Kepercayaan
adalah salah satu hal yang bisa kita kontrol. Itu bukan sesuatu yang datang
dengan sendirinya. Kita mempercayai sesuatu karena kita ingin mempercayainya. Percaya
selalu diikuti keinginan. Ia bukan kata yang dapat berdiri sendiri. Meskipun ia
sendirian di dalam kalimat, nyatanya dia dibayangi oleh “ingin”. Ketika kita
percaya sesungguhnya kita ingin percaya. Begitu juga berharap, kita
sesungguhnya ingin berharap. Tapi sesuatu semacam kebahagiaan, kesedihan,
kesakitan, kemarahan, kurasa bukanlah keinginan. Jika ada motivator yang
canggih memfatwakan bahwa kita akan bahagia jika ingin bahagia, dia adalah
pembohong.
Selama 26
tahun aku hidup aku selalu dibayangi oleh pikiran bagaimana sebaiknya aku
hidup, harus jadi seperti apakah Levi, dsb. Sepanjang waktu itu pula begitu
cepat dan mudah pikiranku berubah, berganti-ganti dari satu filsafat ke
filsafat lain, dari satu ideologi ke ideologi lain. Pikiranku terbuka. Aku menerima
semua hal yang mendekati kebenaran. Meskipun kuakui tidak ada kriteria yang
bisa dikatakan valid untuk mengukur kebenaran. Karena itulah jika seseorang
berdiskusi denganku, mereka akan menyadari bahwa aku tidak memegang satu
keyakinan apapun. Aku hanya berusaha menguji keyakinanku sendiri dengan argumen-argumen
yang dapat menguatkan atau melemahkannya.
Selama ini
manusia memegang satu keyakinan karena mereka memilih untuk memegangnya. Mereka
memilih satu kriteria pengukuran kebenaran lalu memegangnya dengan kuat. Jika ada
yang berusaha menggoyahkannya, mereka akan berusaha melawannya dengan
menyodorkan senjata indikator yang dia pegang, memaksakan lawannya berpikir
dengan cara yang sama tapi mereka sendiri tidak berusaha berpikir dengan cara
yang sama seperti lawannya. Mereka semua adalah fanatik. Bahkan mereka yang
menuduh kaum fanatik, pun adalah fanatik jika mereka mengaku punya indikator
sendiri tentang kebenaran. Senjata kaum fanatik adalah label sesat untuk orang
di luar mereka.
Aku bukanlah
orang seperti itu. Atau setidaknya aku berganti-ganti dari satu fanatik ke fanatik
lain. Seorang pengkhianat. Seperti Sartre dan Nietszche. Nietszche pernah
mengatakan bahwa kebenaran hanyalah batu loncatan untuk mengarungi lautan
kenihilan lagi, demi sampai ke kebenaran lain yang akan digunakan sebagai batu
loncatan lagi. Hidup ini adalah perjalanan pemikiran untuk sampai pada
kesadaran bahwa tidak ada yang nyata. Semuanya adalah palsu. Kenyataan adalah
sesuatu hal yang tidak akan berubah. Nyatanya segala sesuatu berubah. Jika kita
menerima segala sesuatu, menjadi orang dengan pikiran yang terbuka, maka kita
akan menemui kenyataan bahwa semuanya palsu, kenyataan bahwa tidak ada yang
nyata. Kita harus menutup pikiran kita agar bisa menetap di satu pulau
kebenaran. Itulah mengapa banyak ajaran agama mengajarkan agar kita
berhati-hati membaca buku atau berguru pada seseorang agar tidak terjatuh ke
dalam kesesatan.
Jangan salah paham, aku percaya bahwa al-Qur’an adalah firman
Tuhan, Muhammad saw adalah utusan terakhir. Aku percaya. Tapi bagaimana dan
mengapa agama harus ada dan disampaikan bukanlah sesuatu hal yang bisa
didoktrin dari satu kepala ke kepala lain. Aku tidak bisa dengan mudah menerima
itu.
