Senin, 30 Juli 2018

Dalam Penantian

Karena pada saatnya nanti kita semua akan dipertemukan lagi dengan orang-orang yang kita cintai di dunia, di suatu tempat dimana kesedihan dan kemarahan tidak dikenal, di tempat dimana kepuasan dari pencarian kita tidak berhenti. Tidak dengan rupa dan keadaan yang sama dengan ketika di dunia, tapi dengan keadaan dan rupa yang ideal, dengannya kepuasan kita terpenuhi tanpa melebihi batas.

Kita dalam penantian, menanti jadwal keberangkatan masing-masing. Sambil menunggu, kita menghabiskan waktu dalam permainan, atau dengan tekun mengumpulkan bekal perjalanan. Dan ketika tiba keberangkatan mereka, kita pun jadi ingin segera berangkat juga, kesadaran kita menjadi semakin peka. Kita jadi semakin menghitung waktu dalam penantian kita, untuk kemudian tersenyum ketika utusan datang memberikan kabar bahwa jadwal keberangkatan kita sudah tiba.

KEHILANGAN

Tiba-tiba kepala sesak dengan memori. Suatu kejadian bisa mendesak semua memori yang berhubungan dengannya keluar, menyesaki kepala. Tiba-tiba rasa sesal membesar, setiap kali kita kehilangan. Ternyata kepergian dan kehilangan merupakan perayaan untuk mengingat nilai mereka yang pergi itu, betapa berarti keberadaan mereka dalam kehidupan. Tanpa itu, kita lupa.

Namun, betapa lega saya, kelegaan yang luar biasa, ikut menemani rasa sesal. Seperti seorang kawan yang menepuk punggung kawannya yang bersedih. Saya lega abang saya, Muhammad Kamal Basya telah dibebaskan dari dunia. Saya ingat sekali pernah membaca tulisan di blognya yang menceritakan curhatannya kepada Tuhan tentang betapa lelahnya dia dengan kehidupan. Setelah itu saya selalu merasa bahwa abang saya itu selalu memikirkan tentang kematian, bersiap siap dengan bekal.

"mau dibawa kemana idealismenya?" adalah pertanyaan paling menusuk saya ketika saya pernah bercerita masalah kecurangan yang saya ingin lakukan ketika ujian akhir SMA. Abang adalah orang yang jujur, dengan dirinya sendiri dan orang lain. Dan juga senang berbagi dan selalu mau membahagiakan keluarga.

Yah, kita selalu menghargai dua kali lipat keberadaan seseorang setelah kehilangan. Kematian adalah perayaan untuk menghargai kebaikan orang yang mati.

Saya bangga beliau adalah abang saya. Dan saya kagum dengan cara berpikir abang.

dalam kenangan kepergian abang Kamal, 28 Juli 2018, 9 tahun setelah bapak pergi, 6 Maret 2009.

Rabu, 18 Juli 2018

"We are one"


“Pasangan suami istri yang sudah lama menikah tidak lagi duduk berhadap hadapan. Mereka duduk bersamping sampingan untuk melihat pemandangan yang sama.”

Aiba adalah satu-satunya anggota Arashi yang dekat dengan Nino. Mereka berdua selalu berada di dalam grup yang sama sejak mereka bergabung di dunia entertainment, sampai sekarang. Apa yang mereka lihat selalu pemandangan yang sama.

Setiap kali mereka diwawancarai dan tiba saatnya bicara tentang satu sama lain, dibandingkan komentar mereka untuk anggota Arashi yang lain, komentar mereka terhadap satu sama lain sedikit sekali. Seakan-akan Nino atau Aiba sama sekali tidak tertarik terhadap karakter satu sama lain sehingga tidak ada yang muncul di pikiran ketika nama satu sama lain disebutkan.

Tapi Nino tau banyak sekali tentang Aiba, dan juga sebaliknya. Tapi ketika Nino kesepian, Aiba lah yang dia datangi. Seakan Aiba adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Nino.

Katanya teman yang sering menghabiskan waktu bersama akan menghabiskan waktu bersama tanpa membicarakan apapun. Mungkin sudah terlalu banyak yang diketahui satu sama lain. Nino suatu hari hanya akan datang ke tempat Aiba untuk makan bersama sambil berbicara tentang hal-hal yang tidak penting, sekedar menghabiskan waktu bersama.

Mereka selalu duduk bersampingan, Aiba selalu di samping Nino, melihat pemandangan yang sama. Mereka membicarakan dunia, membicarakan orang lain, karna mereka sudah saling mengenal tanpa harus saling  membicarakan diri sendiri.

