Senin, 10 November 2014

Malam Merindukan Bayangan

Rindu ini menyesak
Seakan segera meledak
Di batas pandang kulihat bayangan yang tak pernah bisa kugapai
Seperti bintang, kehadiran yang kedipannya menyiksa waktu
"apa sepersekian detik selanjutnya masih berkedip?"
Dan rinduku seperti bintang yang kian membesar
Untuk siap meledak menjemput akhir masanya
Apakah segera segalanya akan berakhir?
Dalam puncak rindu apakah ketiadaan menanti?
Ataukah ia akan menyusut perlahan dan tanpa disadari hilang dan mati?

Malam, kuluangkan waktu untuk merindu
Pada bayangan yang kian menghilang
Yang kian tak kurasa hadirnya
Malam merindukan bayangan
Yang kian lebur dengan kegelapan
Hingga cahaya bulan kembali bersama sepi
Bayangan telah hilang dalam kegelapan malam
Hilang dalam penyatuan
Aku tak pernah menyadarinya
Hingga bulan datang menyelimuti sunyi

Jumat, 07 November 2014

Untuk Tidak Saling Menyakiti

hei hei hei, tunggu...
apa aku kejam?
begini, ada luka makanya kalau kau sentuh bagian itu, tentu aku bereaksi
hei!
jangan bicara soal sepi padaku ya..
aku sudah melewati beberapa waktu, dan akhirnya aku sadar bahwa..
bahwa apa?

bahwa manusia itu hidup hanya sendirian saja.
tak ada yang bisa memahami.
negative?
katamu saja.
aku tak akan melabelkan apa pun. kalau kubilang nasib, bagus tidak ya?

teman yang kuberitaukan segalanya?
pernah beberapa kali kucoba mempercayakan pikiran dan perasaanku pada beberapa orang.
tapi lihatlah,
mereka pada akhirnya tidak menyukaiku ketika tau apa yang ada di pikiran dan perasaanku.
mungkin mereka punya luka juga?

pada akhirnya karna luka adalah keniscayaan,
hubungan antar manusia pun berjarak.
agar apa?

agar manusia bisa saling menjaga untuk tidak menyakiti.

Jika Kematian Datang..

"kalau kematian datang padamu saat ini, apa kau siap?"

jika itu sudah terjadi apa boleh buat.
akan ada kebahagiaan karna aku sudah terbebas dari beban dunia, tapi tentu saja pertanggungjawaban menantiku.
tak bisa kubayangkan seberapa besar penyesalanku saat itu.
aku ingin menjadi orang beriman yang lebih meyakini kebaikanNya.
karna sungguh IMAN ITU PERCAYA.
Bagaimana kukatakan aku percaya jika masih ada yang kuragukan dariNya?
oh demi Tuhan
oh demi Tuhan, ajarkan aku tuan..
hamba ini

dan mengapa ada kesulitan?
iman tercemari oleh kecintaan dan kefokusan pada dunia
pada hal yang fana
aku yang sekarang
dan Tuhan, apa aku bodoh jika aku selalu percaya padahal tak ada apa pun yang berubah dariku?
apa itu bodoh
kalau memang bodoh senikmat itu, apa salahnya?


Minna bai bai

Minna bai bai,

pengen banget gua ngomong gitu.

apakah gua sebenernya sedang menjadi orang lain?

well, gua nggak tau.

Yang pasti,

yang pasti..

kontingensi yang selalu terjadi pada Jean Paul Sartre,

itu BENERAN terjadi sama gua.

jadi yaa, mending, mending?

"bai bai minna"

sebenernya itu ga semudah itu sih

apa sih yang bikin ga mudah?

ego mungkin?

MINNA BAI BAI

MUKASHI NO ATASHI BAI BAI!

Akan kujemput masa depan yang baru

dengan sisa-sisa kekuatan kemarin yang masih sangat labil

tak akan sepenuhnya mungkin,

tapi ingin sekali ku katakan,

"sayonara.."


Jumat, 24 Oktober 2014

Apa Adanya


Manusia, kalau membandingkan dirinya dengan orang lain,

Yang ada hanya kekurangan

Aku sering berpikir ketidaksempurnaan manusia adalah bentuk kesempurnaannya

Coba, kalau seorang manusia benar-benar sempurna,

Tak akan ada hal yang menyenangkan bukan?

Makanya, ketidaksempurnaan adalah sebuah kelengkapan dari Tuhan

Sebagai bukti kesempurnaan manusia

Contohnya..

Bayangan Nino ada di mataku

Aku melihat dia berdiri dengan Clint Eastwood, Ken-san, dan Tsuyoshi-san

Kelihatan kecil di antara tiga orang yang tinggi itu

Ya, di antara orang lain, Nino memang pendek

Di umur remajanya badannya juga kecil

Tapi..

Coba lihat dia sebagai “dia”

Jangan membandingkannya dengan orang lain

Akan kelihatan luar biasa kan?

Coba kalau seorang yang tak punya tangan dan kaki melihat dirinya hanya sebagai dirinya,

Dia akan takjub dengan segala hal yang ada padanya,

Bukan?

Dan jatuh cinta itu..

Logika yang dimiliki hati itu,

Sepertinya mampu meniadakan perbandingan

Dan melihat segalanya sebagai kesatuan

Sepertinya..

Hari ini aku berpikir

Logika yang dimiliki hati itu benar-benar tak bisa ditelusuri dengan logika akal

Itu hanya bisa dirasakan, diikuti, dan diperlakukan dengan penuh kejujuran

“entah kenapa” rasanya begitu, logika hati itu

Iya, logika yang kita sanjung sebagai alat pemecah masalah, ternyata

Hanya alat pembenaran

Karna manusia melihat dengan kacamatanya masing-masing

Andai kita punya kemampuan melihat segala sesuatu apa adanya

Tanpa menilainya dengan baik atau buruk

Hanya rasakan saja, nyaman atau tidak nyaman, suka atau tidak suka

Andai kita mampu menjaga “kita yang apa adanya”

Sugoku naru deshou?


Kamis, 23 Oktober 2014

Unexpected


Setiap orang memikirkan bahwa apa yang dialami orang lain pasti sama dengannya

Makanya..

Makanya ketika diceritakan dan ternyata mengejutkan..

Mengapa mengejutkan?

Karna mereka pikir sama..

Mereka pikir kehidupan remaja itu “begini”

Mereka kira tipe yang sama, ternyata..

Tak disangka

Makanya..

Berbohong atau memanipulasi sesuatu

Agar mereka tidak kaget

Karna kekagetan membutuhkan energi yang lebih besar untuk dihadapi

Lebih baik biasa-biasa saja

Atau,

“yappari ne”

Atau jika bisa mengerti lebih jauh lebih baik

Daripada kaget, lalu..

Tidak memahami penjelasan

Yang tertinggal hanya “kok bisa..”

Ningen da yo

Terkadang tidak siap dengan perbedaan

Karna selalu mengharapkan “kalau bisa” sama

Itu lebih nyaman

Karna itulah ada trauma, kaget, penasaran

Akan lebih baik jika mereka serius menanggapi perasaan itu

Bukan sekedar bingung, pergi, dan bingung..

Hingga mereka tak pernah belajar tentang perbedaan dan hal-hal tak terduga dalam kehidupan

Serta jalan yang tidak selalu “lurus”

Atau sama dengan kebanyakan orang


Aiba shi!


Hari ini aku teringat Aiba!

Tengah malam, semalam

Ketika mencoba menenangkan diri

Aku membacanya!

The power of positive feeling

Tentang energi kuantum, dan kekuatan hati (jantung)

Level otak alfa

Nino yang expert dan Aiba

Ada perbedaan di antara keduanya

Nino lebih banyak belajar sesuatu yang skillfull dibanding Aiba

Tapi Aiba!

Ketika dia mengatakan, “dengan tersenyum, maka hal baik akan datang dengan sendirinya”

Sugoi deshou?

Aiba dan Nino

Aiba yang selalu tersenyum dan ceria,

Yang selalu berpikir dengan hati tapi polos itu

Nino dan Aiba

Pasti menyenangkan bukan?

Punya teman seperti Aiba

Pasti menyenangkan jadi Nino

Urayamashii 


Lagu untuk Tanggal Ke-20825


Aku kaget.

Baru pertama kali aku memikirkanmu sampai seperti ini.

Meskipun kita keluarga, apa  karna itu?

Terlalu wajar ya?


“Itu jadinya begini”, “itu gimana jadinya?”,

Jangan berpikir terlalu susah

Kau harus sering tertawa dengan keras


Aku ini, anakmu, dan..

Kau adalah orangtuaku

Mungkin ini kebetulan,

Tapi itu cukup sebagai satu-satunya yang membuatku bangga

Aku tidak mengatakannya,

Karna aku malu

Tapi itulah yang kupikirkan


Belakangan ini ubanmu semakin keliatan banyak,

Bukankah sudah cukup?


