Jumat, 30 Maret 2018

!@#$


Hari ini, sepertinya karena banyak hal yang mengganggu bertumpuk di kepalaku, sepertinya sekarang ini semuanya kacau lagi. Aku tidak tau bagaimana lagi aku harus bertahan hidup.

Aku sudah berusaha melewati setiap jalan yang perlu kulewati untuk bisa bertahan hidup, tapi pasti di beberapa tempat aku akan sekarat lagi. Ini berlebihan, kata mereka. Aku benar-benar pecundang. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak tahan lagi.

Aku benci semua ini.

Aku hanya ingin mengenal kehidupan, hanya ingin mengenal Tuhan, bertahan hidup hanya untuk itu. Ah, persetan segala macam perlombaan, eksistensi, persetan!

Bagaimana aku harus bertahan hidup jika hampir semua bagian tubuhku sudah penuh luka? Baju besi macam apa lagi yang harus kugunakan? Padahal baju besi semacam apapun, jika rusak, justru akan melukai tubuh penggunanya sama parah atau bahkan lebih parah dibandingkan tanpa menggunakan itu.

Di perjalanan pulang hari ini aku teringat “Distant Sky”, bagaimana jika dunia ini hancur saja? Kalau bisa aku ingin menanamkan bom di bawah tanah, menjadi teroris blablabla. Di perjalanan pulang, aku terus berkhayal, bagaimana caranya menghancurkan dunia yang kubenci ini. Atau bagaimana caranya aku menghilang tanpa meninggalkan jejak apapun untuk dibicarakan.

Jika sudah waktunya, aku bersumpah pada diriku sendiri, aku akan pergi jauh. Aku ingin pergi dari panggung ini.


Minggu, 18 Maret 2018

0.0.0

Aku di fase kehilangan. Sehari-hari mencari apa yang harus kulakukan. Berpikir ingin melakukan A tapi ketika kulakukan tak ada yang benar-benar bisa kunikmati lagi. Mungkin aku sedang dikontrol oleh sesuatu di dalam tubuhku, tapi aku tidak kehilangan keingintahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang yang mengalami ini.

Setelah bertekad balas dendam dengan kehidupan yang dulu kuhancurkan, memegang komitmen terhadap diri sendiri, berperang dengan toleransi terhadap manusia dan hukum sosial sialan, berkutat dengan tanggung jawab pribadi dan kelompok, demi tuhan, aku merasa seperti badut. Aku benci semua orang yang aku ajak bicara. Tapi itu artinya aku benci diriku sendiri yang hanya peduli pada diri sendiri. Aku benci semuanya. Aku hampir kehilangan sensasi. Inilah yang terbaik, kupikir. Apa-apaan? Apa ini?

Sepertinya aku perlu melepas pikiran baikku tentang orang lain. Ada garis jelas dan tebal yang harus kubuat antara aku dan orang-orang yang berhubungan denganku. Aku yang lama harus mati. Tapi aku harus bersiap dengan kehilangan simpati dari orang lain, aku akan jadi monster yang mereka benci. Aku terlalu takut. Aku takut rusak seperti dulu lagi. Kerusakan yang terjadi ketika aku sedang memegang sebuah komitmen terhadap diri sendiri adalah yang terburuk.

Aku akan berhenti percaya pada orang lain dan diriku sendiri. Sepertinya aku akan memperlakukan semua peranku hanya sebagai peran, yang pada beberapa tempat bisa kulepas. Tapi itu artinya aku akan kehilangan diri sendiri. Aku benci. Apa yang kubenci?

Oh semoga aku bisa tetap terlihat normal sampai aku mati nanti. Jika tidak, aku tidak tau hutan mana yang aman untuk kutinggali.

Minggu, 04 Maret 2018

VELI

Veli, bagaimana kabarmu?

Apakah kamu tidak merasakan sakit lagi sekarang?

Hari ini kamu mati. Aku sedih sekaligus lega, karena aku tau kamu tidak perlu menahan sakit dan merasa takut lagi seperti sebelumnya.