“Dia selalu bersama denganku”, itu kata-kata yang biasa diucapkan mereka ketika disuruh mengomentari satu sama lain. Sepertinya Aiba sudah seperti TV di rumah Nino yang sering digunakannya main game dan ketika ditanya tentang pendapatnya tentang TV dia bingung harus menjawab apa. Dia tak pernah melihat TV itu sebagai TV berkualitas dari merk tertentu yang punya kelebihan ini dan itu. TV itu sudah ada di rumahnya sejak dulu tanpa dia sadari dan digunakannya sehari-hari untuk nonton dan main game.

Dia harus mundur dan menghadapkan wajahnya ke arah Aiba dulu untuk dapat melihat Aiba secara keseluruhan dengan jelas. Aiba biasa ada di sampingnya, membicarakan dan melihat bersama apa yang ada di depan mereka. Seperti dua orang yang duduk bersampingan sedang berbicara tentang suatu hal, kemudian mereka berdua ditanya tentang pendapatnya terhadap satu sama lain. Tiba-tiba mereka berhenti bicara, diam sejenak, lalu saling berpandangan, kemudian agak membuat jarak satu sama lain.

Kita mungkin baru bisa membicarakan orang lain jika orang itu berada di dalam jarak pandang kita. Jika orang itu terlalu jauh atau terlalu dekat, dia ada di luar jarak pandang. Kita tak bisa melihatnya, dia terlalu jauh atau terlalu dekat. Seandainya Nino disuruh membuat lagu tentang Aiba, bisa jadi dia butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikannya karna butuh waktu untuk melihat Aiba dari jarak tertentu, atau mungkin lagu itu bisa jadi lagu paling simpel yang dibuat Nino tentang orang lain, yang kesannya dibuat tanpa berpikir.

Nino mungkin bisa bilang bahwa dia suka Ohno, atau mengagumi Jun, atau seandainya dia perempuan dia ingin memilih Sho sebagai pasangan, Aiba tidak pernah menjadi pilihan baginya. Nino mungkin tidak sadar atau sangat sadar tapi tidak pernah atau merasa tidak perlu mengakui di depan umum betapa Aiba adalah eksistensi yang penting dalam hidupnya. Orang lain hanya melihat mereka dengan biasa saja, mereka juga tidak mempertunjukkan kedekatan dengan sengaja. Seperti saudara kembar yang selalu menghabiskan waktu bersama, dan ketika mereka ditempatkan di sekolah yang sama, mereka akan berusaha menjaga jarak agar dapat membangun kehidupannya sendiri.

Tahun ini, Arashi membuat lagu unit, bukan lagi lagu solo. Aiba dan Nino bersatu untuk menyanyikan lagu yang sama. Sebuah lagu yang mungkin mereka berdua sadar betul betapa lagu itu menggambarkan hubungan persahabatan mereka. Meskipun pada awalnya tidak terlihat, pada akhirnya nanti orang luar akan menyadari kedekatan dua orang sahabat entah bagaimana.

"UB"

N: Dengar..

A: Hal-hal yang mudah jadi semakin tidak terlihat
Bagian seberang tirai terasa jauh bagiku

N: Apa yang sedang kau pikirkan?
Kau selalu bersikap segan
Selalu menjulurkan lehermu melihat sesuatu

A: Sebenernya aku tau
Kita berdua akhir-akhir ini
Meskipun berada dekat satu sama lain, kita tidak merasakan apapun

N: Kemanapun kita akan pergi, kita tidak bisa terpisahkan
Tapi kita pun terkadang ingin punya waktu sendiri

A&N: Pasti kita perlu berpisah
A: Kita telah melihat hal yang sama
N: Sudah dalam waktu yang lama

A&N: Kita hanya perlu berpisah
A: Perasaan kita satu sama lain
N: Sudah sama-sama kita tau dengan jelas

N: Hari ini pun juga tanpa terlalu dekat maupun berpisah
A: Di dalam ruangan ini

N: Kita hanya perlu berpisah
A: Aku ingin sendiri

N: Tapi jika dipikir-pikir
Kapanpun, kau mendekati semuanya dengan air yang panas

A: Tidak, kaulah dengan hati yang lapang
Memaklumkan kesalahan-kesalahan kecil orang lain

A&N: Kita sudah tidak akan pernah berpisah
N: Itu wajar
A: Sampai hari-hari sekarang pun

A&N: Kita tidak bisa berpisah
N: Kita yang saling berbeda ini
A: Kita bisa saling membantu

A: Hari ini pun juga tanpa terlalu dekat maupun berpisah
N: Kita saling bersampingan

A: Kita punya rencana untuk hidup saling berpisah
N: Meskipun membingungkan
Kita adalah satu

A&N: Ya, dan jangan pernah berpisah

A&N: Lihat, kita satu
Meskipun berpisah kita adalah satu
Ya, kita satu
Kita tau hal yang esensial adalah kita bersama
Hari ini pun dengan jarak yang terjaga,
Aku berdiri di sampingmu

A: di sampingmu

A&N: Kita berdiri bersampingan

 
 





#NinoAiba

Senin, 16 Juli 2018

Einsamkeit

Kehilangan membuatmu berubah. Seakan-akan setiap bagian dari dirimu hilang satu persatu menyertai kebekuan kenangan. Aku rindu dirimu yang dulu.

