Selasa, 11 Desember 2018

CHAOS


Kepercayaan adalah salah satu hal yang bisa kita kontrol. Itu bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya. Kita mempercayai sesuatu karena kita ingin mempercayainya. Percaya selalu diikuti keinginan. Ia bukan kata yang dapat berdiri sendiri. Meskipun ia sendirian di dalam kalimat, nyatanya dia dibayangi oleh “ingin”. Ketika kita percaya sesungguhnya kita ingin percaya. Begitu juga berharap, kita sesungguhnya ingin berharap. Tapi sesuatu semacam kebahagiaan, kesedihan, kesakitan, kemarahan, kurasa bukanlah keinginan. Jika ada motivator yang canggih memfatwakan bahwa kita akan bahagia jika ingin bahagia, dia adalah pembohong.

Selama 26 tahun aku hidup aku selalu dibayangi oleh pikiran bagaimana sebaiknya aku hidup, harus jadi seperti apakah Levi, dsb. Sepanjang waktu itu pula begitu cepat dan mudah pikiranku berubah, berganti-ganti dari satu filsafat ke filsafat lain, dari satu ideologi ke ideologi lain. Pikiranku terbuka. Aku menerima semua hal yang mendekati kebenaran. Meskipun kuakui tidak ada kriteria yang bisa dikatakan valid untuk mengukur kebenaran. Karena itulah jika seseorang berdiskusi denganku, mereka akan menyadari bahwa aku tidak memegang satu keyakinan apapun. Aku hanya berusaha menguji keyakinanku sendiri dengan argumen-argumen yang dapat menguatkan atau melemahkannya.

Selama ini manusia memegang satu keyakinan karena mereka memilih untuk memegangnya. Mereka memilih satu kriteria pengukuran kebenaran lalu memegangnya dengan kuat. Jika ada yang berusaha menggoyahkannya, mereka akan berusaha melawannya dengan menyodorkan senjata indikator yang dia pegang, memaksakan lawannya berpikir dengan cara yang sama tapi mereka sendiri tidak berusaha berpikir dengan cara yang sama seperti lawannya. Mereka semua adalah fanatik. Bahkan mereka yang menuduh kaum fanatik, pun adalah fanatik jika mereka mengaku punya indikator sendiri tentang kebenaran. Senjata kaum fanatik adalah label sesat untuk orang di luar mereka.

Aku bukanlah orang seperti itu. Atau setidaknya aku berganti-ganti dari satu fanatik ke fanatik lain. Seorang pengkhianat. Seperti Sartre dan Nietszche. Nietszche pernah mengatakan bahwa kebenaran hanyalah batu loncatan untuk mengarungi lautan kenihilan lagi, demi sampai ke kebenaran lain yang akan digunakan sebagai batu loncatan lagi. Hidup ini adalah perjalanan pemikiran untuk sampai pada kesadaran bahwa tidak ada yang nyata. Semuanya adalah palsu. Kenyataan adalah sesuatu hal yang tidak akan berubah. Nyatanya segala sesuatu berubah. Jika kita menerima segala sesuatu, menjadi orang dengan pikiran yang terbuka, maka kita akan menemui kenyataan bahwa semuanya palsu, kenyataan bahwa tidak ada yang nyata. Kita harus menutup pikiran kita agar bisa menetap di satu pulau kebenaran. Itulah mengapa banyak ajaran agama mengajarkan agar kita berhati-hati membaca buku atau berguru pada seseorang agar tidak terjatuh ke dalam kesesatan.

Jangan salah paham, aku percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, Muhammad saw adalah utusan terakhir. Aku percaya. Tapi bagaimana dan mengapa agama harus ada dan disampaikan bukanlah sesuatu hal yang bisa didoktrin dari satu kepala ke kepala lain. Aku tidak bisa dengan mudah menerima itu.

Aku selalu berusaha mengontrol apa yang orang pikirkan tentangku. Kupikir jika aku mampu memanipulasi pikiran mereka maka aku bisa mengontrol keadaan. Tapi aku bukan dewa. Aku tidak secerdas dan selicik itu. Aku bahkan tidak mengakui bahwa aku berusaha memanipulasi pikiran mereka. Kesimpulannya, jika aku bisa memprediksi masa depan dengan cara mengontrol keadaan maka aku menang. Tapi hidupku tidak pernah tenang. Aku selalu cemas akan apa yang terjadi di masa depan, akan apakah orang-orang berpikir seperti apa yang aku ingin mereka pikirkan, akan apalagi yang harus aku rencanakan.

Kadang-kadang ada orang yang akan menjawab tidak tahu ketika ditanya mengapa mereka melakukan sesuatu. Orang-orang ini bukan tipe orang yang akan melakukan pembunuhan berencana, mereka adalah orang yang mengikuti gejolak emosi sesaat untuk melakukan sesuatu. Bahkan pikiran mereka mungkin juga dikontrol oleh gejolak emosi sesaat tersebut. Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa mereka memilih sesuatu atau mengatakan sesuatu di saat-saat tertentu.

Aku juga seperti itu. Tapi setelahnya aku akan berusaha menganalisa apa yang terjadi di kepalaku ketika itu. Ini sungguh licik. Kita bisa mengklaim alasan apapun. Padahal kita tidak benar-benar tahu alasan kita sendiri karena hal itu sudah lewat dan kemungkinan besar bahkan kita sudah lupa sensasinya. Manusia saling membohongi. Semua ini adalah kepalsuan.

Aku pernah berpikir untuk menjadi aktor yang hebat dalam panggung kehidupan. Sekaligus menjadi sutradara beberapa cerita kecil. Jika aku bersikap ceria dan melemparkan humor setiap hari, maka mereka akan sering membuliku dan menjadikanku objek humor dan candaan. Jika aku tidak banyak omong dan jarang mengumpulkan tugas, mereka akan berpikir bahwa aku cuek. Hal-hal semacam ini, jika aku ingin sekelompok orang mempunyai pikiran tertentu terhadapku maka aku bisa menyesuaikan karakter mana yang akan aku pakai.

Suatu hari sebuah komentar semakin menyadarkanku, “Levi kan ceria orangnya”, ibuku sendiri yang berkomentar seperti itu. Aku selalu menceritakan dan berbuat hal-hal yang konyol di depan ibuku, membuatnya tertawa. Sedangkan kakakku mengenalku sebagai orang yang keterlaluan jujurnya jika tidak suka pada sesuatu. Di restoran aku bisa berkomentar sesukaku tentang meja yang berminyak atau makanan yang tidak enak di depan pelayannya, membuat orang-orang yang duduk satu meja denganku menjadi tidak nyaman. Sedangkan seseorang yang sama manipulatifnya denganku pernah mengatakan bahwa aku tidak terlihat pintar sama sekali, beda dengan adikku. Apa yang kubicarakan dengan orang itu adalah lelucon, hampir setiap bertemu. Hampir tidak pernah ada pembicaraan serius. Setiap orang mempunyai komentar berbeda terhadap kita. Mungkin karena kita menyesuaikan diri pada tiap orang, atau secara tidak sadar kita berusaha memanipulasi pikiran orang-orang untuk menerima karakter tertentu kita. Perbedaannya adalah apakah kita melakukan itu dengan sadar dan aktif atau secara pasif kita melayani dan menyesuaikan karakter orang di depan kita.

Hal ini membuatku tersentak dengan kemungkinan bahwa kita tidak benar-benar mempunyai identitas. David Hume pernah mengatakan bahwa intensitas dari emosi-emosi lah yang membuat kita merasa kita telah mengenal seseorang. Jika dia sering marah maka dia adalah pemarah. Jika dia sering tersenyum maka dia ramah. Tapi benarkah manusia mempunyai identitas? Benarkah aku mempunyai diri yang sejati, yang kuperlihatkan pada seseorang atau pada diriku sendiri? Apa yang kurasakan dan kulakukan jika aku sendirian? Aku tidak mempunyai identitas. Aku hanya mesin pemikir dan perencana, lalu tubuhku adalah pelakonnya.

Aku bahkan berdialog dengan diriku sendiri seakan-akan aku membuat sebuah cerita yang semua pemerannya dilakoni oleh diriku sendiri. Aku bermimpi sepanjang malam. Penuh dengan cerita yang selama ini membuatku terobsesi. Jalanan yang gelap, dikejar-kejar pembunuh, tersesat, berjalan sendirian di toko buku, naik kendaraan umum, bertemu orang-orang tertentu dan terlibat cerita tertentu dengan mereka, terlambat sekolah, hal-hal seperti itulah, secara berulang-ulang menjadi tema mimpiku. Kepalaku dipenuhi cerita. Semua ini palsu. Diriku sendiri adalah kepalsuan yang memproduksi kepalsuan.

Beberapa hari belakangan pikiran-pikiran sialan mengikutiku lagi. Aku tidak tahu apa pemicunya. Setelah aku memutuskan akan mengikuti arah jalan setapak yang kupilih, sebuah suara mengatakan bahwa aku tidak hidup. Aku harus keluar dari jalan, untuk menemukan jalan lain lewat semak-semak. Persetan. Apa yang membuatku berpikir aku harus mengikuti satu jalan? Mengapa aku bisa mengatakan bahwa itu adalah hal paling benar yang harus kulakukan? Mengapa aku harus memelihara keinginan menjadi ilmuwan hebat? Kupikir jika aku menyibukkan diriku dalam penelitian maka aku tidak akan berpikir terlalu aneh-aneh lagi tentang kehidupan dan segala sesuatu. Tolol sekali. Mengapa aku harus menahan diri untuk tidak bersuara sedikit pun ketika mereka mengatakan jangan bersuara? Mengapa untuk menjadi sesuatu hanya ada jalan-jalan tertentu yang harus dilalui agar bisa sampai ke tempat itu? Mengapa kita tidak bisa membuat jalan sendiri. Sialan sekali.

