Selasa, 25 Oktober 2022

Kamulah kebahagiaan

Sayang, jika aku menjauh menuju hal-hal yang kau benci,

Tariklah aku mendekat.
Bawalah aku pergi menjauhi hal-hal yang kau benci.
Jangan pergi meninggalkanku dan mencari kebahagiaan di luar aku.
Kamulah kebahagiaanku.
Dan semua di sekitarku harus memahami itu.

Konsekuensi Cinta

Sayang, aku ingin mencintaimu sesederhana matahari yang setiap hari bersinar menyokong kehidupan di bumi.

Aku tau kamu mencintaiku dengan caramu,
Aku ingin kamu tau pula, bahwa aku pun begitu.
Tapi bisakah kita menjadi diri kita masing-masing sambil saling mencintai?
Apakah seperti matahari, yang tetap menjadi dirinya, hingga suatu saat sinarnya yang terlalu kuat akan membakar bumi,
Karna bumi sudah tidak mampu lagi menahan menanggung panas sinar matahari.
Apakah seperti itu, kita akan mati karna cinta kita masing-masing?
Entah kamu yang sudah tidak kuat menanggung kelimpahan cinta dariku,
Atau akukah yang akan tumbang duluan?
Apakah kita harus mengambil jarak?
Ketika perasaan cinta sudah semakin kuat, dan semakin ingin dilampiaskan diekspresikan,
Apakah kita harus saling menjauh,
Agar tidak saling membakar?
Dan menjadi bumi yang sadar,
"Begitulah matahari, yang akan semakin kuat bersinar seiring waktu. Begitulah dia diciptakan. Dan begitu pulalah aku, sebagai bumi, yang diciptakan tak akan mampu menanggung kekuatan sinar matahari yang semakin bertambah intensitasnya."
Atau apakah kita harus seperti bumi?
Yang meskipun matahari semakin kuat menyinarinya,
Ia tetap di tempatnya,
Menunggu kematiannya sendiri,
Menerima konsekuensi apa pun dari cinta matahari.

Minggu, 28 Agustus 2022

mood

Mood selalu menghancurkan rencanaku. Apa pun bisa kurencanakan, dengan detail, dengan segala perasaan optimis, bahwa seandainya manusia bisa semudah robot dikendalikan, maka semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana.

Kenyataannya, robot pun bisa mengalami kerusakan sistem, kerusakan yang lebih buruk dari manusia. Mood adalah penghancur sistem yang ada di dalam kepala manusia.

Aku tertekan, luar biasa. Tekanan yang datangnya dari dalam diri sendiri. Terhadap peranan-peranan baru. Aku tak mampu mempertahankan kemampuan adaptasi dalam waktu yang lama. Aku tak paham. Seandainya aku paham, seperti seorang teknisi paham dan mampu melakukan perbaikan kerusakan pada suatu hardware atau software, maka akan kubedah kerusakan yang ada di dalam diriku sendiri. Oh, apakah memahami psikologi cukup untuk memperbaiki segala kerusakan? Aku skeptis.

Dari dulu, aku tak pernah dapat menoleransi kekacauan rencana. Jika rencana rapi yang kususun berantakan, maka mood buruk mengambil alih dan menyelesaikan ending kekacauan rencana.

Aku benci jika ekspektasiku terhadap diri sendiri hancur, oleh pikiran buruk, perasaan buruk, dan segala hal yang di dalam diriku yang tidak sepenuhnya kupahami. Di suatu waktu aku begitu berharap dan yakin dengan kemampuanku memenuhi harapanku sendiri (oh, karna aku secara teori tau caranya) bahwa aku mampu berjalan lancar ke depan, sesuai apa yang kuinginkan. Tapi ketika segala sesuatunya tidak sesuai, entahlah apa yang tidak sesuai, atau ketika tiba-tiba, entah darimana datangnya, aku merasa lelah sekali, secara fisik maupun mental, aku tertekan, pundakku terasa amat berat, terhadap segalanya, segala tanggung jawab yang kemarin dengan bangganya kutanggung. Oh, mengapa aku terus bertahan membawa perasaan benci yang tak mampu kupahami ini. Apakah kecintaanku terhadap dunia yang ideal terlalu berlebihan sehingga aku bahkan benci dengan keterikatanku terhadap fisikku sendiri.

