Veli, bagaimana kabarmu?
Apakah kamu tidak merasakan sakit lagi sekarang?
Hari ini kamu mati. Aku sedih sekaligus lega, karena aku tau
kamu tidak perlu menahan sakit dan merasa takut lagi seperti sebelumnya.
Veli adalah seekor kucing kecil yang begitu saja keluargaku
pelihara sejak beberapa bulan lalu. Ya, belum sampai setahun umurnya, dan belum
sempat ia melewati bulan puasa bersamaku. Dia datang dengan ibunya yang datang
ke rumahku untuk mencari makan. Dia berjalan dan berlari di samping ibunya
sambil ketakutan. Setiap kali ada manusia mendekatinya dia lari keluar, cepat
sekali. Padahal ibunya masih bertahan di dalam rumah. “anak ini kenapa?”,
pikirku. Aku harus membuatnya berpikir bahwa manusia tidak semenyeramkan
anggapannya. Beberapa hari kemudian Veli datang sendirian ke dalam rumah,
mencari makan mungkin, tanpa ibunya. Sambil masih, ya, ketakutan terhadap
manusia. Mungkin dia adalah satu-satunya anak dari ibunya yang masih bertahan
hidup dan masih punya semangat hidup, karena itulah dengan tubuh sekecil itu
dia sudah berani mengikuti ibunya kemanapun ibunya pergi. Dan sekarang bahkan
dia datang tanpa ibunya. Benar-benar pemberani.
Suatu hari Veli datang dengan luka di kakinya. Mamahku yang
pertama kali menyadari luka itu. Veli menangis. Mamah berasumsi luka luka itu
mungkin bekas ditabrak motor. Kucing kecil rawan sekali ditabrak motor. Mereka masih
terlalu kecil untuk kelihatan orang pengendara motor dan belum selincah kucing
dewasa. Darahnya mengalir. Mamahku kasihan padanya. Dicarinya kardus dan di
dalamnya dilapisi kain untuk tempatnya tidur. Veli menerima kebaikan hati
mamah. Dia tidur di kardus itu setiap habis makan. Kardus itu diletakkan di
bawah meja di ruang tamu. Setiap hari dia ada di dalam rumah. Aku khawatir jika
dia keluar rumah dalam kondisi seperti itu. Tapi setiap hari Veli menangis. Sepertinya
ia mencari ibunya. Veli masih usia menyusui, dia pasti ingin menyusu dengan
ibunya. Buktinya ketika didekati Taro, kucingku, dia meraba perut Taro, mencari
susu. Kasihan sekali. Akhirnya setelah luka di kakinya yang setiap hari
dibaluri minyak zaitun oleh mamah semakin membaik dia berani keluar rumah
mencari ibunya. Entah apakah dia menemukan ibunya di luar. Tapi kata mamah di
luar dia lebih sering bertualang sendirian, jalan-jalan saja.
Veli kuberi nama bersamaan dengan Live, kucing kecil lain
yang datang bersamaan dengan Veli. Namanya merupakan anagram dari namaku, Levi.
Live punya ibu yang berbeda dengan Veli. Dan beruntungnya, Live masih bisa
menikmati susu ibunya di saat Veli sudah tidak bisa. Setiap hari Live tidur di
pot depan sekolahan bersama ibunya. Dia kucing yang lincah sekali dan akrab
dengan manusia, berbeda sekali dengan Veli. Keponakanku tertarik dengannya dan
mengklaimnya sebagai peliharaannya sambil tiap hari minta jatah makanan dari
mamahku untuk dikasih ke Live. Sedangkan Veli, bukanlah kucing yang menarik
untuk dipelihara. Badannya kecil, tidak lincah dan menangis terus kerjanya. Kalau
dia bertahan hidup di luar rumah, dia bakal cepat mati, pikirku.
Entah sudah lewat berapa bulan, aku sadar bahwa Veli ini aneh.
Dia hampir tidak bisa melompat ke atas bangku. Kaki belakangnya lemah sekali,
dan setiap diangkat badannya tegang sekali. Veli sempat gemuk dan jadi lebih
besar dari Live, tapi lama kelamaan dia kurus lagi, kalah jauh dengan badan
Live. Kucing ini sakit, tapi aku tidak tau dia sakit apa, dan aku tidak siap
merawat kucing sakit seperti dulu aku merawat Kiro.