Aku selalu
berusaha mengontrol apa yang orang pikirkan tentangku. Kupikir jika aku mampu
memanipulasi pikiran mereka maka aku bisa mengontrol keadaan. Tapi aku bukan
dewa. Aku tidak secerdas dan selicik itu. Aku bahkan tidak mengakui bahwa aku
berusaha memanipulasi pikiran mereka. Kesimpulannya, jika aku bisa memprediksi
masa depan dengan cara mengontrol keadaan maka aku menang. Tapi hidupku tidak
pernah tenang. Aku selalu cemas akan apa yang terjadi di masa depan, akan
apakah orang-orang berpikir seperti apa yang aku ingin mereka pikirkan, akan
apalagi yang harus aku rencanakan.
Kadang-kadang
ada orang yang akan menjawab tidak tahu ketika ditanya mengapa mereka melakukan
sesuatu. Orang-orang ini bukan tipe orang yang akan melakukan pembunuhan
berencana, mereka adalah orang yang mengikuti gejolak emosi sesaat untuk
melakukan sesuatu. Bahkan pikiran mereka mungkin juga dikontrol oleh gejolak
emosi sesaat tersebut. Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa mereka memilih
sesuatu atau mengatakan sesuatu di saat-saat tertentu.
Aku juga
seperti itu. Tapi setelahnya aku akan berusaha menganalisa apa yang terjadi di
kepalaku ketika itu. Ini sungguh licik. Kita bisa mengklaim alasan apapun. Padahal
kita tidak benar-benar tahu alasan kita sendiri karena hal itu sudah lewat dan
kemungkinan besar bahkan kita sudah lupa sensasinya. Manusia saling membohongi.
Semua ini adalah kepalsuan.
Aku pernah
berpikir untuk menjadi aktor yang hebat dalam panggung kehidupan. Sekaligus menjadi
sutradara beberapa cerita kecil. Jika aku bersikap ceria dan melemparkan humor
setiap hari, maka mereka akan sering membuliku dan menjadikanku objek humor dan
candaan. Jika aku tidak banyak omong dan jarang mengumpulkan tugas, mereka akan
berpikir bahwa aku cuek. Hal-hal semacam ini, jika aku ingin sekelompok orang
mempunyai pikiran tertentu terhadapku maka aku bisa menyesuaikan karakter mana
yang akan aku pakai.
Suatu hari sebuah komentar semakin menyadarkanku, “Levi kan
ceria orangnya”, ibuku sendiri yang berkomentar seperti itu. Aku selalu
menceritakan dan berbuat hal-hal yang konyol di depan ibuku, membuatnya
tertawa. Sedangkan kakakku mengenalku sebagai orang yang keterlaluan jujurnya
jika tidak suka pada sesuatu. Di restoran aku bisa berkomentar sesukaku tentang
meja yang berminyak atau makanan yang tidak enak di depan pelayannya, membuat
orang-orang yang duduk satu meja denganku menjadi tidak nyaman. Sedangkan seseorang
yang sama manipulatifnya denganku pernah mengatakan bahwa aku tidak terlihat
pintar sama sekali, beda dengan adikku. Apa yang kubicarakan dengan orang itu
adalah lelucon, hampir setiap bertemu. Hampir tidak pernah ada pembicaraan
serius. Setiap orang mempunyai komentar berbeda terhadap kita. Mungkin karena
kita menyesuaikan diri pada tiap orang, atau secara tidak sadar kita berusaha
memanipulasi pikiran orang-orang untuk menerima karakter tertentu kita. Perbedaannya
adalah apakah kita melakukan itu dengan sadar dan aktif atau secara pasif kita
melayani dan menyesuaikan karakter orang di depan kita.
Hal ini membuatku tersentak dengan kemungkinan bahwa kita
tidak benar-benar mempunyai identitas. David Hume pernah mengatakan bahwa
intensitas dari emosi-emosi lah yang membuat kita merasa kita telah mengenal
seseorang. Jika dia sering marah maka dia adalah pemarah. Jika dia sering
tersenyum maka dia ramah. Tapi benarkah manusia mempunyai identitas? Benarkah
aku mempunyai diri yang sejati, yang kuperlihatkan pada seseorang atau pada
diriku sendiri? Apa yang kurasakan dan kulakukan jika aku sendirian? Aku tidak
mempunyai identitas. Aku hanya mesin pemikir dan perencana, lalu tubuhku adalah
pelakonnya.