Veli adalah seekor kucing kecil yang begitu saja keluargaku pelihara sejak beberapa bulan lalu. Ya, belum sampai setahun umurnya, dan belum sempat ia melewati bulan puasa bersamaku. Dia datang dengan ibunya yang datang ke rumahku untuk mencari makan. Dia berjalan dan berlari di samping ibunya sambil ketakutan. Setiap kali ada manusia mendekatinya dia lari keluar, cepat sekali. Padahal ibunya masih bertahan di dalam rumah. “anak ini kenapa?”, pikirku. Aku harus membuatnya berpikir bahwa manusia tidak semenyeramkan anggapannya. Beberapa hari kemudian Veli datang sendirian ke dalam rumah, mencari makan mungkin, tanpa ibunya. Sambil masih, ya, ketakutan terhadap manusia. Mungkin dia adalah satu-satunya anak dari ibunya yang masih bertahan hidup dan masih punya semangat hidup, karena itulah dengan tubuh sekecil itu dia sudah berani mengikuti ibunya kemanapun ibunya pergi. Dan sekarang bahkan dia datang tanpa ibunya. Benar-benar pemberani.

Suatu hari Veli datang dengan luka di kakinya. Mamahku yang pertama kali menyadari luka itu. Veli menangis. Mamah berasumsi luka luka itu mungkin bekas ditabrak motor. Kucing kecil rawan sekali ditabrak motor. Mereka masih terlalu kecil untuk kelihatan orang pengendara motor dan belum selincah kucing dewasa. Darahnya mengalir. Mamahku kasihan padanya. Dicarinya kardus dan di dalamnya dilapisi kain untuk tempatnya tidur. Veli menerima kebaikan hati mamah. Dia tidur di kardus itu setiap habis makan. Kardus itu diletakkan di bawah meja di ruang tamu. Setiap hari dia ada di dalam rumah. Aku khawatir jika dia keluar rumah dalam kondisi seperti itu. Tapi setiap hari Veli menangis. Sepertinya ia mencari ibunya. Veli masih usia menyusui, dia pasti ingin menyusu dengan ibunya. Buktinya ketika didekati Taro, kucingku, dia meraba perut Taro, mencari susu. Kasihan sekali. Akhirnya setelah luka di kakinya yang setiap hari dibaluri minyak zaitun oleh mamah semakin membaik dia berani keluar rumah mencari ibunya. Entah apakah dia menemukan ibunya di luar. Tapi kata mamah di luar dia lebih sering bertualang sendirian, jalan-jalan saja.

Veli kuberi nama bersamaan dengan Live, kucing kecil lain yang datang bersamaan dengan Veli. Namanya merupakan anagram dari namaku, Levi. Live punya ibu yang berbeda dengan Veli. Dan beruntungnya, Live masih bisa menikmati susu ibunya di saat Veli sudah tidak bisa. Setiap hari Live tidur di pot depan sekolahan bersama ibunya. Dia kucing yang lincah sekali dan akrab dengan manusia, berbeda sekali dengan Veli. Keponakanku tertarik dengannya dan mengklaimnya sebagai peliharaannya sambil tiap hari minta jatah makanan dari mamahku untuk dikasih ke Live. Sedangkan Veli, bukanlah kucing yang menarik untuk dipelihara. Badannya kecil, tidak lincah dan menangis terus kerjanya. Kalau dia bertahan hidup di luar rumah, dia bakal cepat mati, pikirku.

Entah sudah lewat berapa bulan, aku sadar bahwa Veli ini aneh. Dia hampir tidak bisa melompat ke atas bangku. Kaki belakangnya lemah sekali, dan setiap diangkat badannya tegang sekali. Veli sempat gemuk dan jadi lebih besar dari Live, tapi lama kelamaan dia kurus lagi, kalah jauh dengan badan Live. Kucing ini sakit, tapi aku tidak tau dia sakit apa, dan aku tidak siap merawat kucing sakit seperti dulu aku merawat Kiro.