“Kau selalu hidup demi orang lain selama ini,

Makanya sekarang kau akan hidup melakukan apa pun yang kau suka..”,

Mustahil ya?

Karna kau terlalu baik


Kenapa ya?

Aku tak bisa menulisnya dengan dramatis

Benar-benar terlalu biasa

Tapi begitulah kita ya

Sampai sekarang pun, selanjutnya pun, seterusnya..

Tak apa ayo terus tetap begini

Seperti biasanya kita rasakan


Kalau kita terus berjalan seperti ini,

Suatu saat pasti saatnya akan datang juga ya


Kalau, aku ada di posisimu, bagaimana rasanya ya?

Saat itu, yang aku mulai mengerti adalah penyesalan,

Betapa hebatnya dirimu


Makanya, mungkin aku tak akan mengatakannya

Nenek adalah orang yang hebat

Benar-benar menyesal,

Tapi terima kasih


By Ninomiya Kazunari


ORION


Yang menangis itu aku

Karna kau bilang, “tidak memperlihatkan kelemahan bukan berarti kuat”

Aku percaya


Di jalan pulang napasku semakin dingin

Bintang hanya bergoyang-goyang


Bahkan kehangatan samar yang selalu kupastikan,

Kelihatannya sudah kulupakan


Baru pertama kali aku menyadari sekarang

Bahwa aku bisa suka pada orang lain


Yang menangis itu aku

Aku memandang lekat konstelasi bintang musim dingin yang saling terhubung

Supaya tidak hilang di langit ini

Aku percaya


Aku berharap kedua tanganku yang membeku kedinginan tidak terlepas darimu

Sampai kapan pun aku ingin terus menyentuhnya


Walaupun aku terus mengulang-ulang kata-kata yang ingin kusampaikan

Tetap saja itu tidak bisa kusuarakan


Kita menertawai hal-hal konyol

Dengan lembut aku merangkulmu


Aku menghitung bintang jatuh

Keajaiban bertemu denganmu, sekarang,

Mengajarkanku arti hidup

Aku percaya


Yang menangis itu aku

Karna kau mengatakan, “tidak memperlihatkan kelemahan bukan berarti kuat”,

Aku percaya


Karna kau mengatakannya,

Aku percaya


By Nakashima Mika


Burung yang Tak Bisa Terbang


Yang ada di sini adalah angin,

Serta kau dan bunyi kota

Meskipun itu cukup membuatku bersyukur,

Suara musim gugur yang cepat berubah lalu akan menjadi jeritan

Sesungguhnya aku ingin bersama denganmu sebentar lagi saja


Dengarlah suara nyanyian burung-burung yang lupa caranya terbang


Langit yang kita pandangi pastilah biru

Cobalah lihat, kita sungguh kecil

Aku akan melanjutkan perjalanan lagi dengan membawa kata-kata lembut darimu


Belakangan ini dunia yang dibangun merupakan respon dari kesedihan dan kekecewaan

Entah bagaimana kelihatan transparan dan aku membencinya

Demi berjalan dan tertawa bersamamu,

Aku tidak lagi takut untuk mulai mnegetahui semuanya


Ayo kita mulai sambil mencari suara langkah yang mantap di balik segala perbedaan


Matahari pagi terbit dari balik rel

Terlihat warna celupan oren yang cerah

Aku belum juga menemukan jawaban yang jelas,

Seperti burung yang tak bisa terbang


Zaman mulai berubah..

Aku tak perduli meskipun tak sesuai lagi


Langit yang kita pandangi pastilah biru

Cobalah lihat, kita sungguh kecil

Aku akan melanjutkan perjalanan lagi dengan membawa kata-kata lembut darimu


Seperti burung yang tak bisa terbang


by Yuzu

Rabu, 22 Oktober 2014

I Wish Everything is Okay


Ninomiya Kazunari kalau tidak salah pernah bilang, tentang alasan kenapa dia berhenti menulis diary di gamenikki. Katanya (kalau tidak salah) dia tidak ingin tulisannya berpengaruh pada tindakannya di masa depan. Aku mengerti maksudnya tapi mungkin saja aku salah paham. Aku pernah beberapa kali memikirkannya juga. Tapi beberapa kali juga aku mempertimbangkannya dan akhirnya membiarkannya berlanjut. Padahal aku tau banyak tulisanku di masa lalu sangat mengganggu dan aku tidak ingin orang lain membacanya dan mengaitkannya dengan diriku yang sekarang.

Kenapa aku membiarkannya? Padahal aku ingin blog ini segera dihapus, semua yang berkaitan denganku di internet, tapi pada akhirnya aku tidak pernah melakukannya. Mungkin besok, lusa, atau kapan pun di masa depan aku akan melakukannya.

Hari ini aku kacau. Lampu yang mati berkali-kali mengangguku, membuatku ingin meledak juga rasanya. Akhirnya perasaan membenci mereka timbul lagi. Rasanya aku ingin tinggal sendiri saja, atau berdua dengan mamah. Lalu aku menangis saja, biar ada rasa lega sedikit, sambil mengemis pada Tuhan agar dia mengabulkan keinginanku secepatnya.

Mengapa aku harus selalu mengerti, sedangkan dia tidak mencoba mengerti. Karna itu kuungkap saja apa yang kurasakan, padahal selama ini aku tak pernah mau memberitaunya pada siapa pun. Kini, ketika aku merasa benar-benar terganggu, aku pikir perlu memberitau agar mereka sedikit mencoba mengertiku juga. Keseimbangan itu lebih bagus bukan?

Aku harap aku bisa menjadi penolong penyembuhan orang lain, tapi nyatanya aku benar-benar kacau. Aku perlu memprogram ulang semua hal dalam diriku. Aku harus mulai semuanya dari awal, kalau memang aku ingin menjadi lebih baik. Karna sudah terlalu banyak virus di dalam otakku, sedangkan sistem dalam diriku tidaklah secanggih itu, hingga aku bisa membuat virus yang masuk tidak menyerangku. Ya, syukurlah aku akhirnya paham apa yang sebenarnya perlu kulakukan.

Fuh, apa aku bisa baik-baik saja? Di saat seperti ini aku betul-betul khawatir. Di saat lain aku benar-benar yakin.

Tapi aku tak pernah membuang motto hidupku satu-satunya itu, “nothing impossible”. Sehingga aku benar-benar terganggu dengan tindakan meremehkan. Ya, begitulah mungkin yang terjadi.

Terima kasih Tuhan, karna akhirnya aku sadar aku sangatlah tidak mengerti apa-apa. Dan aku harus memulainya dari awal lagi.

Daan, agar tidak jadi semelankolis dulu dan sekarang lagi…

Aku benar-benar ingin berubaah..

Kini, dan di banyak waktu, tetaplah aku perlu sekali waktu yang banyak untuk menyendiri. Aku benar-benar memerlukan tempat yang hening dan sepi untuk berpikir. Kalau saja aku bisa melatih diriku berkonsentrasi di tempat ramai dengan kualitas yang sama bagusnya ketika aku berkonsentrasi di keheningan. Tapi aku rasa tidak perlu.

Dan karna keperluan akan keheningan itu, aku benar-benar hidup di malam hari sekarang. Dan aku merasa itu lebih baik. Apakah aku akan baik-baik saja?

Hari ini aku melihat seorang teman di facebook. Sepertinya dia ada masalah. Oh, aku harap dia baik-baik saja. Aku benar-benar berharap dia baik-baik saja.


Senin, 20 Oktober 2014

Bikkuri


Kecelakaan!

Abang ditabrak mobil dari belakang!

Bikkurishita yo!

Untungnya tak ada apa-apa kecuali motor bagian belakangnya rusak parah.

Untungnya..

Setelah tadi pagi ketika sedang belanja di ITC,

Ada mata jahat di tempat yang sepi.

Ah, aku takut.

Hari ini ITC benar-benar sepi.

Dan kejadian itu membuatku berpikir bahwa menikah itu penting.

Iya, tapi yang lebih penting, siapa orang yang akan menikah dengan kita.

Waktu Nino diwawancara tentang pernikahan, dia bilang..

Akan lebih baik dan romantis kalau seseorang yang akan menikah dengan kita awalnya kita temukan tanpa sengaja dalam kehidupan sehari-hari kita.

Maksudnya, bukan perjodohan dan semacamnya.

Cinta dan pertemuan yang tidak diniatkan.

Dan seberapa pun jelek masa lalu atau sifat pasangan di mata orang lain,

Karna kita yang telah memilihnya dengan penuh kesadaran,

Itu tak masalah karna yang menjalaninya adalah kita.

Fuhh.

Nino..

Ada seseorang yang sedang kupikirkan.