Aku bahkan berdialog dengan diriku sendiri seakan-akan aku
membuat sebuah cerita yang semua pemerannya dilakoni oleh diriku sendiri. Aku bermimpi
sepanjang malam. Penuh dengan cerita yang selama ini membuatku terobsesi. Jalanan
yang gelap, dikejar-kejar pembunuh, tersesat, berjalan sendirian di toko buku,
naik kendaraan umum, bertemu orang-orang tertentu dan terlibat cerita tertentu
dengan mereka, terlambat sekolah, hal-hal seperti itulah, secara berulang-ulang
menjadi tema mimpiku. Kepalaku dipenuhi cerita. Semua ini palsu. Diriku sendiri
adalah kepalsuan yang memproduksi kepalsuan.
Beberapa hari
belakangan pikiran-pikiran sialan mengikutiku lagi. Aku tidak tahu apa
pemicunya. Setelah aku memutuskan akan mengikuti arah jalan setapak yang
kupilih, sebuah suara mengatakan bahwa aku tidak hidup. Aku harus keluar dari
jalan, untuk menemukan jalan lain lewat semak-semak. Persetan. Apa yang
membuatku berpikir aku harus mengikuti satu jalan? Mengapa aku bisa mengatakan
bahwa itu adalah hal paling benar yang harus kulakukan? Mengapa aku harus
memelihara keinginan menjadi ilmuwan hebat? Kupikir jika aku menyibukkan diriku dalam penelitian maka aku tidak akan berpikir terlalu aneh-aneh lagi tentang kehidupan dan segala sesuatu. Tolol sekali. Mengapa aku harus menahan diri untuk
tidak bersuara sedikit pun ketika mereka mengatakan jangan bersuara? Mengapa untuk
menjadi sesuatu hanya ada jalan-jalan tertentu yang harus dilalui agar bisa
sampai ke tempat itu? Mengapa kita tidak bisa membuat jalan sendiri. Sialan sekali.
Aku terpenjara
oleh keinginanku sendiri, terhadap sebuah karir tertentu, terhadap komentar
orang tentangku, terhadap keinginan membahagiakan keluarga dan menjadi apa yang
mereka dan masyarakat harapkan dariku. Itu semua adalah penjara. Setelah aku mengeluarkan
diri dari satu ruangan yang bertahun-tahun menyekapku di dalamnya, aku sadar
bahwa aku terobsesi untuk menghancurkan jeruji-jeruji lainnya. Untuk melihat
apa yang ada di luar sana. Apakah aku akan mati di luar penjara karna aku tidak
mempunyai kemampuan bertahan hidup? Mati? Aku tidak perduli. Bagaimanapun suatu
saat manusia akan mati. Dan jika kita dipusingkan dengan pikiran “harus
melakukan blabla sebelum mati” maka kita berada di balik jeruji lain.
Entah mengapa
aku berharap, aku sangat berharap, ada sebuah bencana besar yang mengharuskanku
dan orang-orang di sekelilingku menyelamatkan diri. Aku ingin merasakan sensasi
asli kehidupan. Apakah aku sudah tidak waras? Aku ingin melihat dunia dalam
kekacauan. Aku ingin merasakan badai. Aku ingin diterpa hujan dan diterbangkan
angin.
Itu menjelaskan sebuah rahasia yang tidak pernah kuceritakan pada siapapun. Aku bukan psikopat, tapi bisa jadi aku agak sinting. Teriakan 'eureka' setiap kali mendengar kabar kematian, atau bencana, di dalam kepalaku. Aku menginginkan kehancuran segera. Aku ingin segala omong kosong yang manusia bangun dan pelihara, yang aku lindungi sepanjang usiaku ini hancur berantakan. Eureka.