Jumat, 29 Juni 2018

'Ignorance is Bliss'

Ada banyak hal yang tidak perlu kita ketahui di luar sana. Akhir-akhir ini itu lagi yang kupikirkan.

Ignorance is bliss, katanya. Itu adalah kutipan orang pengecut. Aku setuju bahwa dalam banyak hal lebih baik kebenaran atau kenyataan tersimpan saja rapat-rapat tanpa harus kita buka. Jika teman dekat kita yang hubungannya baik-baik saja dengan kita ternyata punya pandangan buruk tentang kita yang dia bicarakan dengan orang lain, apakah kita perlu tau? Lalu setelah kita tau, apakah kita akan bisa mempertahankan hubungan seperti biasa, atau apakah kita akan menjauhi dia? Canggung sekali jadinya mungkin.

Siapa yang tidak membicarakan kekurangan orang di belakang orang itu? Aku pikir hampir semua orang melakukan itu. Kalaupun beberapa dari manusia tidak melakukan hal itu, di kepalanya pasti ada beberapa pikiran buruk tentang orang lain. Manusia bukan malaikat. Orang yang memperlakukan manusia lain seperti manusia itu benar-benar tidak punya kekurangan, seakan-akan titisan malaikat, berarti tidak memperlakukannya secara manusiawi. Kekurangan manusialah justru yang membuat manusia punya kecenderungan untuk menghamba karena menganggap bahwa dirinya penuh kekurangan. Jika makhluk berakal seperti manusia tidak punya kekurangan, manusia pasti jatuh ke dalam kesombongan. Kecuali dia tidak berakal seperti layaknya manusia, tetapi malah seperti malaikat yang tidak diberikan akal seperti manusia.

Sekali lagi, siapa yang tidak mempunyai pikiran buruk tentang temannya sendiri? Manusia itu rentan terluka. Lukanya akan membuatnya membangun sebuah sistem pertahanan. Salah satunya adalah menganggap orang lain sebagai penyebab kesakitannya. Jika tidak begitu, manusia akan tenggelam mengutuki dirinya sendiri. Itu sebelum takdir Tuhan ikhlas diterimanya. Kita semua menyimpan pikiran buruk tentang orang lain, entah kita timbun pikiran itu (berusaha kita enyahkan) atau membiarkannya apa adanya di situ. Kita semua pernah terpeleset jatuh. Kalau tidak, Tuhan tak akan memerintahkan kita untuk membaca dan belajar.

Permasalahannya adalah apakah kita perlu mengetahui semua pikiran orang tentang kita? Ketika kita berdiri di depan mereka, apakah kita perlu menyadari bahwa mereka menganggap kita ini dan itu? Pikiran-pikiran itu akan membawa manusia menjadi tidak berdaya dan menghalanginya berdiri dengan percaya diri. Kenapa manusia seperti itu? Kita mungkin memang diciptakan dengan sistem pertahanan seperti itu karena kita membutuhkannya. Tapi itulah kenapa manusia tidak diberikan kepekaan berlebihan dalam membaca air muka orang lain. Jika iya, bayangkan saja.

Karena itu kita tidak perlu tau. Kita perlu menganggap itu semua tidak ada. Itu semua tidak ada, karena mereka selalu tersenyum di depan kita, mengatakan hal-hal baik. Mengapa kita perlu mengada-ada atau membayangkan sesuatu yang tidak ada buktinya? Sama seperti agnostik yang tidak perduli apakah Tuhan itu ada atau tidak, karena tidak ada bukti bahwa Tuhan itu ada. Memang bukan berarti Tuhan tidak ada, tapi mengapa perlu mengada-adakan sesuatu yang memang tidak ada buktinya?

Dalam hal lain, dalam hal kebenaran lain, apakah kita perlu membuka semuanya? Beberapa memang perlu sekali kita buka. Tapi banyak hal telah mengajarkan kita bahwa tidak semuanya perlu. Tidak semua kenyataan perlu kita buka, perlu kita ungkap. Kita lebih perlu mempertahankan emosi positif kita agar aktivitas kita sehari-hari berjalan normal. Karena sekali kita tau kenyataan yang tidak menyenangkan, seterusnya kita akan terbebani oleh pikiran dan perasaan yang mendapatkan dampak dari itu. Manusia memang seperti itu. Manusia bukan makhluk super, yang bisa begitu saja mengenyahkan pikiran buruk. Kita perlu pendorong untuk tetap berpikir baik. Bagi kita yang percaya Tuhan, Tuhanlah pendorongnya, janji-janji Tuhanlah pendorong kita.