Yang aku kenal sejak aku juga pertama kali kenal Nino.

“kebetulan” ya?

Di tahun bapak meninggal.

“kebetulan” ya?

Ya, tahun yang penuh kejutan.

Di salah satu lagunya Nino bilang,

“jangan bilang kamu merindukan masa-masa itu,

Berpeganglah dengan kuat dengan masa kini”.

Itu benar Nino..

Ah, sudah berapa hari sejak pernikahan Sausan?

Apa kabarnya sekarang dia?

Ah iya, sejak kapan subyek tentang pernikahan itu sering kita bicarakan?

Sasuga, sausan yang pertama menikah di antara kami!

Kapan kami menyusul?

Seseorang pernah bertanya, kalau ada yang mengajak aku menikah sekarang, apa aku siap?

Aku bilang “tidak”. Entah kenapa aku bilang begitu.

Aku merasa masih nyaman dengan diri sendiri.

Dan aku tak mau ada orang lain mengganggu kesendirianku, sepertinya begitu.

Tapi setelah berpikir-pikir lagi, aku merasa,

“tergantung siapa yang mengajak menikah”

Sou da, sou da! XD

ah Nino, Nino, ajari Levi jadi orang yang tidak melankolis dong!

Levi bosan!


Sabtu, 18 Oktober 2014

Belum Tentu Sejalan


Ada terlalu banyak hal yang tidak kita sukai di dunia ini. Tapi kita pun sadar bahwa terlalu banyak pula hal yang kita sukai di dunia. Banyak orang mengatakan apabila kita mengisi pikiran kita dengan hal yang positif, bila kita selalu berprasangka positif pada segala hal yang terjadi, dunia ini benar-benar akan kelihatan begitu indah. Sebaliknya bila kita selalu berprasangka negatif pada segala hal yang terjadi di depan kita, begitulah dunia bagi kita. Aku tau itu. Tapi pernyataan itu seakan mengakui bahwa tak ada apa pun di dunia ini kecuali imajinasi. Dunia ini dibentuk dengan imajinasi, dan dijalani pula dengan imajinasi. Lalu kita pun bagian imajinasi dari sesuatu yang lebih besar.

Pertanyaan yang sebenarnya perlu ditanyakan adalah mengapa ada seseorang yang selalu berpikiran positif, dan mengapa ada seseorang yang selalu berpikiran negatif? Benarkah bahwa sesungguhnya tak ada nilai apa pun di dunia ini kecuali prasangka kita sendiri? Absurd sekali. Mereka harus menjawab pertanyaan ini, jika mereka sangat mengedepankan prinsip “apa pun yang terjadi, berpikir positiflah”. Tapi apakah kebanyakan mereka mau berpikir? Kebanyakan mereka punya tujuan yang sangat praktis (setidaknya menurut beberapa orang), yaitu menjalani kehidupan sebaiknya, pragmatis? Berpikir postif sangat berguna agar apa yang kita lakukan ke depan punya hasil yang bagus. Karna pikiran mampu memaksimalkan usaha, katanya begitu. Tapi…mereka benar-benar buta dan tuli, mereka kata Tuhan “sama dengan binatang ternak. Tidak, bahkan lebih buruk lagi”. Apa itu terlalu kasar? No, itu kata-kata Tuhan di dalam Al-Qur’an. Tuhan hanya memberitau sesuai kenyataan, bukannya menghina manusia.

Manusia yang hidup tanpa menyadari apa yang sedang terjadi, akan terjadi dan latar belakang dari kejadian kita adalah manusia yang lebih buruk dari binatang ternak. Apa bedanya manusia dengan binatang ternak? Bisa berperadaban dan berbudaya? Laba-laba juga bisa, semut bisa, banyak binatang yang bisa. Itu adalah tasbih yang tidak disadari. Semua makhluk Tuhan diciptakan untuk bertasbih tanpa mereka sadari. Tapi manusia berbeda. Manusia diberi “penglihatan, pendengaran, dan hati”. “mengapa tidak kau pergi menjelajahi bumi, agar kau punya telinga yang bisa mendengar, mata yang bisa melihat, dan hati yang bisa merasa?”, kata Tuhan. Ya, mereka buta dan tuli, kebanyakan mereka. Apa terlalu kasar? Tuhan yang mengatakannya sendiri!

Jadi apakah segala hal yang kebanyakan manusia katakan, yang keliatannya atau kedengarannya baik sekali, ternyata belum tentu sejalan dengan kebenarannya. Saya percaya bahwa segalanya adalah relatif, sebelum Tuhan membuat aturan bagi segalanya. Seperti bahwa hukum dasar segalanya adalah boleh sebelum Tuhan mengharamkan beberapa hal. Mengapa Tuhan mesti membuat semua itu? Apa jadinya game tanpa aturan? Apakah yang kita jalani adalah game? Kalau bukan game, apalagi? Untuk tujuan apa kita ada di dunia ini? Bisakah kalian menjelaskannya?


Jumat, 17 Oktober 2014

Mereka tak Paham, dan Aku?


Dia tidak sadar, dialah yang juga punya andil membuatku jadi seperti ini. Aku tau itu, tapi aku pun sadar aku harus memperlakukannya dengan baik. Mereka juga, mereka tidak sadar bahwa aku tak suka stimulus yang terlalu banyak. Apa mereka meremehkanku? Seakan-akan aku sangat butuh bantuan orang lain dalam banyak sekali hal. Sial! Apa mereka pura-pura lupa atau benar-benar  lupa bahwa aku tak suka anak kecil? Apa mereka tak tau bahwa aku tak bisa “berjalan” dengan baik jika mereka memperlakukanku seperti itu?
Mereka sama sekali tak paham.

Apa yang mereka paham? Aku tak tau. Segala sesuatu memang  harus selalu disembunyikan dariku, karna aku terlalu emosional. Apakah itu bisa menyelesaikan masalah? Dia keras kepala, dan tak sabaran. Lalu ada lagi yang selalu membela yang lain. Juga yang selalu mengancam. Apakah aku yang terlalu peka? Dan kepekaan itu masih ada di diri sampai sekarang?

Apa yang mereka paham? Mereka hanya menjudge lalu menyindir, berharap agar terjadi perubahan. Apa mereka tak sadar bahwa aku sangat tak nyaman dengan cara mereka hidup di sekitarku? Cara mereka merobek privasiku dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun? Mereka pikir aku senang? Tapi aku tak kuasa hendak mengatakan langsung di depan muka mereka “ga suka!”, karna aku terlalu banyak bergurau, dan aku tak tau bagaimana menyelipkan keseriusan di tengah gurauan orang lain.

Terlalu banyak kejadian terkadang membuatku tak tau bagaimana harus menyikapi kehidupan, bagaimana harus menyikapi orang lain. Kalau pun aku tau, mengapa jalanku sering tak sama dengan mereka? Dan bagaimana aku harus mengatakannya? Aku butuh tindakan. Ya, benar, tindakan. Tapi aku terlalu mudah diombang ambingkan perasaan, seperti aku memang butuh bantuan, tapi bukan dengan cara seperti itu!

Hidup hanya harus terus dijalani. Tak boleh berhenti. Sampai saat ini, banyak hal yang kulakukan dan kupilih, adalah sesuatu yang bukan benar-benar ingin kulakukan dan kupilih. Mengapa aku merasa terpenjara seperti ini? Apakah orang lain merasakan hal yang sama? Mengapa bocah nakal sepertiku ini masih bisa merasakan cinta pada Tuhan? Apakah perasaanku tidak menipuku, tuan? Apakah perasaan ini benar-benar nyata? Kalau iya, bagaimana bisa?

Kepekaanku sedang terlalu tinggi. Hingga apa pun bisa sangat menganggu dan merusak mood seketika. Tapi aku bisa merasakan bahwa aku masih bisa menormalkan diri, entah bagaimana. Aku hanya benar-benar butuh tempat yang sepi dari orang lain.

Mereka bilang aku pemalu. Aku bingung, mereka mengatakannya seakan itu adalah kelemahan yang besar. Apa salahnya jadi pemalu? Bukankah anak perempuan memang harusnya pemalu? Bukankah rasulullah jauh lebih pemalu? Bukan, aku bukankah pemalu seperti sang Nabi saw, aku hanya, aku merasa terganggu dengan perhatian orang di sekitar, aku merasa dipenjara dengan tatapan orang lain. Mereka bertanya kenapa aku jarang sekali keluar rumah berinteraksi dengan orang lain, kenapa selalu menghindari hal macam itu? Karna itu sangat menghabiskan tenaga, itu memerlukan usaha yang besar untuk mendobrak mood agar bersikap ceria di depan orang lain. Dan dilihat oleh banyak orang menurutku sangat menganggu privasi, sangat menganggu! Betapa peka aku ini! Dan mengapa mereka heran hingga melabelkannya dengan kekurangan yang besar karna di wilayah ini, budayanya adalah beramah tamah dengan orang lain? Itulah yang membuatku ingin sekali pindah kewarganegaraan dan tinggal di Negara lain.