Inilah konsekuensi yang harus ditanggung jika hidup dengan “orang lain”, orang-orang selain diriku sendiri. Di sisi lain, jika aku hidup bertahan dalam kesunyian pun, akan ada konsekuensi lain yang perlu kutanggung untuk pilihan hidupku. Pada suatu waktu aku bahkan heran mengapa manusia sangat menyukai keterikatan emosional dengan orang lain, atau keterikatan fisik dengan orang lain. ya, di suatu waktu. Pada waktu lainnya, aku paham secara “rasa” karna aku pun mengalaminya.

Apakah aku tidak normal? Atau ada apakah di dalam kepalaku yang membuatku mempunyai pikiran dan perasaan yang “twisted” yang terasa tidak nyaman ini. Dari dulu aku selalu ingin tahu, apakah orang-orang lain mempunyai pikiran dan perasaan yang sama, atau apakah ini normal, dan darimana indikator kenormalan itu dibuat. Banyak sekali hal yang tidak kumengerti.

Sekarang, tanggung jawabku amatlah besar. Karna berkaitan dengan jiwa lain yang akulah penanggung jawabnya (secara manusiawi). Tapi, aku tak sanggup sepenuhnya menanggungnya. Ketidakmampuan emosi, ketidakstabilan perasaan, kelemahan mental membuatku tertekan dari dalam. Aku tidak mau diperlakukan seperti aku memperlakukan. Karna itulah aku tidak mampu memaafkan ketidakmampuanku sendiri.

Tuhan, apakah kebahagiaan itu? Benarkah ia hanyalah produk ilusional kepala kita sendiri?

Aku, siapakah aku ini? Siapakah akan kusematkan identitas diriku? Aku kehilangan diriku sendiri. Pengorbanan membuat siapapun kehilangan dirinya. Ego adalah diri, maka pengorbanan adalah meninggalkan ego. Karna itulah mengorbankan diri artinya membunuh partikel-partikel identitas diri. Benarkah begitu?

Layakkah aku berduka? Pada apa? Kematian identitas? Apa itu identitas? Bukankah aku bisa membuat identitas baru? Apakah identitas itu dibuat?

Aku menyadari bahwa aku amatlah mencintai diriku sendiri dan orang-orang yang sekarang tanggung jawabnya ada di tanganku. Tapi sampai sekarang pun puzzle bagaimana harus mencintai tidak akan pernah sempurna kuselesaikan. Hidup ini adalah proses pencarian dalam kebingungan. Karna mereka-mereka penafsir petunjukMu hanyalah sekedar interpreter, yang tak akan sepenuhnya mampu menginterpretasikan kompleksitas maksudMu.

Jumat, 12 Agustus 2022

Pemerkosa Kerajaan

Kau adalah entitas asing yang dengan kurang ajarnya datang mengobrak abrik kerajaanku.

Merombak segalanya, menjajah negerinya.
Mengklaim kekuasaanmu di atasnya.
Mewarnai tradisinya dengan warnamu sendiri.

Kerajaan yg kubangun dengan susah payahnya.
Kulindungi segenap tenaga dari pengaruh luar.

Ketika kubukakan pintunya untukmu, masuklah kau dengan penuh kekaguman sekaligus ambisi untuk merombak kekurangannya.

Namun karna kebodohanmu, segalanya berantakan dan chaos.
Ketika kuusir kau sebagai raja yg gagal, dengan senang hati kau berkehendak pergi.
Meninggalkan segala reruntuhan bangunan di dalamnya.
Menawarkan pembayaran pampasan atas kerusakan yg kau tinggalkan.
Lalu melenggang pergi meninggalkan sejumlah kenangan di tiap sudutnya.
Untuk kemudian terbang bebas dengan sayap baru yg kau dapat dari hasil kerajaan yg kau telah rusak.