Aku terpenjara oleh keinginanku sendiri, terhadap sebuah karir tertentu, terhadap komentar orang tentangku, terhadap keinginan membahagiakan keluarga dan menjadi apa yang mereka dan masyarakat harapkan dariku. Itu semua adalah penjara. Setelah aku mengeluarkan diri dari satu ruangan yang bertahun-tahun menyekapku di dalamnya, aku sadar bahwa aku terobsesi untuk menghancurkan jeruji-jeruji lainnya. Untuk melihat apa yang ada di luar sana. Apakah aku akan mati di luar penjara karna aku tidak mempunyai kemampuan bertahan hidup? Mati? Aku tidak perduli. Bagaimanapun suatu saat manusia akan mati. Dan jika kita dipusingkan dengan pikiran “harus melakukan blabla sebelum mati” maka kita berada di balik jeruji lain.

Entah mengapa aku berharap, aku sangat berharap, ada sebuah bencana besar yang mengharuskanku dan orang-orang di sekelilingku menyelamatkan diri. Aku ingin merasakan sensasi asli kehidupan. Apakah aku sudah tidak waras? Aku ingin melihat dunia dalam kekacauan. Aku ingin merasakan badai. Aku ingin diterpa hujan dan diterbangkan angin.

Itu menjelaskan sebuah rahasia yang tidak pernah kuceritakan pada siapapun. Aku bukan psikopat, tapi bisa jadi aku agak sinting. Teriakan 'eureka' setiap kali mendengar kabar kematian, atau bencana, di dalam kepalaku. Aku menginginkan kehancuran segera. Aku ingin segala omong kosong yang manusia bangun dan pelihara, yang aku lindungi sepanjang usiaku ini hancur berantakan. Eureka.


Selasa, 30 Oktober 2018

“tuhan sudah mati”

Alkisah, di suatu kota yang penduduknya sangat rajin menyembah tuhan, datanglah seorang asing yang sinting berteriak-teriak di tengah kota. “tuhan sudah mati”, katanya. Dan beberapa dekade berlalu, tuhan benar-benar telah menjadi kayu yang kopong, yang konsepnya tidak menyimpan makna apapun. Sedang kita disini, menyembah tuhan-tuhan yang tidak berjiwa. 

Minggu, 28 Oktober 2018

kibou


Aku diingatkan lagi bahwa di dunia ini aku tidak bersama siapa pun kecuali diriku sendiri. Sampai kapan pun siapa pun tidak akan bisa membuatku menyukai manusia. Mungkin aku makhluk planet lain. Di sana aku hanya hidup seorang diri, memiliki sendiri planet yang kosong dan gersang. Di bawah bintang yang jauh, yang membuat planet ini dingin dan gelap. Aku rindu kampung halamanku.


Kamis, 25 Oktober 2018

Miles Away

Adik saya mengajak saya menyanyikan lagu kesukaan saya di album Arashi are you happy. Dan lagu ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, yang saya percaya akan saya jumpai lagi di surga.

https://www.smule.com/recording/arashi-%E5%B5%90-miles-away/1773699515_2539703327


Senin, 06 Agustus 2018

Seekor Kucing yang Menyeberang


Seekor kucing menyebrang jalan di depan mataku. Aku terpaku melihatnya, mengikuti ke arah mana kucing itu berlari, bersiap-siap melakukan sesuatu untuk menghindari terjadinya hal buruk. Kucing itu menghampiri seorang ibu tua di seberang jalan. Satu ekor kucing mengikutinya juga, berusaha menyebrang jalan, jalan besar. Ibu itu kemudian menggendong kucing yang berhasil menyebrang separuh jalan itu sambil tangan yang satunya sibuk memegang belanjaan daging dan sayur. Motor-motor yang melaju sempat memperlambat lajunya untuk memberi kesempatan kepada ibu dan kedua ekor kucing itu. Aku masih terpaku.

Ketika ibu dan kucing itu sampai di depanku (di titik awal kucing itu menyebrang), ibu itu berkata pada kucing itu, “jangan nyebrang-nyebrang ke situ”. Oh, kemudian aku mulai sadar, itu Bu Untung! Seorang ibu yang  tinggal di gang belakang rumahku, yang kucingnya banyak sekali. Sepertinya dua ekor kucing itu melihatnya di seberang jalan, kemudian tidak sabar ingin menghampirinya karena ia membawa daging.

Di depan gang, lebih dari lima ekor kucing berhamburan menyambut Bu Untung. Ia berjalan menuju rumahnya sambil diiringi oleh kucing-kucing itu. Aku berusaha menghalau kucing-kucing dari jalan raya, agar tidak ada yang menyebrang lagi. Sambil berjalan lambat di belakang Bu Untung dan para kucing, aku tersenyum tanpa henti. Pemandangan yang nikmat sekali dilihat. Bu Untung berjalan lambat-lambat karena dikelilingi kucing. Tiba-tiba perasaanku naik sekali, bahagia sekali. Setelah mereka sampai di rumahnya, aku meneruskan perjalanan menuju rumahku sambil tersenyum tanpa henti.

Hal seperti inilah yang kurindukan. Saat-saat ketika aku menjadi saksi atas perbuatan orang-orang baik di atas muka bumi, ketika aku dalam perjalanan. Sama dengan perjalanan kehidupan, di setiap titiknya kita akan menjadi saksi orang-orang baik, mengikuti jejak mereka, menjadi saksi kezaliman kemudian berusaha meluruskan. Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi kenikmatan perjalanan para perantau.

My Brother has departed on July 28, 2018


Sudah 9 hari sejak hari keberangkatan abang. Kami sudah terbiasa dengan kehilangannya dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa lagi. Tapi entah kenapa aku tidak suka melihat orang-orang dengan mudah kembali ke kehidupan normalnya lagi. Entah kenapa. Aku merasa harus ada sesuatu yang berubah, yang menandakan sebuah titik permulaan sesuatu. Untuk kami, mungkin, meneruskan apa yang abang lakukan, misalnya berkurban setiap idul adha, dan memelihara kambing kurban di halaman rumah sejak beberapa hari sebelum hari raya kurban, agar perasaan kehilangan kambing yang disayangi, perasaan berkurban dapat dihayati. Apa yang abang lakukan harus diteruskan.

Keberadaan manusia semakin dihargai, dua kali lipatnya, sejak ia meninggal. Sebelum itu, kita semua menjalankan kehidupan dengan normal-normal saja. Mungkin memang, manusia butuh suatu momen untuk menyadari sesuatu yang berharga. Untuk mensyukuri sesuatu, manusia harus menyaksikan mereka yang tidak memiliki apa yang ia miliki agar kesyukuran bisa lebih dihayati. Manusia memang lemah.

Perasaan sesal yang disertai kelegaan sudah mulai memasuki masa kadaluarsa. Seperti halnya orang-orang di sekitar kami yang mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing lagi. Diantara mereka ada yang benar-benar merasa kehilangan kemudian berubah menjadi lebih penyayang kepada anak yatim, anak-anaknya abang. Atau mereka yang move on begitu cepat. Aku merasa tidak puas. Entah kenapa, harus ada sesuatu yang dimulai.

Dan kemudian, pikiran itu datang lagi.

Tuhan, sudah berapa kalikah Tuhan membuatku mempertimbangkan lagi hal-hal semacam itu. Aku yang hatinya tidak sebening kaca ini tidak mampu membaca pertanda.

“Demi masa.

Sesungguhnya manusia kerugian.

Melainkan yang beriman dan beramal soleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”

Segala hal yang kita kerjakan adalah kesia-siaan. Hanya mereka yang mecari bekal untuk mati, bersiap-siap menghadapi kematiannya lah yang beruntung karena mereka mengisi hidupnya dengan amal soleh dan menasihati dalam kebaikan, hanya merekalah yang lepas dari kesia-siaan.

Dunia yang kita jalani ini, ketika kita sudah terbebas darinya dan saling berbincang di surga, kita akan merasa bahwa segala yang kita jalani di dunia ini hanyalah mimpi karena kaburnya rasa nyata yang pernah kita rasa, karna jauhnya masa lalu ketika kita menjalani hidup di dunia. Karena itulah, kehilangan mereka yang kita cintai bukanlah masalah apa-apa, seandainya kita tau apa yang Tuhan janjikan untuk kita di surga.

“Wahai yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami pada agamamu.”

Senin, 30 Juli 2018

Dalam Penantian

Karena pada saatnya nanti kita semua akan dipertemukan lagi dengan orang-orang yang kita cintai di dunia, di suatu tempat dimana kesedihan dan kemarahan tidak dikenal, di tempat dimana kepuasan dari pencarian kita tidak berhenti. Tidak dengan rupa dan keadaan yang sama dengan ketika di dunia, tapi dengan keadaan dan rupa yang ideal, dengannya kepuasan kita terpenuhi tanpa melebihi batas.