Kucing di rumahku tidak pernah divaksin. Mereka bertahan
hidup dengan tubuh mereka sendiri. Aku tau bahwa Veli sakit tapi aku tak
terlalu memikirkannya. Baru kemarin, setelah aku baca komik webtoon tentang
kucing, aku merasa selama ini aku pengecut, aku tidak berani menghadapi mereka.
Padahal aku merasa mereka melimpahiku dengan kasih sayang tapi aku bersikap
dingin sekali. Aku cuma merasa setiap hari aku wajib menyentuh mereka
setidaknya sekali, sudah. Setiap kali Veli tiduran di bangku dan aku ada
sekitarnya, dia melihatku dengan mata yang penuh harapan. Ah, matanya itu
membuatku merasa aku harus mengelusnya. Dan setiap kali mengelusnya dia akan
berbunyi terus, berisik sekali, dan mengikuti kemanapun aku pergi. Setiap kali
aku tidak suka diperlakukan begitu, aku akan mengabaikan saja mata penuh
harapnya. Sampai kemarin, aku di sampingnya, mengelusnya. Badannya panas
sekali. Panas sekali. Aku mengompresnya dengan tissue. Veli melihatku terus. Aku
merasa dia sedang kesakitan, sedang merasa tidak nyaman sekali. Aku memberi sarung
bantal bekas untuk alas tidurnya. Malam kemarin dia tidur dengan Tora disitu. Di
meja, di ruang tengah. Kemarin Veli masih makan sedikit, keinginan makannya
masih ada. Meskipun setelah menghadapi makanan, dia diam saja. Dia masih punya
semangat hidup!
Hari ini, karena semalam aku tidak bisa tidur, aku tidur
terus di pagi hari. Veli sekarat. Setelah diberi makan mamah, dia naik ke meja
tempat tidurnya, mengerang, kejang, dia sekarat. Mamah sengaja tidak
membangunkanku karena takut aku panik. Padahal aku tidak akan panik, aku tau
dia akan segera mati. Karena kemarin aku baru mengecek di internet tentang
penyakitnya. Disana disebutkan bahwa penyakit itu berasal dari virus yang
menyerang kucing sekecil Veli. Tidak ada obatnya. Hanya sebelumnya harusnya ia
divaksin. Melihat kondisinya, aku berpikir aku harus merawatnya mulai saat ini.
Tapi besoknya dia mati. Seakan mengatakan padaku, “jangan repot-repot”. Atau mungkin
Tuhan tau kami terlalu sibuk untuk merawat kucing sakit. Kiro ditinggalkannya. Kiro
menderita penyakit ginjal, menurutku. Dia juga lambat laun akan mati karena
penyakit itu. Tapi syukurnya dia masih punya keinginan hidup yang besar sekali,
meskipun kaki belakangnya sudah lemah sekali dan jalannya sempoyongan.
Hari ini Veli meninggalkanku. Kemarin sambil mengompresnya
aku berbisik padanya, “ke surga ya”, kalimat yang emosional sekali sampai air
mata mau keluar dari mataku setelah mengucapkan itu. Aku bilang padanya untuk
ke surga duluan, dan bertemu lagi nanti disana. Veli sudah tidak perlu merasa
sakit. Aku lega sekali. Sekaligus sedih karena aku belum memberi padanya apa
yang layak dia dapatkan.
Veli, aku sayang Veli.
Catatan: Setelah Veli dirawat mamah, dia tidak lagi takut
pada manusia. Dia malah berani sekali dengan manusia. Syukurlah, Veli tau bahwa
di dunia ada manusia sebaik mamahku. Dan aku harap dengan kebaikan itu, mamah
mendapat tiket ke surga lebih cepat.
Catatan 2: Di internet disebutkan bahwa kucing penderita
virus itu akan mengalami depresi. Aku tidak tau sebesar apa depresi Veli. Tapi melihatnya
masih mau meresponku, ikut mengantri makanan seperti yang lainnya, aku merasa
dia tidak depresi. Veli mati masih dengan semangat hidup.