Rindu ini menyesak
Seakan segera meledak
Di batas pandang kulihat bayangan yang tak pernah bisa kugapai
Seperti bintang, kehadiran yang kedipannya menyiksa waktu
"apa sepersekian detik selanjutnya masih berkedip?"
Dan rinduku seperti bintang yang kian membesar
Untuk siap meledak menjemput akhir masanya
Apakah segera segalanya akan berakhir?
Dalam puncak rindu apakah ketiadaan menanti?
Ataukah ia akan menyusut perlahan dan tanpa disadari hilang dan mati?
Malam, kuluangkan waktu untuk merindu
Pada bayangan yang kian menghilang
Yang kian tak kurasa hadirnya
Malam merindukan bayangan
Yang kian lebur dengan kegelapan
Hingga cahaya bulan kembali bersama sepi
Bayangan telah hilang dalam kegelapan malam
Hilang dalam penyatuan
Aku tak pernah menyadarinya
Hingga bulan datang menyelimuti sunyi
Levi dan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaannya, ketika normal dan tidak normal, dan segala surga serta neraka dalam kehidupannya.
Senin, 10 November 2014
Jumat, 07 November 2014
Untuk Tidak Saling Menyakiti
hei hei hei, tunggu...
apa aku kejam?
begini, ada luka makanya kalau kau sentuh bagian itu, tentu aku bereaksi
hei!
jangan bicara soal sepi padaku ya..
aku sudah melewati beberapa waktu, dan akhirnya aku sadar bahwa..
bahwa apa?
bahwa manusia itu hidup hanya sendirian saja.
tak ada yang bisa memahami.
negative?
katamu saja.
aku tak akan melabelkan apa pun. kalau kubilang nasib, bagus tidak ya?
teman yang kuberitaukan segalanya?
pernah beberapa kali kucoba mempercayakan pikiran dan perasaanku pada beberapa orang.
tapi lihatlah,
mereka pada akhirnya tidak menyukaiku ketika tau apa yang ada di pikiran dan perasaanku.
mungkin mereka punya luka juga?
pada akhirnya karna luka adalah keniscayaan,
hubungan antar manusia pun berjarak.
agar apa?
agar manusia bisa saling menjaga untuk tidak menyakiti.
apa aku kejam?
begini, ada luka makanya kalau kau sentuh bagian itu, tentu aku bereaksi
hei!
jangan bicara soal sepi padaku ya..
aku sudah melewati beberapa waktu, dan akhirnya aku sadar bahwa..
bahwa apa?
bahwa manusia itu hidup hanya sendirian saja.
tak ada yang bisa memahami.
negative?
katamu saja.
aku tak akan melabelkan apa pun. kalau kubilang nasib, bagus tidak ya?
teman yang kuberitaukan segalanya?
pernah beberapa kali kucoba mempercayakan pikiran dan perasaanku pada beberapa orang.
tapi lihatlah,
mereka pada akhirnya tidak menyukaiku ketika tau apa yang ada di pikiran dan perasaanku.
mungkin mereka punya luka juga?
pada akhirnya karna luka adalah keniscayaan,
hubungan antar manusia pun berjarak.
agar apa?
agar manusia bisa saling menjaga untuk tidak menyakiti.
Jika Kematian Datang..
"kalau kematian datang padamu saat ini, apa kau siap?"
jika itu sudah terjadi apa boleh buat.
akan ada kebahagiaan karna aku sudah terbebas dari beban dunia, tapi tentu saja pertanggungjawaban menantiku.
tak bisa kubayangkan seberapa besar penyesalanku saat itu.
aku ingin menjadi orang beriman yang lebih meyakini kebaikanNya.
karna sungguh IMAN ITU PERCAYA.
Bagaimana kukatakan aku percaya jika masih ada yang kuragukan dariNya?
oh demi Tuhan
oh demi Tuhan, ajarkan aku tuan..
hamba ini
dan mengapa ada kesulitan?
iman tercemari oleh kecintaan dan kefokusan pada dunia
pada hal yang fana
aku yang sekarang
dan Tuhan, apa aku bodoh jika aku selalu percaya padahal tak ada apa pun yang berubah dariku?
apa itu bodoh
kalau memang bodoh senikmat itu, apa salahnya?
jika itu sudah terjadi apa boleh buat.
akan ada kebahagiaan karna aku sudah terbebas dari beban dunia, tapi tentu saja pertanggungjawaban menantiku.
tak bisa kubayangkan seberapa besar penyesalanku saat itu.
aku ingin menjadi orang beriman yang lebih meyakini kebaikanNya.
karna sungguh IMAN ITU PERCAYA.
Bagaimana kukatakan aku percaya jika masih ada yang kuragukan dariNya?
oh demi Tuhan
oh demi Tuhan, ajarkan aku tuan..
hamba ini
dan mengapa ada kesulitan?
iman tercemari oleh kecintaan dan kefokusan pada dunia
pada hal yang fana
aku yang sekarang
dan Tuhan, apa aku bodoh jika aku selalu percaya padahal tak ada apa pun yang berubah dariku?
apa itu bodoh
kalau memang bodoh senikmat itu, apa salahnya?
Minna bai bai
Minna bai bai,
pengen banget gua ngomong gitu.
apakah gua sebenernya sedang menjadi orang lain?
well, gua nggak tau.
Yang pasti,
yang pasti..
kontingensi yang selalu terjadi pada Jean Paul Sartre,
itu BENERAN terjadi sama gua.
jadi yaa, mending, mending?
"bai bai minna"
sebenernya itu ga semudah itu sih
apa sih yang bikin ga mudah?
ego mungkin?
MINNA BAI BAI
MUKASHI NO ATASHI BAI BAI!
Akan kujemput masa depan yang baru
dengan sisa-sisa kekuatan kemarin yang masih sangat labil
tak akan sepenuhnya mungkin,
tapi ingin sekali ku katakan,
"sayonara.."
pengen banget gua ngomong gitu.
apakah gua sebenernya sedang menjadi orang lain?
well, gua nggak tau.
Yang pasti,
yang pasti..
kontingensi yang selalu terjadi pada Jean Paul Sartre,
itu BENERAN terjadi sama gua.
jadi yaa, mending, mending?
"bai bai minna"
sebenernya itu ga semudah itu sih
apa sih yang bikin ga mudah?
ego mungkin?
MINNA BAI BAI
MUKASHI NO ATASHI BAI BAI!
Akan kujemput masa depan yang baru
dengan sisa-sisa kekuatan kemarin yang masih sangat labil
tak akan sepenuhnya mungkin,
tapi ingin sekali ku katakan,
"sayonara.."
Jumat, 24 Oktober 2014
Apa Adanya
Manusia, kalau membandingkan dirinya dengan orang lain,
Yang ada hanya kekurangan
Aku sering berpikir ketidaksempurnaan manusia adalah bentuk
kesempurnaannya
Coba, kalau seorang manusia benar-benar sempurna,
Tak akan ada hal yang menyenangkan bukan?
Makanya, ketidaksempurnaan adalah sebuah kelengkapan dari
Tuhan
Sebagai bukti kesempurnaan manusia
Contohnya..
Bayangan Nino ada di mataku
Aku melihat dia berdiri dengan Clint Eastwood, Ken-san, dan
Tsuyoshi-san
Kelihatan kecil di antara tiga orang yang tinggi itu
Ya, di antara orang lain, Nino memang pendek
Di umur remajanya badannya juga kecil
Tapi..
Coba lihat dia sebagai “dia”
Jangan membandingkannya dengan orang lain
Akan kelihatan luar biasa kan?
Coba kalau seorang yang tak punya tangan dan kaki melihat
dirinya hanya sebagai dirinya,
Dia akan takjub dengan segala hal yang ada padanya,
Bukan?
Dan jatuh cinta itu..
Logika yang dimiliki hati itu,
Sepertinya mampu meniadakan perbandingan
Dan melihat segalanya sebagai kesatuan
Sepertinya..
Hari ini aku berpikir
Logika yang dimiliki hati itu benar-benar tak bisa
ditelusuri dengan logika akal
Itu hanya bisa dirasakan, diikuti, dan diperlakukan dengan
penuh kejujuran
“entah kenapa” rasanya begitu, logika hati itu
Iya, logika yang kita sanjung sebagai alat pemecah masalah,
ternyata
Hanya alat pembenaran
Karna manusia melihat dengan kacamatanya masing-masing
Andai kita punya kemampuan melihat segala sesuatu apa adanya
Tanpa menilainya dengan baik atau buruk
Hanya rasakan saja, nyaman atau tidak nyaman, suka atau
tidak suka
Andai kita mampu menjaga “kita yang apa adanya”
Sugoku naru deshou?
Kamis, 23 Oktober 2014
Unexpected
Setiap orang
memikirkan bahwa apa yang dialami orang lain pasti sama dengannya
Makanya..
Makanya ketika
diceritakan dan ternyata mengejutkan..
Mengapa mengejutkan?
Karna mereka
pikir sama..
Mereka pikir
kehidupan remaja itu “begini”
Mereka kira
tipe yang sama, ternyata..
Tak disangka
Makanya..
Berbohong atau
memanipulasi sesuatu
Agar mereka
tidak kaget
Karna kekagetan
membutuhkan energi yang lebih besar untuk dihadapi
Lebih baik
biasa-biasa saja
Atau,
“yappari ne”
Atau jika
bisa mengerti lebih jauh lebih baik
Daripada kaget,
lalu..
Tidak memahami
penjelasan
Yang tertinggal
hanya “kok bisa..”
Ningen da yo
Terkadang tidak
siap dengan perbedaan
Karna selalu
mengharapkan “kalau bisa” sama
Itu lebih
nyaman
Karna itulah
ada trauma, kaget, penasaran
Akan lebih
baik jika mereka serius menanggapi perasaan itu
Bukan sekedar
bingung, pergi, dan bingung..
Hingga mereka
tak pernah belajar tentang perbedaan dan hal-hal tak terduga dalam kehidupan
Serta jalan
yang tidak selalu “lurus”
Atau sama
dengan kebanyakan orang
Aiba shi!
Hari ini aku
teringat Aiba!
Tengah
malam, semalam
Ketika
mencoba menenangkan diri
Aku
membacanya!
The power of
positive feeling
Tentang energi
kuantum, dan kekuatan hati (jantung)
Level otak
alfa
Nino yang
expert dan Aiba
Ada
perbedaan di antara keduanya
Nino lebih
banyak belajar sesuatu yang skillfull dibanding Aiba
Tapi Aiba!
Ketika dia
mengatakan, “dengan tersenyum, maka hal baik akan datang dengan sendirinya”
Sugoi
deshou?
Aiba dan
Nino
Aiba yang
selalu tersenyum dan ceria,
Yang selalu
berpikir dengan hati tapi polos itu
Nino dan
Aiba
Pasti
menyenangkan bukan?