Kita dalam penantian, menanti jadwal keberangkatan masing-masing. Sambil menunggu, kita menghabiskan waktu dalam permainan, atau dengan tekun mengumpulkan bekal perjalanan. Dan ketika tiba keberangkatan mereka, kita pun jadi ingin segera berangkat juga, kesadaran kita menjadi semakin peka. Kita jadi semakin menghitung waktu dalam penantian kita, untuk kemudian tersenyum ketika utusan datang memberikan kabar bahwa jadwal keberangkatan kita sudah tiba.

KEHILANGAN

Tiba-tiba kepala sesak dengan memori. Suatu kejadian bisa mendesak semua memori yang berhubungan dengannya keluar, menyesaki kepala. Tiba-tiba rasa sesal membesar, setiap kali kita kehilangan. Ternyata kepergian dan kehilangan merupakan perayaan untuk mengingat nilai mereka yang pergi itu, betapa berarti keberadaan mereka dalam kehidupan. Tanpa itu, kita lupa.

Namun, betapa lega saya, kelegaan yang luar biasa, ikut menemani rasa sesal. Seperti seorang kawan yang menepuk punggung kawannya yang bersedih. Saya lega abang saya, Muhammad Kamal Basya telah dibebaskan dari dunia. Saya ingat sekali pernah membaca tulisan di blognya yang menceritakan curhatannya kepada Tuhan tentang betapa lelahnya dia dengan kehidupan. Setelah itu saya selalu merasa bahwa abang saya itu selalu memikirkan tentang kematian, bersiap siap dengan bekal.

"mau dibawa kemana idealismenya?" adalah pertanyaan paling menusuk saya ketika saya pernah bercerita masalah kecurangan yang saya ingin lakukan ketika ujian akhir SMA. Abang adalah orang yang jujur, dengan dirinya sendiri dan orang lain. Dan juga senang berbagi dan selalu mau membahagiakan keluarga.

Yah, kita selalu menghargai dua kali lipat keberadaan seseorang setelah kehilangan. Kematian adalah perayaan untuk menghargai kebaikan orang yang mati.

Saya bangga beliau adalah abang saya. Dan saya kagum dengan cara berpikir abang.

dalam kenangan kepergian abang Kamal, 28 Juli 2018, 9 tahun setelah bapak pergi, 6 Maret 2009.

Rabu, 18 Juli 2018

"We are one"


“Pasangan suami istri yang sudah lama menikah tidak lagi duduk berhadap hadapan. Mereka duduk bersamping sampingan untuk melihat pemandangan yang sama.”

Aiba adalah satu-satunya anggota Arashi yang dekat dengan Nino. Mereka berdua selalu berada di dalam grup yang sama sejak mereka bergabung di dunia entertainment, sampai sekarang. Apa yang mereka lihat selalu pemandangan yang sama.

Setiap kali mereka diwawancarai dan tiba saatnya bicara tentang satu sama lain, dibandingkan komentar mereka untuk anggota Arashi yang lain, komentar mereka terhadap satu sama lain sedikit sekali. Seakan-akan Nino atau Aiba sama sekali tidak tertarik terhadap karakter satu sama lain sehingga tidak ada yang muncul di pikiran ketika nama satu sama lain disebutkan.

Tapi Nino tau banyak sekali tentang Aiba, dan juga sebaliknya. Tapi ketika Nino kesepian, Aiba lah yang dia datangi. Seakan Aiba adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Nino.

Katanya teman yang sering menghabiskan waktu bersama akan menghabiskan waktu bersama tanpa membicarakan apapun. Mungkin sudah terlalu banyak yang diketahui satu sama lain. Nino suatu hari hanya akan datang ke tempat Aiba untuk makan bersama sambil berbicara tentang hal-hal yang tidak penting, sekedar menghabiskan waktu bersama.

Mereka selalu duduk bersampingan, Aiba selalu di samping Nino, melihat pemandangan yang sama. Mereka membicarakan dunia, membicarakan orang lain, karna mereka sudah saling mengenal tanpa harus saling  membicarakan diri sendiri.

“Dia selalu bersama denganku”, itu kata-kata yang biasa diucapkan mereka ketika disuruh mengomentari satu sama lain. Sepertinya Aiba sudah seperti TV di rumah Nino yang sering digunakannya main game dan ketika ditanya tentang pendapatnya tentang TV dia bingung harus menjawab apa. Dia tak pernah melihat TV itu sebagai TV berkualitas dari merk tertentu yang punya kelebihan ini dan itu. TV itu sudah ada di rumahnya sejak dulu tanpa dia sadari dan digunakannya sehari-hari untuk nonton dan main game.

Dia harus mundur dan menghadapkan wajahnya ke arah Aiba dulu untuk dapat melihat Aiba secara keseluruhan dengan jelas. Aiba biasa ada di sampingnya, membicarakan dan melihat bersama apa yang ada di depan mereka. Seperti dua orang yang duduk bersampingan sedang berbicara tentang suatu hal, kemudian mereka berdua ditanya tentang pendapatnya terhadap satu sama lain. Tiba-tiba mereka berhenti bicara, diam sejenak, lalu saling berpandangan, kemudian agak membuat jarak satu sama lain.

Kita mungkin baru bisa membicarakan orang lain jika orang itu berada di dalam jarak pandang kita. Jika orang itu terlalu jauh atau terlalu dekat, dia ada di luar jarak pandang. Kita tak bisa melihatnya, dia terlalu jauh atau terlalu dekat. Seandainya Nino disuruh membuat lagu tentang Aiba, bisa jadi dia butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikannya karna butuh waktu untuk melihat Aiba dari jarak tertentu, atau mungkin lagu itu bisa jadi lagu paling simpel yang dibuat Nino tentang orang lain, yang kesannya dibuat tanpa berpikir.

Nino mungkin bisa bilang bahwa dia suka Ohno, atau mengagumi Jun, atau seandainya dia perempuan dia ingin memilih Sho sebagai pasangan, Aiba tidak pernah menjadi pilihan baginya. Nino mungkin tidak sadar atau sangat sadar tapi tidak pernah atau merasa tidak perlu mengakui di depan umum betapa Aiba adalah eksistensi yang penting dalam hidupnya. Orang lain hanya melihat mereka dengan biasa saja, mereka juga tidak mempertunjukkan kedekatan dengan sengaja. Seperti saudara kembar yang selalu menghabiskan waktu bersama, dan ketika mereka ditempatkan di sekolah yang sama, mereka akan berusaha menjaga jarak agar dapat membangun kehidupannya sendiri.

Tahun ini, Arashi membuat lagu unit, bukan lagi lagu solo. Aiba dan Nino bersatu untuk menyanyikan lagu yang sama. Sebuah lagu yang mungkin mereka berdua sadar betul betapa lagu itu menggambarkan hubungan persahabatan mereka. Meskipun pada awalnya tidak terlihat, pada akhirnya nanti orang luar akan menyadari kedekatan dua orang sahabat entah bagaimana.

"UB"

N: Dengar..

A: Hal-hal yang mudah jadi semakin tidak terlihat
Bagian seberang tirai terasa jauh bagiku

N: Apa yang sedang kau pikirkan?
Kau selalu bersikap segan
Selalu menjulurkan lehermu melihat sesuatu

A: Sebenernya aku tau
Kita berdua akhir-akhir ini
Meskipun berada dekat satu sama lain, kita tidak merasakan apapun

N: Kemanapun kita akan pergi, kita tidak bisa terpisahkan
Tapi kita pun terkadang ingin punya waktu sendiri

A&N: Pasti kita perlu berpisah
A: Kita telah melihat hal yang sama
N: Sudah dalam waktu yang lama

A&N: Kita hanya perlu berpisah
A: Perasaan kita satu sama lain
N: Sudah sama-sama kita tau dengan jelas

N: Hari ini pun juga tanpa terlalu dekat maupun berpisah
A: Di dalam ruangan ini

N: Kita hanya perlu berpisah
A: Aku ingin sendiri

N: Tapi jika dipikir-pikir
Kapanpun, kau mendekati semuanya dengan air yang panas

A: Tidak, kaulah dengan hati yang lapang
Memaklumkan kesalahan-kesalahan kecil orang lain

A&N: Kita sudah tidak akan pernah berpisah
N: Itu wajar
A: Sampai hari-hari sekarang pun

A&N: Kita tidak bisa berpisah
N: Kita yang saling berbeda ini
A: Kita bisa saling membantu

A: Hari ini pun juga tanpa terlalu dekat maupun berpisah
N: Kita saling bersampingan

A: Kita punya rencana untuk hidup saling berpisah
N: Meskipun membingungkan
Kita adalah satu

A&N: Ya, dan jangan pernah berpisah

A&N: Lihat, kita satu
Meskipun berpisah kita adalah satu
Ya, kita satu
Kita tau hal yang esensial adalah kita bersama
Hari ini pun dengan jarak yang terjaga,
Aku berdiri di sampingmu

A: di sampingmu

A&N: Kita berdiri bersampingan

 
 





#NinoAiba

Senin, 16 Juli 2018

Einsamkeit

Kehilangan membuatmu berubah. Seakan-akan setiap bagian dari dirimu hilang satu persatu menyertai kebekuan kenangan. Aku rindu dirimu yang dulu.

