini mungkin aku sedang kehilangan beberapa partikelku yang telah larut. Aku menolak didefinisikan oleh orang lain tapi aku berusaha menjelaskan pada mereka siapa aku, yang aku harapkan sebagai aku.

Siapa sesungguhnya aku, bagaimana, dan blablabla……..


Aku bisa gila.


Lost in Mind

Komitmen? Integritas? Apa itu?

Pada suatu hari aku bisa berbicara banyak tentang itu, bisa kutantang orang-orang yang tidak memilikinya. Sekarang, aku benci konsep itu.

Aku benci bersinggungan dengan manusia. Sekarang, aku benci mengamati manusia, tanpa alasan. Demi Tuhan, kalaupun ada, aku tak tau apa alasannya. Aku benci mereka yang membutuhkan manusia. Aku benci mereka yang senang bersosialisasi. Aku tidak paham omong kosong macam apa yang kalian nikmati.

Aku kerasukan. Aku keracunan. Entah oleh apa. Setelah jatuh cinta, kemudian aku menjadi pembenci, kemudian jatuh cinta lagi. Segala rasa diangkat dan dijatuhkan. Mungkin aku menyadari, berkali-kali menyadari, ratusan kali menyadari, bahwa apa yang kurasakan tidak nyata, semuanya tidak nyata, pikiranku tidak nyata. Mungkin aku rindu, pada seseorang. Mungkin aku kehilangan diriku sendiri. Mungkin aku takut jatuh cinta. Mungkin aku khawatir akan berubah karena terlalu mencintai diriku yang lama. Demi Tuhan, aku tak tau.

Sekarang yang ada di pikiranku adalah “seandainya”. Seandainya aku bisa memecah diri seperti nobita bisa dengan alat doraemon. Dan membiarkan diriku yang ini tidur saja di alam khayalnya. Seandainya aku bisa seberani itu, berjalan dari satu sudut bumi ke sudut lainnya, sendirian. Seandainya aku bisa pergi dari sini dan bersembunyi di dalam kebebasanku. Seandainya aku tidur dan tak pernah bangun lagi.

Mungkin besok aku akan baik-baik saja, ketika ada orang yang menekan tombol sandiwara, dan aku mulai “baik-baik saja”. Atau akankah semua bisa berakhir ketika semuanya kulepaskan? Berat. Kenapa beratnya terasa sekali di pundak?

Aku selalu berharap aku kehilangan akal, tapi aku takut.

Aku berharap aku kehilangan ingatan, tapi aku takut.

Aku berharap aku kehilangan kemampuan untuk merasakan sesuatu.

Aku takut.

Dunia di depan adalah kegelapan yang tak berujung. Sesekali aku melihat bayangan yang melegakan haus, sesekali setitik cahaya yang masuk lewat lubang kecil, ke dalam ruang kegelapan yang tak ada ujung.

Seandainya otak ini berhenti, apakah aku bisa menikmati omong kosong ini, seperti mereka menikmatinya?

Aku ingin ada yang mendengarkan apa yang aku ucapkan, membaca apa yang aku tulis, menghargai diriku seperti aku menghargainya. Aku tidak butuh banyak teman, aku tidak butuh dunia, aku tidak butuh apa pun. Aku tidak tau sesungguhnya apa yang kubutuhkan. Ke arah mana sinyal sos mesti kuarahkan?

….


Pada Dia, yang mereka sebut Tuhan….kah?


Minggu, 10 September 2017

excuse

Ada lebih dari satu orang mengatakan,

“aku orangnya malas. Karna bertemen sama kamu, aku jadi makin malas.”

“aku ketularan kamu (ngomong kasar).”

Ada lebih dari dua orang.

Kesaksian macam itu seperti tangan yang mencekik tenggorokanku. Itu tidak bisa lagi menjadi lelucon. Itu sudah di batas tidak lagi bisa menjadi lelucon.

Kadang-kadang aku merasa terbebani dengan orang-orang yang merasa dekat, yang bisa bicara apapun di hadapanku. Aku merasa aku harus mengembalikannya dengan cara yang sama. Karna aku benci hubungan yang tidak seimbang. Setidaknya aku tidak mau memberikan sesuatu yang diriku sendiri tidak suka, kecuali aku punya maksud terselubung.