Kucing di rumahku tidak pernah divaksin. Mereka bertahan hidup dengan tubuh mereka sendiri. Aku tau bahwa Veli sakit tapi aku tak terlalu memikirkannya. Baru kemarin, setelah aku baca komik webtoon tentang kucing, aku merasa selama ini aku pengecut, aku tidak berani menghadapi mereka. Padahal aku merasa mereka melimpahiku dengan kasih sayang tapi aku bersikap dingin sekali. Aku cuma merasa setiap hari aku wajib menyentuh mereka setidaknya sekali, sudah. Setiap kali Veli tiduran di bangku dan aku ada sekitarnya, dia melihatku dengan mata yang penuh harapan. Ah, matanya itu membuatku merasa aku harus mengelusnya. Dan setiap kali mengelusnya dia akan berbunyi terus, berisik sekali, dan mengikuti kemanapun aku pergi. Setiap kali aku tidak suka diperlakukan begitu, aku akan mengabaikan saja mata penuh harapnya. Sampai kemarin, aku di sampingnya, mengelusnya. Badannya panas sekali. Panas sekali. Aku mengompresnya dengan tissue. Veli melihatku terus. Aku merasa dia sedang kesakitan, sedang merasa tidak nyaman sekali. Aku memberi sarung bantal bekas untuk alas tidurnya. Malam kemarin dia tidur dengan Tora disitu. Di meja, di ruang tengah. Kemarin Veli masih makan sedikit, keinginan makannya masih ada. Meskipun setelah menghadapi makanan, dia diam saja. Dia masih punya semangat hidup!

Hari ini, karena semalam aku tidak bisa tidur, aku tidur terus di pagi hari. Veli sekarat. Setelah diberi makan mamah, dia naik ke meja tempat tidurnya, mengerang, kejang, dia sekarat. Mamah sengaja tidak membangunkanku karena takut aku panik. Padahal aku tidak akan panik, aku tau dia akan segera mati. Karena kemarin aku baru mengecek di internet tentang penyakitnya. Disana disebutkan bahwa penyakit itu berasal dari virus yang menyerang kucing sekecil Veli. Tidak ada obatnya. Hanya sebelumnya harusnya ia divaksin. Melihat kondisinya, aku berpikir aku harus merawatnya mulai saat ini. Tapi besoknya dia mati. Seakan mengatakan padaku, “jangan repot-repot”. Atau mungkin Tuhan tau kami terlalu sibuk untuk merawat kucing sakit. Kiro ditinggalkannya. Kiro menderita penyakit ginjal, menurutku. Dia juga lambat laun akan mati karena penyakit itu. Tapi syukurnya dia masih punya keinginan hidup yang besar sekali, meskipun kaki belakangnya sudah lemah sekali dan jalannya sempoyongan.

Hari ini Veli meninggalkanku. Kemarin sambil mengompresnya aku berbisik padanya, “ke surga ya”, kalimat yang emosional sekali sampai air mata mau keluar dari mataku setelah mengucapkan itu. Aku bilang padanya untuk ke surga duluan, dan bertemu lagi nanti disana. Veli sudah tidak perlu merasa sakit. Aku lega sekali. Sekaligus sedih karena aku belum memberi padanya apa yang layak dia dapatkan.

Veli, aku sayang Veli.

Catatan: Setelah Veli dirawat mamah, dia tidak lagi takut pada manusia. Dia malah berani sekali dengan manusia. Syukurlah, Veli tau bahwa di dunia ada manusia sebaik mamahku. Dan aku harap dengan kebaikan itu, mamah mendapat tiket ke surga lebih cepat.

Catatan 2: Di internet disebutkan bahwa kucing penderita virus itu akan mengalami depresi. Aku tidak tau sebesar apa depresi Veli. Tapi melihatnya masih mau meresponku, ikut mengantri makanan seperti yang lainnya, aku merasa dia tidak depresi. Veli mati masih dengan semangat hidup.