Kemarin pikiranmu tak ada henti-hentinya, mulutmu tak ada kering-keringnya, mengungkapkan semua hal yang ingin kau ungkapkan pada dunia. Mempersiapkan dirimu di atas panggung yang akan kau jejaki beberapa tahun lagi. Aku tersenyum mendengar semua pidato yang kau sampaikan. Ini dirimu yang kurindukan.

Sebuah dunia yang ada dalam pikiranmu, kau deskripsikan. Semua pertanyaan yang datang dari dirimu, kau jawab. Semuanya kau sempurnakan untuk membangun sebuah peradaban yang seharusnya dibangun. Kau korbankan kehidupanmu untuk dunia. Kau adalah kau yang kukagumi.

Sepanjang hari, tanpa henti. Di tengah-tengah semangatmu mencerna sesuatu yang baru, sesuatu yang selalu tidak pernah bisa kau sempurnakan kecuali sampai sebatas ide. Kau tidak bisa berhenti, seakan-akan kau lupa ada rem yang bisa kau injak di bawah sana. Hanya lelah yang dapat menghentikanmu. Entah karena alasan apa, malam itulah malam pertama kau bisa tidur. Ya, setelah berkutat dengan segala pikiranmu.

Aku tau alasannya. Pertemuanmu dengan dua orang teman dekatmu, membuatmu melihat dunia nyata lagi, membuatmu melihat dunia dari sudut berbeda lagi. Hari itu mengapa tidak kau ceritakan sesuatu yang ingin sekali kau ceritakan pada sebanyak mungkin orang? Aku tau bahwa kau takut, kau takut tak ada yang mampu menerima dirimu.

Hari ini aku melihatmu kelelahan. Setiap kali kelelahan, kau memaksa dirimu semakin lelah, agar tak ada yang mampu menghentikan kejatuhanmu nanti, termasuk dirimu sendiri.

Hari ini kau menyerah lagi. Hari ini setan itu datang lagi ke dalam pikiranmu. Hari ini kau berpikir ingin melarikan diri lagi dari segala kesia-siaan yang kau lakukan. Hari ini kau menyadari lagi keterbatasanmu. Kau tau kau tidak mungkin sanggup menerjang badai di tengah samudra yang dingin, sekedar goyangan ombak saja pun tak mampu membuatmu menahan diri dari rasa mual. Apa penyebabnya?

Aku ingin tau apa penyebabnya. Tapi aku tak tau.

Aku rindu dirimu yang kemarin.

Aku tau kau tak pernah benar-benar ingin mati. Setiap kali keputusasaan datang kau dengan penuh harapan mencari deskripsi yang tepat menggambarkan apa yang kau rasakan. Tanpa henti, hingga menemukan mereka yang dapat menggambarkan perjuanganmu bernapas di tengah-tengah kabut yang membatasi pandangan matamu.

Kau mencari, karna kau ingin merasakan bahwa kau tidak sendirian. Di atas bumi ini ada orang-orang yang memahami apa yang kau rasakan. Setelah kau lega menangis, kau merebahkan dirimu dengan kepuasan yang tak kau sadari. Kau tak pernah sendirian.

Aku tau apa yang kau cari. Kau sendirian selama ini di tengah keramaian. Dan yang kau cari adalah orang yang membuatmu merasa bahwa kau tidak sendirian sebagai orang yang sendirian di dunia ramai.

Dan, apa lagi yang kau cari?

Kau sendiri, tapi kau tidak sendirian.

Tapi kau ingin ada orang yang menemukanmu di bawah sumur ini. 




Senin, 09 Juli 2018

Di dalam Jeruji

Belakangan Nino aktif main film dan serial TV lagi. Nino muncul lagi. Akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu untuk nonton Nino lagi.

Tersebar kabar bahwa Nino akan menikah. Meskipun itu cuma gosip, aku percaya bahwa Nino sekarang ini punya pacar. Aku tau itu bukan urusanku. Dan aku tidak ingin mencampuradukkan urusan pribadi dia dengan karir dia di TV. Aku hanya ingat kata-kata dia. Dia bilang dia tidak mau menikah dan mau memutus riwayat keluarga Ninomiya sampai di dia saja. Aku tau Nino masih muda ketika mengatakan itu. Dan aku juga tau, kalau Nino punya hubungan dengan perempuan, perempuan itu pasti berharap dinikahi. Nino pasti tau. Aku hanya benci Nino mengatakan sesuatu seenaknya.

Mungkin Nino dan kita semua tidak sadar bahwa kalimat-kalimat yang pernah kita ucapkan bisa sangat mempengaruhi orang lain. Padahal kita sendiri tidak ingat pernah mengucapkan itu.

Nino berhenti menulis game nikki, pasti dengan alasan semacam itu. Atau sebenarnya Nino mulai sibuk dengan urusan pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain.

Di variety show Jepang, mereka sering membicarakan image. Semacam saya tidak bisa melihat artis A menikah. Dia bukan tipe orang yang cocok menikah. Image? Image yang mereka bangun membuat pilihan mereka dibatasi. Atau menikah ternyata punya image sendiri. Suami yang bekerja, istri yang mengasuh anak, dsb. Ketika image itu menyimpang, berarti bukan ‘pernikahan’ lagi sebutannya, entah apa.

Berdasarkan itu, Nino tidak punya image sebagai seorang suami. Tapi Nino pernah bilang seiring bertambahnya umur, orang akan beradaptasi dengan sendirinya. Aku percaya Nino yang pernah bilang begitu adalah orang yang mampu beradaptasi dan merusak imagenya sendiri. Meskipun dia sendiri bilang dia tidak mau ada orang mengatur hidupnya dan kalaupun harus menikah, dia mau menikah dengan orang yang membiarkan dia melakukan apa yang dia mau. Apakah Nino akan berubah?

Kalau saja Nino suatu saat menikah, aku tidak tau perubahan apa yang akan terjadi pada pikiranku. Pikiranku yang sudah cukup dipengaruhi pemikiran Nino dan kata-katanya. Aku merasa Nino berbohong, mengkhianati kata-katanya sendiri atau dirinya di masa muda. Mungkin Nino yang tadinya kulihat berwarna hijau berubah menjadi kuning. Nino yang kukenal adalah Nino yang independen dan bebas melakukan apa pun yang dia mau. Nino yang tidak perduli tentang nama baik dan malah melemparkan komentar sarkas tentang tetek bengek itu. Nino yang nyaman melakukan apapun di dalam kandangnya, yang bangga dengan dirinya sendiri. Pernikahan akan mengubah Nino. Atau Nino akan mengubah image pernikahan.

Nino yang sadar akan ini pernah berkata bahwa setiap orang mengagumi bayangan. Pekerjaan idol seperti dia adalah menjual mimpi.

Kita memberi label tertentu terhadap orang yang kita kagumi. Kemudian tanpa sadar kita membuatnya hidup di dalam imajinasi kita. Padahal dia pun hidup di dalam realitas, dimana dia terpengaruh orang lain. Meskipun begitu, sepertinya Nino yang tidak punya tujuan hidup yang jelas akan tetap berjalan mengikuti ke mana arah angin membawanya. Membiarkan dirinya dikagumi dan diberi label. Membatasinya dari menjadi manusia yang hidup di dalam realitas. Mematikan dirinya untuk terus bermain di dalam imajinasi para pengagumnya.

Sampai kapan Nino akan menjadi tawanan para pengagumnya? Atau perlukah kita menghancurkan jeruji untuk terbang menjadi apapun yang kita mau, tanpa dilabeli apapun oleh orang lain? Merusak ekspektasi dan membuktikan kebebasan yang kita miliki?

Tapi Nino, dan Arashi, bangga menjadi tawanan. Jika menjadi tawanan bisa membuat orang lain bahagia, dia pun akan bahagia. Itu lebih baik daripada terbang entah kemana tanpa siapapun mengenal kita dan mempunyai harapan terhadap kita, sendirian di atas sana tanpa tujuan jelas. Setidaknya di dalam jeruji yang hangat itu, setiap hari dia mendapat makanan meskipun setiap hari pula dia harus menghidupkan ekspektasi orang lain. Paradoks. Siapa yang tidak hidup dalam paradoks?

Tapi itu benar. Jika musim dingin tiba dan taman-taman yang biasa kita datangi untuk mengistirahatkan diri dalam kebebasan diselimuti salju, penjara jauh lebih hangat bagi kita.





Rabu, 04 Juli 2018

Omong Kosong Harapan

Berharap? Kita diajarkan untuk menenggak air kekecewaan setiap saat.

Mengapa kita harus berharap lagi?

Kita sudah belajar berharap bertahun-tahun,

Hanya untuk merasakan kekecewaan.

Manusia bukan makhluk yang bisa diharapkan,

Dunia bukan tempat kita menitipkan harapan.

Pada akhirnya kita akan diusir pergi, bahkan sebelum semuanya hilang.


Sudah dua hari Abu tidak pulang. Setelah Veli, Kiro, kemudian Abu.

Setelah sebelumnya kepalaku panas memikirkan untuk menyelamatkannya,

Semalaman kepalaku sibuk memikirkan banyak sekali hal.

Pada akhirnya kegelisahan mendatangiku tiba-tiba.

Pagi itu aku melarikan diri dalam ketidaksadaran.


