Kamis, 17 Mei 2018

JIHAD


Aku dididik dan dibesarkan oleh seluruh keluargaku. Sebelum 5 tahun, mamahku sudah mengajariku membaca dan menghitung sampai aku benar-benar menguasai keduanya dan setiap hari kerjaku adalah mencari tulisan dan membacanya. Bapak mengajariku membaca al-Qur`an, mengaji, dan bahasa arab. Sepupu-sepupuku yang tinggal di dekat rumahku, saudara-saudaraku, dan bocah-bocah tetangga ikut mengaji dengan bapak, dan mereka memanggil bapakku dengan sebutan ‘bapak’, mengikuti bagaimana aku memanggilnya. Kakak perempuanku menggantikan bapak mengajar mengaji ketika dia pulang dari pesantren. Cara mengajarnya lebih menyenangkan daripada bapak, dan karena itu kami lebih menikmatinya. Meskipun tidak ada yang menggantikan kasih sayang dan ketegasan bapak. Kakak laki-laki pertamaku mengajar bahasa arab dan sejarah kebudayaan islam di madrasah depan rumahku. Ketika ia masih kuliah, sambil kuliah, dia disuruh mengajar dan ya, dia guruku di madrasah ibtidaiyah, hanya selama setahun. Selain itu aku dan dia diturunkan hobi membaca oleh bapak. Rak buku besar yang ada di rumah hanya dimiliki bapak dan kakak laki-laki pertamaku. Hanya kami bertiga yang bisa dikatakan kutu buku. Dan setiap dia berkegiatan di kampus dan organisasi, aku masuk ke kamarnya, melihat-lihat bukunya, yang kebanyakan berisikan tentang politik, keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Kakak keduaku, guru di SMAku, guru komputer, guru yang dapat peringkat paling ganteng disana setiap tahun. Dia mengajari komputer, main game, dan baca komik.

Mereka semua pendidikku. Aku dibesarkan dengan menjadikan diriku sebagai murid mereka. Keluarga guru punya harga diri yang besar, semiskin apapun mereka. Aku tau itu, karna aku bagian dari itu. Aku mungkin tak pernah bercita-cita menjadi guru, tapi mengajarkan sesuatu pada orang lain bukan hal yang tidak menyenangkan. Apalagi melihat mereka yang kita ajarkan sukses, kebahagiaannya  bukan main. Aku merasakannya ketika aku membantu kakak perempuanku mengajar privat. Adikku juga pernah mengajar privat dan bimbel. Lengkap sudah pengalaman mengajar keluarga kami. Sekarang, kakak laki-laki pertama menjadi dosen, kakak kedua berhenti mengajar dan bekerja di departemen pendidikan (karna sekarang tidak ada lagi mata pelajaran komputer) tapi dia punya pengalaman menjadi dosen juga. Kakak perempuanku membangun sebuah diniyah yang dibawahi oleh yayasan yang dibangun oleh bapak dan mengajarkan agama pada anak-anak disana, mamahku pun ikut mengajar disana.

Keluarga guru adalah keluarga yang terhormat. Idealisme harus dijaga, agama harus dijaga, bukan main-main. Aku dibesarkan di dalam keluarga yang seperti itu. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang telah mendidikku dengan segala macam cara, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Manusia memang tidak sempurna, apalagi aku. Tapi apa salahnya berusaha mendekati kesempurnaan?

Kemarin, setelah vertigoku kambuh, dan parah. Aku berusaha berjuang sendiri mengatasi segala pikiran-pikiranku yang berjalan seperti kaset rusak. Seharian kepalaku dipenuhi segala macam hal, seperti sebuah lagu diulang-ulang terus di kepala tanpa diinginkan. Segala macam hal, termasuk segala hal yang tidak menyenangkan. Tiba-tiba aku bangkit, menghadap Tuhan lagi, berjuang untuk makan dan bicara, mandi, dan menyiapkan segala macam hal untuk memperbaiki ketertinggalanku di kampus. Meskipun ketika aku lelah lagi, dan berbaring di tempat tidur, pikiran jelekku muncul lagi. Aku rasa aku akan memilih tetap berjuang.