Punya teman
seperti Aiba
Pasti
menyenangkan jadi Nino
Urayamashii
Lagu untuk Tanggal Ke-20825
Aku kaget.
Baru pertama
kali aku memikirkanmu sampai seperti ini.
Meskipun
kita keluarga, apa karna itu?
Terlalu
wajar ya?
“Itu jadinya begini”, “itu gimana jadinya?”,
Jangan
berpikir terlalu susah
Kau harus sering tertawa dengan keras
Aku ini,
anakmu, dan..
Kau adalah
orangtuaku
Mungkin ini
kebetulan,
Tapi itu
cukup sebagai satu-satunya yang membuatku bangga
Aku tidak
mengatakannya,
Karna aku
malu
Tapi itulah
yang kupikirkan
Belakangan
ini ubanmu semakin keliatan banyak,
Bukankah
sudah cukup?
“Kau selalu
hidup demi orang lain selama ini,
Makanya
sekarang kau akan hidup melakukan apa pun yang kau suka..”,
Mustahil ya?
Karna kau
terlalu baik
Kenapa ya?
Aku tak bisa
menulisnya dengan dramatis
Benar-benar
terlalu biasa
Tapi
begitulah kita ya
Sampai
sekarang pun, selanjutnya pun, seterusnya..
Tak apa ayo
terus tetap begini
Seperti
biasanya kita rasakan
Kalau kita
terus berjalan seperti ini,
Suatu saat
pasti saatnya akan datang juga ya
Kalau, aku
ada di posisimu, bagaimana rasanya ya?
Saat itu,
yang aku mulai mengerti adalah penyesalan,
Betapa
hebatnya dirimu
Makanya,
mungkin aku tak akan mengatakannya
Nenek adalah
orang yang hebat
Benar-benar
menyesal,
Tapi terima
kasih
By
Ninomiya Kazunari
ORION
Yang
menangis itu aku
Karna kau
bilang, “tidak memperlihatkan kelemahan bukan berarti kuat”
Aku percaya
Di jalan
pulang napasku semakin dingin
Bintang
hanya bergoyang-goyang
Bahkan
kehangatan samar yang selalu kupastikan,
Kelihatannya
sudah kulupakan
Baru pertama
kali aku menyadari sekarang
Bahwa aku
bisa suka pada orang lain
Yang
menangis itu aku
Aku
memandang lekat konstelasi bintang musim dingin yang saling terhubung
Supaya tidak
hilang di langit ini
Aku percaya
Aku percaya
Aku berharap
kedua tanganku yang membeku kedinginan tidak terlepas darimu
Sampai kapan
pun aku ingin terus menyentuhnya
Walaupun aku
terus mengulang-ulang kata-kata yang ingin kusampaikan
Tetap saja
itu tidak bisa kusuarakan
Kita
menertawai hal-hal konyol
Dengan lembut
aku merangkulmu
Aku
menghitung bintang jatuh
Keajaiban
bertemu denganmu, sekarang,
Mengajarkanku
arti hidup
Aku percaya
Yang
menangis itu aku
Karna kau
mengatakan, “tidak memperlihatkan kelemahan bukan berarti kuat”,
Aku percaya
Karna kau
mengatakannya,
Aku percaya
By Nakashima
Mika
Burung yang Tak Bisa Terbang
Yang ada di
sini adalah angin,
Serta kau
dan bunyi kota
Meskipun itu
cukup membuatku bersyukur,
Suara musim
gugur yang cepat berubah lalu akan menjadi jeritan
Sesungguhnya
aku ingin bersama denganmu sebentar lagi saja
Dengarlah
suara nyanyian burung-burung yang lupa caranya terbang
Langit yang
kita pandangi pastilah biru
Cobalah
lihat, kita sungguh kecil
Aku akan
melanjutkan perjalanan lagi dengan membawa kata-kata lembut darimu
Belakangan
ini dunia yang dibangun merupakan respon dari kesedihan dan kekecewaan
Entah
bagaimana kelihatan transparan dan aku membencinya
Demi
berjalan dan tertawa bersamamu,
Aku tidak
lagi takut untuk mulai mnegetahui semuanya
Ayo kita
mulai sambil mencari suara langkah yang mantap di balik segala perbedaan
Matahari
pagi terbit dari balik rel
Terlihat warna
celupan oren yang cerah
Aku belum
juga menemukan jawaban yang jelas,
Seperti
burung yang tak bisa terbang
Zaman mulai
berubah..
Aku tak
perduli meskipun tak sesuai lagi
Langit yang
kita pandangi pastilah biru
Cobalah
lihat, kita sungguh kecil
Aku akan
melanjutkan perjalanan lagi dengan membawa kata-kata lembut darimu
Seperti
burung yang tak bisa terbang
by Yuzu
Rabu, 22 Oktober 2014
I Wish Everything is Okay
Ninomiya Kazunari kalau tidak salah pernah bilang, tentang
alasan kenapa dia berhenti menulis diary di gamenikki. Katanya (kalau tidak
salah) dia tidak ingin tulisannya berpengaruh pada tindakannya di masa depan. Aku
mengerti maksudnya tapi mungkin saja aku salah paham. Aku pernah beberapa kali
memikirkannya juga. Tapi beberapa kali juga aku mempertimbangkannya dan
akhirnya membiarkannya berlanjut. Padahal aku tau banyak tulisanku di masa lalu
sangat mengganggu dan aku tidak ingin orang lain membacanya dan mengaitkannya
dengan diriku yang sekarang.
Kenapa aku membiarkannya? Padahal aku ingin blog ini segera
dihapus, semua yang berkaitan denganku di internet, tapi pada akhirnya aku
tidak pernah melakukannya. Mungkin besok, lusa, atau kapan pun di masa depan
aku akan melakukannya.
Hari ini aku kacau. Lampu yang mati berkali-kali mengangguku,
membuatku ingin meledak juga rasanya. Akhirnya perasaan membenci mereka timbul
lagi. Rasanya aku ingin tinggal sendiri saja, atau berdua dengan mamah. Lalu aku
menangis saja, biar ada rasa lega sedikit, sambil mengemis pada Tuhan agar dia
mengabulkan keinginanku secepatnya.
Mengapa aku harus selalu mengerti, sedangkan dia tidak
mencoba mengerti. Karna itu kuungkap saja apa yang kurasakan, padahal selama
ini aku tak pernah mau memberitaunya pada siapa pun. Kini, ketika aku merasa
benar-benar terganggu, aku pikir perlu memberitau agar mereka sedikit mencoba
mengertiku juga. Keseimbangan itu lebih bagus bukan?
Aku harap aku bisa menjadi penolong penyembuhan orang lain,
tapi nyatanya aku benar-benar kacau. Aku perlu memprogram ulang semua hal dalam
diriku. Aku harus mulai semuanya dari awal, kalau memang aku ingin menjadi
lebih baik. Karna sudah terlalu banyak virus di dalam otakku, sedangkan sistem
dalam diriku tidaklah secanggih itu, hingga aku bisa membuat virus yang masuk
tidak menyerangku. Ya, syukurlah aku akhirnya paham apa yang sebenarnya perlu
kulakukan.
Fuh, apa aku bisa baik-baik saja? Di saat seperti ini aku
betul-betul khawatir. Di saat lain aku benar-benar yakin.
Tapi aku tak pernah membuang motto hidupku satu-satunya itu, “nothing
impossible”. Sehingga aku benar-benar terganggu dengan tindakan meremehkan. Ya,
begitulah mungkin yang terjadi.
Terima kasih Tuhan, karna akhirnya aku sadar aku sangatlah
tidak mengerti apa-apa. Dan aku harus memulainya dari awal lagi.
Daan, agar tidak jadi semelankolis dulu dan sekarang lagi…
Aku benar-benar ingin berubaah..
Kini, dan di banyak waktu, tetaplah aku perlu sekali waktu
yang banyak untuk menyendiri. Aku benar-benar memerlukan tempat yang hening dan
sepi untuk berpikir. Kalau saja aku bisa melatih diriku berkonsentrasi di
tempat ramai dengan kualitas yang sama bagusnya ketika aku berkonsentrasi di
keheningan. Tapi aku rasa tidak perlu.
Dan karna keperluan akan keheningan itu, aku benar-benar
hidup di malam hari sekarang. Dan aku merasa itu lebih baik. Apakah aku akan
baik-baik saja?
Hari ini aku melihat seorang teman di facebook. Sepertinya dia
ada masalah. Oh, aku harap dia baik-baik saja. Aku benar-benar berharap dia
baik-baik saja.
Senin, 20 Oktober 2014
Bikkuri
Kecelakaan!
Abang ditabrak
mobil dari belakang!
Bikkurishita
yo!
Untungnya tak
ada apa-apa kecuali motor bagian belakangnya rusak parah.
Untungnya..
Setelah tadi
pagi ketika sedang belanja di ITC,
Ada mata
jahat di tempat yang sepi.
Ah, aku
takut.
Hari ini ITC
benar-benar sepi.
Dan kejadian
itu membuatku berpikir bahwa menikah itu penting.
Iya, tapi yang
lebih penting, siapa orang yang akan menikah dengan kita.
Waktu Nino
diwawancara tentang pernikahan, dia bilang..
Akan lebih
baik dan romantis kalau seseorang yang akan menikah dengan kita awalnya kita
temukan tanpa sengaja dalam kehidupan sehari-hari kita.
Maksudnya,
bukan perjodohan dan semacamnya.
Cinta dan
pertemuan yang tidak diniatkan.
Dan seberapa
pun jelek masa lalu atau sifat pasangan di mata orang lain,
Karna kita
yang telah memilihnya dengan penuh kesadaran,
Itu tak
masalah karna yang menjalaninya adalah kita.
Fuhh.
Nino..
Ada seseorang
yang sedang kupikirkan.
Yang aku
kenal sejak aku juga pertama kali kenal Nino.
“kebetulan”
ya?
Di tahun
bapak meninggal.
“kebetulan”
ya?
Ya, tahun
yang penuh kejutan.
Di salah
satu lagunya Nino bilang,
“jangan
bilang kamu merindukan masa-masa itu,
Berpeganglah
dengan kuat dengan masa kini”.
Itu benar
Nino..
Ah, sudah
berapa hari sejak pernikahan Sausan?
Apa kabarnya
sekarang dia?
Ah iya,
sejak kapan subyek tentang pernikahan itu sering kita bicarakan?
Sasuga,
sausan yang pertama menikah di antara kami!
Kapan kami
menyusul?
Seseorang pernah
bertanya, kalau ada yang mengajak aku menikah sekarang, apa aku siap?
Aku bilang “tidak”.
Entah kenapa aku bilang begitu.
Aku merasa
masih nyaman dengan diri sendiri.
Dan aku tak
mau ada orang lain mengganggu kesendirianku, sepertinya begitu.