Kita semua, manusia, seperti itu.

Melihat orang-orang dibantai nun jauh disana, anak-anak tanpa orangtua menangis kelaparan disana,

Sedang kita disini yang sibuk dengan urusan administrasi atau tetek bengek apapun,

Sambil mendengar berita, kita meneruskan sarapan, sambil kembali menghadapi kesibukan kita.


Aku, pagi itu, tidur hingga siang, bangun untuk kemudian pergi menghadapi kesibukanku.

Pagi itu, kulepas Abu, yang aku tau, aku melepasnya untuk mati.

Perasaanku berontak.

Mencoba untuk mencari alasan atas semua yang kulakukan, pikiranku menjelaskan semua kepada diriku sendiri.

Aku tak boleh menyalahkan diriku sendiri.

Apa alasanku menghentikan usaha untuk menyembuhkan Abu?

Abu bisa disembuhkan. Sembuh atau tidaknya dia adalah keputusanku.

Dan pagi itu, aku memutuskan, dia akan mati hari ini atau secepatnya.

Suntikan bekas obatnya kubiarkan saja di meja hingga seseorang membereskannya.

Pulang dari kampus, tidak sedikitpun aku bertanya tentang Abu,

Dan tidak pula ibuku mengajakku bicara tentang Abu ataupun menagih janjiku.

Ya, aku mengatakan, aku akan pergi ke klinik meminta Abu diinfus, aku bilang Abu bisa disembuhkan.

Sepertinya setiap malam, pikiranku jatuh ke dalam depresi sebelum tidur, hingga aku tidak bisa tidur.

Apapun yang kupikir bisa kulakukan tadinya, setiap malam selalu kuragukan.

Dan kemudian, aku melarikan diri dari semua itu.

Sudah ratusan kali aku melarikan diri.


Lalu, kemarin malam,

Mereka memencet tombol yang berbahaya sekali di otakku.

Mereka mulai lagi, membicarakan pernikahan, “Lepi kapan?” sambil tersenyum nakal bercanda. “kakak sudah siap nerima lamaran”, katanya. Mereka tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. Aku tidak bisa lagi masuk ke dalam dunia mereka. Malam itu, pintuku kututup rapat. Tidak akan kubiarkan mereka masuk lagi ke dalamnya. Dan aku bersumpah pada diriku sendiri, seumur hidup aku tidak akan pernah menikah. Dan semua itu berawal dari pertanyaan tadi malam, dan segala macam kekecewaan yang kutemui dari segala macam harapan optimisku di masa lalu.

Pertandanya adalah, malam itu aku memimpikan seseorang. Seseorang yang sangat optimis, yang membangunkan keoptimisan dan idealismeku di masa lalu. Kenapa di saat seperti ini aku memimpikannya? Aku mengartikannya seenakku, bahwa aku merindukan segala harapan dan prasangka baik dari diriku yang dulu. Sepertinya, aku tidak boleh bersumpah dan menutup pintu. Sepertinya…

Entahlah.

Aku benci manusia. Aku benci diriku sendiri. Hari ini aku berpikir ingin membunuh diriku lagi.

Senin, 02 Juli 2018

Surreal

Apa artinya semua ini?

Semakin tua umur kita, kita mulai berhenti bermimpi. Kita mulai menjadi robot, kita mulai tertidur dan merasa begitu cepatnya waktu berlalu. Kita menjadi sampah. Kita menjadi sampah yang Tuhan kasihani kemudian dimaafkan karena kelemahan dan kebodohannya.

Apa yang kucari?

Berjalan kesana kemari, menikmati pemandangan yang berganti-ganti, kemudian berbalik untuk berjalan lagi. Apakah emosi kebahagiaan yang hilang kemudian datang lagi adalah apa yang kita cari? Sekedar petualangan, untuk kemudian sampai di suatu tempat yang tidak kita ketahui. Atau, kita tak akan pernah sampai dimanapun.

Apa yang kurasakan?

Petualangan dalam merasakan berbagai macam hal. Seperti pabrik makanan selalu memberikan rasa baru bagi produknya. Menikmati setiap macam emosi yang datang, menghayati emosi yang nantinya akan datang lagi, dan lagi, dan  lagi. Atau menyimpannya hingga akhirnya meledak di suatu titik. Semakin tua umur kita, semakin banyak hal yang kita rasakan, apakah kita semakin pandai bereaksi secara emosional terhadap keadaan-keadaan yang berbeda? Atau sebaliknya, kita semakin kebas, kita hanya semakin terbiasa bereaksi, tanpa merasakan apapun lagi. Sudah terlalu banyak kita merasakan segala macam emosi.

Apa yang kupikirkan?

Berbagai buku kita lahap, berbagai cerita kita saksikan, berbagai macam teori dan perspektif kita jelajahi. Kita menumpuk semuanya lalu merapihkannya untuk membentuk bangunan pemikiran kita sendiri. Atau, kita hamparkan saja di seluruh ruangan penyimpanan, tergeletak begitu saja semua hal yang pernah kita baca dan saksikan, tanpa pernah menyimpulkan apapun.

Apa yang kuyakini?

Kita terbiasa berharap. Sadisnya, kita belajar mengetahui bahwa banyak sekali dari harapan kita tak masuk akal dan tak akan pernah terwujud. Tapi, waktu belum berhenti, mengapa kita berhenti berharap? Berharap bukanlah tentang menunggu suatu kejutan akan datang di masa depan, kejutan akan terkabulnya harapan kita. Berharap adalah tentang menghidupkan keyakinan, membohongi pikiran. Tanpa dibohongi, kenyataan terlalu absurd bagi mata kita.


Bagaimana aku tau bahwa aku masih berharap, sedangkan aku tak tau apa yang kurasakan saat ini. Segalanya semakin surreal. Bertumpuknya pengalaman membebani kita dengan pekerjaan pengaturan. Jika tidak, beginilah. Seni datang dari pikiran yang berantakan. Hidup ini adalah seni yang kita lukis sendiri.

Minggu, 01 Juli 2018

Unseen Story


Mereka mengenalnya sebagai orang yang cukup ceria. Orang yang suka melemparkan dan menikmati lelucon, yang hidup cukup santai, yang selalu tersenyum dan memberikan motivasi pada teman-temannya.


Suatu hari dia bangun lagi dari tidurnya di pagi hari dengan perasaan seakan-akan hujan akan turun deras. Diintipnya pemandangan luar dari kaca jendelanya. Di pikirannya, “betapa enaknya melarikan diri”. Dia termenung pasrah, menunggu kedatangan hujan. Waktu berlalu. Diambilnya tas ransel yang ada di atas meja, dikenakannya jaket, dipakainya sepatu. Dia keluar. Di pikirannya hanya, “betapa enaknya melarikan diri dari lingkaran setan”.

Kakinya membawanya ke stasiun kereta. Tanpa tau tujuan, dia mengambil rute kereta terjauh. Sambil menunggu kereta dan memandangi rel, tiba-tiba dia terpikir, “bagaimana rasanya ditabrak kereta? Apakah tubuhku akan hancur berantakan? Bagaimana reaksi mereka mendengar kabar itu?”. Suatu pikiran yang tiba-tiba datang dan mengambil alih imajinasinya. Hingga kereta datang, dia berpikir, “bagaimana rasanya terjebak di bawah sana, diantara rel dan kereta?”.

Di dalam kereta ia duduk termenung, menikmati gerimis yang semakin deras. Di sekitarnya dipandanginya orang-orang yang sibuk dengan urusannya. Karyawan kantoran, guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, anak sekolah, semuanya sedang berjalan di atas rel kehidupan. Di pikirannya hanya ada, “betapa enaknya keluar dari lingkaran orbit, betapa enaknya melarikan diri. Mengapa aku harus terus menjalani semua cerita ini? Mengapa aku harus menjadi diriku yang mereka kenal? Siapa aku? Mengapa aku bertanya siapa aku? Mengapa aku harus bertahan di jalan ini? Mengapa?”

Kereta sampai di sebuah tempat yang asing. Pemandangan hijau di luar jendela berbeda sekali dengan gedung-gedung raksasa yang sebelumnya ia lihat. Pemandangan itu menenangkannya. Ia keluar dari kereta, berjalan menyusuri jalan tanpa tau tujuan, menghirup udara yang asing, memandangi pemandangan yang asing, tapi langit yang familiar. Sepanjang jalan tidak ditemukannya keberadaan makhluk sejenisnya, hanya suara burung bersahut-sahutan dan bayangan mereka yang terbang di atasnya. Dia hanya terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Dari apa ia melarikan diri? Dari situasi? Dari orang lain? Dari dirinya sendiri? Tapi ia punya karir yang bagus dan teman yang menyenangkan. Dari apa ia melarikan diri?

Setitik air keluar dari matanya. Dikiranya hujan turun. Tapi tidak. Itu adalah air matanya sendiri. Dia masih terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Tapi dari apa dia melarikan diri?

Waktu berlalu. Malam bersiap menyelimuti bumi. Ia kembali ke stasiun kereta, pulang ke tempatnya. Kali ini, pikirannya lelah. Ia duduk tanpa memikirkan apapun selain, “mau kemana aku kali ini? Pulang? Pulang”. Kereta sampai. Stasiun malam ini penuh dengan orang-orang yang lelah setelah bekerja seharian dan rindu rumah. Ia berjalan melewati wajah-wajah kusam penuh keringat menuju tempatnya. Dia tau dia akan pulang.