Aku ingat, aku pernah dalam suatu kelas pengenalan kampus. Ketika anak-anak sedang semangat mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan atau berpendapat, ketika kelas benar- benar ribut dan “ceria”, kakak pengajar itu memanggilku karna aku tak pernah mengacungkan tangan, dia memberiku kesempatan, oh baik sekali. Tapi apa yang aku katakan? “saya ga ngerti, ga kedengaran!”, dengan ekspresi muka dan nada bicara yang menampakkan rasa terganggu. Kakak itu dan teman-teman tiba-tiba diam dan melongo, lalu seperti sepakat untuk langsung ramai lagi. Hah! Lucu sekali!

Seseorang yang aku kagumi, dalam suatu wawancara pernah mengatakan hal yang benar-benar bisa kupahami dan kurasakan dengan nyata. Dan betapa kaget aku bahwa dia bisa mendeskripsikan perasaan yang sebenarnya sederhana itu. Apa karna aku berpikir terlalu kompleks? Ya, suatu hal yang aneh dari hal di sekitar akan menyisakan lebih banyak perhatian. Daripada diperhatikan, lebih baik berusaha bersikap sama dengan sekitar, hanya agar tak ada yang memperhatikan. Sungguh luar biasa! Oh, kenapa aku menganggapnya luar biasa?

Berusaha untuk tidak diperhatikan. Perbedaan antara aku dengannya adalah, dia jauh lebih cerdas dalam menyelesaikan masalah daripada aku, dan bahwa dia tidak melankolis, bahwa dia sangat pragmatis dan rasional. Mungkin karna dia laki-laki? Entahlah. Kalau aku seorang laki-laki, aku ingin seperti dia.

Ya, mengapa harus repot berpikir “kenapa ya mereka tidak bisa paham?” atau mengeluh tentang itu. Seperti yang pernah seseorang katakan padaku, yang aku kagumi juga, bahwa mengeluh dan meratap bukanlah penyelesaian. Aku tau itu di kepala, aku benar-benar memahaminya. Terkadang aku mampu melakukannya dengan baik, tapi aku tak mengerti terkadang kepekaan bisa sangat tinggi dan menganggu. Aku tak mengerti. Dan mengapa aku tak mengerti? Aku hanya harus berjalan dengan diri sendiri. Dan orang lain? Mereka tak paham, karna itulah mereka bersikap seperti itu. Tapi emosi ini terkadang sulit dikendalikan, terkadang sulit memainkan peranan yang normal. Aku tau itu. Hanya bagaimana mengendalikannya?


Kamis, 16 Oktober 2014

..pada Diri Sendiri


Dikasih hati minta jantung.
Banyak orang keterlaluan jika diperlakukan baik.

Diramahtamahi, diajak ngobrol,
lalu sok akrab, bebas menanyakan hal-hal pribadi, menyusahkan,
sialan!

Aku tak mengerti dengan orang-orang yang gampang suka pada orang lain.
Kemarin suka pada si A, sekarang suka pada si B.
Pun aku tak mengerti dengan orang-orang yang bisa menyukai orang yang sangat menyukainya demi bisa bahagia.
Aku tak tahan dengan orang yang mengatakan “kamu ga boleh bilang kamu bukan jodoh sama seseorang, yang menentukan jodoh itu Allah. Mungkin kamu ga suka dengan seseorang, tapi kalau Allah berkehendak, jodoh ya jodoh”
Fuhh, normatif sekali ya, kata-katanya memang benar,
tapi penuh manipulasi.
Menjijikan.
(Dan aku tak mengerti mengapa kata manipulasi begitu susah aku munculkan di kepala ketika aku perlu menyebutkannya.
Itu terjadi berkali-kali.
Meski aku ingat hurufnya dimulai dengan M dan merupakan sifat mencolok Allen,
salah seorang kepribadian Billy Milligan.
Bahkan aku perlu melihat buku 24 Wajah Billy lagi untuk menuliskan kata itu di sini.
Ketika mencoba mengingatnya aku hanya terpikir “mutilasi?”
Sungguh gila.)
Ya, aku tak mengerti,
dengan mereka yang mau menikahi orang yang tidak 100% dicintainya, tidak mantap bagi dirinya,
hanya mempertimbangkan kebagusan agama dan rekam pendidikannya.
Dengan mereka yang mengizinkan orang asing yang dinikahinya tanpa disukai 100% itu menemaninya sehari-hari,
masuk ruang privasinya,
mengetahui luar dalam tentangnya,
aku sungguh tak mengerti.
Segalanya begitu normatif, begitu dibentuk indah dari luarnya,
dipikirkan dengan keindahan dan kebagusan, hingga pengaruhnya pun bagus.
Apa yang sesungguhnya kalau begitu?
Aku benci dengan ketidakjujuran macam itu,
sungguh aku lebih suka bergaul dengan hewan-hewan yang jujur itu.
Ya aku tau, kita manusia perlu memperhitungkan segalanya, bukan hanya merasakan segalanya.

Aku ingat pelajaran yang pak Tommy sampaikan di kelas filsafat bahasa.
Orang di sisi obyektif dan abstraksi matematis itu penuh manipulasi,
berbeda dengan mereka di sisi subyektif, yang jujur pada emosi yang dirasakannya.
Aku mengerti.
Meski cara menyampaikannya penuh retorik (yah, apa yang tidak cenderung pada sesuatu? Bukankah segalanya kebanyakan selalu berpihak? Demi melepaskan manusia dari rasa kebingungannya terhadap dunia, segalanya perlu condong dan berpihak pada sesuatu. Di sisi ini aku berpikir, kalau begitu bukankah yang obyektif artinya tak punya nilai apa pun? Tak bermakna apa pun kecuali kerelatifan?)
Dan aku tak perlu repot dan memusingkan yang mana yang benar.
Menurutku segala yang di pertengahanlah yang “boleh” dikatakan paling benar.

Orang-orang yang keterlaluan,
yang ketika dikasih hati minta jantung itu,
harus kuberi pemahaman dan pelajaran bahwa mereka sungguh rendahan dengan sikap begitu.
Harus diacuhkan agar paham dan disakiti agar jera.

Aku jijik sekali.
Aku sadar, orang-orang yang pernah menarik bagi kita bisa menjadi orang yang menjijikan bagi kita suatu hari.
Kacau sekali.
(Meski begitu, bagi orang-orang yang benar-benar kusukai, itu tak kurasakan. Terkadang aku berpikir untuk menyukai seseorang itu ada tahapan ujiannya. Ketika semakin jauh ternyata kekurangannya terlihat semua di hadapan kita apakah kita baik-baik saja? Tak bisa dijelaskan dengan –katakanlah- logika, tapi jika kita benar-benar menyukainya, apa pun hampir tak bermasalah. Bahkan sifat dan pemikiran yang bertentangan pun hampir tak bermasalah. Yah, cinta memang buta, katakanlah begitu. Itu kan hanya kata-kata yang dipaksa menjadi gambaran yang tepat bagi yang kujelaskan barusan, tapi bagiku justru itulah “penglihatan dalam cinta”. Orang-orang yang mengatakan itu cinta buta adalah orang-orang yang berpikir terlalu rasional, hingga perasaan pun dilogikakan. Ya, aku tau, kata-kata ini pun sangat subyektif)
Di tengah perasaan campur aduk dan kegiatan gila yang tidak sehat,
emosi yang menjijikan itu seakan mendesak masuk dan mencampuri rasa yang sudah tak bernama itu.
Pada akhirnya keinsafan tercemari lagi dengan penuh kesadaran.
Terkadang ada dorongan pembangkangan yang kuat bagi diri yang sedang lemah.
Ya, dua-duanya memang tentang diri sendiri, siapa lagi yang bertanggungjawab?

Emosi campur aduk yang tak bernama, di hari-hari penuh kelenaan.
Lalu gerakan yang lambat datang lagi,
seperti orang stress, depresi.
Di kesibukan pagi, segalanya datang berangsur-angsur.
Kepekaan terhadap stimulasi, segalanya terasa mengganggu.
Hanya suara seseorang sedang memanggil orang lain,
barang yang tiba-tiba jatuh tertiup angin,
barang yang miring ditempatkan di meja,
pertanyaan peduli dari orang lain,
pada puncaknya kucing yang menganggu aktivitas,
segalanya begitu tajam kurasakan, begitu mengganggu.
Reaksinya adalah teriakan tertahan sambil menendang kucing,
atau membanting barang dengan rasa bersalah sesudahnya.
Juga seringkali aku bisa marah-marah pada orang-orang yang biasanya kuhargai dan kuhormati.
Marah-marah, menyakitinya dengan kata-kata agar dia menjauh dan tak mengangguku lagi.
Atau di luar itu, terkadang aku ingin menyakiti orang untuk mengetes perasaanku sendiri pada orang tersebut, mengetes reaksiku sendiri pada orang tersebut, atau mengetes perasaan dan reaksi orang lainnya.