Tapi setelah
berpikir-pikir lagi, aku merasa,
“tergantung
siapa yang mengajak menikah”
Sou da, sou
da! XD
ah Nino, Nino, ajari Levi jadi orang yang tidak melankolis dong!
Levi bosan!
Sabtu, 18 Oktober 2014
Belum Tentu Sejalan
Ada terlalu banyak hal yang tidak kita sukai di dunia ini. Tapi
kita pun sadar bahwa terlalu banyak pula hal yang kita sukai di dunia. Banyak orang
mengatakan apabila kita mengisi pikiran kita dengan hal yang positif, bila kita
selalu berprasangka positif pada segala hal yang terjadi, dunia ini benar-benar
akan kelihatan begitu indah. Sebaliknya bila kita selalu berprasangka negatif pada
segala hal yang terjadi di depan kita, begitulah dunia bagi kita. Aku tau itu. Tapi
pernyataan itu seakan mengakui bahwa tak ada apa pun di dunia ini kecuali imajinasi.
Dunia ini dibentuk dengan imajinasi, dan dijalani pula dengan imajinasi. Lalu kita
pun bagian imajinasi dari sesuatu yang lebih besar.
Pertanyaan yang sebenarnya perlu ditanyakan adalah mengapa
ada seseorang yang selalu berpikiran positif, dan mengapa ada seseorang yang
selalu berpikiran negatif? Benarkah bahwa sesungguhnya tak ada nilai apa pun di
dunia ini kecuali prasangka kita sendiri? Absurd sekali. Mereka harus menjawab
pertanyaan ini, jika mereka sangat mengedepankan prinsip “apa pun yang terjadi,
berpikir positiflah”. Tapi apakah kebanyakan mereka mau berpikir? Kebanyakan mereka
punya tujuan yang sangat praktis (setidaknya menurut beberapa orang), yaitu
menjalani kehidupan sebaiknya, pragmatis? Berpikir postif sangat berguna agar
apa yang kita lakukan ke depan punya hasil yang bagus. Karna pikiran mampu memaksimalkan
usaha, katanya begitu. Tapi…mereka benar-benar buta dan tuli, mereka kata Tuhan
“sama dengan binatang ternak. Tidak, bahkan lebih buruk lagi”. Apa itu terlalu
kasar? No, itu kata-kata Tuhan di dalam Al-Qur’an. Tuhan hanya memberitau
sesuai kenyataan, bukannya menghina manusia.
Manusia yang hidup tanpa menyadari apa yang sedang terjadi,
akan terjadi dan latar belakang dari kejadian kita adalah manusia yang lebih
buruk dari binatang ternak. Apa bedanya manusia dengan binatang ternak? Bisa berperadaban
dan berbudaya? Laba-laba juga bisa, semut bisa, banyak binatang yang bisa. Itu adalah
tasbih yang tidak disadari. Semua makhluk Tuhan diciptakan untuk bertasbih
tanpa mereka sadari. Tapi manusia berbeda. Manusia diberi “penglihatan,
pendengaran, dan hati”. “mengapa tidak kau pergi menjelajahi bumi, agar kau
punya telinga yang bisa mendengar, mata yang bisa melihat, dan hati yang bisa
merasa?”, kata Tuhan. Ya, mereka buta dan tuli, kebanyakan mereka. Apa terlalu
kasar? Tuhan yang mengatakannya sendiri!
Jadi apakah segala hal yang kebanyakan manusia katakan, yang
keliatannya atau kedengarannya baik sekali, ternyata belum tentu sejalan dengan
kebenarannya. Saya percaya bahwa segalanya adalah relatif, sebelum Tuhan
membuat aturan bagi segalanya. Seperti bahwa hukum dasar segalanya adalah boleh
sebelum Tuhan mengharamkan beberapa hal. Mengapa Tuhan mesti membuat semua itu?
Apa jadinya game tanpa aturan? Apakah yang kita jalani adalah game? Kalau bukan
game, apalagi? Untuk tujuan apa kita ada di dunia ini? Bisakah kalian
menjelaskannya?
Jumat, 17 Oktober 2014
Mereka tak Paham, dan Aku?
Dia tidak sadar, dialah yang juga punya andil membuatku jadi
seperti ini. Aku tau itu, tapi aku pun sadar aku harus memperlakukannya dengan
baik. Mereka juga, mereka tidak sadar bahwa aku tak suka stimulus yang terlalu
banyak. Apa mereka meremehkanku? Seakan-akan aku sangat butuh bantuan orang
lain dalam banyak sekali hal. Sial! Apa mereka pura-pura lupa atau
benar-benar lupa bahwa aku tak suka anak
kecil? Apa mereka tak tau bahwa aku tak bisa “berjalan” dengan baik jika mereka
memperlakukanku seperti itu?
Mereka sama sekali tak paham.
Mereka sama sekali tak paham.
Apa yang mereka paham? Aku tak tau. Segala sesuatu
memang harus selalu disembunyikan
dariku, karna aku terlalu emosional. Apakah itu bisa menyelesaikan masalah? Dia
keras kepala, dan tak sabaran. Lalu ada lagi yang selalu membela yang lain.
Juga yang selalu mengancam. Apakah aku yang terlalu peka? Dan kepekaan itu
masih ada di diri sampai sekarang?
Apa yang mereka paham? Mereka hanya menjudge lalu menyindir,
berharap agar terjadi perubahan. Apa mereka tak sadar bahwa aku sangat tak
nyaman dengan cara mereka hidup di sekitarku? Cara mereka merobek privasiku
dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun? Mereka pikir aku senang? Tapi aku tak
kuasa hendak mengatakan langsung di depan muka mereka “ga suka!”, karna aku
terlalu banyak bergurau, dan aku tak tau bagaimana menyelipkan keseriusan di
tengah gurauan orang lain.
Terlalu banyak kejadian terkadang membuatku tak tau bagaimana
harus menyikapi kehidupan, bagaimana harus menyikapi orang lain. Kalau pun aku
tau, mengapa jalanku sering tak sama dengan mereka? Dan bagaimana aku harus
mengatakannya? Aku butuh tindakan. Ya, benar, tindakan. Tapi aku terlalu mudah
diombang ambingkan perasaan, seperti aku memang butuh bantuan, tapi bukan
dengan cara seperti itu!
Hidup hanya harus terus dijalani. Tak boleh berhenti. Sampai
saat ini, banyak hal yang kulakukan dan kupilih, adalah sesuatu yang bukan
benar-benar ingin kulakukan dan kupilih. Mengapa aku merasa terpenjara seperti
ini? Apakah orang lain merasakan hal yang sama? Mengapa bocah nakal sepertiku
ini masih bisa merasakan cinta pada Tuhan? Apakah perasaanku tidak menipuku,
tuan? Apakah perasaan ini benar-benar nyata? Kalau iya, bagaimana bisa?
Kepekaanku sedang terlalu tinggi. Hingga apa pun bisa sangat
menganggu dan merusak mood seketika. Tapi aku bisa merasakan bahwa aku masih
bisa menormalkan diri, entah bagaimana. Aku hanya benar-benar butuh tempat yang
sepi dari orang lain.
Mereka bilang aku pemalu. Aku bingung, mereka mengatakannya
seakan itu adalah kelemahan yang besar. Apa salahnya jadi pemalu? Bukankah anak
perempuan memang harusnya pemalu? Bukankah rasulullah jauh lebih pemalu? Bukan,
aku bukankah pemalu seperti sang Nabi saw, aku hanya, aku merasa terganggu
dengan perhatian orang di sekitar, aku merasa dipenjara dengan tatapan orang
lain. Mereka bertanya kenapa aku jarang sekali keluar rumah berinteraksi dengan
orang lain, kenapa selalu menghindari hal macam itu? Karna itu sangat
menghabiskan tenaga, itu memerlukan usaha yang besar untuk mendobrak mood agar
bersikap ceria di depan orang lain. Dan dilihat oleh banyak orang menurutku
sangat menganggu privasi, sangat menganggu! Betapa peka aku ini! Dan mengapa
mereka heran hingga melabelkannya dengan kekurangan yang besar karna di wilayah
ini, budayanya adalah beramah tamah dengan orang lain? Itulah yang membuatku
ingin sekali pindah kewarganegaraan dan tinggal di Negara lain.
Aku ingat, aku pernah dalam suatu kelas pengenalan kampus.
Ketika anak-anak sedang semangat mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan
atau berpendapat, ketika kelas benar- benar ribut dan “ceria”, kakak pengajar
itu memanggilku karna aku tak pernah mengacungkan tangan, dia memberiku
kesempatan, oh baik sekali. Tapi apa yang aku katakan? “saya ga ngerti, ga
kedengaran!”, dengan ekspresi muka dan nada bicara yang menampakkan rasa
terganggu. Kakak itu dan teman-teman tiba-tiba diam dan melongo, lalu seperti
sepakat untuk langsung ramai lagi. Hah! Lucu sekali!
Seseorang yang aku kagumi, dalam suatu wawancara pernah
mengatakan hal yang benar-benar bisa kupahami dan kurasakan dengan nyata. Dan
betapa kaget aku bahwa dia bisa mendeskripsikan perasaan yang sebenarnya
sederhana itu. Apa karna aku berpikir terlalu kompleks? Ya, suatu hal yang aneh
dari hal di sekitar akan menyisakan lebih banyak perhatian. Daripada diperhatikan,
lebih baik berusaha bersikap sama dengan sekitar, hanya agar tak ada yang
memperhatikan. Sungguh luar biasa! Oh, kenapa aku menganggapnya luar biasa?
Berusaha untuk tidak diperhatikan. Perbedaan antara aku
dengannya adalah, dia jauh lebih cerdas dalam menyelesaikan masalah daripada
aku, dan bahwa dia tidak melankolis, bahwa dia sangat pragmatis dan rasional.
Mungkin karna dia laki-laki? Entahlah. Kalau aku seorang laki-laki, aku ingin
seperti dia.
Ya, mengapa harus repot berpikir “kenapa ya mereka tidak bisa
paham?” atau mengeluh tentang itu. Seperti yang pernah seseorang katakan
padaku, yang aku kagumi juga, bahwa mengeluh dan meratap bukanlah penyelesaian.
Aku tau itu di kepala, aku benar-benar memahaminya. Terkadang aku mampu
melakukannya dengan baik, tapi aku tak mengerti terkadang kepekaan bisa sangat
tinggi dan menganggu. Aku tak mengerti. Dan mengapa aku tak mengerti? Aku hanya
harus berjalan dengan diri sendiri. Dan orang lain? Mereka tak paham, karna
itulah mereka bersikap seperti itu. Tapi emosi ini terkadang sulit
dikendalikan, terkadang sulit memainkan peranan yang normal. Aku tau itu. Hanya
bagaimana mengendalikannya?
Kamis, 16 Oktober 2014
..pada Diri Sendiri
Dikasih hati minta jantung.