Oh, aku benci rangkaian kata. Aku benci diriku sendiri.

Mungkin aku perlu berterima kasih, karna dengan kata-kata kesaksian itu aku jadi bisa melihat kebencianku pada diri sendiri. Aku adalah orang yang pendiam. Tapi aku merasa aku belum cukup pendiam.

Suatu hari ada suara yang mengatakan, “….Levi kan ceria….”

Aku kaget. Siapa sebenarnya aku?

Tali-tali itu, tali-tali yang mengikat pasangan yang menikah, orang-orang yang berbagi darah yang sama, persahabatan, guru dan murid, semua ikatan itu kadang-kadang terasa berat sekali di pundak.

Dari dulu sampai sekarang tidak ada sesuatu yang kucari selain kebebasan.


Rabu, 31 Mei 2017

Apa yang kurasa?

Ada beberapa hal yang kupikir tak perlu kusampaikan, pada siapa pun. Aku sadar sekali, bahwa aku orang yang sentimentil. Ada beberapa hal yang sangat memalukan untuk kuakui. Dan kenyataan bahwa tidak mungkin dunia akan 100% memuaskan kita menghentikanku lebih jauh lagi.

Ada banyak potongan-potongan rasa dan ide yang tak bisa kujadikan kata-kata. Untuk sekedar mengekspresikannya dengan bahasa tubuh pun tak akan bisa. Dan ada seseorang yang segala rasa dan ideku terhadapnya tak lagi bisa kuungkapkan dengan apapun. Apa yang kurasa? Apa yang kupikir? Tentangnya, segalanya menyebar di setiap sudut-sudut diriku dan tak lagi bisa kuungkapkan. 


Mata Aeru ka na

Aku bermimpi, beberapa hari yang lalu. Tentang seorang kawan lama yang kukenal di sebuah universitas yang memberikanku tempat untuk merasa bebas menjadi diriku sendiri. Kawan ini, adalah salah satu dari tiga orang yang berusaha mempengaruhiku untuk tetap tinggal di tempat kita bertemu. Dialah yang paling berusaha untuk meyakinkanku bahwa keputusanku adalah salah dan terpengaruh emosi sesaat.

Bisa kukatakan, hatiku tergerak. Aku merasakan sebuah kebanggaan ketika dia datang untuk meyakinkanku. Dia yang tak pernah bolos kuliah kecuali dengan alasan mendesak, hari itu membolos untuk menemuiku. Kami pergi, berdua, berbincang, dia menemaniku kemana pun aku membawanya. Orang itu, yang bahkan tidak pernah jalan-jalan berdua denganku sebelumnya.

Orang yang kuceritakan ini adalah salah satu orang menarik di kampusku sebelumnya. Salah satu dari banyak orang-orang menarik yang kutemui di sana (well, semua orang adalah menarik jika kita mengambil waktu untuk mengamati mereka). Aku merasakan dorongan ingin membuat tanda tentang aku dalam kehidupannya, mempengaruhi pemikirannya dalam beberapa hal. Seorang kawan yang di waktu senggangnya di sela-sela jam kosong kuliah, membaca kamus Jepang-Indonesia dan menuliskan kanjinya satu persatu sambil menghapalnya. Dia yang mencatat setiap kata-kata penting dosen dengan rapi sekali. Dia yang nilainya selalu A. Dia yang pergi ke Jepang, mengalahkan panasnya ambisiku yang dulu dengan ketenangannya.

Aku tidak sedekat itu dengannya. Kami tidak lagi menghabiskan waktu-waktu senggang di kampus seperti semester-semester awal, ketika kami berempat disebut F4 karena kami selalu berempat dan memisahkan diri. Kami berpisah, dan mungkin sebaiknya begitu, karena dia mungkin tak akan tahan dengan segala celotehan negatif dan tak biasa yang selalu aku bincangkan dengan teman-teman dekatku. Karena dia, ya, dia orang yang lurus.