Aku tak tau apa kaitan perasaan membenci orang lain yang tiba-tiba datang kemarin dengan kepekaan hari ini.
Aku benar-benar perlu waktu untuk menormalkan napas yang memburu karna kemarahan besar yang tertahan.
Ada imajinasi pengancaman terhadap orang-orang yang kubenci, hingga percobaan pembunuhan.
Pada detik itu, aku merasa aku pasti bisa menjadi penulis hebat seperti Edgar Allan Poe, penulis dengan imajinasi gila seperti dia, aku bisa sehebat dia.
Hanya saja aku sadar aku tak bisa mempertahankan rasa peka ini,
hingga ketika rasanya hilang, segala imajinasi ikut hilang.

Memang benar hidup ini begitu sepi.
Ketika berkumpul bersama orang lain dan teman-teman rasanya waktu berjalan begitu saja,
meski aku sadar bahwa waktu yang terlewat dengan bersenang-senang bersama orang lain adalah kelenaan sia-sia.
Ya, itu yang kupikirkan meskipun aku tetap menjalaninya jika aku punya kesempatan itu.
Dan ketika, waktu menghadiahkan sepi bagiku, terkadang justru aku tak benar-benar bisa fokus dengan rencana tentang apa yang bisa aku capai.
Aku tak paham.

Di periode ini,
sebenarnya sama saja, di periode mana pun rasa itu bisa datang,
kepekaan terhadap “kuman” dari luar (bagaimana aku harus menyebutnya?).
Anak kecil yang berbunyi tak jelas dan tak kupahami, tapi reaksi kosong dariku bisa merupakan kesalahanku terhadapnya (dan mereka menyalahkanku karna mengacuhkannya),
bisa kupandangi penuh rasa sebal.
Anak kecil yang oleh banyak orang dijadikan foto wallpaper atau profil (aku tak paham apa bagusnya, apa lucunya, apa menariknya, sumpah aku tak paham),
yang bagi banyak orang begitu tanpa dosa dan lucu.
Bagiku hewan mamalia jauh lebih menarik dijadikan wallpaper, jauh lebih lucu daripada bayi manusia.
Anak-anak sekolah yang berbicara sambil teriak-teriak di depan rumah,
hingga bocah-bocah yang mengaji di musolla samping,
bisa sangat tajam rasa mengganggunya bagiku.
Membuatku tak bisa fokus pada apa pun,
berdiam diri menikmati amarah terpendam.
Hingga ketika tak ada apa pun bisa menghentikan mereka,
aku hanya bisa mengimajinasikan scene pelenyapan mereka di kepalaku.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar meredakan perasaan itu.

Orang-orang yang bolak-balik di rumah (Babi! Rumah gua bukan sarana publik!),
sekedar bertanya-tanya,
bunyi bel yang menggema di rumah,
bunyi anak kecil teriak-teriak bermain,
the hell! Tinggalkan aku sendiri, sialan!
Mereka memaksa untuk tersenyum,
aku merasa ini ujian yang berat, beratnya membuatku membenci apa pun yang ada di sekitarku (bahkan pensil yang ada di tanganku ingin kuremukkan)

Namun ketika keinginan untuk kabur keluar mencari sepi itu ada,
ketakutan akan kesendirian menajam,
aku tak paham.

Di sela waktu istirahat,
sambil meredakan napas yang memburu,
kok air mata mau keluar lagi?
Sungguh Tuhan, aku tak paham.
Aku takut, pada diriku sendiri.


Rabu, 08 Oktober 2014

Gelisah


Harus dimulai darimana..

Berawal dari kesadaran bahwa perasaan/mood ku bisa jatuh dan terbang sekejap tanpa aku tau alasannya apa. Mungkin ini adalah salah satu bagian dari diri, tapi semenjak aku merasa begitu terganggu dengan kejatuhannya yang tajam, aku bertanya, menggemakan pertanyaanku ke segenap ruang di dada, “ada apa?”. Kugemakan, namun tak juga kunjung datang jawabnya. Di tengah kegelisahan, ditemani kesendirian dan kesepian yang amat menusuk, aku gelisah. Dan kutuangkan kegelisahanku di atas kertas. Apa yang harus dilakukan? Ada suatu perasaan ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar, seperti boneka yang rusak.

Aku tanya kepada yang bisa ditanya tanpa berkomentar, namun selalu menjawab, professor google, iya. Entah sejak kapan, ketika aku bertanya pada banyak orang, mereka selalu menyuruhku bertanya ke google, hingga akhirnya aku tak pernah lagi bertanya pada orang-orang korban keganasan professor google itu.

Hingga kusimpulkan sendiri, aku benar-benar gila, dan aku tau aku tak mau menyadari kesadaranku tentang itu. Kepada siapa aku harus mengatakan kesimpulanku?

Dia datang dan pergi. Perasaan yang diangkat dan dijatuhkan, yang istilahnya tak dipahami oleh orang kebanyakan, yang maknanya disederhanakan sebagai proses alami manusia normal oleh mereka yang “normal”. Aku juga tak mau mengakuinya, tapi bagaimana bisa aku hidup tanpa menerima bagian diriku yang seperti ini?

Di suatu hari di kala itu kubuat segala rencana mutakhir demi menggapai mimpi, kubuat jadwal bagi diri sendiri, dengan keyakinan bahwa aku akan menjadi orang hebat, aku bisa melakukannya, aku bisa melihatnya di dalam kepalaku, masa dimana aku menguasai segalanya. Kepalaku dipenuhi segala macam hal yang akan aku lakukan di setiap harinya di masa depan, begitu bersemangat. Dan keesokan harinya, sialan, rasa jatuh muncul! Lemah, lemas, bodoh sekali aku pernah berpikir bisa menguasainya, siapa aku ini? Sedang apa kamu dan siapa kamu pun tak akan ada yang peduli, tidak ada yang menyukai sifatku. Aku bangun tanpa sedikit senyum dan kecerahan di wajahku, aku berbicara dengan suara yang diseret seret, aku bergerak dengan lamban, aku berjalan lunglai mengikuti kemana kaki akan membawaku. Rasa sepi yang tiba-tiba datang menyayat-nyayat, sakit, kadang-kadang air mata keluar, kadang-kadang tidak. Aku harus menghindari orang lain, muncul perintah di kepalaku, dan aku pergi, pergi ke tempat dimana tak ada yang akan mengenaliku di sana.

Perasaan itu kadang-kadang muncul, membenci manusia. Karna manusia, mayoritas manusia tidak sepertiku. Pernah aku penasaran apakah manusia lain juga merasakan apa yang aku rasakan, tapi semuanya sudah berlalu. Apa pun yang mereka lakukan di depanku, entah itu lucu, menyenangkan, mengganggu, semuanya terasa memuakkan. Aku ingin mereka pergi dari hadapanku, atau aku yang pergi. Reaksiku adalah menjauh, memilih hidup sendiri. Tapi ketika mulai berjalan sendiri, rasa sepi mencambuk. God, aku tak tau apa yang harus kulakukan.

Aku ingin meneriakkannya, aku ingin ada yang mengetahuinya, apa kalian bisa merasakannya? Aku tak tau. Hingga datang masa ketika aku menyadari, segala yang kulakukan demi melegakan diri malah membawaku pada luka yang lain. Ya, sakit sekali rasanya. Apa itu berlebihan bagi mereka? Aku merasa seperti aku harus menjadi aktor yang sempurna di hadapan mereka, aku tak boleh membuat mereka khawatir tanpa menguasai pengetahuan tentangku. Di tengah keinginan dipahami oleh orang lain, mereka menendangku, “what the hell, first you have to understand others!”. Sakit, iya sakit, dan aku tak bisa memanage nya dengan baik. Aku tak akan bisa, tanpa reaksi emosional menghadapi orang-orang seperti itu lagi.

Luka adalah hal yang pasti dialami setiap manusia di dunia ini, aku tau itu. Tapi apakah perasaan sepi luar biasa ketika aku pergi dengan membawa kehampaan -tanpa semangat hidup- ke tempat dimana tak ada orang yang mengenalku tau itu dirasakan oleh banyak orang? Perasaan sepi yang berhasil dijelaskan oleh salah satu tulisan yang membahas tentang salah satu gangguan kejiwaan yang namanya pertama kali kudengar dari seorang teman, cerita tentang kesalahpahamannya tentang penyakit itu dan menyamakannya dengan kepribadian ganda, hingga dipopulerkan oleh seorang artis Indonesia yang melakukan hal yang menghebohkan masyarakat Indonesia.

