Senin, 06 Agustus 2018

Seekor Kucing yang Menyeberang


Seekor kucing menyebrang jalan di depan mataku. Aku terpaku melihatnya, mengikuti ke arah mana kucing itu berlari, bersiap-siap melakukan sesuatu untuk menghindari terjadinya hal buruk. Kucing itu menghampiri seorang ibu tua di seberang jalan. Satu ekor kucing mengikutinya juga, berusaha menyebrang jalan, jalan besar. Ibu itu kemudian menggendong kucing yang berhasil menyebrang separuh jalan itu sambil tangan yang satunya sibuk memegang belanjaan daging dan sayur. Motor-motor yang melaju sempat memperlambat lajunya untuk memberi kesempatan kepada ibu dan kedua ekor kucing itu. Aku masih terpaku.

Ketika ibu dan kucing itu sampai di depanku (di titik awal kucing itu menyebrang), ibu itu berkata pada kucing itu, “jangan nyebrang-nyebrang ke situ”. Oh, kemudian aku mulai sadar, itu Bu Untung! Seorang ibu yang  tinggal di gang belakang rumahku, yang kucingnya banyak sekali. Sepertinya dua ekor kucing itu melihatnya di seberang jalan, kemudian tidak sabar ingin menghampirinya karena ia membawa daging.

Di depan gang, lebih dari lima ekor kucing berhamburan menyambut Bu Untung. Ia berjalan menuju rumahnya sambil diiringi oleh kucing-kucing itu. Aku berusaha menghalau kucing-kucing dari jalan raya, agar tidak ada yang menyebrang lagi. Sambil berjalan lambat di belakang Bu Untung dan para kucing, aku tersenyum tanpa henti. Pemandangan yang nikmat sekali dilihat. Bu Untung berjalan lambat-lambat karena dikelilingi kucing. Tiba-tiba perasaanku naik sekali, bahagia sekali. Setelah mereka sampai di rumahnya, aku meneruskan perjalanan menuju rumahku sambil tersenyum tanpa henti.

Hal seperti inilah yang kurindukan. Saat-saat ketika aku menjadi saksi atas perbuatan orang-orang baik di atas muka bumi, ketika aku dalam perjalanan. Sama dengan perjalanan kehidupan, di setiap titiknya kita akan menjadi saksi orang-orang baik, mengikuti jejak mereka, menjadi saksi kezaliman kemudian berusaha meluruskan. Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi kenikmatan perjalanan para perantau.

My Brother has departed on July 28, 2018


Sudah 9 hari sejak hari keberangkatan abang. Kami sudah terbiasa dengan kehilangannya dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa lagi. Tapi entah kenapa aku tidak suka melihat orang-orang dengan mudah kembali ke kehidupan normalnya lagi. Entah kenapa. Aku merasa harus ada sesuatu yang berubah, yang menandakan sebuah titik permulaan sesuatu. Untuk kami, mungkin, meneruskan apa yang abang lakukan, misalnya berkurban setiap idul adha, dan memelihara kambing kurban di halaman rumah sejak beberapa hari sebelum hari raya kurban, agar perasaan kehilangan kambing yang disayangi, perasaan berkurban dapat dihayati. Apa yang abang lakukan harus diteruskan.

Keberadaan manusia semakin dihargai, dua kali lipatnya, sejak ia meninggal. Sebelum itu, kita semua menjalankan kehidupan dengan normal-normal saja. Mungkin memang, manusia butuh suatu momen untuk menyadari sesuatu yang berharga. Untuk mensyukuri sesuatu, manusia harus menyaksikan mereka yang tidak memiliki apa yang ia miliki agar kesyukuran bisa lebih dihayati. Manusia memang lemah.

Perasaan sesal yang disertai kelegaan sudah mulai memasuki masa kadaluarsa. Seperti halnya orang-orang di sekitar kami yang mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing lagi. Diantara mereka ada yang benar-benar merasa kehilangan kemudian berubah menjadi lebih penyayang kepada anak yatim, anak-anaknya abang. Atau mereka yang move on begitu cepat. Aku merasa tidak puas. Entah kenapa, harus ada sesuatu yang dimulai.

Dan kemudian, pikiran itu datang lagi.

Tuhan, sudah berapa kalikah Tuhan membuatku mempertimbangkan lagi hal-hal semacam itu. Aku yang hatinya tidak sebening kaca ini tidak mampu membaca pertanda.

“Demi masa.

Sesungguhnya manusia kerugian.

Melainkan yang beriman dan beramal soleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”

Segala hal yang kita kerjakan adalah kesia-siaan. Hanya mereka yang mecari bekal untuk mati, bersiap-siap menghadapi kematiannya lah yang beruntung karena mereka mengisi hidupnya dengan amal soleh dan menasihati dalam kebaikan, hanya merekalah yang lepas dari kesia-siaan.

Dunia yang kita jalani ini, ketika kita sudah terbebas darinya dan saling berbincang di surga, kita akan merasa bahwa segala yang kita jalani di dunia ini hanyalah mimpi karena kaburnya rasa nyata yang pernah kita rasa, karna jauhnya masa lalu ketika kita menjalani hidup di dunia. Karena itulah, kehilangan mereka yang kita cintai bukanlah masalah apa-apa, seandainya kita tau apa yang Tuhan janjikan untuk kita di surga.

“Wahai yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami pada agamamu.”