Kalau aku memang ingin mati, maka aku harus cepat mati! Kalau tidak, maka aku harus segera memperbaiki kerusakan dalam hidupku. Aku tidak boleh berhenti berjuang. Tuhan membantuku berjuang, dan masih mengizinkanku untuk menyadari kesalahanku.

Aku tidak ingin membuat siapapun kecewa. Aku tidak ingin Tuhan melihatku sebagai manusia yang tanpa prestasi dan perjuangan. Aku tidak ingin menyakiti diri sendiri, menyakiti tubuh tanpa cacat yang Tuhan berikan ini. Aku memutuskan untuk tetap berjuang. Meskipun di depan nanti aku akan tersandung batu dan jatuh, atau terlalu bersemangat hingga tidak melihat lubang di depan mata lalu jatuh lagi ke dalamnya. Aku memilih untuk tetap hidup dan memperjuangkan sesuatu. Entah apa.

Hari ini, di hari pertama puasa aku membulatkan tekat untuk berjihad lagi. Aku akan berjihad melawan segala macam penyakit. Hari ini aku mengumpulkan kekuatan dan energi untuk berangkat kuliah kunjungan, ke salemba UI, museum kedokteran disana. Seakan aku yang kemarin cuma mimpi, aku merasa malu pernah berpikir ingin mati dan merasa bebanku berat sekali. Kenapa berlebihan sekali aku berpikir begitu? Yah, mungkin beginilah siklusnya. Ketika aku depresi, aku akan jijik dengan pikiran positifku, lalu sebaliknya. Aku hanya tinggal menikmati siklusnya. Menikmati? Aku harus berjuang melawannya. Entahlah. Yang aku tau, aku memutuskan untuk hidup dan tetap berjuang. Kuputuskan, inilah mukjizat yang tiba-tiba datang ke kepalaku.

Note: Handphoneku mati total, dan aku tidak punya keinginan untuk membeli handphone baru. Tapi kebutuhan manusia jaman sekarang terhadap handphone tidak main-main, aku tidak bisa mengerjakan tugas apapun tanpa itu, dan tidak bisa berkomunikasi apapun dengan rekan satu jurusan. Kakak perempuanku membelikanku handphone sesuka dia. Ini kali pertama aku dibelikan handphone oleh orang lain, dan tanpa aku pilih-pilih, sama seperti laptop yang sudah berumur 8 tahun ini aku dapatkan. Aku merasa berhutang, dan dipaksa untuk berjuang untuk membayar segala hutang-hutangku, dalam sudut pandang yang positif.



Selasa, 15 Mei 2018

aku ingin Mati


Aku ingin mati. Seandainya saat ini di depanku ada sebuah pistol, akan kuambil, kuarahkan ke kepalaku, dan kutarik pelatuknya.

Obsesi. Mati sudah menjadi obsesi bagiku. Dalam keadaan depresi, setiap hari, setiap saat, sepanjang hari, yang aku pikirkan hanya bunuh diri. Kemarin aku melihat gedung tinggi di perjalanan. Aku terpikir loncat dari gedung, pasti sakit, sakitnya ketika sampai di tanah membuat shock dan kematian yang datang bukan hanya karna kerusakan pada kepala dan badan, tapi juga karna shock berat. Gedungnya harus tinggi, kalau tidak aku cuma akan sekarat. Sebelum aku sampai di tanah, harus kuiris dulu pergelangan tanganku, nadi yang ada di situ. Sebelum sampai di tanah aku harus pingsan kehabisan oksigen dulu sebelum aku mendapatkan shock benturan keras di kepala. Sepanjang perjalanan, itulah yang kupikirkan.

Hari ini aku berpikir bunuh diri dengan pistol jauh lebih baik. Aku takut menyakiti diriku. Aku bahkan tak tahan melihat katak dibedah di laboratorium. Aku tak ingin melihat diriku menderita kesakitan. Mati karna shock mungkin pilihan bagus. Obat tidur mungkin juga bagus, tapi sering kudengar obat tidur tidak efektif membunuh. Racun akan membuat kesakitan. Pistol. Jika kuarahkan ke tempat yang tepat, aku bisa mati seketika. Seandainya di depanku ada pistol.