Kutipannya:

“Sangat sulit untuk mengungkapkan penderitaan penyandang bipolar disorder. Oleh karena itu penderita bipolar diorder sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti tentang dirinya.
Ia, merasa begitu kesepian. Mungkin orang awam tidak pernah memahami kata "sepi" seperti yang dialami penderita bipolar. Sepi itu begitu menyayat-nyayat hatinya.

Ia sering menangis tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas. Tapi rasa sepi dan sedih itu jelas menggerogoti kebahagiaan jiwanya. Ingin mengungkapkan beban-bebannya namun tidak bisa menemukan seseorang yang mengerti tentang dirinya.

Penyandang bipolar disorder terkadang hanya menangis dalam hati, karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Hal ini akan semakin menambah tingkat depresinya. Tangisan tanpa air mata lebih perih dan pedih. Ia mengharapkan ada tangan yang menyeka lukanya, ada telinga yang mendengarkan deritanya, dan ada seseorang yang demikian teduh sehingga ia bisa rebah penuh kedamaian.

Ketika mengalami kondisi depresi, seorang penyandang bipolar ingin berteriak keras melepaskan semua bebannya, pada saat yang bersamaan ia merasa begitu sedih. Duduk terjatuh tidak bergairah di sudut kamar. Ia merasa tidak berguna. Ia putus asa. Ia ingin bangkit. Tapi tiba-tiba rasa takut menyergap dirinya. Ia kembali jatuh ke pangkuan pesimisme.

Dan terus menerus keadaan ini mengisi dirinya silih berganti: sedih, putus asa, keinginan untuk bangkit, menangis, tertawa, sepi, ingin mati, merasa ada pribadi yang berbeda dalam diri, tidak bergairah, merasa sangat berdosa, melihat masa depan begitu suram, sangat malu bertemu orang lain, merasa benci dan ingin bertindak di luar imajinasi normal... begitu seterusnya datang silih berganti dengan sangat cepat.

Masa lalu datang membayanginya. Terkadang ia sangat benci dengan masa lalu. Tetapi ia juga ingin pulang ke masa lalu. Ingin bernostalgia dengan masa-masa indahnya. Mungkin ketika ia merasakan kasih sayang orang-orang terdekatnya, ketika bermain dengan riang tanpa beban di masa kecil, atau ketika ia menikmati keindahan bentangan alam.

Tetapi ketika mengingat hal-hal indah tersebut lagi-lagi kesedihan menyergap tanpa kompromi. Kini ia melihat dirinya hidup dalam penderitaan. Ingin keluar tetapi sulit sekali.

Bagaikan berada di satu dunia yang sangat gelap, pengap, sepi, dingin, menakutkan, penuh aroma racun... ia berusaha sekuat-kuatnya keluar dari dunia itu. Ia melihat di sisinya ada dunia yang cerah dan penuh warna. Ada cahaya kemilau dan taburan kebahagiaan. Terlihat tawa-tawa penuh keceriaan, senyuman dari hati penuh kedamaian, dan ketentraman yang tak terpatahkan. Ia terus berusaha. Meskipun merangkak ingin menggapai dunia indah itu. Tapi malangnya semakin berusaha semakin ia merasakan betapa berat perjuangannya untuk menggapai kehidupan indah itu.

Ia masih di sini, di dunia yang sepi dan gelap itu. Menangis sendiri. Sepi sekali. Tak ada pelukan hangat dari seorangpun. Tak ada belaian penuh kasih. Semua orang hanya menyalahkan dirinya tetapi tidak ada yang mengerti penderitaannya.

Ia sedang berjuang untuk hidup, tak ada seorangpun yang memahami betapa kerasnya perjuangan itu. Mereka hanya menghakimi. Dan, begitulah akhirnya ia semakin terasing dan merasa sendiri. Sepi. Sedih. Dan perih. Seorang diri.” 

Iya, pikiran tentang rencana pemberontakan, rencana kematian, begitu matang dipikirkan, dirombak ulang, dipatahkan dan diganti, segala ide-ide yang muncul ketika berada dalam kondisi putus asa. Dan tak ada banyak yang benar-benar paham. Kebanyakan mereka menyuruh untuk keluar sendiri atau memberikan tangan yang terbuka tapi hatinya tertutup menerima kenyataan bahwa orang yang di hadapannya merasa sangat berbeda. Yah, memaksanya untuk menjadi orang normal ternyata memperburuk luka. Bisa masih bertahan sekarang pun adalah kesyukuran.

Yah, kita hanya perlu melanjutkan hidup, berapa pun banyaknya rasa jatuh dan terangkat, berapa pun banyaknya, asalkan kita tak berhenti berusaha terus berjalan, hingga Tuhan menjemput kita dengan tanganNya. Hingga usaha kita benar-benar dinilaiNya. Karna tak ada yang benar-benar memahami, bahkan diri pada dirinya sendiri, kecuali Tuhan.


Jumat, 22 Agustus 2014

Anger of Satan


Ternyata aku bukan orang yang bisa sabar terus menerus. Tuhan, karena aku tak memfokuskan diri seperti para sufi, karna aku membiarkan diri berada di pertengahan, maka dengan mudah aku terseret ke kiri dan kanan.

Memangnya apa yang bisa dia lakukan ketika aku bosan? Di saat dia sedang asik dengan kesibukannya sendiri. Apa bisa dia meninggalkannya untukku? Aku sudah memberikan waktu di tengah jadwal yang kutetapkan sendiri. Yah, memang baru-baru ini, seakan aku menebus dosa padanya dengan memberikan waktu dan menerimanya. Ya aku tau pula akhir-akhir ini dia hampir selalu ada ketika aku butuh sesuatu. Ya aku tau, aku memang bodoh. Aku bahkan tak tau apakah semua yang kulakukan aku benar-benar ikhlas. Bodoh sekali.

Aku bodoh sekali ketika merasa bahwa aku yang paling stress dan sebagainya. Ya aku tau itu. Bodoh sekali. Apakah aku sakit? Bodoh sekali kalau aku merasa aku sakit dan butuh ditolong, dan bukannya mengulurkan tangan membantu orang lain yang jauh lebih menderita. Ya, aku bodoh sekali. Aku benci. Dan aku tak tau kepada siapa aku benci. Kepada siapa aku harus mengekspresikan kemarahan, aku bahkan tak tau. Sebenarnya apa yang ku tau?

Rendah hati apanya? Di dalam diriku ada bibit kesombongan iblis. Aku bisa merasakannya. Apanya yang hebat? Persetan! Omongan beberapa dari mereka itu benar-benar racun bagiku. Karna aku tau hal semacam itu adalah racun, aku tak kan memberikannya pada siapa pun!

Apa yang ku inginkan? Apa yang membuatku nyaman? Dasar setan! Aku benar-benar tak tau! Ketika orang-orang mengkritikku dan menghinaku habis-habisan aku marah, dan ketika orang memujiku aku juga jijik pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang membuatku nyaman? Oh, demi Tuhan!

Oh, aku benar-benar sok suci, seakan-akan hanya aku yang tau tentang dunia dan kehidupan. Oh, iyakah?! Tolol sekali. Dia itulah yang memandangku dengan penuh persepsi. Oh, kini kebencian di dalam diriku tiba-tiba muncul, dengan pemicu yang sangat sepele, tiba-tiba menyebar dan didorongnya. Bagaimana aku harus mengekspresikannya?

Tuhan, bolehkah hamba terus membiarkan kemarahan ini? Aku kah yang memang tak menghendaki koneksi yang tanpa putus padaMu? Oh, sungguh aku tak paham dengan diriku sendiri. Kalau begitu benarkah aku sudah memahami sedikit dari rahasia dunia yang Kau ajarkan?



Rabu, 20 Agustus 2014

Lampu yang Mati


Aku belajar membenci ketika dunia memperlakukanku tak bersesuaian dengan apa yang seharusnya membuatku nyaman di dalam perjalanan kehidupan di dunia yang penuh perubahan yang niscaya.

Aku pernah ada dalam tahap itu, mungkin berkali-kali dan bertahap karna itu tak bisa hilang.

Belajar berbohong, dan menganggapnya bukan hal yang besar. Belajar memperlakukan orang lain dengan keras. Belajar menjadi boss bagi diri sendiri. Hingga pada saatnya aku belajar untuk tidak mempercayai orang lain, tidak mempercayai dunia.

Apakah dunia seperti apa yang terlihat di hadapanku? Mana kutau. Mata kita penuh persepsi.

Pembelajaran bagi seorang manusia memang penuh tahap. Ada tahap di mana ia akan fokus mempelajari moral, kemudian fokus menajamkan sisi emosional, intelektual, dsb. Sering kali pada masanya itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Otak kita bekerja tanpa kita sadari. Ada pula yang namanya alam bawah sadar yang merekam memori yang tidak bisa kita bangkitkan di alam sadar.