Banyak orang keterlaluan jika diperlakukan baik.
Banyak orang keterlaluan jika diperlakukan baik.
Diramahtamahi, diajak ngobrol,
lalu sok akrab, bebas menanyakan hal-hal pribadi, menyusahkan,
sialan!
lalu sok akrab, bebas menanyakan hal-hal pribadi, menyusahkan,
sialan!
Aku tak mengerti dengan orang-orang yang gampang suka pada
orang lain.
Kemarin suka pada si A, sekarang suka pada si B.
Pun aku tak mengerti dengan orang-orang yang bisa menyukai orang yang sangat menyukainya demi bisa bahagia.
Aku tak tahan dengan orang yang mengatakan “kamu ga boleh bilang kamu bukan jodoh sama seseorang, yang menentukan jodoh itu Allah. Mungkin kamu ga suka dengan seseorang, tapi kalau Allah berkehendak, jodoh ya jodoh”
Fuhh, normatif sekali ya, kata-katanya memang benar,
tapi penuh manipulasi.
Menjijikan.
(Dan aku tak mengerti mengapa kata manipulasi begitu susah aku munculkan di kepala ketika aku perlu menyebutkannya.
Itu terjadi berkali-kali.
Meski aku ingat hurufnya dimulai dengan M dan merupakan sifat mencolok Allen,
salah seorang kepribadian Billy Milligan.
Bahkan aku perlu melihat buku 24 Wajah Billy lagi untuk menuliskan kata itu di sini.
Ketika mencoba mengingatnya aku hanya terpikir “mutilasi?”
Sungguh gila.)
Ya, aku tak mengerti,
dengan mereka yang mau menikahi orang yang tidak 100% dicintainya, tidak mantap bagi dirinya,
hanya mempertimbangkan kebagusan agama dan rekam pendidikannya.
Dengan mereka yang mengizinkan orang asing yang dinikahinya tanpa disukai 100% itu menemaninya sehari-hari,
masuk ruang privasinya,
mengetahui luar dalam tentangnya,
aku sungguh tak mengerti.
Segalanya begitu normatif, begitu dibentuk indah dari luarnya,
dipikirkan dengan keindahan dan kebagusan, hingga pengaruhnya pun bagus.
Apa yang sesungguhnya kalau begitu?
Aku benci dengan ketidakjujuran macam itu,
sungguh aku lebih suka bergaul dengan hewan-hewan yang jujur itu.
Ya aku tau, kita manusia perlu memperhitungkan segalanya, bukan hanya merasakan segalanya.
Kemarin suka pada si A, sekarang suka pada si B.
Pun aku tak mengerti dengan orang-orang yang bisa menyukai orang yang sangat menyukainya demi bisa bahagia.
Aku tak tahan dengan orang yang mengatakan “kamu ga boleh bilang kamu bukan jodoh sama seseorang, yang menentukan jodoh itu Allah. Mungkin kamu ga suka dengan seseorang, tapi kalau Allah berkehendak, jodoh ya jodoh”
Fuhh, normatif sekali ya, kata-katanya memang benar,
tapi penuh manipulasi.
Menjijikan.
(Dan aku tak mengerti mengapa kata manipulasi begitu susah aku munculkan di kepala ketika aku perlu menyebutkannya.
Itu terjadi berkali-kali.
Meski aku ingat hurufnya dimulai dengan M dan merupakan sifat mencolok Allen,
salah seorang kepribadian Billy Milligan.
Bahkan aku perlu melihat buku 24 Wajah Billy lagi untuk menuliskan kata itu di sini.
Ketika mencoba mengingatnya aku hanya terpikir “mutilasi?”
Sungguh gila.)
Ya, aku tak mengerti,
dengan mereka yang mau menikahi orang yang tidak 100% dicintainya, tidak mantap bagi dirinya,
hanya mempertimbangkan kebagusan agama dan rekam pendidikannya.
Dengan mereka yang mengizinkan orang asing yang dinikahinya tanpa disukai 100% itu menemaninya sehari-hari,
masuk ruang privasinya,
mengetahui luar dalam tentangnya,
aku sungguh tak mengerti.
Segalanya begitu normatif, begitu dibentuk indah dari luarnya,
dipikirkan dengan keindahan dan kebagusan, hingga pengaruhnya pun bagus.
Apa yang sesungguhnya kalau begitu?
Aku benci dengan ketidakjujuran macam itu,
sungguh aku lebih suka bergaul dengan hewan-hewan yang jujur itu.
Ya aku tau, kita manusia perlu memperhitungkan segalanya, bukan hanya merasakan segalanya.
Aku ingat pelajaran yang pak Tommy sampaikan di kelas
filsafat bahasa.
Orang di sisi obyektif dan abstraksi matematis itu penuh manipulasi,
berbeda dengan mereka di sisi subyektif, yang jujur pada emosi yang dirasakannya.
Aku mengerti.
Meski cara menyampaikannya penuh retorik (yah, apa yang tidak cenderung pada sesuatu? Bukankah segalanya kebanyakan selalu berpihak? Demi melepaskan manusia dari rasa kebingungannya terhadap dunia, segalanya perlu condong dan berpihak pada sesuatu. Di sisi ini aku berpikir, kalau begitu bukankah yang obyektif artinya tak punya nilai apa pun? Tak bermakna apa pun kecuali kerelatifan?)
Dan aku tak perlu repot dan memusingkan yang mana yang benar.
Menurutku segala yang di pertengahanlah yang “boleh” dikatakan paling benar.
Orang di sisi obyektif dan abstraksi matematis itu penuh manipulasi,
berbeda dengan mereka di sisi subyektif, yang jujur pada emosi yang dirasakannya.
Aku mengerti.
Meski cara menyampaikannya penuh retorik (yah, apa yang tidak cenderung pada sesuatu? Bukankah segalanya kebanyakan selalu berpihak? Demi melepaskan manusia dari rasa kebingungannya terhadap dunia, segalanya perlu condong dan berpihak pada sesuatu. Di sisi ini aku berpikir, kalau begitu bukankah yang obyektif artinya tak punya nilai apa pun? Tak bermakna apa pun kecuali kerelatifan?)
Dan aku tak perlu repot dan memusingkan yang mana yang benar.
Menurutku segala yang di pertengahanlah yang “boleh” dikatakan paling benar.
Orang-orang yang keterlaluan,
yang ketika dikasih hati minta jantung itu,
harus kuberi pemahaman dan pelajaran bahwa mereka sungguh rendahan dengan sikap begitu.
Harus diacuhkan agar paham dan disakiti agar jera.
yang ketika dikasih hati minta jantung itu,
harus kuberi pemahaman dan pelajaran bahwa mereka sungguh rendahan dengan sikap begitu.
Harus diacuhkan agar paham dan disakiti agar jera.
Aku jijik sekali.
Aku sadar, orang-orang yang pernah menarik bagi kita bisa menjadi orang yang menjijikan bagi kita suatu hari.
Kacau sekali.
(Meski begitu, bagi orang-orang yang benar-benar kusukai, itu tak kurasakan. Terkadang aku berpikir untuk menyukai seseorang itu ada tahapan ujiannya. Ketika semakin jauh ternyata kekurangannya terlihat semua di hadapan kita apakah kita baik-baik saja? Tak bisa dijelaskan dengan –katakanlah- logika, tapi jika kita benar-benar menyukainya, apa pun hampir tak bermasalah. Bahkan sifat dan pemikiran yang bertentangan pun hampir tak bermasalah. Yah, cinta memang buta, katakanlah begitu. Itu kan hanya kata-kata yang dipaksa menjadi gambaran yang tepat bagi yang kujelaskan barusan, tapi bagiku justru itulah “penglihatan dalam cinta”. Orang-orang yang mengatakan itu cinta buta adalah orang-orang yang berpikir terlalu rasional, hingga perasaan pun dilogikakan. Ya, aku tau, kata-kata ini pun sangat subyektif)
Di tengah perasaan campur aduk dan kegiatan gila yang tidak sehat,
emosi yang menjijikan itu seakan mendesak masuk dan mencampuri rasa yang sudah tak bernama itu.
Pada akhirnya keinsafan tercemari lagi dengan penuh kesadaran.
Terkadang ada dorongan pembangkangan yang kuat bagi diri yang sedang lemah.
Ya, dua-duanya memang tentang diri sendiri, siapa lagi yang bertanggungjawab?
Aku sadar, orang-orang yang pernah menarik bagi kita bisa menjadi orang yang menjijikan bagi kita suatu hari.
Kacau sekali.
(Meski begitu, bagi orang-orang yang benar-benar kusukai, itu tak kurasakan. Terkadang aku berpikir untuk menyukai seseorang itu ada tahapan ujiannya. Ketika semakin jauh ternyata kekurangannya terlihat semua di hadapan kita apakah kita baik-baik saja? Tak bisa dijelaskan dengan –katakanlah- logika, tapi jika kita benar-benar menyukainya, apa pun hampir tak bermasalah. Bahkan sifat dan pemikiran yang bertentangan pun hampir tak bermasalah. Yah, cinta memang buta, katakanlah begitu. Itu kan hanya kata-kata yang dipaksa menjadi gambaran yang tepat bagi yang kujelaskan barusan, tapi bagiku justru itulah “penglihatan dalam cinta”. Orang-orang yang mengatakan itu cinta buta adalah orang-orang yang berpikir terlalu rasional, hingga perasaan pun dilogikakan. Ya, aku tau, kata-kata ini pun sangat subyektif)
Di tengah perasaan campur aduk dan kegiatan gila yang tidak sehat,
emosi yang menjijikan itu seakan mendesak masuk dan mencampuri rasa yang sudah tak bernama itu.
Pada akhirnya keinsafan tercemari lagi dengan penuh kesadaran.
Terkadang ada dorongan pembangkangan yang kuat bagi diri yang sedang lemah.
Ya, dua-duanya memang tentang diri sendiri, siapa lagi yang bertanggungjawab?
Emosi campur aduk yang tak bernama, di hari-hari penuh
kelenaan.
Lalu gerakan yang lambat datang lagi,
seperti orang stress, depresi.
Di kesibukan pagi, segalanya datang berangsur-angsur.
Kepekaan terhadap stimulasi, segalanya terasa mengganggu.
Hanya suara seseorang sedang memanggil orang lain,
barang yang tiba-tiba jatuh tertiup angin,
barang yang miring ditempatkan di meja,
pertanyaan peduli dari orang lain,
pada puncaknya kucing yang menganggu aktivitas,
segalanya begitu tajam kurasakan, begitu mengganggu.
Reaksinya adalah teriakan tertahan sambil menendang kucing,
atau membanting barang dengan rasa bersalah sesudahnya.
Juga seringkali aku bisa marah-marah pada orang-orang yang biasanya kuhargai dan kuhormati.
Marah-marah, menyakitinya dengan kata-kata agar dia menjauh dan tak mengangguku lagi.