Kemarin pikiranmu tak ada henti-hentinya, mulutmu tak ada kering-keringnya, mengungkapkan semua hal yang ingin kau ungkapkan pada dunia. Mempersiapkan dirimu di atas panggung yang akan kau jejaki beberapa tahun lagi. Aku tersenyum mendengar semua pidato yang kau sampaikan. Ini dirimu yang kurindukan.

Sebuah dunia yang ada dalam pikiranmu, kau deskripsikan. Semua pertanyaan yang datang dari dirimu, kau jawab. Semuanya kau sempurnakan untuk membangun sebuah peradaban yang seharusnya dibangun. Kau korbankan kehidupanmu untuk dunia. Kau adalah kau yang kukagumi.

Sepanjang hari, tanpa henti. Di tengah-tengah semangatmu mencerna sesuatu yang baru, sesuatu yang selalu tidak pernah bisa kau sempurnakan kecuali sampai sebatas ide. Kau tidak bisa berhenti, seakan-akan kau lupa ada rem yang bisa kau injak di bawah sana. Hanya lelah yang dapat menghentikanmu. Entah karena alasan apa, malam itulah malam pertama kau bisa tidur. Ya, setelah berkutat dengan segala pikiranmu.

Aku tau alasannya. Pertemuanmu dengan dua orang teman dekatmu, membuatmu melihat dunia nyata lagi, membuatmu melihat dunia dari sudut berbeda lagi. Hari itu mengapa tidak kau ceritakan sesuatu yang ingin sekali kau ceritakan pada sebanyak mungkin orang? Aku tau bahwa kau takut, kau takut tak ada yang mampu menerima dirimu.

Hari ini aku melihatmu kelelahan. Setiap kali kelelahan, kau memaksa dirimu semakin lelah, agar tak ada yang mampu menghentikan kejatuhanmu nanti, termasuk dirimu sendiri.

Hari ini kau menyerah lagi. Hari ini setan itu datang lagi ke dalam pikiranmu. Hari ini kau berpikir ingin melarikan diri lagi dari segala kesia-siaan yang kau lakukan. Hari ini kau menyadari lagi keterbatasanmu. Kau tau kau tidak mungkin sanggup menerjang badai di tengah samudra yang dingin, sekedar goyangan ombak saja pun tak mampu membuatmu menahan diri dari rasa mual. Apa penyebabnya?

Aku ingin tau apa penyebabnya. Tapi aku tak tau.

Aku rindu dirimu yang kemarin.

Aku tau kau tak pernah benar-benar ingin mati. Setiap kali keputusasaan datang kau dengan penuh harapan mencari deskripsi yang tepat menggambarkan apa yang kau rasakan. Tanpa henti, hingga menemukan mereka yang dapat menggambarkan perjuanganmu bernapas di tengah-tengah kabut yang membatasi pandangan matamu.

Kau mencari, karna kau ingin merasakan bahwa kau tidak sendirian. Di atas bumi ini ada orang-orang yang memahami apa yang kau rasakan. Setelah kau lega menangis, kau merebahkan dirimu dengan kepuasan yang tak kau sadari. Kau tak pernah sendirian.

Aku tau apa yang kau cari. Kau sendirian selama ini di tengah keramaian. Dan yang kau cari adalah orang yang membuatmu merasa bahwa kau tidak sendirian sebagai orang yang sendirian di dunia ramai.

Dan, apa lagi yang kau cari?

Kau sendiri, tapi kau tidak sendirian.

Tapi kau ingin ada orang yang menemukanmu di bawah sumur ini. 




Senin, 09 Juli 2018

Di dalam Jeruji

Belakangan Nino aktif main film dan serial TV lagi. Nino muncul lagi. Akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu untuk nonton Nino lagi.