Kemarin malam, aku menonton video di youtube. Hampir setiap saat aku menonton video youtube atau browsing tentang mati. Video itu menyuruhku membayangkan apa yang akan terjadi setelah aku mati. Keluargaku akan trauma berat, mungkin mereka akan depresi parah. Teman-teman dekatku akan menyalahkan diri sendiri. Semua orang membicarakanku. Kejelekanku mungkin juga akan dibicarakan orang. Bunuh diri hanya akan membuat orang lain ikut menderita.

Aku tau ini salah. Pikiran pikiranku ini salah. Seharusnya aku tidak begini. Sejak kecil aku selalu berpikir apakah orang-orang memikirkan hal yang sama denganku. Sekarang aku tau bahwa jawabannya adalah tidak. Mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan. Kejijikan yang aku rasakan pada dunia dan diriku sendiri, kejijikan abnormal yang sampai sekarang aku tak bisa menjelaskannya. Aku tidak tahan. Aku lelah dinaik turunkan seperti ini. Aku kehabisan akal, dengan cara apa lagi aku harus kelihatan normal.

Mungkin mati secara natural lebih baik. Mungkin aku harus melakukan sesuatu supaya aku kena serangan jantung. Aku melakukan pencarian di internet, hal apa saja yang memicu serangan jantung.

Inilah aku, setiap hari, sepanjang hari, saat ini. Dua tahun lalu aku masih menyimpan list rencanaku yang detail. Aku yakin aku bisa mencapai semuanya, ini semua cuma masalah waktu. Aku mendorong diriku ke sisi ekstrim, memaksanya keluar dari zona aman. Aku berpikir untuk bergabung dengan beberapa organisasi dan komunitas sementara aku mengambil sks yang cukup banyak di kampus. Pada akhirnya, ketika perasaanku dijatuhkan, aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Mimpi burukku tak pernah berubah. Di depanku, sekolah madrasah yang aku harus selalu datangi. Kenapa aku harus sekolah madrasah ibtidaiyah lagi? Dan aku selalu terlambat datang kesana. Aku takut, semua mimpi burukku membuatku takut.

Menit-menit yang kuhabiskan untuk memakai sepatu, menit-menit yang kuhabiskan di kamar mandi sebelum aku berangkat, jalan-jalan yang kulalui ketika pulang, jalan-jalan yang gelap, yang tidak familiar tapi selalu muncul di mimpiku, orang-orang yang mengejar dan ingin membunuhku. Aku terbiasa dengan itu semua. Mimpi-mimpi itu selalu datang. Dan semua mimpi itu menggambarkan apa yang benar-benar kurasakan.

Apakah aku harus menyerah? Putus asa? Jika saat ini aku memilih mati, aku harus mengeluarkan usaha untuk mendapatkan alat-alat untuk mati, atau setidaknya merencanakannya dulu secara matang. Karna aku tidak punya kesempatan, di depanku tidak ada pistol, hanya ada gunting dan pisau dapur yang aku tau tak kan membunuhku secara cepat, dan aku tak mau melihat darah berceceran dimana-mana, menciptakan sebuah TKP pembunuhan yang menyeramkan.

Kemarin aku juga menonton video youtube Zakir Naik dan aku menangis, aku tau aku diberkahi dengan nikmat hidayah, mengapa aku tidak bersyukur. Mengapa? Apakah Tuhan benci melihatku? Aku tidak bisa naik, sepertinya sekarang-sekarang ini aku akan menghabiskan waktuku di lubang ini. Tanpa siapapun tau. Tak ada yang bisa kuajak bercerita. Semuanya semakin membuat kondisiku memburuk, mereka tidak memahami apa yang benar-benar terjadi. Secepat itu mereka mengambil kesimpulan dan memberi nasihat. Aku tidak pernah meminta nasihat.

Seandainya di depanku ada pistol.

Aku tau dunia ini lapangan perang yang berat sekali dilalui untuk orang-orang sepertiku. Aku harus bicara pada orang lain, mereka harus tau apa yang aku alami. Aku tidak bisa sendirian terus menyimpan semuanya. Aku benar-benar ingin mati. Saat ini, seperti sebelum sebelumnya saat aku mengalami kondisi yang sama, aku berharap mukjizat.

(Hari ini aku baru menyadari bahwa ngilu ngilu yang selama ini muncul di beberapa tempat di tubuhku, berpindah pindah dari satu tempat lain, bisa jadi disebabkan karna kecemasan)