Selasa, 11 Desember 2018

CHAOS


Kepercayaan adalah salah satu hal yang bisa kita kontrol. Itu bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya. Kita mempercayai sesuatu karena kita ingin mempercayainya. Percaya selalu diikuti keinginan. Ia bukan kata yang dapat berdiri sendiri. Meskipun ia sendirian di dalam kalimat, nyatanya dia dibayangi oleh “ingin”. Ketika kita percaya sesungguhnya kita ingin percaya. Begitu juga berharap, kita sesungguhnya ingin berharap. Tapi sesuatu semacam kebahagiaan, kesedihan, kesakitan, kemarahan, kurasa bukanlah keinginan. Jika ada motivator yang canggih memfatwakan bahwa kita akan bahagia jika ingin bahagia, dia adalah pembohong.

Selama 26 tahun aku hidup aku selalu dibayangi oleh pikiran bagaimana sebaiknya aku hidup, harus jadi seperti apakah Levi, dsb. Sepanjang waktu itu pula begitu cepat dan mudah pikiranku berubah, berganti-ganti dari satu filsafat ke filsafat lain, dari satu ideologi ke ideologi lain. Pikiranku terbuka. Aku menerima semua hal yang mendekati kebenaran. Meskipun kuakui tidak ada kriteria yang bisa dikatakan valid untuk mengukur kebenaran. Karena itulah jika seseorang berdiskusi denganku, mereka akan menyadari bahwa aku tidak memegang satu keyakinan apapun. Aku hanya berusaha menguji keyakinanku sendiri dengan argumen-argumen yang dapat menguatkan atau melemahkannya.

Selama ini manusia memegang satu keyakinan karena mereka memilih untuk memegangnya. Mereka memilih satu kriteria pengukuran kebenaran lalu memegangnya dengan kuat. Jika ada yang berusaha menggoyahkannya, mereka akan berusaha melawannya dengan menyodorkan senjata indikator yang dia pegang, memaksakan lawannya berpikir dengan cara yang sama tapi mereka sendiri tidak berusaha berpikir dengan cara yang sama seperti lawannya. Mereka semua adalah fanatik. Bahkan mereka yang menuduh kaum fanatik, pun adalah fanatik jika mereka mengaku punya indikator sendiri tentang kebenaran. Senjata kaum fanatik adalah label sesat untuk orang di luar mereka.

Aku bukanlah orang seperti itu. Atau setidaknya aku berganti-ganti dari satu fanatik ke fanatik lain. Seorang pengkhianat. Seperti Sartre dan Nietszche. Nietszche pernah mengatakan bahwa kebenaran hanyalah batu loncatan untuk mengarungi lautan kenihilan lagi, demi sampai ke kebenaran lain yang akan digunakan sebagai batu loncatan lagi. Hidup ini adalah perjalanan pemikiran untuk sampai pada kesadaran bahwa tidak ada yang nyata. Semuanya adalah palsu. Kenyataan adalah sesuatu hal yang tidak akan berubah. Nyatanya segala sesuatu berubah. Jika kita menerima segala sesuatu, menjadi orang dengan pikiran yang terbuka, maka kita akan menemui kenyataan bahwa semuanya palsu, kenyataan bahwa tidak ada yang nyata. Kita harus menutup pikiran kita agar bisa menetap di satu pulau kebenaran. Itulah mengapa banyak ajaran agama mengajarkan agar kita berhati-hati membaca buku atau berguru pada seseorang agar tidak terjatuh ke dalam kesesatan.

Jangan salah paham, aku percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, Muhammad saw adalah utusan terakhir. Aku percaya. Tapi bagaimana dan mengapa agama harus ada dan disampaikan bukanlah sesuatu hal yang bisa didoktrin dari satu kepala ke kepala lain. Aku tidak bisa dengan mudah menerima itu.