Tersebar kabar bahwa Nino akan menikah. Meskipun itu cuma gosip, aku percaya bahwa Nino sekarang ini punya pacar. Aku tau itu bukan urusanku. Dan aku tidak ingin mencampuradukkan urusan pribadi dia dengan karir dia di TV. Aku hanya ingat kata-kata dia. Dia bilang dia tidak mau menikah dan mau memutus riwayat keluarga Ninomiya sampai di dia saja. Aku tau Nino masih muda ketika mengatakan itu. Dan aku juga tau, kalau Nino punya hubungan dengan perempuan, perempuan itu pasti berharap dinikahi. Nino pasti tau. Aku hanya benci Nino mengatakan sesuatu seenaknya.

Mungkin Nino dan kita semua tidak sadar bahwa kalimat-kalimat yang pernah kita ucapkan bisa sangat mempengaruhi orang lain. Padahal kita sendiri tidak ingat pernah mengucapkan itu.

Nino berhenti menulis game nikki, pasti dengan alasan semacam itu. Atau sebenarnya Nino mulai sibuk dengan urusan pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain.

Di variety show Jepang, mereka sering membicarakan image. Semacam saya tidak bisa melihat artis A menikah. Dia bukan tipe orang yang cocok menikah. Image? Image yang mereka bangun membuat pilihan mereka dibatasi. Atau menikah ternyata punya image sendiri. Suami yang bekerja, istri yang mengasuh anak, dsb. Ketika image itu menyimpang, berarti bukan ‘pernikahan’ lagi sebutannya, entah apa.

Berdasarkan itu, Nino tidak punya image sebagai seorang suami. Tapi Nino pernah bilang seiring bertambahnya umur, orang akan beradaptasi dengan sendirinya. Aku percaya Nino yang pernah bilang begitu adalah orang yang mampu beradaptasi dan merusak imagenya sendiri. Meskipun dia sendiri bilang dia tidak mau ada orang mengatur hidupnya dan kalaupun harus menikah, dia mau menikah dengan orang yang membiarkan dia melakukan apa yang dia mau. Apakah Nino akan berubah?

Kalau saja Nino suatu saat menikah, aku tidak tau perubahan apa yang akan terjadi pada pikiranku. Pikiranku yang sudah cukup dipengaruhi pemikiran Nino dan kata-katanya. Aku merasa Nino berbohong, mengkhianati kata-katanya sendiri atau dirinya di masa muda. Mungkin Nino yang tadinya kulihat berwarna hijau berubah menjadi kuning. Nino yang kukenal adalah Nino yang independen dan bebas melakukan apa pun yang dia mau. Nino yang tidak perduli tentang nama baik dan malah melemparkan komentar sarkas tentang tetek bengek itu. Nino yang nyaman melakukan apapun di dalam kandangnya, yang bangga dengan dirinya sendiri. Pernikahan akan mengubah Nino. Atau Nino akan mengubah image pernikahan.

Nino yang sadar akan ini pernah berkata bahwa setiap orang mengagumi bayangan. Pekerjaan idol seperti dia adalah menjual mimpi.

Kita memberi label tertentu terhadap orang yang kita kagumi. Kemudian tanpa sadar kita membuatnya hidup di dalam imajinasi kita. Padahal dia pun hidup di dalam realitas, dimana dia terpengaruh orang lain. Meskipun begitu, sepertinya Nino yang tidak punya tujuan hidup yang jelas akan tetap berjalan mengikuti ke mana arah angin membawanya. Membiarkan dirinya dikagumi dan diberi label. Membatasinya dari menjadi manusia yang hidup di dalam realitas. Mematikan dirinya untuk terus bermain di dalam imajinasi para pengagumnya.

Sampai kapan Nino akan menjadi tawanan para pengagumnya? Atau perlukah kita menghancurkan jeruji untuk terbang menjadi apapun yang kita mau, tanpa dilabeli apapun oleh orang lain? Merusak ekspektasi dan membuktikan kebebasan yang kita miliki?

Tapi Nino, dan Arashi, bangga menjadi tawanan. Jika menjadi tawanan bisa membuat orang lain bahagia, dia pun akan bahagia. Itu lebih baik daripada terbang entah kemana tanpa siapapun mengenal kita dan mempunyai harapan terhadap kita, sendirian di atas sana tanpa tujuan jelas. Setidaknya di dalam jeruji yang hangat itu, setiap hari dia mendapat makanan meskipun setiap hari pula dia harus menghidupkan ekspektasi orang lain. Paradoks. Siapa yang tidak hidup dalam paradoks?

Tapi itu benar. Jika musim dingin tiba dan taman-taman yang biasa kita datangi untuk mengistirahatkan diri dalam kebebasan diselimuti salju, penjara jauh lebih hangat bagi kita.





Rabu, 04 Juli 2018

Omong Kosong Harapan

Berharap? Kita diajarkan untuk menenggak air kekecewaan setiap saat.