Aku tidak terima mengucapkan selamat tinggal.
Kepada pemerkosa kerajaan yg sekian waktu kupuja puja agar kiranya mampu menjadi raja yg layak bagi kerajaan ini.
Namun jika tidak, sampai kapankah akan kau buktikan tekadmu?
Atau sebelum itu, akankah kau dan aku menyerah kalah dan saling mengucap perpisahan?
Lalu kau pergi berkelana dengan sayapmu ke udara bebas,
Sedang aku memenjarakan diri, mengunci pintu, dan tak akan membiarkan siapa pun lagi masuk ke dalam kerajaan sunyi yg sudah hancur ini.

Rabu, 09 Februari 2022

sakit

Sakit. Aku ingin sekali menghilang, pergi, ke tempat dimana tidak ada ruang dan waktu.

Jika dosaku memang sudah menumpuk dan membusuk, maka Tuhan, apakah yang harus kulakukan? Ke sudut dunia manakah aku harus pergi?

Bisakah Engkau, wahai sang maha pengampun, menoleransi pendosa yang ketakutan dan tak mampu berbuat apa pun sepertiku? Atau sudikah Engkau, memberitaukan kepadaku dengan bahasa yang lebih sederhana dan mampu kupahami, apa yang Kau inginkan dan rencanakan terhadapKu?

Apakah takdirku adalah membusuk di neraka? Atau masihkah kasih sayangMu menjagaku tetap di batas surga?

Sakit. Aku lelah. Lelah memberitaukan kepada seluruh dunia apa yang kurasakan. Rasa sakit ini, seakan ilusi yang selama ini kulihat buyar dan menampakkan wujudnya yang mengerikan di hadapanku. Aku tak ingin bertahan lagi. Aku ingin pergi. Pergi, dan melindungi diriku sendiri dari menyakiti orang lain, disakiti orang lain, dan menumpuk dosa bagi diriku sendiri.

Aku tak paham. Aku tak paham apa yang ingin Tuhan ajarkan kepadaku. Dari sekian luka yang datang, sembuh, kambuh, membusuk dan bernanah, obat apakah kiranya yang benar-benar mampu menghilangkan semuanya? Atau apakah Ia ingin aku bertahan dengan segala luka dan sakit yang kuderita, berjalan, bertahan hidup di atas muka bumi, berusaha menjadi orang normal?

Aku menyerah, Tuhan. Bolehkah aku menyembunyikan diriku sendiri dari dunia ini? Apakah sesungguhnya itulah yang Kau inginkan dariku?

Wahai Engkau yang maha penyayang dan pengasih, sudikah Engkau memaafkan ketidakmampuan dan kelemahanku, yang belum dan mungkin tak akan sanggup menjadi penerus orang semacam Fatimah? Bisakah kelapanganMu dalam pengampunan menoleransi keputusanku untuk mengasingkan diri dari dunia?

Aku ingin bercerai dari dunia, di dunia. Aku ingin berjalan, tanpa harus terlibat interaksi yang kompleks dengan sesama manusia. Bisakah aku hidup seperti itu? Apakah itu yang harus kulakukan? Atau apakah aku harus tidak menyerah, menyembuhkan diriku sendiri dan berkali kali lagi jatuh dan sakit, hingga entahlah, apakah ada sesuatu yang menungguku di depan? Atau apakah aku hanya berputar putar di lingkaran yang sama?

Kumohon, permudahlah jalanku jika memang sudah terlalu sulit bagiku. Kumohon sederhanakanlah bahasaMu sehingga aku yang bodoh ini lebih mampu memahami.

Aku mohon, izinkan aku bercerai dari semua ini. Aku hanya ingin melindungi diriku sendiri dari dosa yang sudah terlalu membusuk di pundakku yang tak mampu lagi menanggung bebannya. Jika aku memanglah manusia yang lemah, maka Tuhan, izinkan aku berjalan di jalan yang lebih mudah menujuMu. Atau jika Kau berkehendak memberikanku sedikit saja kekuatanMu, maka berikanlah.

Levi

HambaMu yang lemah