Dibukanya pintu di depannya, masuk, kemudian ditutupnya lagi pintu di belakangnya. Dibantingnya tas di atas meja setelah melepas sepatu, dia duduk disitu, di sofa itu, termenung. Tiba-tiba gerimis yang semakin deras mengeluarkan petir, hujan kemudian turun deras sekali beserta petir. Air mata keluar dari matanya dengan emosi yang besar sekali, air mata yang deras sekali dan tiba-tiba. Ia menangis terisak, terisak sambil berusaha menutupi isakannya. Di meja dapur sana dilihatnya pisau dapur. Kemudian tangisannya bertambah deras, isakannya semakin tak bisa ia kontrol. Diliriknya lagi pisau itu, kemudian ia menangis lagi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan, ditambah dengan kebimbangan. Ia tau ia bisa mengakhiri hidupnya dengan pisau itu. Tapi ia kemudian terisak lagi. “tak akan ada yang peduli. Aku mati ataupun tidak, tak akan ada yang peduli”. Dia menangis, terus, hingga air matanya kering, hingga ia lelah dan membaringkan diri di atas kasur. Hari ini tanpa memasukkan apapun ke dalam mulutnya, makanan ataupun minuman, ia tertidur.


Pagi ini ia terbangun lagi, dengan pikiran yang benar-benar kosong, seperti perutnya. Ia lapar. Ia berusaha bangkit untuk mencari apa yang bisa dimakannya. Ditemukannya roti, kemudian dimakannya pelan-pelan, sambil termenung tanpa memikirkan apapun selain ingin menghabiskan roti yang ada di tangannya. Kegelisahan kemarin sudah hilang, seperti hujan deras yang telah berhenti dan menyisakan bau tanah terkena air dan suara titik-titik air yang jatuh dari daun atau atap. Dingin, semuanya masih dingin. Telepon selularnya masih mati dan tak disentuhnya. Waktu seakan-akan berhenti.

Setelah urusan perutnya selesai, ia menatap botol-botol obat di atas meja. Kenapa harus ia minum obat-obat itu? Mengapa ia harus memaksa dirinya tersenyum ketika ia tidak ingin? Mengapa ia harus menipu dirinya sendiri dengan obat-obatan itu? Ditinggalkannya obat-obat yang sudah beberapa hari tidak tersentuh itu, kemudian dibaringkannya tubuhnya di atas kasur, tubuhnya yang penuh luka. Ditatapnya atap kamar itu hingga waktu yang berlalu seakan berhenti. Hari ini, gorden jendelanya tidak ia buka sedikitpun.


Ia terbangun lagi, diliriknya jam di atas meja. Kemudian ia bangkit. Setelah diam sebentar, ia mengambil telepon selularnya untuk dinyalakan. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk dilihatnya. Kemudian setelah ia meneguk sedikit air putih, dikenakannya pakaian yang biasa ia kenakan untuk pergi kerja, diambilnya tas dan dipakainya sepatu, ia pergi dari kamar itu, menuju ke tempat ia harus pergi, masuk kembali ke dalam lingkaran.

Di sana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Ya, dia bilang dia sakit sampai-sampai tidak sanggup ke dokter dan berbaring saja di atas tempat tidur sedangkan baterai handphonenya yang sudah habis dibiarkannya. Semua yang mendengar memaklumi ceritanya. Dia tersenyum lagi, mengatakan pada mereka agar tidak khawatir karena ia sudah baik-baik saja.

Sesampainya ia di rumah, ia mandi, membasuh dirinya yang lelah, lelah berbicara, lelah tersenyum. Setelah itu dibaringkannya lagi tubuhnya, dipejamkan matanya, dirasainya tubuhnya yang lelah, dihirupnya udara kemudian dikeluarkannya lagi dengan berat sekali. Hari ini, perjuangannya telah selesai. Besok, neraka baru harus dilewatinya lagi. Besok, topeng harus dikenakannya lagi, energi untuk bersandiwara dan berbohong harus dikeluarkannya lagi. Karena itu, karena itulah, ia harus cepat tidur.


Pagi-pagi berikutnya ia semakin bersemangat untuk berjuang melawan tantangan hidup di depannya. Pikiran bahwa hari ini harus menang lagi, harus sukses lagi mendominasi dirinya. Kali ini, di tempat kerjanya, dikritiknya semua kesalahan rekan-rekannya. Dia kemudian heran, heran sekali, mengapa orang-orang di sekitarnya bodoh sekali. Teman-teman dekatnya mendapatkan cukup darinya, kata-kata, “kalian kok bodoh?” sudah cukup membuat teman-teman dekatnya menjaga jarak. Sekali lagi, semua ini membuatnya berpikir bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa orang lain, tanpa orang-orang bodoh itu.

Kejadian-kejadian kecil di tempat umum, seperti pelayan yang salah ucap, atau orang yang tak sengaja menyenggol tasnya ketika berjalan di tempat yang padat cukup untuk membuat darahnya mendidih. Dia bisa berteriak memarahi pelayan di depan umum, atau mengajak orang yang menyenggol tasnya berkelahi. Internet yang koneksinya lambat bisa membuatnya membanting handphonenya dan berteriak kesal. Atau tutup botol yang jatuh dari tangannya, serpihan roti yang jatuh ketika ia sedang makan roti bisa membuat moodnya berantakan. Segala sesuatu di dunia ini tidak benar. Semuanya tidak berjalan dengan benar.

Telepon selular yang ia matikan kali ini bukanlah dimatikan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Ia mematikannya karena ia tidak mau diganggu oleh orang-orang bodoh itu. Ia ingin tenang menikmati hidupnya ini. Ia punya hak menikmati hidupnya dengan tenang, mengapa mereka semua harus menganggu ketenangan hidupnya?

Di kedamaian hidupnya hari ini, di tengah-tengah malam, ketika tak ada apapun yang bisa mengganggunya, ia menuliskan segala rencananya dengan detail sekali. Rencana-rencana dalam mencapai segala mimpinya. Segala sesuatu diaturnya dengan rapih dan benar, ditatanya setiap gol dan waktu-waktu batasannya. Malam-malam tanpa tidur dilaluinya untuk menulis, dan mengeluarkan setiap ide kreatifnya untuk dijadikan nyata.


Hari-hari panjang tanpa tidur berakhir dengan kesadaran yang datang kembali meninju mukanya. “Tidak ada siapapun yang menyukaimu.” Kejadian-kejadian kecil membuatnya sadar bahwa dia masih membutuhkan bantuan orang lain, rekan-rekannya. Ia merasa bersalah namun kesal karena perasaan bersalahnya. Hari ini dia benci sekali dengan dirinya sendiri. Di depan cermin, ditinjunya bayangan wajahnya hingga tangannya gemetaran mengeluarkan darah.

Dia bingung dengan apa yang sebaiknya dia lakukan, apa seharusnya yang ia kerjakan hari ini. Apa yang harus ia capai? Semua di depannya kelihatan gelap. Semua yang ia kerjakan tidak ada gunanya. Mengapa ia harus terus melanjutkannya?

Sore ini, ditelponnya nomor-nomor orang yang ada di kontak handphonenya. Kemudian ditutupnya sebelum orang di seberangnya bahkan mengatakan apapun. Dibantingnya telepon selular itu. Kemudian dia pergi, menuju toko bahan-bahan kimia untuk membeli beberapa alat dan bahan yang ia butuhkan. Setelah itu, dicarinya hotel, check in, dan malam ini diraciknya bahan-bahan itu sebelum ia siap menyuntikannya ke dalam pembuluh darahnya.

Malam ini, dengan perasaan dendam pada dirinya sendiri, dibunuhnya ia.

Sebelum itu, sepercik kebimbangan mendatanginya, “apakah di dunia selanjutnya nanti aku akan menderita lagi?”. Benar, apakah di dunia yang menunggunya di seberang sana setelah kematiannya, akan didapatinya neraka baru? Apakah takdirnya telah menentukan bahwa selamanya ia harus berada di neraka?

Malam ini ia tertidur tanpa terbangun lagi. Apakah yang akan ia hadapi di dunia sana?

Jumat, 29 Juni 2018

'Ignorance is Bliss'

Ada banyak hal yang tidak perlu kita ketahui di luar sana. Akhir-akhir ini itu lagi yang kupikirkan.

Ignorance is bliss, katanya. Itu adalah kutipan orang pengecut. Aku setuju bahwa dalam banyak hal lebih baik kebenaran atau kenyataan tersimpan saja rapat-rapat tanpa harus kita buka. Jika teman dekat kita yang hubungannya baik-baik saja dengan kita ternyata punya pandangan buruk tentang kita yang dia bicarakan dengan orang lain, apakah kita perlu tau? Lalu setelah kita tau, apakah kita akan bisa mempertahankan hubungan seperti biasa, atau apakah kita akan menjauhi dia? Canggung sekali jadinya mungkin.