Mengapa kita harus berharap lagi?

Kita sudah belajar berharap bertahun-tahun,

Hanya untuk merasakan kekecewaan.

Manusia bukan makhluk yang bisa diharapkan,

Dunia bukan tempat kita menitipkan harapan.

Pada akhirnya kita akan diusir pergi, bahkan sebelum semuanya hilang.


Sudah dua hari Abu tidak pulang. Setelah Veli, Kiro, kemudian Abu.

Setelah sebelumnya kepalaku panas memikirkan untuk menyelamatkannya,

Semalaman kepalaku sibuk memikirkan banyak sekali hal.

Pada akhirnya kegelisahan mendatangiku tiba-tiba.

Pagi itu aku melarikan diri dalam ketidaksadaran.


Kita semua, manusia, seperti itu.

Melihat orang-orang dibantai nun jauh disana, anak-anak tanpa orangtua menangis kelaparan disana,

Sedang kita disini yang sibuk dengan urusan administrasi atau tetek bengek apapun,

Sambil mendengar berita, kita meneruskan sarapan, sambil kembali menghadapi kesibukan kita.


Aku, pagi itu, tidur hingga siang, bangun untuk kemudian pergi menghadapi kesibukanku.

Pagi itu, kulepas Abu, yang aku tau, aku melepasnya untuk mati.

Perasaanku berontak.

Mencoba untuk mencari alasan atas semua yang kulakukan, pikiranku menjelaskan semua kepada diriku sendiri.

Aku tak boleh menyalahkan diriku sendiri.

Apa alasanku menghentikan usaha untuk menyembuhkan Abu?

Abu bisa disembuhkan. Sembuh atau tidaknya dia adalah keputusanku.

Dan pagi itu, aku memutuskan, dia akan mati hari ini atau secepatnya.

Suntikan bekas obatnya kubiarkan saja di meja hingga seseorang membereskannya.

Pulang dari kampus, tidak sedikitpun aku bertanya tentang Abu,

Dan tidak pula ibuku mengajakku bicara tentang Abu ataupun menagih janjiku.

Ya, aku mengatakan, aku akan pergi ke klinik meminta Abu diinfus, aku bilang Abu bisa disembuhkan.

Sepertinya setiap malam, pikiranku jatuh ke dalam depresi sebelum tidur, hingga aku tidak bisa tidur.

Apapun yang kupikir bisa kulakukan tadinya, setiap malam selalu kuragukan.

Dan kemudian, aku melarikan diri dari semua itu.

Sudah ratusan kali aku melarikan diri.


Lalu, kemarin malam,

Mereka memencet tombol yang berbahaya sekali di otakku.

Mereka mulai lagi, membicarakan pernikahan, “Lepi kapan?” sambil tersenyum nakal bercanda. “kakak sudah siap nerima lamaran”, katanya. Mereka tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. Aku tidak bisa lagi masuk ke dalam dunia mereka. Malam itu, pintuku kututup rapat. Tidak akan kubiarkan mereka masuk lagi ke dalamnya. Dan aku bersumpah pada diriku sendiri, seumur hidup aku tidak akan pernah menikah. Dan semua itu berawal dari pertanyaan tadi malam, dan segala macam kekecewaan yang kutemui dari segala macam harapan optimisku di masa lalu.

Pertandanya adalah, malam itu aku memimpikan seseorang. Seseorang yang sangat optimis, yang membangunkan keoptimisan dan idealismeku di masa lalu. Kenapa di saat seperti ini aku memimpikannya? Aku mengartikannya seenakku, bahwa aku merindukan segala harapan dan prasangka baik dari diriku yang dulu. Sepertinya, aku tidak boleh bersumpah dan menutup pintu. Sepertinya…

Entahlah.

Aku benci manusia. Aku benci diriku sendiri. Hari ini aku berpikir ingin membunuh diriku lagi.

Senin, 02 Juli 2018

Surreal

Apa artinya semua ini?

Semakin tua umur kita, kita mulai berhenti bermimpi. Kita mulai menjadi robot, kita mulai tertidur dan merasa begitu cepatnya waktu berlalu. Kita menjadi sampah. Kita menjadi sampah yang Tuhan kasihani kemudian dimaafkan karena kelemahan dan kebodohannya.

Apa yang kucari?

Berjalan kesana kemari, menikmati pemandangan yang berganti-ganti, kemudian berbalik untuk berjalan lagi. Apakah emosi kebahagiaan yang hilang kemudian datang lagi adalah apa yang kita cari? Sekedar petualangan, untuk kemudian sampai di suatu tempat yang tidak kita ketahui. Atau, kita tak akan pernah sampai dimanapun.

