Rabu, 28 Februari 2018

FREAK

Aku bukan orang yang gila kecantikan, yang setiap hari menghabiskan waktu bermenit-menit memoles wajah, mendandani diri, berjam-jam menghabiskan waktu dan uang di salon dan memilih-milih baju, sepatu, tas, dan perhiasan yang menghabiskan uang itu. Kenalanku, orang Korea pernah bertanya kenapa aku tidak berdandan, me make up wajah seperti pesolek lain. Well, tidak perlu selevel pesolek, sekedar membuat wajah dan badan enak dilihat saja oleh orang. Aku lupa jawaban macam apa yang aku berikan. Yang aku tau, keadaanku sekarang tidak menuntutku untuk memoles wajah. Meskipun tanpa semua itu, aku tidak kehilangan kemolekan wajah.

Kecantikan semacam itu kurasa berbeda dengan kebersihan dan kepantasan. Bisa kukatakan aku gila kebersihan. Entah sejak kapan. Dan apakah levelnya akan semakin meningkat, aku tak tau. Orang freak seperti itu akan merasa gelisah dimana-mana. Harus membawa tissue, cairan pembersih kemana-mana. Karena dunia ini bukanlah tempat bagi orang freak seperti itu, maka orang-orang seperti itu harus berjuang keras beradaptasi dengan kawan-kawannya. Menahan diri untuk tidak bilang apa-apa tentang kebiasaan buruk orang yang ada di depannya. Untuk suatu saat meledak dan merasa jijik dengan apapun. Apapun.

Perasaan jijik semacam ini kurasakan sejak kecil. Aku tidak pernah tau apa maksud perasaan jijik itu. Ketika tiba saatnya aku begitu penasaran, kucari di internet, aku rasa aku mendapat sedikit cahaya atas ketidaktahuanku sebelumnya. Katanya, orang yang merasa jijik dengan apapun adalah tipe orang yang suka menghakimi, perfeksionis parah bisa dikatakan. Mereka punya hal-hal yang ideal yang harusnya dilakukan dalam segala macam situasi. Tapi dunia ini bukan tempat yang mudah bagi orang-orang semacam itu. Karena dikalahkan oleh kasih sayang dan perbuatan baik, kecenderungan untuk menghakimi ditekan, terus, dan terus, hingga akhirnya meledak, dan diri sendiri mulai membenci diri sendiri yang merasa jijik dengan orang lain. Betul juga, analisa yang masuk akal.

Pada banyak sekali situasi aku menekan perasaan tidak sukaku pada banyak sekali hal, termasuk juga hal-hal kecil. Misalnya, ada orang minum langsung dari botol di kulkas, botol air minum yang tidak pernah dicuci, membuang sampah sembarangan, makanan tumpah atau air menetes yang tidak dibersihkan, benda-benda miring yang tidak dibetulkan, tidak mencuci tangan setelah menyentuh sesuatu yang kotor atau makanan, omongan-omongan yang tidak masuk akal, dan sebagainya, banyak sekali. Pada sebagiannya aku bisa menahan diri untuk diam tanpa mengomentari dengan sepatah kata pun, tapi pada sebagian lainnya aku bisa menyindir dengan tajam. Atau pada saatnya nanti ketika aku benar-benar sudah muak, aku bisa berkata tajam dan kasar sekali untuk mengekspresikan kejijikan aku pada apapun yang sebelumnya kulihat. Bukan hanya terhadap orang lain, aku juga jijik pada diriku sendiri ketika aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Membiarkan kamarku kotor, membiarkan lantai tidak disapu berhari-hari, tapi lucunya aku bukan orang rajin yang mampu mengikuti jadwal yang kususun sendiri. Ketika aku menyimpang dari semua itu, aku menabung kejijikan pada diri sendiri. Kibishii.

Kecenderungan freak ini entah untung atau tidak untung, diimbangi dengan kecenderungan besar untuk berbuat baik pada orang. Kecenderungan itu adalah kecenderungan untuk memuaskan orang lain. Jika aku memelihara seekor kucing maka kucing itu harus merasa nyaman, dia harus mendapat kehidupan yang ideal, entah itu kehidupan yang manja atau kehidupan yang menuntut dia untuk menjadi kucing yang tangguh, hal semacam itu. Jika seseorang mendapat waktuku, mendapat kesempatan untuk memuntahkan masalahnya di depanku, maka aku harus memberikan feedback yang sebaik-baiknya. Aku sadar dengan yang kulakukan ini. Karena kesadaranku terhadap perbuatan baikku inilah, sebaliknya, aku bisa menjadi penjahat yang licik.

Selama ini aku menekan ketidaksukaanku pada orang-orang merokok yang ada di sekitarku, orang-orang berisik di sekitarku, orang-orang jorok di sekitarku, termasuk orang-orang dekatku sendiri. Aku menabung tekad kuat untuk keluar dari keadaan semacam ini, untuk tinggal di tempat dimana segalanya bisa ada dalam pengaturanku. Setidaknya tempat yang lebih baik dari ini. Dan yang mengerikannya adalah aku berpikir bahwa hubungan, entah itu hubungan darah, hubungan pertemanan, solidaritas, komitmen pernikahan, semuanya adalah penjara. Semuanya akan selalu menahan kita dari kebebasan mengatur diri kita sendiri. Yang harus diterima adalah: di dunia fana ini, kita memang harus hidup dalam penjara. Karena penjara-penjara ini membuat kita semakin tangguh. Lihat, skillku untuk berdamai dengan orang lain semakin meningkat. Keinginan untuk berbuat baik semakin besar. Tapi aku sepenuhnya sadar dengan kecenderunganku. Aku benci dan jijik dengan segalanya, termasuk terhadap diriku sendiri yang tidak bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna.