Senin, 13 Februari 2017

Entah Sejak Kapan



Satu fase kehidupan manusia yang dipikir mereka akan harus dilewati setiap yang punya pikiran normal, pernikahan.

Entah sejak kapan,

Entah sejak kapan aku muak dengan obrolan tentang pernikahan. Entah sejak kapan aku muak membaca novel murahan dan film murahan tentang perjuangan dua orang kekasih menghadapi rintangan hingga sampai pada romantisme malam pertama. Entah sejak kapan.

Dulu, kami bertiga membicarakannya penuh pemikiran. Tentang segala kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Sebuah pembicaraan yang tidak pernah sampai pada solusi apa pun. Sebuah pembicaraan yang hanya membuka poin-poin abstrak di otak menjadi kalimat-kalimat yang saling ditanggapi. Aku hanya melahirkan kalimat-kalimat, tanpa pernah memperjuangkan kelahiran solusi atas segala kekhawatiran dan pertanyaan. Entah sejak kapan aku begitu menikmati kebingungan.

Dan akhirnya momen yang datang dan diputuskan dengan pemikiran sederhana hanya akan dilewati. Katanya, kalau sudah waktunya akan datang juga. Entah sejak kapan aku benci dengan kalimat persuasif penuh kebohongan itu.

Orang yang tadinya bicara A akan bicara B karna waktu pada akhirnya memberi jawaban baru. Aku benci kerelatifan.

Ketika pada saatnya muncul, aku mulai merasakan ketertarikan pada seseorang, otak sadarku seperti dibius. Pembiusan itu menghasilkan seorang Levi yang merasakan dan berpikir terbalik dari pikiran dan prinsipnya yang dulu. Kesadaran akan ketidakmampuan berpikir normal, seperti halnya kebimbangan, akhirnya terasa kenikmatannya, sehingga tak ada keinginan untuk mencari cara untuk keluar dari kemabukan. Aku benci pada kenyataan bahwa aku butuh emosi kasih sayang yang romantik dengan seseorang. Tapi ketika alam mengontrol pikiran dan perasaanku, tak ada yang benar-benar bisa kulakukan untuk menolaknya.

Aku tau manusia dikontrol oleh dirinya. Tapi aku bisa merasakan, entah bagaimana bahwa manusia bisa berbalik mengontrol dirinya. Aku ingin mengontrol diriku yang terkontrol, dengan menyadari “entah sejak kapan”. Entah sejak kapan pembicaraan tentang pernikahan membuatku muak. Seperti setelah terlalu banyak makan daging ayam, kita muak melihat daging ayam, aku benci mendengar ada orang yang menikah. Bukan karna aku tidak ingin melihat orang bahagia. Tapi karna aku mulai berpikir bahwa aku diharuskan melewati fase yang sama suatu saat nanti.

Kenapa kita harus menikah? Kenapa kita harus mau punya anak? Kenapa dan kenapa? Aku tidak pernah berhenti bertanya hal-hal yang menurut mereka tidak perlu ditanyakan.

Tuhan, aku benci dikontrol seperti ini. Apakah aku saudara iblis yang benci disuruh bersujud pada Adam? Apakah jika datang ultimatum langsung dariMu bagiku agar menikah dengan orang tertentu agar lahir anak tertentu yang akan menjadi seorang yang dibutuhkan dunia, aku akan menaatinya? Masalahnya adalah tidak pernah datang ultimatum mendesak dariMu untukku. Tidak pernah ada desakan kewajiban akan bagaimana dan pilihan apa yang akan kujatuhkan atas tiap fase kehidupan yang kulewati. Tidak pernah ada kewajiban tiap manusia hidup dengan cara yang sama satu sama lain.

Benar bahwa kehidupan butuh agama. Benar bahwa agama mengatur kehidupan. Tapi selalu ada peran dalam kehidupan karna setiap kita diciptakan berbeda.

Atau, akulah yang entah sejak kapan hidup dengan melawan segala norma umum.