Apa yang kurasakan?

Petualangan dalam merasakan berbagai macam hal. Seperti pabrik makanan selalu memberikan rasa baru bagi produknya. Menikmati setiap macam emosi yang datang, menghayati emosi yang nantinya akan datang lagi, dan lagi, dan  lagi. Atau menyimpannya hingga akhirnya meledak di suatu titik. Semakin tua umur kita, semakin banyak hal yang kita rasakan, apakah kita semakin pandai bereaksi secara emosional terhadap keadaan-keadaan yang berbeda? Atau sebaliknya, kita semakin kebas, kita hanya semakin terbiasa bereaksi, tanpa merasakan apapun lagi. Sudah terlalu banyak kita merasakan segala macam emosi.

Apa yang kupikirkan?

Berbagai buku kita lahap, berbagai cerita kita saksikan, berbagai macam teori dan perspektif kita jelajahi. Kita menumpuk semuanya lalu merapihkannya untuk membentuk bangunan pemikiran kita sendiri. Atau, kita hamparkan saja di seluruh ruangan penyimpanan, tergeletak begitu saja semua hal yang pernah kita baca dan saksikan, tanpa pernah menyimpulkan apapun.

Apa yang kuyakini?

Kita terbiasa berharap. Sadisnya, kita belajar mengetahui bahwa banyak sekali dari harapan kita tak masuk akal dan tak akan pernah terwujud. Tapi, waktu belum berhenti, mengapa kita berhenti berharap? Berharap bukanlah tentang menunggu suatu kejutan akan datang di masa depan, kejutan akan terkabulnya harapan kita. Berharap adalah tentang menghidupkan keyakinan, membohongi pikiran. Tanpa dibohongi, kenyataan terlalu absurd bagi mata kita.


Bagaimana aku tau bahwa aku masih berharap, sedangkan aku tak tau apa yang kurasakan saat ini. Segalanya semakin surreal. Bertumpuknya pengalaman membebani kita dengan pekerjaan pengaturan. Jika tidak, beginilah. Seni datang dari pikiran yang berantakan. Hidup ini adalah seni yang kita lukis sendiri.

Minggu, 01 Juli 2018

Unseen Story


Mereka mengenalnya sebagai orang yang cukup ceria. Orang yang suka melemparkan dan menikmati lelucon, yang hidup cukup santai, yang selalu tersenyum dan memberikan motivasi pada teman-temannya.


Suatu hari dia bangun lagi dari tidurnya di pagi hari dengan perasaan seakan-akan hujan akan turun deras. Diintipnya pemandangan luar dari kaca jendelanya. Di pikirannya, “betapa enaknya melarikan diri”. Dia termenung pasrah, menunggu kedatangan hujan. Waktu berlalu. Diambilnya tas ransel yang ada di atas meja, dikenakannya jaket, dipakainya sepatu. Dia keluar. Di pikirannya hanya, “betapa enaknya melarikan diri dari lingkaran setan”.

Kakinya membawanya ke stasiun kereta. Tanpa tau tujuan, dia mengambil rute kereta terjauh. Sambil menunggu kereta dan memandangi rel, tiba-tiba dia terpikir, “bagaimana rasanya ditabrak kereta? Apakah tubuhku akan hancur berantakan? Bagaimana reaksi mereka mendengar kabar itu?”. Suatu pikiran yang tiba-tiba datang dan mengambil alih imajinasinya. Hingga kereta datang, dia berpikir, “bagaimana rasanya terjebak di bawah sana, diantara rel dan kereta?”.

Di dalam kereta ia duduk termenung, menikmati gerimis yang semakin deras. Di sekitarnya dipandanginya orang-orang yang sibuk dengan urusannya. Karyawan kantoran, guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, anak sekolah, semuanya sedang berjalan di atas rel kehidupan. Di pikirannya hanya ada, “betapa enaknya keluar dari lingkaran orbit, betapa enaknya melarikan diri. Mengapa aku harus terus menjalani semua cerita ini? Mengapa aku harus menjadi diriku yang mereka kenal? Siapa aku? Mengapa aku bertanya siapa aku? Mengapa aku harus bertahan di jalan ini? Mengapa?”

Kereta sampai di sebuah tempat yang asing. Pemandangan hijau di luar jendela berbeda sekali dengan gedung-gedung raksasa yang sebelumnya ia lihat. Pemandangan itu menenangkannya. Ia keluar dari kereta, berjalan menyusuri jalan tanpa tau tujuan, menghirup udara yang asing, memandangi pemandangan yang asing, tapi langit yang familiar. Sepanjang jalan tidak ditemukannya keberadaan makhluk sejenisnya, hanya suara burung bersahut-sahutan dan bayangan mereka yang terbang di atasnya. Dia hanya terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Dari apa ia melarikan diri? Dari situasi? Dari orang lain? Dari dirinya sendiri? Tapi ia punya karir yang bagus dan teman yang menyenangkan. Dari apa ia melarikan diri?