Atau di luar itu, terkadang aku ingin menyakiti orang untuk mengetes perasaanku sendiri pada orang tersebut, mengetes reaksiku sendiri pada orang tersebut, atau mengetes perasaan dan reaksi orang lainnya.
Lalu gerakan yang lambat datang lagi,
seperti orang stress, depresi.
Di kesibukan pagi, segalanya datang berangsur-angsur.
Kepekaan terhadap stimulasi, segalanya terasa mengganggu.
Hanya suara seseorang sedang memanggil orang lain,
barang yang tiba-tiba jatuh tertiup angin,
barang yang miring ditempatkan di meja,
pertanyaan peduli dari orang lain,
pada puncaknya kucing yang menganggu aktivitas,
segalanya begitu tajam kurasakan, begitu mengganggu.
Reaksinya adalah teriakan tertahan sambil menendang kucing,
atau membanting barang dengan rasa bersalah sesudahnya.
Juga seringkali aku bisa marah-marah pada orang-orang yang biasanya kuhargai dan kuhormati.
Marah-marah, menyakitinya dengan kata-kata agar dia menjauh dan tak mengangguku lagi.
Atau di luar itu, terkadang aku ingin menyakiti orang untuk mengetes perasaanku sendiri pada orang tersebut, mengetes reaksiku sendiri pada orang tersebut, atau mengetes perasaan dan reaksi orang lainnya.
Aku tak tau apa kaitan perasaan membenci orang lain yang
tiba-tiba datang kemarin dengan kepekaan hari ini.
Aku benar-benar perlu waktu untuk menormalkan napas yang memburu karna kemarahan besar yang tertahan.
Ada imajinasi pengancaman terhadap orang-orang yang kubenci, hingga percobaan pembunuhan.
Pada detik itu, aku merasa aku pasti bisa menjadi penulis hebat seperti Edgar Allan Poe, penulis dengan imajinasi gila seperti dia, aku bisa sehebat dia.
Hanya saja aku sadar aku tak bisa mempertahankan rasa peka ini,
hingga ketika rasanya hilang, segala imajinasi ikut hilang.
Aku benar-benar perlu waktu untuk menormalkan napas yang memburu karna kemarahan besar yang tertahan.
Ada imajinasi pengancaman terhadap orang-orang yang kubenci, hingga percobaan pembunuhan.
Pada detik itu, aku merasa aku pasti bisa menjadi penulis hebat seperti Edgar Allan Poe, penulis dengan imajinasi gila seperti dia, aku bisa sehebat dia.
Hanya saja aku sadar aku tak bisa mempertahankan rasa peka ini,
hingga ketika rasanya hilang, segala imajinasi ikut hilang.
Memang benar hidup ini begitu sepi.
Ketika berkumpul bersama orang lain dan teman-teman rasanya waktu berjalan begitu saja,
meski aku sadar bahwa waktu yang terlewat dengan bersenang-senang bersama orang lain adalah kelenaan sia-sia.
Ya, itu yang kupikirkan meskipun aku tetap menjalaninya jika aku punya kesempatan itu.
Dan ketika, waktu menghadiahkan sepi bagiku, terkadang justru aku tak benar-benar bisa fokus dengan rencana tentang apa yang bisa aku capai.
Aku tak paham.
Ketika berkumpul bersama orang lain dan teman-teman rasanya waktu berjalan begitu saja,
meski aku sadar bahwa waktu yang terlewat dengan bersenang-senang bersama orang lain adalah kelenaan sia-sia.
Ya, itu yang kupikirkan meskipun aku tetap menjalaninya jika aku punya kesempatan itu.
Dan ketika, waktu menghadiahkan sepi bagiku, terkadang justru aku tak benar-benar bisa fokus dengan rencana tentang apa yang bisa aku capai.
Aku tak paham.
Di periode ini,
sebenarnya sama saja, di periode mana pun rasa itu bisa datang,
kepekaan terhadap “kuman” dari luar (bagaimana aku harus menyebutnya?).
Anak kecil yang berbunyi tak jelas dan tak kupahami, tapi reaksi kosong dariku bisa merupakan kesalahanku terhadapnya (dan mereka menyalahkanku karna mengacuhkannya),
bisa kupandangi penuh rasa sebal.
Anak kecil yang oleh banyak orang dijadikan foto wallpaper atau profil (aku tak paham apa bagusnya, apa lucunya, apa menariknya, sumpah aku tak paham),
yang bagi banyak orang begitu tanpa dosa dan lucu.
Bagiku hewan mamalia jauh lebih menarik dijadikan wallpaper, jauh lebih lucu daripada bayi manusia.
Anak-anak sekolah yang berbicara sambil teriak-teriak di depan rumah,
hingga bocah-bocah yang mengaji di musolla samping,
bisa sangat tajam rasa mengganggunya bagiku.
Membuatku tak bisa fokus pada apa pun,
berdiam diri menikmati amarah terpendam.
Hingga ketika tak ada apa pun bisa menghentikan mereka,
aku hanya bisa mengimajinasikan scene pelenyapan mereka di kepalaku.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar meredakan perasaan itu.
sebenarnya sama saja, di periode mana pun rasa itu bisa datang,
kepekaan terhadap “kuman” dari luar (bagaimana aku harus menyebutnya?).
Anak kecil yang berbunyi tak jelas dan tak kupahami, tapi reaksi kosong dariku bisa merupakan kesalahanku terhadapnya (dan mereka menyalahkanku karna mengacuhkannya),
bisa kupandangi penuh rasa sebal.
Anak kecil yang oleh banyak orang dijadikan foto wallpaper atau profil (aku tak paham apa bagusnya, apa lucunya, apa menariknya, sumpah aku tak paham),
yang bagi banyak orang begitu tanpa dosa dan lucu.
Bagiku hewan mamalia jauh lebih menarik dijadikan wallpaper, jauh lebih lucu daripada bayi manusia.
Anak-anak sekolah yang berbicara sambil teriak-teriak di depan rumah,
hingga bocah-bocah yang mengaji di musolla samping,
bisa sangat tajam rasa mengganggunya bagiku.
Membuatku tak bisa fokus pada apa pun,
berdiam diri menikmati amarah terpendam.
Hingga ketika tak ada apa pun bisa menghentikan mereka,
aku hanya bisa mengimajinasikan scene pelenyapan mereka di kepalaku.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar meredakan perasaan itu.
Orang-orang yang bolak-balik di rumah (Babi! Rumah gua bukan
sarana publik!),
sekedar bertanya-tanya,
bunyi bel yang menggema di rumah,
bunyi anak kecil teriak-teriak bermain,
the hell! Tinggalkan aku sendiri, sialan!
Mereka memaksa untuk tersenyum,
aku merasa ini ujian yang berat, beratnya membuatku membenci apa pun yang ada di sekitarku (bahkan pensil yang ada di tanganku ingin kuremukkan)
sekedar bertanya-tanya,
bunyi bel yang menggema di rumah,
bunyi anak kecil teriak-teriak bermain,
the hell! Tinggalkan aku sendiri, sialan!
Mereka memaksa untuk tersenyum,
aku merasa ini ujian yang berat, beratnya membuatku membenci apa pun yang ada di sekitarku (bahkan pensil yang ada di tanganku ingin kuremukkan)
Namun ketika keinginan untuk kabur keluar mencari sepi itu
ada,
ketakutan akan kesendirian menajam,
aku tak paham.
ketakutan akan kesendirian menajam,
aku tak paham.
Di sela waktu istirahat,
sambil meredakan napas yang memburu,
kok air mata mau keluar lagi?
Sungguh Tuhan, aku tak paham.
Aku takut, pada diriku sendiri.
sambil meredakan napas yang memburu,
kok air mata mau keluar lagi?
Sungguh Tuhan, aku tak paham.
Aku takut, pada diriku sendiri.
Rabu, 08 Oktober 2014
Gelisah
Harus dimulai darimana..
Berawal dari kesadaran bahwa perasaan/mood ku bisa jatuh dan
terbang sekejap tanpa aku tau alasannya apa. Mungkin ini adalah salah satu
bagian dari diri, tapi semenjak aku merasa begitu terganggu dengan kejatuhannya
yang tajam, aku bertanya, menggemakan pertanyaanku ke segenap ruang di dada, “ada
apa?”. Kugemakan, namun tak juga kunjung datang jawabnya. Di tengah
kegelisahan, ditemani kesendirian dan kesepian yang amat menusuk, aku gelisah. Dan
kutuangkan kegelisahanku di atas kertas. Apa yang harus dilakukan? Ada suatu
perasaan ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar, seperti boneka yang
rusak.
Aku tanya kepada yang bisa ditanya tanpa berkomentar, namun
selalu menjawab, professor google, iya. Entah sejak kapan, ketika aku bertanya
pada banyak orang, mereka selalu menyuruhku bertanya ke google, hingga akhirnya
aku tak pernah lagi bertanya pada orang-orang korban keganasan professor google
itu.
Hingga kusimpulkan sendiri, aku benar-benar gila, dan aku tau
aku tak mau menyadari kesadaranku tentang itu. Kepada siapa aku harus
mengatakan kesimpulanku?
Dia datang dan pergi. Perasaan yang diangkat dan dijatuhkan,
yang istilahnya tak dipahami oleh orang kebanyakan, yang maknanya
disederhanakan sebagai proses alami manusia normal oleh mereka yang “normal”. Aku
juga tak mau mengakuinya, tapi bagaimana bisa aku hidup tanpa menerima bagian
diriku yang seperti ini?
Di suatu hari di kala itu kubuat segala rencana mutakhir demi
menggapai mimpi, kubuat jadwal bagi diri sendiri, dengan keyakinan bahwa aku
akan menjadi orang hebat, aku bisa melakukannya, aku bisa melihatnya di dalam
kepalaku, masa dimana aku menguasai segalanya. Kepalaku dipenuhi segala macam
hal yang akan aku lakukan di setiap harinya di masa depan, begitu bersemangat. Dan
keesokan harinya, sialan, rasa jatuh muncul! Lemah, lemas, bodoh sekali aku
pernah berpikir bisa menguasainya, siapa aku ini? Sedang apa kamu dan siapa
kamu pun tak akan ada yang peduli, tidak ada yang menyukai sifatku. Aku bangun
tanpa sedikit senyum dan kecerahan di wajahku, aku berbicara dengan suara yang
diseret seret, aku bergerak dengan lamban, aku berjalan lunglai mengikuti
kemana kaki akan membawaku. Rasa sepi yang tiba-tiba datang menyayat-nyayat,
sakit, kadang-kadang air mata keluar, kadang-kadang tidak. Aku harus
menghindari orang lain, muncul perintah di kepalaku, dan aku pergi, pergi ke
tempat dimana tak ada yang akan mengenaliku di sana.