Menakutkan memang. Menyadari bahwa kita dikontrol oleh apa yang ada pada kita tanpa bisa sepenuhnya dan seluruhnya kita pilih. Tak ada kesimpulan lain selain ada kekuatan super di balik segalanya.

Tapi tahapan belajar terus berlangsung terkadang tanpa kita menyadari apa yang kita pelajari dari alam.

Hingga gen-gen di dalam tubuh kita yang diwarisi dari orang tua diaktifkan tombol-tombolnya yang semula mati, atau malah dimatikan tombol-tombolnya yang semula aktif.

Sejauh apa pikiran, imajinasi mampu mengontrol diri kita? Oh sejauh apa?

Masa itu memang sudah lewat. Masa di mana aku tak mampu melihat apa-apa di depanku. Masa dimana ada pikiran ingin melarikan diri dari kehidupan yang sekarang. Masa ketika kebencian menyebar di seluruh tubuh.

Namun tidaklah bisa dipungkiri, meskipun maaf dan memaafkan terus mengalir membanjiri energi di alam, ada suatu tombol yang bisa mengaktifkan segala yang sekarang tertidur. Suatu tombol yang keberadaannya membuktikan pada kita bahwa kata-kata dan perlakuan yang pernah kita alami akan terukir di dalam memori, tersimpan di sudut yang tak bisa dibangkitkan ke alam kesadaran, yang terwujud dalam sikap yang tak sepenuhnya mampu dijelaskan, sikap yang sering disalahpahami.

Ada penyakit lain selain yang biasa coba disembuhkan dokter di rumah sakit. Penyakit yang muncul atas ketidaksadaran kita memperlakukan diri dan orang lain. Penyakit yang coba Tuhan minimalkan dengan cara membuat sebuah aturan yang lengkap tentang kehidupan dalam agama, yang coba Tuhan minimalkan dengan memerintahkan manusia untuk membaca segalanya!

Wahai, sadarlah manusia! Ada jiwa, ada emosi, ada mental. Sudah banyak dari kita menjadi korban dari ketidakpedulian dan keskeptisan kita, dari empati kita yang mati, kematian empati yang muncul atas perlakuan empati lainnya yang mati. Seakan-akan manusia berjalan di panggung dunia tanpa lampu yang hidup di bagian di mana seharusnya lampu itu menerangi dan menuntun perjalanan.

Dan perjalanan manusia terus berlangsung, mewarisi “kematian lampu” yang menyesatkan kita dari jalan kebahagiaan sempurna. Bukankah karena dunia memang tidak mengizinkan itu?

Biarlah sejarah terus berlalu, hingga masa dilewati dan berganti dengan masa di mana segala dendam di dalam diri hilang di antara orang beriman. Dan kita bercengkrama tanpa pernah ada dendam. Tuhan mengatakannya dalam firmannya pada Rasul akhir zaman, bahwa akan tiba masanya kita bersamping-sampingan dengan orang lain dengan dendam yang diangkatNya dari hati kita. Kemudian aku berpikir, “baiklah Tuhan, lampu yang mati akan terus diwarisi di dunia, karna Kaulah yang menghendakinya”.


Kamis, 05 Juni 2014

Pesan bagi Para Insan Sosial


Di dalam sebuah kasus yang ada di manga Dan Detective School, seseorang yang dikenal sebagai seorang pembunuh ternyata diketahui terbiasa melihat pertumpahan darah di dalam rumahnya, di antara ayah dan ibunya. Sekuat apa pun ia berusaha untuk tetap hidup biasa saja, image yang biasa ia lihat dan hadapi di dalam rumahnya masuk ke dalam alam bawah sadarnya dan membuatnya menjadi seorang pembunuh.

Kita sering mudah sekali menghakimi perbuatan seseorang tanpa melihat latar belakang permasalahan. Di dalam hukum Islam, hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. Bila ia mencuri lagi sedangkan kedua tangannya sudah dipotong karna perbuatan mencuri sebelumnya maka kakinya yang akan dipotong. Sekilas hukuman ini sangat menyeramkan. Tapi hukuman potong tangan berlaku setelah si pencuri diadili, apa yang mendasari perilaku mencurinya. Jika si pencuri adalah orang yang miskin dan tak punya uang, ia akan mati bila tidak mencuri, maka tidak semestinya ia dihukum sama dengan orang yang masih bisa makan tapi mencuri. Kita tidak tau apa-apa tentang hukum Islam, tapi mudah bagi kita mengatakan bahwa ianya tidak manusiawi.

“mestinya dia bisa kuat dong, dia kan bisa belajar, masa terpengaruh sama lingkungan dan jadi pembunuh”, blablabla, saya sering mendengar itu. Saya percaya seseorang membunuh pasti karna dia “sakit” atau dia “harus” membunuh, dia terdorong untuk membunuh. Ada yang menyesal dan ada pula yang tidak menyesal. Ilmu seperti psikologi dan kriminologi ada karna ini. Di zaman seperti ini, entah kenapa saya berpikir bahwa “adalah tidak keren kalau kita tidak tau tentang psikologi”. Kenapa? Oh man, di atas 50% orang di dunia menderita kecemasan, stress, dan depresi. Dunia di akhir zaman adalah dunia yang penuh dengan orang yang sakit secara mental dan kejiwaan. Apa penyebabnya?

Dunia sekarang meninggalkan agama. Fenomena “jangan campuri urusan agama” TANPA DISADARI membawa kita pada neraka kegelisahan dan depresi. Mana ada orang taat dan khusyuk dalam beragama mengalami depresi. Kalau pun kelihatannya dia “alim” dalam agama tapi tetap saja depresi, ada yang salah dalam keimanannya. Benar, orang beragama adalah orang yang penuh kedamaian. Karna itu Freud mengatakan bahwa agama ada karna ia dibutuhkan. Agama dibuat karna manusia membutuhkan pegangan itu. Di sisi lain dari teori Freud, orang beragama meyakini (karna keyakinannya pada Tuhan) bahwa Tuhanlah yang menciptakan agama, karna itulah insting membutuhkan agama ada dalam diri manusia.

“Jangan campuri urusan agama” berdampak buruk bagi orang-orang yang lemah secara spiritual. Itu mungkin tidak masalah bagi orang-orang yang mampu menjaga ketaatannya. Selain itu pemisahan agama dan Negara dibuat-buat untuk menjaga toleransi beragama? Karna agama adalah urusan pribadi saja, maka “Negara”lah ganti obat bagi kecemasan dan ketidakteraturan masyarakat. Artinya, kita mengingkari peran agama sebagai tuntunan kehidupan. KEBINGUNGAN, kegelisahan pun bertambah bagi orang beragama. Karena di satu sisi dia perlu mengikuti aturan di dalam agamanya, di sisi lain dia “dipaksa” untuk mengikuti aturan Negara. Fenomena ini terjadi! Tentu saja bagi orang beragama yang masih taat pada agamanya dan merasa gelisah bila tidak menaati aturan agama, ini tidak terjadi pada orang yang hanya menjaga iman dan tidak peduli pada peran agama sebagai tuntunan kehidupan (secara penuh – khususnya agama Islam).

“Agama bukan satu-satunya tuntunan moral”, ada filsafat dan sebagainya. Memang benar. Tapi seberapa sempurna tuntunan moral lain selain agama? Ini rumit, karna orang beragama (khususnya agama langit) meyakini bahwa agama itu sempurna, ia datang dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak beragama tentu tidak meyakini itu, dan ketidakyakinannya pula yang membuatnya tak mampu melihat kesempurnaan agama yang dilihat orang beragama (di sisi lain mereka -orang tak beragama- meyakini keyakinan orang beragama pada agama lah yang membuatnya melihat “ilusi” kesempurnaan agama. saya akan bicara dari sudut pandang orang yang meyakini agama).