Siapa yang tidak membicarakan kekurangan orang di belakang orang itu? Aku pikir hampir semua orang melakukan itu. Kalaupun beberapa dari manusia tidak melakukan hal itu, di kepalanya pasti ada beberapa pikiran buruk tentang orang lain. Manusia bukan malaikat. Orang yang memperlakukan manusia lain seperti manusia itu benar-benar tidak punya kekurangan, seakan-akan titisan malaikat, berarti tidak memperlakukannya secara manusiawi. Kekurangan manusialah justru yang membuat manusia punya kecenderungan untuk menghamba karena menganggap bahwa dirinya penuh kekurangan. Jika makhluk berakal seperti manusia tidak punya kekurangan, manusia pasti jatuh ke dalam kesombongan. Kecuali dia tidak berakal seperti layaknya manusia, tetapi malah seperti malaikat yang tidak diberikan akal seperti manusia.

Sekali lagi, siapa yang tidak mempunyai pikiran buruk tentang temannya sendiri? Manusia itu rentan terluka. Lukanya akan membuatnya membangun sebuah sistem pertahanan. Salah satunya adalah menganggap orang lain sebagai penyebab kesakitannya. Jika tidak begitu, manusia akan tenggelam mengutuki dirinya sendiri. Itu sebelum takdir Tuhan ikhlas diterimanya. Kita semua menyimpan pikiran buruk tentang orang lain, entah kita timbun pikiran itu (berusaha kita enyahkan) atau membiarkannya apa adanya di situ. Kita semua pernah terpeleset jatuh. Kalau tidak, Tuhan tak akan memerintahkan kita untuk membaca dan belajar.

Permasalahannya adalah apakah kita perlu mengetahui semua pikiran orang tentang kita? Ketika kita berdiri di depan mereka, apakah kita perlu menyadari bahwa mereka menganggap kita ini dan itu? Pikiran-pikiran itu akan membawa manusia menjadi tidak berdaya dan menghalanginya berdiri dengan percaya diri. Kenapa manusia seperti itu? Kita mungkin memang diciptakan dengan sistem pertahanan seperti itu karena kita membutuhkannya. Tapi itulah kenapa manusia tidak diberikan kepekaan berlebihan dalam membaca air muka orang lain. Jika iya, bayangkan saja.

Karena itu kita tidak perlu tau. Kita perlu menganggap itu semua tidak ada. Itu semua tidak ada, karena mereka selalu tersenyum di depan kita, mengatakan hal-hal baik. Mengapa kita perlu mengada-ada atau membayangkan sesuatu yang tidak ada buktinya? Sama seperti agnostik yang tidak perduli apakah Tuhan itu ada atau tidak, karena tidak ada bukti bahwa Tuhan itu ada. Memang bukan berarti Tuhan tidak ada, tapi mengapa perlu mengada-adakan sesuatu yang memang tidak ada buktinya?

Dalam hal lain, dalam hal kebenaran lain, apakah kita perlu membuka semuanya? Beberapa memang perlu sekali kita buka. Tapi banyak hal telah mengajarkan kita bahwa tidak semuanya perlu. Tidak semua kenyataan perlu kita buka, perlu kita ungkap. Kita lebih perlu mempertahankan emosi positif kita agar aktivitas kita sehari-hari berjalan normal. Karena sekali kita tau kenyataan yang tidak menyenangkan, seterusnya kita akan terbebani oleh pikiran dan perasaan yang mendapatkan dampak dari itu. Manusia memang seperti itu. Manusia bukan makhluk super, yang bisa begitu saja mengenyahkan pikiran buruk. Kita perlu pendorong untuk tetap berpikir baik. Bagi kita yang percaya Tuhan, Tuhanlah pendorongnya, janji-janji Tuhanlah pendorong kita.

Ignorance is bliss mungkin memang pernyataan yang harus kita setujui. Kenyataannya memang begitu. Mereka yang tidak tau, bisa hidup senang-senang saja. Sedangkan mereka yang tau, terutama kenyataan tidak menyenangkan, akan membawa pengetahuan itu dalam setiap langkahnya, dipengaruhi oleh pengetahuan itu, sadar ataupun tidak. Mereka yang tau tentang neraka, akan dipengaruhi oleh pikiran itu sepanjang perjalanannya, begitu pula mereka yang tau keberadaan surga. Mereka yang yakin pada keberadaan Tuhan pun akan dipengaruhi oleh pengetahuan itu sepanjang hidupnya. Mungkin dengan alasan itu jugalah Tuhan mengharuskan setiap manusia mengetahui keberadaanNya (bukan hanya agar Ia disembah). Mereka yang yakin akan keberadaan Tuhan berhati-hati dalam setiap langkahnya, karena mereka tau Tuhan menyaksikan. Mereka yang tidak yakin, mungkin punya alasan moral lain dalam berhati-hati, yang pastinya lebih punya kekurangan dibandingkan alasan keyakinan pada Tuhan.  

Jadi, apakah kita perlu tau? Ada beberapa hal yang memang perlu kita tau, karena alasan-alasan praktis tertentu. Tapi beberapa hal lain tidak perlu kita tau. Mengapa kita memilih melewati batas itu? Batas yang secara alamiah sudah dipetakan untuk kita dalam rangkaian blue print di dalam setiap sel kita. Mengapa kita menyimpang? Mengapa kita memilih jalan lain? Petualangan spiritual, petualangan intelektual, mungkin merupakan alasan-alasan yang canggih sekali di telinga, alasan-alasan yang dalam beberapa sudut pandang bagus sekali. Seandainya kita agak super, seandainya kita pintar, kuat. Seandainya kita punya cara untuk mengambil alih sistem dalam tubuh kita, atau rela menghayati semua dampak yang dihasilkan dari pengetahuan, berpetualang untuk mencaritau segala sesuatu bukan ide buruk kedengarannya.

Sekali lagi, ‘seandainya’ dan ‘jika’.

(Pengetahuan adalah beban yang kita bawa sepanjang perjalanan. Beban ini bisa menjadi bekal bagi kita, bisa pula kita bagikan bagi mereka yang kekurangan. Namun beberapa perbekalan bukanlah barang-barang yang berguna di perjalanan, hanya memberatkan. Mengapa mesti kita bawa? Karena jika kita kuat, jika kita memang melatih diri menjadi kuat. Memang tidak ada salahnya.)


Minggu, 24 Juni 2018

Teman Terbaik KIRO


Kiro sudah tidak ada. Kemarin dia meninggal. Lega? Ya lega, tapi tidak juga. Ada sesuatu yang mengganjal sekali. Perasaan bahwa sejak ia kecil ia kubawa ke rumah. Aku jatuh cinta padanya. Padanya lah aku bilang pada diriku sendiri, ”aku jatuh cinta pada anak ini”. Dan akulah yang bertanggungjawab atas Kiro disini.

Tahun pertama ia lebaran, ia gemetaran mendengar bunyi kembang api. Tahun itu adalah tahun pertama rumah Po Sela baru selesai dibangun. Di lantai atas rumah Po Sela yang dtinggal penghuninya pulang kampung, aku membawa Kiro. Mandi di kamar mandi atas sambil Kiro kubawa menikmati pemandangan dan suara kembang api yang bisa terlihat dari beranda kamar mandi lantai atas. Aku ingat sekali momen-momen itu.

Beberapa tahun sebelumnya, ia sakit, tiga hari meringkuk tanpa mau makan. Kiro kuminta untuk dibawa ke klinik dokter hewan. Karena aku kuliah, Kiro pergi dengan Po Sela. Disana Kiro diinfus, diberi kapsul secara oral, kemudian dibawa pulang lagi setelah diberi resep obat dan segala perlengkapan makan yang dibutuhkan untuk merawatnya. Mungkin sebesar itulah ketika itu aku menyayangi Kiro. Ketika Kiro pulang dari klinik ia terus berbunyi saja memberikan tanda bahwa dia ketakutan.

Kiro sering sekali kubawa mandi atau tidur. Ketika aku tidur aku membawa Kiro ke kamar, meletakkannya di atas bangku, sedangkan aku tidur di atas kasur. Atau ketika aku mandi, Kiro kuletakkan di atas mesin cuci, sementara aku mandi. Tapi entah sejak kapan Kiro tidak lagi kubawa. Mungkin karena dia sudah dewasa, dia tidak lagi mau dibawa menemaniku mandi. Dia ketakutan. Ah, aku ingat, entah sejak kapan aku suka menghukumnya karena ia spraying dimana mana. Buatnya aku pasti sangat menakutkan. Seperti seorang ayah yang ketika kita kecil sangat menyayangi dan memanjakan kita, tapi ketika kita mulai remaja bersikap sangat tegas dan menakutkan. Entah sejak kapan Kiro takut sekali padaku.

Memikirkan semua kenangan itu, aku merasa ada yang mengganjal. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kiro sudah tidak ada, dan hari-hari berjalan seperti biasa. Kecuali, sepanjang hari aku memikirkan kenangan kami. Aku yakin akan bertemu dengannya lagi di surga, jika aku beruntung karena Tuhan mengizinkan. Tapi, apa boleh buat, apa yang Kiro dapatkan dariku tidaklah cukup. Aku menyesal karena bersikap kasar dan suka menghukumnya, sehingga ia menjadi sangat takut padaku. Aku juga memarahinya karena kekhawatirannya terhadap masuknya kucing-kucing lain untuk mengambil posisinya di rumah.