Aku selalu berusaha mengontrol apa yang orang pikirkan tentangku. Kupikir jika aku mampu memanipulasi pikiran mereka maka aku bisa mengontrol keadaan. Tapi aku bukan dewa. Aku tidak secerdas dan selicik itu. Aku bahkan tidak mengakui bahwa aku berusaha memanipulasi pikiran mereka. Kesimpulannya, jika aku bisa memprediksi masa depan dengan cara mengontrol keadaan maka aku menang. Tapi hidupku tidak pernah tenang. Aku selalu cemas akan apa yang terjadi di masa depan, akan apakah orang-orang berpikir seperti apa yang aku ingin mereka pikirkan, akan apalagi yang harus aku rencanakan.

Kadang-kadang ada orang yang akan menjawab tidak tahu ketika ditanya mengapa mereka melakukan sesuatu. Orang-orang ini bukan tipe orang yang akan melakukan pembunuhan berencana, mereka adalah orang yang mengikuti gejolak emosi sesaat untuk melakukan sesuatu. Bahkan pikiran mereka mungkin juga dikontrol oleh gejolak emosi sesaat tersebut. Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa mereka memilih sesuatu atau mengatakan sesuatu di saat-saat tertentu.

Aku juga seperti itu. Tapi setelahnya aku akan berusaha menganalisa apa yang terjadi di kepalaku ketika itu. Ini sungguh licik. Kita bisa mengklaim alasan apapun. Padahal kita tidak benar-benar tahu alasan kita sendiri karena hal itu sudah lewat dan kemungkinan besar bahkan kita sudah lupa sensasinya. Manusia saling membohongi. Semua ini adalah kepalsuan.

Aku pernah berpikir untuk menjadi aktor yang hebat dalam panggung kehidupan. Sekaligus menjadi sutradara beberapa cerita kecil. Jika aku bersikap ceria dan melemparkan humor setiap hari, maka mereka akan sering membuliku dan menjadikanku objek humor dan candaan. Jika aku tidak banyak omong dan jarang mengumpulkan tugas, mereka akan berpikir bahwa aku cuek. Hal-hal semacam ini, jika aku ingin sekelompok orang mempunyai pikiran tertentu terhadapku maka aku bisa menyesuaikan karakter mana yang akan aku pakai.

Suatu hari sebuah komentar semakin menyadarkanku, “Levi kan ceria orangnya”, ibuku sendiri yang berkomentar seperti itu. Aku selalu menceritakan dan berbuat hal-hal yang konyol di depan ibuku, membuatnya tertawa. Sedangkan kakakku mengenalku sebagai orang yang keterlaluan jujurnya jika tidak suka pada sesuatu. Di restoran aku bisa berkomentar sesukaku tentang meja yang berminyak atau makanan yang tidak enak di depan pelayannya, membuat orang-orang yang duduk satu meja denganku menjadi tidak nyaman. Sedangkan seseorang yang sama manipulatifnya denganku pernah mengatakan bahwa aku tidak terlihat pintar sama sekali, beda dengan adikku. Apa yang kubicarakan dengan orang itu adalah lelucon, hampir setiap bertemu. Hampir tidak pernah ada pembicaraan serius. Setiap orang mempunyai komentar berbeda terhadap kita. Mungkin karena kita menyesuaikan diri pada tiap orang, atau secara tidak sadar kita berusaha memanipulasi pikiran orang-orang untuk menerima karakter tertentu kita. Perbedaannya adalah apakah kita melakukan itu dengan sadar dan aktif atau secara pasif kita melayani dan menyesuaikan karakter orang di depan kita.

Hal ini membuatku tersentak dengan kemungkinan bahwa kita tidak benar-benar mempunyai identitas. David Hume pernah mengatakan bahwa intensitas dari emosi-emosi lah yang membuat kita merasa kita telah mengenal seseorang. Jika dia sering marah maka dia adalah pemarah. Jika dia sering tersenyum maka dia ramah. Tapi benarkah manusia mempunyai identitas? Benarkah aku mempunyai diri yang sejati, yang kuperlihatkan pada seseorang atau pada diriku sendiri? Apa yang kurasakan dan kulakukan jika aku sendirian? Aku tidak mempunyai identitas. Aku hanya mesin pemikir dan perencana, lalu tubuhku adalah pelakonnya.