Katanya jalanku bengkok-bengkok, dan dia berjalan di jalan yang lurus. Dia tau kita berbeda. Dan dia tau aku hampir selalu membohonginya untuk bersenang-senang. Dia kenal Nino, salah satu orang berpengaruh dalam hidupku. Aku senang, karena setiap orang yang bisa kukatakan dekat denganku akan selalu kukenalkan dengan sosok Nino. Ya, dia adalah salah satu orang berkesan dalam kehidupanku di kampusku yang sebelumnya.

Sekarang, dan setelah kami berpisah jalan, setelah dia merantau ke jepang dengan beasiswa, aku hampir tak bisa lagi menghubunginya. Kupikir teman dekatku R adalah orang paling privatif yang pernah kukenal, ternyata ada orang yang jauh lebih privatif lagi. Aku? Aku tak ada apa-apanya.

Aku bermimpi. Aku lupa cerita apa yang kualami di mimpiku, yang kuingat dengan jelas adalah aku memimpikannya. Di saat dimana kupikir aku sedang tidak memikirkannya belakangan ini. Dan setelah itu, aku mulai memikirkan bagaimana perasaannya ketika dia mengorbankan kelasnya untuk menemuiku.

Fatimah, bisakah kita bertemu lagi?

Kukorbankan rasa gengsiku untuk menuliskan ini.

Sabtu, 27 Mei 2017

Data

Data.
Orang-orang mengumpulkan data-data, setiap hari.
Tanpa benar-benar tau tujuannya.
Kamera,
merekam setiap gambar yang terlihat di depan mata.
Tapi untuk apa?
Kita menulis di buku harian, melukis pemandangan,
tapi lalu untuk apa?
Orang-orang membangun segala sesuatu di dunia,
mengekspresikan gejolak emosi yang fluktuatif setiap waktu,
mengabarkannya untuk diri sendiri.
Untuk apa?

Pada akhirnya, setiap potongan data yang terkumpul berserakan,
membentuk bangunan-bangunan di dalam diri kita,
untuk akhirnya pudar, hilang,
dan kalah oleh waktu.

Minggu, 21 Mei 2017

Breathless

What are you searching for? Where are you going?

In my sleep, I see a figure I think I remember from somewhere and try to chase after them
When I wake up from my dream, I can't recall who it was  In the gaps of this falling broken time, I'm just wandering aimlessly
These feelings that I let pour out, they won't reach anyone anymore
If even loneliness is fated for me
Then hold my trembling heart tightly

My whole body is crying out As if it were lost in an infinite maze
With memories full of cracks and scratches, I'm wandering until I reach the end of this sadness
Whether in a world without lies Or an era that doesn't exist anywhere
I want to make certain of this DNA that's engraved only into me
Keep searching for the figure of yourself who is struggling and shouting out, trying to live

Before I knew it, my tears had dried up Even the pain that'd been blocked out starts to ache
It's only you that I won't let go of again
Please never disappear Even if your promise is a short-lived one, I'll just hold on to the warmth in my hands

In an endless, deep darkness, unable to touch anything
As long as the memories between only the two of us won't change... Please promise me that
Even if wishes don't come true Even if the world has no answers for you
To love someone or not, that alone is something your DNA decides
I want to strongly burn that smile of yours into my memory for when I look back Even if it's just an illusion

Hidden from yourself, there's another you inside, whispering something to you
"There's only one thing you're searching for..." These hands are telling me the truth

My whole body is crying out As if it were lost in an infinite maze
With memories full of cracks and scratches, I'm wandering until I reach the end of this sadness
Whether in a world without lies Or an era that doesn't exist anywhere
I want to make certain of this DNA that's engraved only into me
Keep searching for the figure of yourself who is struggling and shouting out, trying to live

By Arashi (Breathless)