Saya tidak akan mengatakan lebih karna kacamata kita sekarang sudah demikian diganti dengan warna lain sehingga sulit bagi kita kembali pada kacamata kebenaran (jika anda mencurigai dunia sekarang sedang berjalan menjauhi kebenaran). Saya akan kembali pada penyakit dunia, kecemasan, atau kegelisahan. Kenapa beberapa manusia yang mendalami filsafat tiba-tiba gelisah, seperti Al-Ghazali (salah seorang tokoh filsafat Islam)? Tapi beberapa manusia lain begitu terlihat bahagia dengan teori filsafatnya sendiri. Francis Bacon mengatakan “Sebuah filsafat yang dangkal menggelincirkan pikiran manusia kepada atheisme. Tapi kedalaman yang ada dalam filsafat membawa pikiran manusia pada agama”. Benar, filsafat adalah cara kita menuju kebenaran, masalahnya hanya bagaimana kita menggunakannya. Filsafat yang dangkal akan menyesatkan manusia. Saya meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang simple dan mudah ditemukan oleh pikiran kita, tapi ia memuat misteri yang luar biasa dalam yang tak akan habis usia dunia menyelami kedalamannya. Al-Ghazali gelisah karna ia dibuat bingung oleh filsafat, selangkah atau beberapa langkah lagi dia berputar di dalam filsafat, ia akan semakin dalam tenggelam dalam lautan kebingungan. Setelah 10 tahun dalam perenungan, ia “kembali” pada agama dan menulis sebuah buku berjudul “Filsuf adalah orang-orang yang bingung”. Sampai kapan pun agama adalah tempat kembali (akhirnya saya mengatakan lebih. Yah, hal ini adalah salah satu penyebab permasalahan yang sedang kita bicarakan).

Kembali pada pembicaraan awal, bagi siapa pun yang dengan ringannya menghakimi perbuatan seseorang, kenapa anda tidak minta pada Tuhan (jika anda percaya Ia ada) agar menukar posisi anda dengan orang yang anda hakimi? Hanya untuk melihat seberapa pandai anda mengelola permasalahan milik orang lain dengan pikiran dan perasaan milik orang lain (bukan milik anda!). Memang ada orang-orang bodoh yang begitu mudah tergelincir pada hawa nafsunya sendiri sehingga ia benar-benar bersalah penuh atas perilakunya (saya tidak yakin 100%, tapi mungkin memang ada?), tapi ada banyak sekali orang yang perlu pertolongan! Karna dunia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kita, manusia, kita saling membuat orang lain jatuh dalam “kesalahan”. Orang yang kita hakimi pun adalah korban dari tindakan kita yang mempengaruhi orang lain, anda paham? Saya hanya ingin mengajak anda berpikir bahwa ketika anda melihat orang bersalah di hadapan anda, mulailah untuk mencari kesalahan anda yang menyebabkan perilaku orang lain terpengaruh sikap anda. Saya beri contoh untuk mempermudah.

Dalam manga Dan Detective School, ada contoh yang sangat bagus (banyak malah!). Seorang pemimpin organisasi kriminal berbahaya ternyata adalah anak dari seorang pembunuh berbahaya (pembunuh berbahaya itu adalah ibunya!). Bukan hanya itu, ayahnya yang kemudian meninggalkannya dan tidak mengakuinya sebagai anak kemudian memenjarakannya dalam ruang bawah tanah ketika ia masih usia SMP! Dengan alasan khawatir si anak akan berbuat kriminal! Ya,kekhawatiran kita seringkali malah membuatnya jadi kenyataan. Si anak belajar untuk menjadi kriminal, justru ketika ia dianggap kriminal. Lalu siapa yang bersalah atas kejahatan yang si anak rencanakan ketika ia dewasa dan menjadi pemimpin organisasi kriminal? Si ibu bersalah karna ia membuat anaknya dibully ketika teman-temannya tau si anak punya ibu seorang penjahat, dan perilaku bullying teman-temannya menabung rasa ketidakpercayaan si anak pada orang lain, termasuk pada sahabatnya sendiri yang mulai terlihat meragukannya. Si ayah bersalah juga karna melakukan hal yang menciptakan tekanan luar biasa dalam diri si anak untuk memantapkan hati dan menyusun rencana untuk membuat sebuah organisasi kriminal. Lihat, perilaku anda mungkin secara langsung mau pun tidak langsung membuat seseorang jatuh dalam dunia hitam. (dalam agama Islam, cara inilah yang diyakini dipakai Tuhan untuk menentukan seberapa bersalah kita dan siapa yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kesalahan kita. Orang-orang yang menjadi pengaruh bagi seorang penjahat akan terus mendapat bonus dari dosa kejahatan si penjahat. Jika si penjahat mempengaruhi atau mengajak orang  untuk berbuat jahat, maka orang-orang yang mendapat bonus tadi akan ditambah bonus dosanya karna ini. Seperti sistem bisnis jaringan bukan?). Orang di luar lingkaran ini mungkin mengatakan bahwa mereka semua yang ada dalam lingkaran itu sakit, dan harusnya si anak lebih kuat menghadapi segala tekanan yang dialaminya ketika kecil. Tapi si anak bahkan tak kenal agama. Bagaimana bahkan ia bisa percaya bahwa Tuhan itu baik? Tak ada yang mengajarkannya! Memang, pasti ada jalan dan kesempatan ia kembali pada kebaikan, andai ada yang menolongnya. Mereka yang tak merasakan ada dalam lingkaran setan ini tak berhak mengomentari siapa pun yang terjebak di dalam situ. Mengapa tidak mereka mengulurkan tangan untuk membantu dia yang terjebak dalam lingkaran setan bisa keluar? Percaya bahwa siapa pun punya hati yang baik adalah modal untuk mengeluarkan manusia dari lingkaran setan. Saya katakan modal, semoga tidak berhenti pada modal saja.

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial bukan untuk menciptakan peraturan yang penuh tekanan. Kita diciptakan dengan kelemahan tidak bisa hidup sendirian agar kita saling membantu. Saling membantulah kita, dengan catatan (fokuslah pada perbuatan kita) “jangan berharap orang lain berbuat lebih dulu atau membalas kebaikan kita”, itu adalah peraturannya.

Memaafkan dan minta maaf adalah perbuatan luar biasa. Tapi memaafkan jauh lebih luar biasa. Kenapa? Kita tidak perlu menunggu orang lain minta maaf pada kita, bagi kita segalanya sudah selesai. Kita telah memberikan kebaikan pada diri kita sendiri dan orang lain dengan begitu. Dan ketika kita punya kesalahan, minta maaflah tanpa menunggu dimaafkan terlebih dulu. Meski pada akhirnya orang lain tak memaafkan kita, setidaknya kita menyesal dan tak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Ya, jangan tunggu kebaikan orang lain pada kita, jangan mengharapkan ucapan terima kasih, fokuslah pada perbuatan kita. Dengan begitu kita tak punya cukup waktu mengomentari orang lain. Jangan pula berharap orang lain berpikir sama dengan kita.

Bantulah mereka keluar dari lingkaran kecemasan, depresi, dan tekanan mental tanpa berpikir “dia harus bisa keluar sendiri dari sana!”. Dan bagi penderita tekanan mental yang masih bisa berpikir jernih di sela-sela kegelapan yang menyelimutinya, mari berpikir kita tidak sendirian. Ada Tuhan yang selalu mengulurkan tangan untuk membantu, hanya tinggal kitalah yang meraih tangan itu. Jangan terlalu berharap orang-orang di dunia ini begitu pintar dan kuat menarikmu keluar dari lingkaran, kumpulkanlah kekuatanmu dan mintalah kekuatan lebih pada Tuhan. Hidup adalah perjuangan. Fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan bagi kita dan orang lain.

Tulisan ini dibuat dengan berantakan dan tanpa persiapan. Dari berbagai pengalaman dan pelajaran, saya tiba-tiba begitu ingin menyampaikan banyak hal, karna itulah ini ditulis. Saya serahkan kesimpulan kepada pribadi masing-masing. Saya hanya berharap tulisan ini mampu membuat kita berpikir banyak. Bukan karna saya merasa sudah begitu pintar dan pandai mengaplikasikan apa yang ditulis di sini, tapi agar sama-sama belajar dan berlatih. Saya minta maaf atas kesalahan yang saya buat di dunia nyata maupun dunia maya, dan insya Allah saya memaafkan dan terus belajar memaafkan atas apa yang saya temukan menyakiti perasaan dan merugikan saya. Karna kita akan selalu melakukan kesalahan, putaran maaf dan memaafkan akan selalu ada dan menjaga keteraturan di alam ini. Kita mungkin harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan, tapi “saling berbuat baiklah” agar revolusi kita damai seperti halnya revolusi “mereka”.

(Saya tidak menyarankan anda agar seperti malaikat dan tak pernah marah. Marahlah pada orang lain, itu wajar. Tapi diamlah, pergilah untuk tenang. Lalu mulailah berpikir tentang kesalahan kita dan perbaikilah diri kita. Jika memang perlu menyampaikan kecerobohan orang lain agar ia memperbaikinya, lakukanlah dengan pikiran yang sematang mungkin agar tak menimbulkan masalah baru. Jika tidak, saya harap pihak kedua bisa lebih bijak dari anda, atau ada cara lain yang lebih cocok bagi masing-masing orang.)

Warning! Tulisan ini tidak bebas dari kesalahan. Penulisnya adalah manusia (yang masih bocah usia dan sikapnya dibandingkan anda, bisa jadi). Silahkan ambil pelajarannya, dan perbaiki kesalahannya di pikiran anda.

Salam.