Aku bahkan berdialog dengan diriku sendiri seakan-akan aku membuat sebuah cerita yang semua pemerannya dilakoni oleh diriku sendiri. Aku bermimpi sepanjang malam. Penuh dengan cerita yang selama ini membuatku terobsesi. Jalanan yang gelap, dikejar-kejar pembunuh, tersesat, berjalan sendirian di toko buku, naik kendaraan umum, bertemu orang-orang tertentu dan terlibat cerita tertentu dengan mereka, terlambat sekolah, hal-hal seperti itulah, secara berulang-ulang menjadi tema mimpiku. Kepalaku dipenuhi cerita. Semua ini palsu. Diriku sendiri adalah kepalsuan yang memproduksi kepalsuan.

Beberapa hari belakangan pikiran-pikiran sialan mengikutiku lagi. Aku tidak tahu apa pemicunya. Setelah aku memutuskan akan mengikuti arah jalan setapak yang kupilih, sebuah suara mengatakan bahwa aku tidak hidup. Aku harus keluar dari jalan, untuk menemukan jalan lain lewat semak-semak. Persetan. Apa yang membuatku berpikir aku harus mengikuti satu jalan? Mengapa aku bisa mengatakan bahwa itu adalah hal paling benar yang harus kulakukan? Mengapa aku harus memelihara keinginan menjadi ilmuwan hebat? Kupikir jika aku menyibukkan diriku dalam penelitian maka aku tidak akan berpikir terlalu aneh-aneh lagi tentang kehidupan dan segala sesuatu. Tolol sekali. Mengapa aku harus menahan diri untuk tidak bersuara sedikit pun ketika mereka mengatakan jangan bersuara? Mengapa untuk menjadi sesuatu hanya ada jalan-jalan tertentu yang harus dilalui agar bisa sampai ke tempat itu? Mengapa kita tidak bisa membuat jalan sendiri. Sialan sekali.

Aku terpenjara oleh keinginanku sendiri, terhadap sebuah karir tertentu, terhadap komentar orang tentangku, terhadap keinginan membahagiakan keluarga dan menjadi apa yang mereka dan masyarakat harapkan dariku. Itu semua adalah penjara. Setelah aku mengeluarkan diri dari satu ruangan yang bertahun-tahun menyekapku di dalamnya, aku sadar bahwa aku terobsesi untuk menghancurkan jeruji-jeruji lainnya. Untuk melihat apa yang ada di luar sana. Apakah aku akan mati di luar penjara karna aku tidak mempunyai kemampuan bertahan hidup? Mati? Aku tidak perduli. Bagaimanapun suatu saat manusia akan mati. Dan jika kita dipusingkan dengan pikiran “harus melakukan blabla sebelum mati” maka kita berada di balik jeruji lain.

Entah mengapa aku berharap, aku sangat berharap, ada sebuah bencana besar yang mengharuskanku dan orang-orang di sekelilingku menyelamatkan diri. Aku ingin merasakan sensasi asli kehidupan. Apakah aku sudah tidak waras? Aku ingin melihat dunia dalam kekacauan. Aku ingin merasakan badai. Aku ingin diterpa hujan dan diterbangkan angin.

Itu menjelaskan sebuah rahasia yang tidak pernah kuceritakan pada siapapun. Aku bukan psikopat, tapi bisa jadi aku agak sinting. Teriakan 'eureka' setiap kali mendengar kabar kematian, atau bencana, di dalam kepalaku. Aku menginginkan kehancuran segera. Aku ingin segala omong kosong yang manusia bangun dan pelihara, yang aku lindungi sepanjang usiaku ini hancur berantakan. Eureka.