Setitik air keluar dari matanya. Dikiranya hujan turun. Tapi tidak. Itu adalah air matanya sendiri. Dia masih terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Tapi dari apa dia melarikan diri?

Waktu berlalu. Malam bersiap menyelimuti bumi. Ia kembali ke stasiun kereta, pulang ke tempatnya. Kali ini, pikirannya lelah. Ia duduk tanpa memikirkan apapun selain, “mau kemana aku kali ini? Pulang? Pulang”. Kereta sampai. Stasiun malam ini penuh dengan orang-orang yang lelah setelah bekerja seharian dan rindu rumah. Ia berjalan melewati wajah-wajah kusam penuh keringat menuju tempatnya. Dia tau dia akan pulang.

Dibukanya pintu di depannya, masuk, kemudian ditutupnya lagi pintu di belakangnya. Dibantingnya tas di atas meja setelah melepas sepatu, dia duduk disitu, di sofa itu, termenung. Tiba-tiba gerimis yang semakin deras mengeluarkan petir, hujan kemudian turun deras sekali beserta petir. Air mata keluar dari matanya dengan emosi yang besar sekali, air mata yang deras sekali dan tiba-tiba. Ia menangis terisak, terisak sambil berusaha menutupi isakannya. Di meja dapur sana dilihatnya pisau dapur. Kemudian tangisannya bertambah deras, isakannya semakin tak bisa ia kontrol. Diliriknya lagi pisau itu, kemudian ia menangis lagi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan, ditambah dengan kebimbangan. Ia tau ia bisa mengakhiri hidupnya dengan pisau itu. Tapi ia kemudian terisak lagi. “tak akan ada yang peduli. Aku mati ataupun tidak, tak akan ada yang peduli”. Dia menangis, terus, hingga air matanya kering, hingga ia lelah dan membaringkan diri di atas kasur. Hari ini tanpa memasukkan apapun ke dalam mulutnya, makanan ataupun minuman, ia tertidur.


Pagi ini ia terbangun lagi, dengan pikiran yang benar-benar kosong, seperti perutnya. Ia lapar. Ia berusaha bangkit untuk mencari apa yang bisa dimakannya. Ditemukannya roti, kemudian dimakannya pelan-pelan, sambil termenung tanpa memikirkan apapun selain ingin menghabiskan roti yang ada di tangannya. Kegelisahan kemarin sudah hilang, seperti hujan deras yang telah berhenti dan menyisakan bau tanah terkena air dan suara titik-titik air yang jatuh dari daun atau atap. Dingin, semuanya masih dingin. Telepon selularnya masih mati dan tak disentuhnya. Waktu seakan-akan berhenti.

Setelah urusan perutnya selesai, ia menatap botol-botol obat di atas meja. Kenapa harus ia minum obat-obat itu? Mengapa ia harus memaksa dirinya tersenyum ketika ia tidak ingin? Mengapa ia harus menipu dirinya sendiri dengan obat-obatan itu? Ditinggalkannya obat-obat yang sudah beberapa hari tidak tersentuh itu, kemudian dibaringkannya tubuhnya di atas kasur, tubuhnya yang penuh luka. Ditatapnya atap kamar itu hingga waktu yang berlalu seakan berhenti. Hari ini, gorden jendelanya tidak ia buka sedikitpun.


Ia terbangun lagi, diliriknya jam di atas meja. Kemudian ia bangkit. Setelah diam sebentar, ia mengambil telepon selularnya untuk dinyalakan. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk dilihatnya. Kemudian setelah ia meneguk sedikit air putih, dikenakannya pakaian yang biasa ia kenakan untuk pergi kerja, diambilnya tas dan dipakainya sepatu, ia pergi dari kamar itu, menuju ke tempat ia harus pergi, masuk kembali ke dalam lingkaran.

Di sana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Ya, dia bilang dia sakit sampai-sampai tidak sanggup ke dokter dan berbaring saja di atas tempat tidur sedangkan baterai handphonenya yang sudah habis dibiarkannya. Semua yang mendengar memaklumi ceritanya. Dia tersenyum lagi, mengatakan pada mereka agar tidak khawatir karena ia sudah baik-baik saja.

