Satu fase kehidupan manusia yang dipikir mereka akan harus
dilewati setiap yang punya pikiran normal, pernikahan.
Entah sejak kapan,
Entah sejak kapan aku muak dengan obrolan tentang pernikahan.
Entah sejak kapan aku muak membaca novel murahan dan film murahan tentang
perjuangan dua orang kekasih menghadapi rintangan hingga sampai pada romantisme
malam pertama. Entah sejak kapan.
Dulu, kami bertiga membicarakannya penuh pemikiran. Tentang
segala kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Sebuah pembicaraan yang
tidak pernah sampai pada solusi apa pun. Sebuah pembicaraan yang hanya membuka
poin-poin abstrak di otak menjadi kalimat-kalimat yang saling ditanggapi. Aku
hanya melahirkan kalimat-kalimat, tanpa pernah memperjuangkan kelahiran solusi
atas segala kekhawatiran dan pertanyaan. Entah sejak kapan aku begitu menikmati
kebingungan.
Dan akhirnya momen yang datang dan diputuskan dengan
pemikiran sederhana hanya akan dilewati. Katanya, kalau sudah waktunya akan
datang juga. Entah sejak kapan aku benci dengan kalimat persuasif penuh
kebohongan itu.
Orang yang tadinya bicara A akan bicara B karna waktu pada
akhirnya memberi jawaban baru. Aku benci kerelatifan.
Ketika pada saatnya muncul, aku mulai merasakan ketertarikan
pada seseorang, otak sadarku seperti dibius. Pembiusan itu menghasilkan seorang
Levi yang merasakan dan berpikir terbalik dari pikiran dan prinsipnya yang
dulu. Kesadaran akan ketidakmampuan berpikir normal, seperti halnya
kebimbangan, akhirnya terasa kenikmatannya, sehingga tak ada keinginan untuk
mencari cara untuk keluar dari kemabukan. Aku benci pada kenyataan bahwa aku
butuh emosi kasih sayang yang romantik dengan seseorang. Tapi ketika alam
mengontrol pikiran dan perasaanku, tak ada yang benar-benar bisa kulakukan
untuk menolaknya.
Aku tau manusia dikontrol oleh dirinya. Tapi aku bisa
merasakan, entah bagaimana bahwa manusia bisa berbalik mengontrol dirinya. Aku
ingin mengontrol diriku yang terkontrol, dengan menyadari “entah sejak kapan”.
Entah sejak kapan pembicaraan tentang pernikahan membuatku muak. Seperti
setelah terlalu banyak makan daging ayam, kita muak melihat daging ayam, aku
benci mendengar ada orang yang menikah. Bukan karna aku tidak ingin melihat
orang bahagia. Tapi karna aku mulai berpikir bahwa aku diharuskan melewati fase
yang sama suatu saat nanti.
Kenapa kita harus menikah? Kenapa kita harus mau punya anak?
Kenapa dan kenapa? Aku tidak pernah berhenti bertanya hal-hal yang menurut
mereka tidak perlu ditanyakan.
Tuhan, aku benci dikontrol seperti ini. Apakah aku saudara iblis
yang benci disuruh bersujud pada Adam? Apakah jika datang ultimatum langsung
dariMu bagiku agar menikah dengan orang tertentu agar lahir anak tertentu yang
akan menjadi seorang yang dibutuhkan dunia, aku akan menaatinya? Masalahnya
adalah tidak pernah datang ultimatum mendesak dariMu untukku. Tidak pernah ada
desakan kewajiban akan bagaimana dan pilihan apa yang akan kujatuhkan atas tiap
fase kehidupan yang kulewati. Tidak pernah ada kewajiban tiap manusia hidup
dengan cara yang sama satu sama lain.
Benar bahwa kehidupan butuh agama. Benar bahwa agama mengatur
kehidupan. Tapi selalu ada peran dalam kehidupan karna setiap kita diciptakan
berbeda.
Atau, akulah yang entah sejak kapan hidup dengan melawan
segala norma umum.