Perasaan itu kadang-kadang muncul, membenci manusia. Karna manusia,
mayoritas manusia tidak sepertiku. Pernah aku penasaran apakah manusia lain
juga merasakan apa yang aku rasakan, tapi semuanya sudah berlalu. Apa pun yang
mereka lakukan di depanku, entah itu lucu, menyenangkan, mengganggu, semuanya
terasa memuakkan. Aku ingin mereka pergi dari hadapanku, atau aku yang pergi. Reaksiku
adalah menjauh, memilih hidup sendiri. Tapi ketika mulai berjalan sendiri, rasa
sepi mencambuk. God, aku tak tau apa yang harus kulakukan.
Aku ingin meneriakkannya, aku ingin ada yang mengetahuinya,
apa kalian bisa merasakannya? Aku tak tau. Hingga datang masa ketika aku
menyadari, segala yang kulakukan demi melegakan diri malah membawaku pada luka
yang lain. Ya, sakit sekali rasanya. Apa itu berlebihan bagi mereka? Aku merasa
seperti aku harus menjadi aktor yang sempurna di hadapan mereka, aku tak boleh
membuat mereka khawatir tanpa menguasai pengetahuan tentangku. Di tengah keinginan
dipahami oleh orang lain, mereka menendangku, “what the hell, first you have to
understand others!”. Sakit, iya sakit, dan aku tak bisa memanage nya dengan
baik. Aku tak akan bisa, tanpa reaksi emosional menghadapi orang-orang seperti
itu lagi.
Luka adalah hal yang pasti dialami setiap manusia di dunia
ini, aku tau itu. Tapi apakah perasaan sepi luar biasa ketika aku pergi dengan
membawa kehampaan -tanpa semangat hidup- ke tempat dimana tak ada orang yang
mengenalku tau itu dirasakan oleh banyak orang? Perasaan sepi yang berhasil
dijelaskan oleh salah satu tulisan yang membahas tentang salah satu gangguan
kejiwaan yang namanya pertama kali kudengar dari seorang teman, cerita tentang
kesalahpahamannya tentang penyakit itu dan menyamakannya dengan kepribadian
ganda, hingga dipopulerkan oleh seorang artis Indonesia yang melakukan hal yang
menghebohkan masyarakat Indonesia.
Kutipannya:
“Sangat sulit untuk
mengungkapkan penderitaan penyandang bipolar disorder. Oleh karena itu
penderita bipolar diorder sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti
tentang dirinya.
Ia, merasa
begitu kesepian. Mungkin orang awam tidak pernah memahami kata "sepi"
seperti yang dialami penderita bipolar. Sepi itu begitu menyayat-nyayat hatinya.
Ia sering menangis tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas. Tapi rasa sepi dan sedih itu jelas menggerogoti kebahagiaan jiwanya. Ingin mengungkapkan beban-bebannya namun tidak bisa menemukan seseorang yang mengerti tentang dirinya.
Penyandang bipolar disorder terkadang hanya menangis dalam hati, karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Hal ini akan semakin menambah tingkat depresinya. Tangisan tanpa air mata lebih perih dan pedih. Ia mengharapkan ada tangan yang menyeka lukanya, ada telinga yang mendengarkan deritanya, dan ada seseorang yang demikian teduh sehingga ia bisa rebah penuh kedamaian.
Ketika mengalami kondisi depresi, seorang penyandang bipolar ingin berteriak keras melepaskan semua bebannya, pada saat yang bersamaan ia merasa begitu sedih. Duduk terjatuh tidak bergairah di sudut kamar. Ia merasa tidak berguna. Ia putus asa. Ia ingin bangkit. Tapi tiba-tiba rasa takut menyergap dirinya. Ia kembali jatuh ke pangkuan pesimisme.
Dan terus menerus keadaan ini mengisi dirinya silih berganti: sedih, putus asa, keinginan untuk bangkit, menangis, tertawa, sepi, ingin mati, merasa ada pribadi yang berbeda dalam diri, tidak bergairah, merasa sangat berdosa, melihat masa depan begitu suram, sangat malu bertemu orang lain, merasa benci dan ingin bertindak di luar imajinasi normal... begitu seterusnya datang silih berganti dengan sangat cepat.
Masa lalu datang membayanginya. Terkadang ia sangat benci dengan masa lalu. Tetapi ia juga ingin pulang ke masa lalu. Ingin bernostalgia dengan masa-masa indahnya. Mungkin ketika ia merasakan kasih sayang orang-orang terdekatnya, ketika bermain dengan riang tanpa beban di masa kecil, atau ketika ia menikmati keindahan bentangan alam.
Tetapi ketika mengingat hal-hal indah tersebut lagi-lagi kesedihan menyergap tanpa kompromi. Kini ia melihat dirinya hidup dalam penderitaan. Ingin keluar tetapi sulit sekali.
Bagaikan berada di satu dunia yang sangat gelap, pengap, sepi, dingin, menakutkan, penuh aroma racun... ia berusaha sekuat-kuatnya keluar dari dunia itu. Ia melihat di sisinya ada dunia yang cerah dan penuh warna. Ada cahaya kemilau dan taburan kebahagiaan. Terlihat tawa-tawa penuh keceriaan, senyuman dari hati penuh kedamaian, dan ketentraman yang tak terpatahkan. Ia terus berusaha. Meskipun merangkak ingin menggapai dunia indah itu. Tapi malangnya semakin berusaha semakin ia merasakan betapa berat perjuangannya untuk menggapai kehidupan indah itu.
Ia masih di sini, di dunia yang sepi dan gelap itu. Menangis sendiri. Sepi sekali. Tak ada pelukan hangat dari seorangpun. Tak ada belaian penuh kasih. Semua orang hanya menyalahkan dirinya tetapi tidak ada yang mengerti penderitaannya.
Ia sedang berjuang untuk hidup, tak ada seorangpun yang memahami betapa kerasnya perjuangan itu. Mereka hanya menghakimi. Dan, begitulah akhirnya ia semakin terasing dan merasa sendiri. Sepi. Sedih. Dan perih. Seorang diri.”
Ia sering menangis tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas. Tapi rasa sepi dan sedih itu jelas menggerogoti kebahagiaan jiwanya. Ingin mengungkapkan beban-bebannya namun tidak bisa menemukan seseorang yang mengerti tentang dirinya.
Penyandang bipolar disorder terkadang hanya menangis dalam hati, karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Hal ini akan semakin menambah tingkat depresinya. Tangisan tanpa air mata lebih perih dan pedih. Ia mengharapkan ada tangan yang menyeka lukanya, ada telinga yang mendengarkan deritanya, dan ada seseorang yang demikian teduh sehingga ia bisa rebah penuh kedamaian.
Ketika mengalami kondisi depresi, seorang penyandang bipolar ingin berteriak keras melepaskan semua bebannya, pada saat yang bersamaan ia merasa begitu sedih. Duduk terjatuh tidak bergairah di sudut kamar. Ia merasa tidak berguna. Ia putus asa. Ia ingin bangkit. Tapi tiba-tiba rasa takut menyergap dirinya. Ia kembali jatuh ke pangkuan pesimisme.
Dan terus menerus keadaan ini mengisi dirinya silih berganti: sedih, putus asa, keinginan untuk bangkit, menangis, tertawa, sepi, ingin mati, merasa ada pribadi yang berbeda dalam diri, tidak bergairah, merasa sangat berdosa, melihat masa depan begitu suram, sangat malu bertemu orang lain, merasa benci dan ingin bertindak di luar imajinasi normal... begitu seterusnya datang silih berganti dengan sangat cepat.
Masa lalu datang membayanginya. Terkadang ia sangat benci dengan masa lalu. Tetapi ia juga ingin pulang ke masa lalu. Ingin bernostalgia dengan masa-masa indahnya. Mungkin ketika ia merasakan kasih sayang orang-orang terdekatnya, ketika bermain dengan riang tanpa beban di masa kecil, atau ketika ia menikmati keindahan bentangan alam.
Tetapi ketika mengingat hal-hal indah tersebut lagi-lagi kesedihan menyergap tanpa kompromi. Kini ia melihat dirinya hidup dalam penderitaan. Ingin keluar tetapi sulit sekali.
Bagaikan berada di satu dunia yang sangat gelap, pengap, sepi, dingin, menakutkan, penuh aroma racun... ia berusaha sekuat-kuatnya keluar dari dunia itu. Ia melihat di sisinya ada dunia yang cerah dan penuh warna. Ada cahaya kemilau dan taburan kebahagiaan. Terlihat tawa-tawa penuh keceriaan, senyuman dari hati penuh kedamaian, dan ketentraman yang tak terpatahkan. Ia terus berusaha. Meskipun merangkak ingin menggapai dunia indah itu. Tapi malangnya semakin berusaha semakin ia merasakan betapa berat perjuangannya untuk menggapai kehidupan indah itu.
Ia masih di sini, di dunia yang sepi dan gelap itu. Menangis sendiri. Sepi sekali. Tak ada pelukan hangat dari seorangpun. Tak ada belaian penuh kasih. Semua orang hanya menyalahkan dirinya tetapi tidak ada yang mengerti penderitaannya.
Ia sedang berjuang untuk hidup, tak ada seorangpun yang memahami betapa kerasnya perjuangan itu. Mereka hanya menghakimi. Dan, begitulah akhirnya ia semakin terasing dan merasa sendiri. Sepi. Sedih. Dan perih. Seorang diri.”
Iya, pikiran tentang rencana pemberontakan, rencana kematian,
begitu matang dipikirkan, dirombak ulang, dipatahkan dan diganti, segala
ide-ide yang muncul ketika berada dalam kondisi putus asa. Dan tak ada banyak
yang benar-benar paham. Kebanyakan mereka menyuruh untuk keluar sendiri atau
memberikan tangan yang terbuka tapi hatinya tertutup menerima kenyataan bahwa
orang yang di hadapannya merasa sangat berbeda. Yah, memaksanya untuk menjadi
orang normal ternyata memperburuk luka. Bisa masih bertahan sekarang pun adalah
kesyukuran.
Yah, kita hanya perlu melanjutkan hidup, berapa pun banyaknya
rasa jatuh dan terangkat, berapa pun banyaknya, asalkan kita tak berhenti
berusaha terus berjalan, hingga Tuhan menjemput kita dengan tanganNya. Hingga usaha
kita benar-benar dinilaiNya. Karna tak ada yang benar-benar memahami, bahkan
diri pada dirinya sendiri, kecuali Tuhan.
Jumat, 22 Agustus 2014
Anger of Satan
Ternyata aku bukan orang yang
bisa sabar terus menerus. Tuhan, karena aku tak memfokuskan diri seperti para
sufi, karna aku membiarkan diri berada di pertengahan, maka dengan mudah aku
terseret ke kiri dan kanan.