Sesampainya ia di rumah, ia mandi, membasuh dirinya yang lelah, lelah berbicara, lelah tersenyum. Setelah itu dibaringkannya lagi tubuhnya, dipejamkan matanya, dirasainya tubuhnya yang lelah, dihirupnya udara kemudian dikeluarkannya lagi dengan berat sekali. Hari ini, perjuangannya telah selesai. Besok, neraka baru harus dilewatinya lagi. Besok, topeng harus dikenakannya lagi, energi untuk bersandiwara dan berbohong harus dikeluarkannya lagi. Karena itu, karena itulah, ia harus cepat tidur.


Pagi-pagi berikutnya ia semakin bersemangat untuk berjuang melawan tantangan hidup di depannya. Pikiran bahwa hari ini harus menang lagi, harus sukses lagi mendominasi dirinya. Kali ini, di tempat kerjanya, dikritiknya semua kesalahan rekan-rekannya. Dia kemudian heran, heran sekali, mengapa orang-orang di sekitarnya bodoh sekali. Teman-teman dekatnya mendapatkan cukup darinya, kata-kata, “kalian kok bodoh?” sudah cukup membuat teman-teman dekatnya menjaga jarak. Sekali lagi, semua ini membuatnya berpikir bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa orang lain, tanpa orang-orang bodoh itu.

Kejadian-kejadian kecil di tempat umum, seperti pelayan yang salah ucap, atau orang yang tak sengaja menyenggol tasnya ketika berjalan di tempat yang padat cukup untuk membuat darahnya mendidih. Dia bisa berteriak memarahi pelayan di depan umum, atau mengajak orang yang menyenggol tasnya berkelahi. Internet yang koneksinya lambat bisa membuatnya membanting handphonenya dan berteriak kesal. Atau tutup botol yang jatuh dari tangannya, serpihan roti yang jatuh ketika ia sedang makan roti bisa membuat moodnya berantakan. Segala sesuatu di dunia ini tidak benar. Semuanya tidak berjalan dengan benar.

Telepon selular yang ia matikan kali ini bukanlah dimatikan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Ia mematikannya karena ia tidak mau diganggu oleh orang-orang bodoh itu. Ia ingin tenang menikmati hidupnya ini. Ia punya hak menikmati hidupnya dengan tenang, mengapa mereka semua harus menganggu ketenangan hidupnya?

Di kedamaian hidupnya hari ini, di tengah-tengah malam, ketika tak ada apapun yang bisa mengganggunya, ia menuliskan segala rencananya dengan detail sekali. Rencana-rencana dalam mencapai segala mimpinya. Segala sesuatu diaturnya dengan rapih dan benar, ditatanya setiap gol dan waktu-waktu batasannya. Malam-malam tanpa tidur dilaluinya untuk menulis, dan mengeluarkan setiap ide kreatifnya untuk dijadikan nyata.


Hari-hari panjang tanpa tidur berakhir dengan kesadaran yang datang kembali meninju mukanya. “Tidak ada siapapun yang menyukaimu.” Kejadian-kejadian kecil membuatnya sadar bahwa dia masih membutuhkan bantuan orang lain, rekan-rekannya. Ia merasa bersalah namun kesal karena perasaan bersalahnya. Hari ini dia benci sekali dengan dirinya sendiri. Di depan cermin, ditinjunya bayangan wajahnya hingga tangannya gemetaran mengeluarkan darah.

Dia bingung dengan apa yang sebaiknya dia lakukan, apa seharusnya yang ia kerjakan hari ini. Apa yang harus ia capai? Semua di depannya kelihatan gelap. Semua yang ia kerjakan tidak ada gunanya. Mengapa ia harus terus melanjutkannya?

Sore ini, ditelponnya nomor-nomor orang yang ada di kontak handphonenya. Kemudian ditutupnya sebelum orang di seberangnya bahkan mengatakan apapun. Dibantingnya telepon selular itu. Kemudian dia pergi, menuju toko bahan-bahan kimia untuk membeli beberapa alat dan bahan yang ia butuhkan. Setelah itu, dicarinya hotel, check in, dan malam ini diraciknya bahan-bahan itu sebelum ia siap menyuntikannya ke dalam pembuluh darahnya.

Malam ini, dengan perasaan dendam pada dirinya sendiri, dibunuhnya ia.

Sebelum itu, sepercik kebimbangan mendatanginya, “apakah di dunia selanjutnya nanti aku akan menderita lagi?”. Benar, apakah di dunia yang menunggunya di seberang sana setelah kematiannya, akan didapatinya neraka baru? Apakah takdirnya telah menentukan bahwa selamanya ia harus berada di neraka?

Malam ini ia tertidur tanpa terbangun lagi. Apakah yang akan ia hadapi di dunia sana?