Tapi Kiro sudah tidak ada. Di tengah-tengah segala kekhawatiran tentang kehidupan, Kiro pergi meninggalkanku. Kupikir setidaknya di hari-hari terakhirnya dia tau bahwa aku selalu ada di sampingnya untuk merawatnya, bahwa aku tidak membuangnya. Bahwa aku ikut merasakan hawa neraka yang ia rasakan. Bahwa aku adalah teman terbaik dia di dunia.

Air mata mengalir lagi. Tapi kenapa air mata mengalir lebih banyak ketika kita sudah kehilangan?

Sabtu, 23 Juni 2018

neraka


Apa artinya hidup?

Dari dulu sampai sekarang, mungkin, tidak ada pertanyaan paling serius yang aku tanyakan selain itu.

Apakah aku akan mempertahankan napasku walaupun aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur?

Sudah sekitar sebulan, Kiro mengalami penyakit yang tidak aku ketahui apa. Aku berubah menjadi pengecut paling parah yang pernah aku kenal. Ternyata aku sepenakut ini.

Apakah Kiro harus kupertahankan meskipun dia akan cacat? Atau haruskah kubiarkan dia mati saja? Pertanyaan yang terakhir adalah pertanyaan yang paing takut aku utarakan bahkan pada diriku sendiri. Aku takut pada diriku yang pengecut. Aku benar-benar pengecut.

Untuk apa kita hidup? Kemarin, melihat kondisi Kiro yang sudah tidak mau makan dan tidak bergerak tapi masih bernapas, aku berbisik berkali-kali pada diriku sendiri, “jigoku da, jigoku da, jikogu da”. Ini neraka, ini adalah neraka. Hidup tanpa bisa apa-apa, tapi masih bernapas. Ternyata mati tidak semudah itu. Jika tubuh kita masih ingin hidup, mati tidaklah mudah. Sebaliknya orang yang kelihatannya sehat bisa jadi langsung mati karena serangan jantung mendadak. Apakah sebenarnya Kiro masih bisa dipertahankan, seandainya aku mencari suntikan dan memberinya makan lewat suntikan, memberinya cairan infus dan obat, apakah sebenarnya hidup Kiro bisa dipermudah? Kemungkinan-kemungkinan ini membuatku takut. Aku takut bahwa ternyata akulah yang membuatnya jadi semenderita ini.

Membayangkan dirinya disana, kedinginan. Apakah dia mengharapkanku datang dan sekedar menemaninya melewati hari-hari panjang di neraka?

Kiro, aku takut. Aku tidak bisa mengontrol rasa takutku. Aku benar-benar pengecut.

Bukan hanya rasa takut, perasaan senang, sedih, marah, semuanya, aku tidak bisa mengontrol semua emosiku. Aku adalah orang paling gila yang pernah aku kenal.

Hari ini rasa frustasiku menumpuk, lalu aku menangis, marah, dan ya, kebingungan soal hari ini apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku ingin lari.

Kamis, 17 Mei 2018

JIHAD


Aku dididik dan dibesarkan oleh seluruh keluargaku. Sebelum 5 tahun, mamahku sudah mengajariku membaca dan menghitung sampai aku benar-benar menguasai keduanya dan setiap hari kerjaku adalah mencari tulisan dan membacanya. Bapak mengajariku membaca al-Qur`an, mengaji, dan bahasa arab. Sepupu-sepupuku yang tinggal di dekat rumahku, saudara-saudaraku, dan bocah-bocah tetangga ikut mengaji dengan bapak, dan mereka memanggil bapakku dengan sebutan ‘bapak’, mengikuti bagaimana aku memanggilnya. Kakak perempuanku menggantikan bapak mengajar mengaji ketika dia pulang dari pesantren. Cara mengajarnya lebih menyenangkan daripada bapak, dan karena itu kami lebih menikmatinya. Meskipun tidak ada yang menggantikan kasih sayang dan ketegasan bapak. Kakak laki-laki pertamaku mengajar bahasa arab dan sejarah kebudayaan islam di madrasah depan rumahku. Ketika ia masih kuliah, sambil kuliah, dia disuruh mengajar dan ya, dia guruku di madrasah ibtidaiyah, hanya selama setahun. Selain itu aku dan dia diturunkan hobi membaca oleh bapak. Rak buku besar yang ada di rumah hanya dimiliki bapak dan kakak laki-laki pertamaku. Hanya kami bertiga yang bisa dikatakan kutu buku. Dan setiap dia berkegiatan di kampus dan organisasi, aku masuk ke kamarnya, melihat-lihat bukunya, yang kebanyakan berisikan tentang politik, keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Kakak keduaku, guru di SMAku, guru komputer, guru yang dapat peringkat paling ganteng disana setiap tahun. Dia mengajari komputer, main game, dan baca komik.

Mereka semua pendidikku. Aku dibesarkan dengan menjadikan diriku sebagai murid mereka. Keluarga guru punya harga diri yang besar, semiskin apapun mereka. Aku tau itu, karna aku bagian dari itu. Aku mungkin tak pernah bercita-cita menjadi guru, tapi mengajarkan sesuatu pada orang lain bukan hal yang tidak menyenangkan. Apalagi melihat mereka yang kita ajarkan sukses, kebahagiaannya  bukan main. Aku merasakannya ketika aku membantu kakak perempuanku mengajar privat. Adikku juga pernah mengajar privat dan bimbel. Lengkap sudah pengalaman mengajar keluarga kami. Sekarang, kakak laki-laki pertama menjadi dosen, kakak kedua berhenti mengajar dan bekerja di departemen pendidikan (karna sekarang tidak ada lagi mata pelajaran komputer) tapi dia punya pengalaman menjadi dosen juga. Kakak perempuanku membangun sebuah diniyah yang dibawahi oleh yayasan yang dibangun oleh bapak dan mengajarkan agama pada anak-anak disana, mamahku pun ikut mengajar disana.

Keluarga guru adalah keluarga yang terhormat. Idealisme harus dijaga, agama harus dijaga, bukan main-main. Aku dibesarkan di dalam keluarga yang seperti itu. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang telah mendidikku dengan segala macam cara, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Manusia memang tidak sempurna, apalagi aku. Tapi apa salahnya berusaha mendekati kesempurnaan?

Kemarin, setelah vertigoku kambuh, dan parah. Aku berusaha berjuang sendiri mengatasi segala pikiran-pikiranku yang berjalan seperti kaset rusak. Seharian kepalaku dipenuhi segala macam hal, seperti sebuah lagu diulang-ulang terus di kepala tanpa diinginkan. Segala macam hal, termasuk segala hal yang tidak menyenangkan. Tiba-tiba aku bangkit, menghadap Tuhan lagi, berjuang untuk makan dan bicara, mandi, dan menyiapkan segala macam hal untuk memperbaiki ketertinggalanku di kampus. Meskipun ketika aku lelah lagi, dan berbaring di tempat tidur, pikiran jelekku muncul lagi. Aku rasa aku akan memilih tetap berjuang.

Kalau aku memang ingin mati, maka aku harus cepat mati! Kalau tidak, maka aku harus segera memperbaiki kerusakan dalam hidupku. Aku tidak boleh berhenti berjuang. Tuhan membantuku berjuang, dan masih mengizinkanku untuk menyadari kesalahanku.

Aku tidak ingin membuat siapapun kecewa. Aku tidak ingin Tuhan melihatku sebagai manusia yang tanpa prestasi dan perjuangan. Aku tidak ingin menyakiti diri sendiri, menyakiti tubuh tanpa cacat yang Tuhan berikan ini. Aku memutuskan untuk tetap berjuang. Meskipun di depan nanti aku akan tersandung batu dan jatuh, atau terlalu bersemangat hingga tidak melihat lubang di depan mata lalu jatuh lagi ke dalamnya. Aku memilih untuk tetap hidup dan memperjuangkan sesuatu. Entah apa.

Hari ini, di hari pertama puasa aku membulatkan tekat untuk berjihad lagi. Aku akan berjihad melawan segala macam penyakit. Hari ini aku mengumpulkan kekuatan dan energi untuk berangkat kuliah kunjungan, ke salemba UI, museum kedokteran disana. Seakan aku yang kemarin cuma mimpi, aku merasa malu pernah berpikir ingin mati dan merasa bebanku berat sekali. Kenapa berlebihan sekali aku berpikir begitu? Yah, mungkin beginilah siklusnya. Ketika aku depresi, aku akan jijik dengan pikiran positifku, lalu sebaliknya. Aku hanya tinggal menikmati siklusnya. Menikmati? Aku harus berjuang melawannya. Entahlah. Yang aku tau, aku memutuskan untuk hidup dan tetap berjuang. Kuputuskan, inilah mukjizat yang tiba-tiba datang ke kepalaku.

Note: Handphoneku mati total, dan aku tidak punya keinginan untuk membeli handphone baru. Tapi kebutuhan manusia jaman sekarang terhadap handphone tidak main-main, aku tidak bisa mengerjakan tugas apapun tanpa itu, dan tidak bisa berkomunikasi apapun dengan rekan satu jurusan. Kakak perempuanku membelikanku handphone sesuka dia. Ini kali pertama aku dibelikan handphone oleh orang lain, dan tanpa aku pilih-pilih, sama seperti laptop yang sudah berumur 8 tahun ini aku dapatkan. Aku merasa berhutang, dan dipaksa untuk berjuang untuk membayar segala hutang-hutangku, dalam sudut pandang yang positif.