Memangnya apa yang bisa dia
lakukan ketika aku bosan? Di saat dia sedang asik dengan kesibukannya sendiri. Apa
bisa dia meninggalkannya untukku? Aku sudah memberikan waktu di tengah jadwal
yang kutetapkan sendiri. Yah, memang baru-baru ini, seakan aku menebus dosa
padanya dengan memberikan waktu dan menerimanya. Ya aku tau pula akhir-akhir
ini dia hampir selalu ada ketika aku butuh sesuatu. Ya aku tau, aku memang
bodoh. Aku bahkan tak tau apakah semua yang kulakukan aku benar-benar ikhlas. Bodoh
sekali.
Aku bodoh sekali ketika merasa
bahwa aku yang paling stress dan sebagainya. Ya aku tau itu. Bodoh sekali. Apakah
aku sakit? Bodoh sekali kalau aku merasa aku sakit dan butuh ditolong, dan
bukannya mengulurkan tangan membantu orang lain yang jauh lebih menderita. Ya,
aku bodoh sekali. Aku benci. Dan aku tak tau kepada siapa aku benci. Kepada siapa
aku harus mengekspresikan kemarahan, aku bahkan tak tau. Sebenarnya apa yang ku
tau?
Rendah hati apanya? Di dalam
diriku ada bibit kesombongan iblis. Aku bisa merasakannya. Apanya yang hebat? Persetan!
Omongan beberapa dari mereka itu benar-benar racun bagiku. Karna aku tau hal
semacam itu adalah racun, aku tak kan memberikannya pada siapa pun!
Apa yang ku inginkan? Apa yang
membuatku nyaman? Dasar setan! Aku benar-benar tak tau! Ketika orang-orang
mengkritikku dan menghinaku habis-habisan aku marah, dan ketika orang memujiku
aku juga jijik pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang membuatku nyaman? Oh,
demi Tuhan!
Oh, aku benar-benar sok suci,
seakan-akan hanya aku yang tau tentang dunia dan kehidupan. Oh, iyakah?! Tolol sekali.
Dia itulah yang memandangku dengan penuh persepsi. Oh, kini kebencian di dalam
diriku tiba-tiba muncul, dengan pemicu yang sangat sepele, tiba-tiba menyebar
dan didorongnya. Bagaimana aku harus mengekspresikannya?
Tuhan, bolehkah hamba terus
membiarkan kemarahan ini? Aku kah yang memang tak menghendaki koneksi yang
tanpa putus padaMu? Oh, sungguh aku tak paham dengan diriku sendiri. Kalau begitu
benarkah aku sudah memahami sedikit dari rahasia dunia yang Kau ajarkan?
Rabu, 20 Agustus 2014
Lampu yang Mati
Aku belajar membenci ketika
dunia memperlakukanku tak bersesuaian dengan apa yang seharusnya membuatku
nyaman di dalam perjalanan kehidupan di dunia yang penuh perubahan yang
niscaya.
Aku pernah ada dalam tahap
itu, mungkin berkali-kali dan bertahap karna itu tak bisa hilang.
Belajar berbohong, dan
menganggapnya bukan hal yang besar. Belajar memperlakukan orang lain dengan
keras. Belajar menjadi boss bagi diri sendiri. Hingga pada saatnya aku belajar
untuk tidak mempercayai orang lain, tidak mempercayai dunia.
Apakah dunia seperti apa yang
terlihat di hadapanku? Mana kutau. Mata kita penuh persepsi.
Pembelajaran bagi seorang
manusia memang penuh tahap. Ada tahap di mana ia akan fokus mempelajari moral,
kemudian fokus menajamkan sisi emosional, intelektual, dsb. Sering kali pada
masanya itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Otak kita bekerja tanpa kita
sadari. Ada pula yang namanya alam bawah sadar yang merekam memori yang tidak
bisa kita bangkitkan di alam sadar.
Menakutkan memang. Menyadari bahwa
kita dikontrol oleh apa yang ada pada kita tanpa bisa sepenuhnya dan seluruhnya
kita pilih. Tak ada kesimpulan lain selain ada kekuatan super di balik
segalanya.
Tapi tahapan belajar terus
berlangsung terkadang tanpa kita menyadari apa yang kita pelajari dari alam.
Hingga gen-gen di dalam tubuh
kita yang diwarisi dari orang tua diaktifkan tombol-tombolnya yang semula mati,
atau malah dimatikan tombol-tombolnya yang semula aktif.
Sejauh apa pikiran, imajinasi
mampu mengontrol diri kita? Oh sejauh apa?
Masa itu memang sudah lewat. Masa
di mana aku tak mampu melihat apa-apa di depanku. Masa dimana ada pikiran ingin
melarikan diri dari kehidupan yang sekarang. Masa ketika kebencian menyebar di
seluruh tubuh.
Namun tidaklah bisa dipungkiri,
meskipun maaf dan memaafkan terus mengalir membanjiri energi di alam, ada suatu
tombol yang bisa mengaktifkan segala yang sekarang tertidur. Suatu tombol yang
keberadaannya membuktikan pada kita bahwa kata-kata dan perlakuan yang pernah
kita alami akan terukir di dalam memori, tersimpan di sudut yang tak bisa
dibangkitkan ke alam kesadaran, yang terwujud dalam sikap yang tak sepenuhnya
mampu dijelaskan, sikap yang sering disalahpahami.
Ada penyakit lain selain yang
biasa coba disembuhkan dokter di rumah sakit. Penyakit yang muncul atas
ketidaksadaran kita memperlakukan diri dan orang lain. Penyakit yang coba Tuhan
minimalkan dengan cara membuat sebuah aturan yang lengkap tentang kehidupan
dalam agama, yang coba Tuhan minimalkan dengan memerintahkan manusia untuk
membaca segalanya!
Wahai, sadarlah manusia! Ada jiwa,
ada emosi, ada mental. Sudah banyak dari kita menjadi korban dari
ketidakpedulian dan keskeptisan kita, dari empati kita yang mati, kematian
empati yang muncul atas perlakuan empati lainnya yang mati. Seakan-akan manusia
berjalan di panggung dunia tanpa lampu yang hidup di bagian di mana seharusnya
lampu itu menerangi dan menuntun perjalanan.
Dan perjalanan manusia terus
berlangsung, mewarisi “kematian lampu” yang menyesatkan kita dari jalan
kebahagiaan sempurna. Bukankah karena dunia memang tidak mengizinkan itu?
Biarlah sejarah terus
berlalu, hingga masa dilewati dan berganti dengan masa di mana segala dendam di
dalam diri hilang di antara orang beriman. Dan kita bercengkrama tanpa pernah
ada dendam. Tuhan mengatakannya dalam firmannya pada Rasul akhir zaman, bahwa
akan tiba masanya kita bersamping-sampingan dengan orang lain dengan dendam
yang diangkatNya dari hati kita. Kemudian aku berpikir, “baiklah Tuhan, lampu
yang mati akan terus diwarisi di dunia, karna Kaulah yang menghendakinya”.
Kamis, 05 Juni 2014
Pesan bagi Para Insan Sosial
Di dalam sebuah kasus yang ada di
manga Dan Detective School, seseorang yang dikenal sebagai seorang pembunuh
ternyata diketahui terbiasa melihat pertumpahan darah di dalam rumahnya, di
antara ayah dan ibunya. Sekuat apa pun ia berusaha untuk tetap hidup biasa
saja, image yang biasa ia lihat dan hadapi di dalam rumahnya masuk ke dalam
alam bawah sadarnya dan membuatnya menjadi seorang pembunuh.
Kita sering mudah sekali
menghakimi perbuatan seseorang tanpa melihat latar belakang permasalahan. Di
dalam hukum Islam, hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. Bila ia
mencuri lagi sedangkan kedua tangannya sudah dipotong karna perbuatan mencuri
sebelumnya maka kakinya yang akan dipotong. Sekilas hukuman ini sangat menyeramkan.
Tapi hukuman potong tangan berlaku setelah si pencuri diadili, apa yang
mendasari perilaku mencurinya. Jika si pencuri adalah orang yang miskin dan tak
punya uang, ia akan mati bila tidak mencuri, maka tidak semestinya ia dihukum
sama dengan orang yang masih bisa makan tapi mencuri. Kita tidak tau apa-apa
tentang hukum Islam, tapi mudah bagi kita mengatakan bahwa ianya tidak
manusiawi.
“mestinya dia bisa kuat dong, dia
kan bisa belajar, masa terpengaruh sama lingkungan dan jadi pembunuh”,
blablabla, saya sering mendengar itu. Saya percaya seseorang membunuh pasti
karna dia “sakit” atau dia “harus” membunuh, dia terdorong untuk membunuh. Ada
yang menyesal dan ada pula yang tidak menyesal. Ilmu seperti psikologi dan
kriminologi ada karna ini. Di zaman seperti ini, entah kenapa saya berpikir
bahwa “adalah tidak keren kalau kita tidak tau tentang psikologi”. Kenapa? Oh
man, di atas 50% orang di dunia menderita kecemasan, stress, dan depresi. Dunia
di akhir zaman adalah dunia yang penuh dengan orang yang sakit secara mental
dan kejiwaan. Apa penyebabnya?
Dunia sekarang meninggalkan
agama. Fenomena “jangan campuri urusan agama” TANPA DISADARI membawa kita pada
neraka kegelisahan dan depresi. Mana ada orang taat dan khusyuk dalam beragama
mengalami depresi. Kalau pun kelihatannya dia “alim” dalam agama tapi tetap
saja depresi, ada yang salah dalam keimanannya. Benar, orang beragama adalah
orang yang penuh kedamaian. Karna itu Freud mengatakan bahwa agama ada karna ia
dibutuhkan. Agama dibuat karna manusia membutuhkan pegangan itu. Di sisi lain
dari teori Freud, orang beragama meyakini (karna keyakinannya pada Tuhan) bahwa
Tuhanlah yang menciptakan agama, karna itulah insting membutuhkan agama ada
dalam diri manusia.
“Jangan campuri urusan agama”
berdampak buruk bagi orang-orang yang lemah secara spiritual. Itu mungkin tidak
masalah bagi orang-orang yang mampu menjaga ketaatannya. Selain itu pemisahan
agama dan Negara dibuat-buat untuk menjaga toleransi beragama? Karna agama
adalah urusan pribadi saja, maka “Negara”lah ganti obat bagi kecemasan dan
ketidakteraturan masyarakat. Artinya, kita mengingkari peran agama sebagai
tuntunan kehidupan. KEBINGUNGAN, kegelisahan pun bertambah bagi orang beragama.
Karena di satu sisi dia perlu mengikuti aturan di dalam agamanya, di sisi lain
dia “dipaksa” untuk mengikuti aturan Negara. Fenomena ini terjadi! Tentu saja
bagi orang beragama yang masih taat pada agamanya dan merasa gelisah bila tidak
menaati aturan agama, ini tidak terjadi pada orang yang hanya menjaga iman dan
tidak peduli pada peran agama sebagai tuntunan kehidupan (secara penuh –
khususnya agama Islam).
