Aku dididik dan dibesarkan oleh seluruh keluargaku. Sebelum 5
tahun, mamahku sudah mengajariku membaca dan menghitung sampai aku benar-benar
menguasai keduanya dan setiap hari kerjaku adalah mencari tulisan dan
membacanya. Bapak mengajariku membaca al-Qur`an, mengaji, dan bahasa arab. Sepupu-sepupuku
yang tinggal di dekat rumahku, saudara-saudaraku, dan bocah-bocah tetangga ikut
mengaji dengan bapak, dan mereka memanggil bapakku dengan sebutan ‘bapak’,
mengikuti bagaimana aku memanggilnya. Kakak perempuanku menggantikan bapak
mengajar mengaji ketika dia pulang dari pesantren. Cara mengajarnya lebih
menyenangkan daripada bapak, dan karena itu kami lebih menikmatinya. Meskipun tidak
ada yang menggantikan kasih sayang dan ketegasan bapak. Kakak laki-laki
pertamaku mengajar bahasa arab dan sejarah kebudayaan islam di madrasah depan
rumahku. Ketika ia masih kuliah, sambil kuliah, dia disuruh mengajar dan ya,
dia guruku di madrasah ibtidaiyah, hanya selama setahun. Selain itu aku dan dia
diturunkan hobi membaca oleh bapak. Rak buku besar yang ada di rumah hanya
dimiliki bapak dan kakak laki-laki pertamaku. Hanya kami bertiga yang bisa
dikatakan kutu buku. Dan setiap dia berkegiatan di kampus dan organisasi, aku
masuk ke kamarnya, melihat-lihat bukunya, yang kebanyakan berisikan tentang
politik, keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Kakak keduaku, guru di SMAku, guru komputer,
guru yang dapat peringkat paling ganteng disana setiap tahun. Dia mengajari
komputer, main game, dan baca komik.
Mereka semua pendidikku. Aku dibesarkan dengan menjadikan
diriku sebagai murid mereka. Keluarga guru punya harga diri yang besar,
semiskin apapun mereka. Aku tau itu, karna aku bagian dari itu. Aku mungkin tak
pernah bercita-cita menjadi guru, tapi mengajarkan sesuatu pada orang lain
bukan hal yang tidak menyenangkan. Apalagi melihat mereka yang kita ajarkan
sukses, kebahagiaannya bukan main. Aku merasakannya
ketika aku membantu kakak perempuanku mengajar privat. Adikku juga pernah
mengajar privat dan bimbel. Lengkap sudah pengalaman mengajar keluarga kami. Sekarang,
kakak laki-laki pertama menjadi dosen, kakak kedua berhenti mengajar dan
bekerja di departemen pendidikan (karna sekarang tidak ada lagi mata pelajaran
komputer) tapi dia punya pengalaman menjadi dosen juga. Kakak perempuanku
membangun sebuah diniyah yang dibawahi oleh yayasan yang dibangun oleh bapak
dan mengajarkan agama pada anak-anak disana, mamahku pun ikut mengajar disana.
Keluarga guru adalah keluarga yang terhormat. Idealisme
harus dijaga, agama harus dijaga, bukan main-main. Aku dibesarkan di dalam
keluarga yang seperti itu. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang telah
mendidikku dengan segala macam cara, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Manusia
memang tidak sempurna, apalagi aku. Tapi apa salahnya berusaha mendekati
kesempurnaan?
Kemarin, setelah vertigoku kambuh, dan parah. Aku berusaha
berjuang sendiri mengatasi segala pikiran-pikiranku yang berjalan seperti kaset
rusak. Seharian kepalaku dipenuhi segala macam hal, seperti sebuah lagu
diulang-ulang terus di kepala tanpa diinginkan. Segala macam hal, termasuk
segala hal yang tidak menyenangkan. Tiba-tiba aku bangkit, menghadap Tuhan
lagi, berjuang untuk makan dan bicara, mandi, dan menyiapkan segala macam hal
untuk memperbaiki ketertinggalanku di kampus. Meskipun ketika aku lelah lagi,
dan berbaring di tempat tidur, pikiran jelekku muncul lagi. Aku rasa aku akan
memilih tetap berjuang.
Kalau aku memang ingin mati, maka aku harus cepat mati! Kalau
tidak, maka aku harus segera memperbaiki kerusakan dalam hidupku. Aku tidak
boleh berhenti berjuang. Tuhan membantuku berjuang, dan masih mengizinkanku
untuk menyadari kesalahanku.
Aku tidak ingin membuat siapapun kecewa. Aku tidak ingin
Tuhan melihatku sebagai manusia yang tanpa prestasi dan perjuangan. Aku tidak
ingin menyakiti diri sendiri, menyakiti tubuh tanpa cacat yang Tuhan berikan ini.
Aku memutuskan untuk tetap berjuang. Meskipun di depan nanti aku akan
tersandung batu dan jatuh, atau terlalu bersemangat hingga tidak melihat lubang
di depan mata lalu jatuh lagi ke dalamnya. Aku memilih untuk tetap hidup dan
memperjuangkan sesuatu. Entah apa.
Hari ini, di hari pertama puasa aku membulatkan tekat untuk
berjihad lagi. Aku akan berjihad melawan segala macam penyakit. Hari ini aku
mengumpulkan kekuatan dan energi untuk berangkat kuliah kunjungan, ke salemba
UI, museum kedokteran disana. Seakan aku yang kemarin cuma mimpi, aku merasa
malu pernah berpikir ingin mati dan merasa bebanku berat sekali. Kenapa berlebihan
sekali aku berpikir begitu? Yah, mungkin beginilah siklusnya. Ketika aku
depresi, aku akan jijik dengan pikiran positifku, lalu sebaliknya. Aku hanya
tinggal menikmati siklusnya. Menikmati? Aku harus berjuang melawannya. Entahlah.
Yang aku tau, aku memutuskan untuk hidup dan tetap berjuang. Kuputuskan, inilah
mukjizat yang tiba-tiba datang ke kepalaku.
Note: Handphoneku mati total, dan aku tidak punya keinginan
untuk membeli handphone baru. Tapi kebutuhan manusia jaman sekarang terhadap
handphone tidak main-main, aku tidak bisa mengerjakan tugas apapun tanpa itu,
dan tidak bisa berkomunikasi apapun dengan rekan satu jurusan. Kakak perempuanku
membelikanku handphone sesuka dia. Ini kali pertama aku dibelikan handphone
oleh orang lain, dan tanpa aku pilih-pilih, sama seperti laptop yang sudah
berumur 8 tahun ini aku dapatkan. Aku merasa berhutang, dan dipaksa untuk
berjuang untuk membayar segala hutang-hutangku, dalam sudut pandang yang
positif.