Rabu, 01 Juni 2016

Leviathan



“Hidup dalam status alamiah adalah kesepian, miskin, kejam, tidak berperikemanusiaan, dan bersifat sementara.”

Jika manusia dilepas tanpa kontrak apapun satu sama lain, tidak ada yang menjamin diri kita sendiri tidak akan dibunuh atau dirugikan oleh orang lain. Manusia mempunyai ukuran yang pasti dalam persamaan yang buta, kata Hobbes dalam Leviathannya. Manusia mempunyai kekuatan dan cara berpikir yang pada dasarnya sama. Manusia mempunyai persamaan dalam ketidakamanan. Setiap orang atau kelompok mempunyai kemungkinan yang sama untuk saling membunuh, tanpa pemerintahan yang berdaulat atau kontrak sosial.

Manusia hidup saling bersaing. Kita hidup untuk memenuhi kebutuhan pribadi kita, sedangkan sumber daya memiliki keterbatasan. Jika di depan orang-orang yang kelaparan diletakkan satu potong roti,  mereka akan bersaing untuk mendapatkannya. Tanpa peraturan, manusia akan saling membunuh demi memperebutkan sesuatu.

Manusia juga ingin dihormati. Perbedaan dalam kemampuan status sosial membuat orang yang “tinggi” menganggap tidak apa-apa baginya untuk merendahkan orang yang memang rendah. Di dalam status alamiahnya, tidak akan kedamaian dan keamanan bagi manusia. Karna itulah demi kedamaian dan keamanan, manusia perlu memberi kedaulatan pada sekelompok orang atau seseorang untu mengatur mereka.

Intinya,

Peraturan dibuat dengan tujuan yang bisa diterima. Saya mempunyai alasan untuk patuh pada peraturan, untuk mengikuti cara mayoritas manusia melakukan sesuatu, demi kedamaian. Seperti yang Nino lakukan. Tapi mungkin saja Nino, kita bisa mengambil alih jabatan sebagai pemegang kekuasaan dan mengatur kehidupan manusia sesuai yang benar-benar kita inginkan. Bisakah peraturan tidak memihak pada apapun? Sedangkan para pembuatnya adalah orang-orang tertentu. Bagi seorang idealis seperti Plato, tentu bisa.

Apapun itu, Samejima Reiji adalah Levi yang lain. Saya merasa terpanggil.

Skeptis



Orang suka bilang “saya kenal dia”. Omong kosong. Kata Hume, manusia itu tidak mempunyai diri yang sejati. Katanya relasi tentang diri yang esensial dan tidak terpengaruh apapun adalah pemikiran yang tidak mempunyai bukti. Karna ide tentang “diri” muncul hanya dari kesan yang sekilas, perasaan-perasaan yang selalu berubah dan dibolak-balikkan. Setiap orang pasti pernah marah, pernah ceria, pernah murung. Apakah intensitas dari emosi-emosi sekilas itu bisa membuat kita berpikir bahwa kita telah mengenal seseorang? Bagi orang yang berpikir secara intuitif, mungkin tidak benar-benar perlu pembuktian atas pernyataan tentang diri yang esensial. Tapi bagi Hume, kita harus melihat matahari bersinar sebelum membuat statement tentang matahari bersinar.

Intinya seperti Sartre bilang, bahwa manusia adalah makhluk kontingen. Manusia akan selalu berubah, mengikuti perkembangan di sekitarnya. Tapi apakah ada sesuatu yang esensial di dalam diri manusia? Apakah jiwa mempunyai sifat? Apakah setiap jiwa dibuat dengan keistimewaan masing-masing? Jika jiwa memang merupakan bagian tak terpisahkan dari Tuhan, apakah Tuhan pun bisa kita sifatkan dengan penyifatan tertentu? Apakah Tuhan mempunyai sifat tertentu yang dibedakan dari sifat yang ia ciptakan sendiri? Bagaimana mungkin?!

Manusia berubah tapi manusia tidak berubah, jika kita mengambil jalan aman. Aku oraang yang berpihak pada rasionalisme. Tapi skeptisisme Hume dan Sartre bisa kuterima. Tapi lihatlah nanti  Hume, akan kucari kebenaran tentang itu.