“Agama bukan satu-satunya
tuntunan moral”, ada filsafat dan sebagainya. Memang benar. Tapi seberapa
sempurna tuntunan moral lain selain agama? Ini rumit, karna orang beragama
(khususnya agama langit) meyakini bahwa agama itu sempurna, ia datang dari
Tuhan. Sedangkan orang yang tidak beragama tentu tidak meyakini itu, dan
ketidakyakinannya pula yang membuatnya tak mampu melihat kesempurnaan agama
yang dilihat orang beragama (di sisi lain mereka -orang tak beragama- meyakini
keyakinan orang beragama pada agama lah yang membuatnya melihat “ilusi”
kesempurnaan agama. saya akan bicara dari sudut pandang orang yang meyakini
agama).
Saya tidak akan mengatakan lebih
karna kacamata kita sekarang sudah demikian diganti dengan warna lain sehingga
sulit bagi kita kembali pada kacamata kebenaran (jika anda mencurigai dunia
sekarang sedang berjalan menjauhi kebenaran). Saya akan kembali pada penyakit
dunia, kecemasan, atau kegelisahan. Kenapa beberapa manusia yang mendalami
filsafat tiba-tiba gelisah, seperti Al-Ghazali (salah seorang tokoh filsafat
Islam)? Tapi beberapa manusia lain begitu terlihat bahagia dengan teori
filsafatnya sendiri. Francis Bacon mengatakan “Sebuah filsafat yang dangkal
menggelincirkan pikiran manusia kepada atheisme. Tapi kedalaman yang ada dalam
filsafat membawa pikiran manusia pada agama”. Benar, filsafat adalah cara kita
menuju kebenaran, masalahnya hanya bagaimana kita menggunakannya. Filsafat yang
dangkal akan menyesatkan manusia. Saya meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu
yang simple dan mudah ditemukan oleh pikiran kita, tapi ia memuat misteri yang
luar biasa dalam yang tak akan habis usia dunia menyelami kedalamannya.
Al-Ghazali gelisah karna ia dibuat bingung oleh filsafat, selangkah atau
beberapa langkah lagi dia berputar di dalam filsafat, ia akan semakin dalam
tenggelam dalam lautan kebingungan. Setelah 10 tahun dalam perenungan, ia
“kembali” pada agama dan menulis sebuah buku berjudul “Filsuf adalah
orang-orang yang bingung”. Sampai kapan pun agama adalah tempat kembali
(akhirnya saya mengatakan lebih. Yah, hal ini adalah salah satu penyebab
permasalahan yang sedang kita bicarakan).
Kembali pada pembicaraan awal,
bagi siapa pun yang dengan ringannya menghakimi perbuatan seseorang, kenapa
anda tidak minta pada Tuhan (jika anda percaya Ia ada) agar menukar posisi anda
dengan orang yang anda hakimi? Hanya untuk melihat seberapa pandai anda
mengelola permasalahan milik orang lain dengan pikiran dan perasaan milik orang
lain (bukan milik anda!). Memang ada orang-orang bodoh yang begitu mudah
tergelincir pada hawa nafsunya sendiri sehingga ia benar-benar bersalah penuh
atas perilakunya (saya tidak yakin 100%, tapi mungkin memang ada?), tapi ada
banyak sekali orang yang perlu pertolongan! Karna dunia mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kita, manusia, kita saling membuat orang lain jatuh dalam “kesalahan”.
Orang yang kita hakimi pun adalah korban dari tindakan kita yang mempengaruhi
orang lain, anda paham? Saya hanya ingin mengajak anda berpikir bahwa ketika
anda melihat orang bersalah di hadapan anda, mulailah untuk mencari kesalahan
anda yang menyebabkan perilaku orang lain terpengaruh sikap anda. Saya beri
contoh untuk mempermudah.
Dalam manga Dan Detective School,
ada contoh yang sangat bagus (banyak malah!). Seorang pemimpin organisasi kriminal
berbahaya ternyata adalah anak dari seorang pembunuh berbahaya (pembunuh
berbahaya itu adalah ibunya!). Bukan hanya itu, ayahnya yang kemudian
meninggalkannya dan tidak mengakuinya sebagai anak kemudian memenjarakannya
dalam ruang bawah tanah ketika ia masih usia SMP! Dengan alasan khawatir si
anak akan berbuat kriminal! Ya,kekhawatiran kita seringkali malah membuatnya
jadi kenyataan. Si anak belajar untuk menjadi kriminal, justru ketika ia
dianggap kriminal. Lalu siapa yang bersalah atas kejahatan yang si anak
rencanakan ketika ia dewasa dan menjadi pemimpin organisasi kriminal? Si ibu
bersalah karna ia membuat anaknya dibully ketika teman-temannya tau si anak
punya ibu seorang penjahat, dan perilaku bullying teman-temannya menabung rasa
ketidakpercayaan si anak pada orang lain, termasuk pada sahabatnya sendiri yang
mulai terlihat meragukannya. Si ayah bersalah juga karna melakukan hal yang
menciptakan tekanan luar biasa dalam diri si anak untuk memantapkan hati dan
menyusun rencana untuk membuat sebuah organisasi kriminal. Lihat, perilaku anda
mungkin secara langsung mau pun tidak langsung membuat seseorang jatuh dalam
dunia hitam. (dalam agama Islam, cara inilah yang diyakini dipakai Tuhan untuk
menentukan seberapa bersalah kita dan siapa yang menjadi penyebab langsung
maupun tidak langsung kesalahan kita. Orang-orang yang menjadi pengaruh bagi
seorang penjahat akan terus mendapat bonus dari dosa kejahatan si penjahat. Jika
si penjahat mempengaruhi atau mengajak orang
untuk berbuat jahat, maka orang-orang yang mendapat bonus tadi akan
ditambah bonus dosanya karna ini. Seperti sistem bisnis jaringan bukan?). Orang
di luar lingkaran ini mungkin mengatakan bahwa mereka semua yang ada dalam
lingkaran itu sakit, dan harusnya si anak lebih kuat menghadapi segala tekanan
yang dialaminya ketika kecil. Tapi si anak bahkan tak kenal agama. Bagaimana
bahkan ia bisa percaya bahwa Tuhan itu baik? Tak ada yang mengajarkannya!
Memang, pasti ada jalan dan kesempatan ia kembali pada kebaikan, andai ada yang
menolongnya. Mereka yang tak merasakan ada dalam lingkaran setan ini tak berhak
mengomentari siapa pun yang terjebak di dalam situ. Mengapa tidak mereka
mengulurkan tangan untuk membantu dia yang terjebak dalam lingkaran setan bisa
keluar? Percaya bahwa siapa pun punya hati yang baik adalah modal untuk
mengeluarkan manusia dari lingkaran setan. Saya katakan modal, semoga tidak
berhenti pada modal saja.
Manusia diciptakan sebagai
makhluk sosial bukan untuk menciptakan peraturan yang penuh tekanan. Kita diciptakan
dengan kelemahan tidak bisa hidup sendirian agar kita saling membantu. Saling
membantulah kita, dengan catatan (fokuslah pada perbuatan kita) “jangan
berharap orang lain berbuat lebih dulu atau membalas kebaikan kita”, itu adalah
peraturannya.
Memaafkan dan minta maaf adalah
perbuatan luar biasa. Tapi memaafkan jauh lebih luar biasa. Kenapa? Kita tidak
perlu menunggu orang lain minta maaf pada kita, bagi kita segalanya sudah
selesai. Kita telah memberikan kebaikan pada diri kita sendiri dan orang lain
dengan begitu. Dan ketika kita punya kesalahan, minta maaflah tanpa menunggu
dimaafkan terlebih dulu. Meski pada akhirnya orang lain tak memaafkan kita,
setidaknya kita menyesal dan tak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Ya,
jangan tunggu kebaikan orang lain pada kita, jangan mengharapkan ucapan terima
kasih, fokuslah pada perbuatan kita. Dengan begitu kita tak punya cukup waktu
mengomentari orang lain. Jangan pula berharap orang lain berpikir sama dengan
kita.
Bantulah mereka keluar dari
lingkaran kecemasan, depresi, dan tekanan mental tanpa berpikir “dia harus bisa
keluar sendiri dari sana!”. Dan bagi penderita tekanan mental yang masih bisa
berpikir jernih di sela-sela kegelapan yang menyelimutinya, mari berpikir kita
tidak sendirian. Ada Tuhan yang selalu mengulurkan tangan untuk membantu, hanya
tinggal kitalah yang meraih tangan itu. Jangan terlalu berharap orang-orang di
dunia ini begitu pintar dan kuat menarikmu keluar dari lingkaran, kumpulkanlah
kekuatanmu dan mintalah kekuatan lebih pada Tuhan. Hidup adalah perjuangan.
Fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan bagi kita dan orang lain.
Tulisan ini dibuat dengan
berantakan dan tanpa persiapan. Dari berbagai pengalaman dan pelajaran, saya
tiba-tiba begitu ingin menyampaikan banyak hal, karna itulah ini ditulis. Saya
serahkan kesimpulan kepada pribadi masing-masing. Saya hanya berharap tulisan
ini mampu membuat kita berpikir banyak. Bukan karna saya merasa sudah begitu
pintar dan pandai mengaplikasikan apa yang ditulis di sini, tapi agar sama-sama
belajar dan berlatih. Saya minta maaf atas kesalahan yang saya buat di dunia
nyata maupun dunia maya, dan insya Allah saya memaafkan dan terus belajar
memaafkan atas apa yang saya temukan menyakiti perasaan dan merugikan saya. Karna
kita akan selalu melakukan kesalahan, putaran maaf dan memaafkan akan selalu
ada dan menjaga keteraturan di alam ini. Kita mungkin harus fokus pada apa yang
bisa kita lakukan, tapi “saling berbuat baiklah” agar revolusi kita damai
seperti halnya revolusi “mereka”.
(Saya tidak menyarankan anda agar
seperti malaikat dan tak pernah marah. Marahlah pada orang lain, itu wajar. Tapi
diamlah, pergilah untuk tenang. Lalu mulailah berpikir tentang kesalahan kita
dan perbaikilah diri kita. Jika memang perlu menyampaikan kecerobohan orang
lain agar ia memperbaikinya, lakukanlah dengan pikiran yang sematang mungkin
agar tak menimbulkan masalah baru. Jika tidak, saya harap pihak kedua bisa
lebih bijak dari anda, atau ada cara lain yang lebih cocok bagi masing-masing
orang.)
Warning! Tulisan ini tidak bebas dari kesalahan. Penulisnya adalah manusia (yang masih bocah usia dan sikapnya dibandingkan anda, bisa jadi). Silahkan ambil pelajarannya, dan perbaiki kesalahannya di pikiran anda.
Salam.
Langganan:
Postingan (Atom)