From http://yarukizero.livejournal.com/139429.html

Penjara

Jadi sebenarnya dimana letak manusia dalam kehidupan?
Pusat dari kehidupan atau sekedar salah satu bagian dari kehidupan?
Disadari atau pun tidak, perjalanan manusia selalu bertujuan mencari posisinya dalam kehidupan.
Manusia sepertinya diprogram sejak awal.
Kita tak pernah sepenuhnya hidup terpisah, karena kita adalah sebuah karya.
Yang kita lakukan hanyalah menolak kenyataan.
Menolak kenyataan itu mudah, katakan kita belum makan tepat ketika kita sedang makan.
Manusia sepertinya memang pengingkar,
seperti ada sensasi yang luar biasa ketika kita menegasikan semuanya.
Mungkin tanpa sadar kita sedang mencari perhatian. 
Atau kita sedang luar biasa ketakutan karena kita merasa terpenjara dalam imajinasi yang lain.
Wow, manusia memang cermin.
Manusialah yang memiliki imajinasi seperti Tuhan.
Membuat sebuah dunia yang ada dalam pikirannya sendiri, menjadi Tuhan bagi cerita di dalam pikirannya sendiri.
tuhan sebenarnya memang banyak, dan kita termasuk salah satunya.

Dimana letak manusia jika ada makhluk-makhluk cerdas lain di sisi lain semesta?
Apakah manusia merasa bebas dalam kontrol sesuatu?
Apakah kita seistimewa itu?
Apakah kita adalah bagian dari kesatuan?
dan kita tak kan pernah sampai pada pemahaman terhadap diri kita sendiri jika kita melihat kita sebagai individu yang terpisah.
Ya, mungkin kita tak akan pernah lepas dari semua penjara; budaya, bahasa, tradisi.
Kita tak akan menjadi sesuatu yang mampu dipahami tanpa penjara.
Kita tak akan memaknai diri kita, kita tak akan memahami apa pun tanpa bahasa.
Kita dan penjara adalah takdir yang tak terpisahkan, kalau boleh kukatakan "takdir".
Oh takdir, aku tidak mengerti takdir..
Mungkin aku hanya sedang mencari perhatian.

Sayonara no Ato de

Goodbye for now... This is goodbye...

One by one 
One by one 
All the worlds we saw together
They get swallowed up by everyday life, leaving behind sadness

Many “what ifs” are still following me around
No matter how I try to order the words, you're not here

In a corner of this lively city, there is a me that can't do anything
Getting nowhere, I'm just wearing myself out 
My heart's still shaking
White breath escapes in a sigh 
I can't even remember your warmth
Worn out searching for an answer that shouldn't even be given,
I fall asleep again today

A little more 
If I wish that I want to be a little stronger
Every time I do, I'll just be made to realize how much of a coward I am

Each memory might change shape
But I want to keep believe that what you said wasn't a lie

No matter how much time passes, you're unforgettable
Carrying my distorted heart in my arms, it's still aching
The dreams we saw back then are leaving me 
My voice calls out, growing hoarse
Aimlessly wandering, unaware of the tears that gently fall down

The world has stopped since that day
What should I have told you? Even now, I don't know

No matter how much time passes...

In a corner of this lively city, there is a me that can't do anything
Getting nowhere, I'm just wearing myself out 
My heart's still shaking
White breath escapes in a sigh 
I can't even remember your warmth
Worn out searching for an answer that shouldn't even be given,
I fall asleep again today

Because I can't forget Because I can't forget

by Arashi (Sayonara no Ato de)

from http://yarukizero.livejournal.com/159529.html

\

Senin, 24 April 2017

Apa yang Kulakukan?

Apa yang kulakukan?
Melihatnya berputar-putar untuk ditangkap orang lain.
Aku benci.
Apa yang tidak kubenci?

Ada sangkar yang memerangkap segalanya.
Disitu, di dalamnya, berkumpul segala rahasia yang aku pun tak mampu pahami.
Apa yang kulakukan?
 
Apa yang terjadi?
Apakah dunia ini memang berjalan dengan hukum aksi-reaksi sepenuhnya?
Tanpa ada penidakan dari kita?
Atau hanya akukah yang menidakan segala hukum mekanis itu?
Apa yang kulakukan?

Berputar kesana kemari, tersesat sambil mencari-cari.
Terpesona dengan benda-benda fana yang bukan milikku.
Untuk kemudian, berjalan lagi, berputar-putar.
Apa yang kau lakukan, Levi?

Dalam perjalanan ini, akan kucari obat penghapus segala memori perjalanan.
Atau jika semudah itu kubuang kamera yang merekam segala momen,
akan kubuang ke laut, atau jurang.
Aku ingin hidup seperti Kino.
3 hari saja, di setiap tempat yang kusinggahi.
Untuk kemudian pergi, berputar-putar lagi.

Apa yang kulakukan?

Senin, 13 Februari 2017

Entah Sejak Kapan



Satu fase kehidupan manusia yang dipikir mereka akan harus dilewati setiap yang punya pikiran normal, pernikahan.

Entah sejak kapan,

Entah sejak kapan aku muak dengan obrolan tentang pernikahan. Entah sejak kapan aku muak membaca novel murahan dan film murahan tentang perjuangan dua orang kekasih menghadapi rintangan hingga sampai pada romantisme malam pertama. Entah sejak kapan.

Dulu, kami bertiga membicarakannya penuh pemikiran. Tentang segala kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Sebuah pembicaraan yang tidak pernah sampai pada solusi apa pun. Sebuah pembicaraan yang hanya membuka poin-poin abstrak di otak menjadi kalimat-kalimat yang saling ditanggapi. Aku hanya melahirkan kalimat-kalimat, tanpa pernah memperjuangkan kelahiran solusi atas segala kekhawatiran dan pertanyaan. Entah sejak kapan aku begitu menikmati kebingungan.

Dan akhirnya momen yang datang dan diputuskan dengan pemikiran sederhana hanya akan dilewati. Katanya, kalau sudah waktunya akan datang juga. Entah sejak kapan aku benci dengan kalimat persuasif penuh kebohongan itu.

Orang yang tadinya bicara A akan bicara B karna waktu pada akhirnya memberi jawaban baru. Aku benci kerelatifan.

Ketika pada saatnya muncul, aku mulai merasakan ketertarikan pada seseorang, otak sadarku seperti dibius. Pembiusan itu menghasilkan seorang Levi yang merasakan dan berpikir terbalik dari pikiran dan prinsipnya yang dulu. Kesadaran akan ketidakmampuan berpikir normal, seperti halnya kebimbangan, akhirnya terasa kenikmatannya, sehingga tak ada keinginan untuk mencari cara untuk keluar dari kemabukan. Aku benci pada kenyataan bahwa aku butuh emosi kasih sayang yang romantik dengan seseorang. Tapi ketika alam mengontrol pikiran dan perasaanku, tak ada yang benar-benar bisa kulakukan untuk menolaknya.

Aku tau manusia dikontrol oleh dirinya. Tapi aku bisa merasakan, entah bagaimana bahwa manusia bisa berbalik mengontrol dirinya. Aku ingin mengontrol diriku yang terkontrol, dengan menyadari “entah sejak kapan”. Entah sejak kapan pembicaraan tentang pernikahan membuatku muak. Seperti setelah terlalu banyak makan daging ayam, kita muak melihat daging ayam, aku benci mendengar ada orang yang menikah. Bukan karna aku tidak ingin melihat orang bahagia. Tapi karna aku mulai berpikir bahwa aku diharuskan melewati fase yang sama suatu saat nanti.

Kenapa kita harus menikah? Kenapa kita harus mau punya anak? Kenapa dan kenapa? Aku tidak pernah berhenti bertanya hal-hal yang menurut mereka tidak perlu ditanyakan.

Tuhan, aku benci dikontrol seperti ini. Apakah aku saudara iblis yang benci disuruh bersujud pada Adam? Apakah jika datang ultimatum langsung dariMu bagiku agar menikah dengan orang tertentu agar lahir anak tertentu yang akan menjadi seorang yang dibutuhkan dunia, aku akan menaatinya? Masalahnya adalah tidak pernah datang ultimatum mendesak dariMu untukku. Tidak pernah ada desakan kewajiban akan bagaimana dan pilihan apa yang akan kujatuhkan atas tiap fase kehidupan yang kulewati. Tidak pernah ada kewajiban tiap manusia hidup dengan cara yang sama satu sama lain.

Benar bahwa kehidupan butuh agama. Benar bahwa agama mengatur kehidupan. Tapi selalu ada peran dalam kehidupan karna setiap kita diciptakan berbeda.

Atau, akulah yang entah sejak kapan hidup dengan melawan segala norma umum.