Ignorance is bliss mungkin memang pernyataan yang harus kita setujui. Kenyataannya memang begitu. Mereka yang tidak tau, bisa hidup senang-senang saja. Sedangkan mereka yang tau, terutama kenyataan tidak menyenangkan, akan membawa pengetahuan itu dalam setiap langkahnya, dipengaruhi oleh pengetahuan itu, sadar ataupun tidak. Mereka yang tau tentang neraka, akan dipengaruhi oleh pikiran itu sepanjang perjalanannya, begitu pula mereka yang tau keberadaan surga. Mereka yang yakin pada keberadaan Tuhan pun akan dipengaruhi oleh pengetahuan itu sepanjang hidupnya. Mungkin dengan alasan itu jugalah Tuhan mengharuskan setiap manusia mengetahui keberadaanNya (bukan hanya agar Ia disembah). Mereka yang yakin akan keberadaan Tuhan berhati-hati dalam setiap langkahnya, karena mereka tau Tuhan menyaksikan. Mereka yang tidak yakin, mungkin punya alasan moral lain dalam berhati-hati, yang pastinya lebih punya kekurangan dibandingkan alasan keyakinan pada Tuhan.  

Jadi, apakah kita perlu tau? Ada beberapa hal yang memang perlu kita tau, karena alasan-alasan praktis tertentu. Tapi beberapa hal lain tidak perlu kita tau. Mengapa kita memilih melewati batas itu? Batas yang secara alamiah sudah dipetakan untuk kita dalam rangkaian blue print di dalam setiap sel kita. Mengapa kita menyimpang? Mengapa kita memilih jalan lain? Petualangan spiritual, petualangan intelektual, mungkin merupakan alasan-alasan yang canggih sekali di telinga, alasan-alasan yang dalam beberapa sudut pandang bagus sekali. Seandainya kita agak super, seandainya kita pintar, kuat. Seandainya kita punya cara untuk mengambil alih sistem dalam tubuh kita, atau rela menghayati semua dampak yang dihasilkan dari pengetahuan, berpetualang untuk mencaritau segala sesuatu bukan ide buruk kedengarannya.

Sekali lagi, ‘seandainya’ dan ‘jika’.

(Pengetahuan adalah beban yang kita bawa sepanjang perjalanan. Beban ini bisa menjadi bekal bagi kita, bisa pula kita bagikan bagi mereka yang kekurangan. Namun beberapa perbekalan bukanlah barang-barang yang berguna di perjalanan, hanya memberatkan. Mengapa mesti kita bawa? Karena jika kita kuat, jika kita memang melatih diri menjadi kuat. Memang tidak ada salahnya.)


Minggu, 24 Juni 2018

Teman Terbaik KIRO


Kiro sudah tidak ada. Kemarin dia meninggal. Lega? Ya lega, tapi tidak juga. Ada sesuatu yang mengganjal sekali. Perasaan bahwa sejak ia kecil ia kubawa ke rumah. Aku jatuh cinta padanya. Padanya lah aku bilang pada diriku sendiri, ”aku jatuh cinta pada anak ini”. Dan akulah yang bertanggungjawab atas Kiro disini.

Tahun pertama ia lebaran, ia gemetaran mendengar bunyi kembang api. Tahun itu adalah tahun pertama rumah Po Sela baru selesai dibangun. Di lantai atas rumah Po Sela yang dtinggal penghuninya pulang kampung, aku membawa Kiro. Mandi di kamar mandi atas sambil Kiro kubawa menikmati pemandangan dan suara kembang api yang bisa terlihat dari beranda kamar mandi lantai atas. Aku ingat sekali momen-momen itu.

Beberapa tahun sebelumnya, ia sakit, tiga hari meringkuk tanpa mau makan. Kiro kuminta untuk dibawa ke klinik dokter hewan. Karena aku kuliah, Kiro pergi dengan Po Sela. Disana Kiro diinfus, diberi kapsul secara oral, kemudian dibawa pulang lagi setelah diberi resep obat dan segala perlengkapan makan yang dibutuhkan untuk merawatnya. Mungkin sebesar itulah ketika itu aku menyayangi Kiro. Ketika Kiro pulang dari klinik ia terus berbunyi saja memberikan tanda bahwa dia ketakutan.

Kiro sering sekali kubawa mandi atau tidur. Ketika aku tidur aku membawa Kiro ke kamar, meletakkannya di atas bangku, sedangkan aku tidur di atas kasur. Atau ketika aku mandi, Kiro kuletakkan di atas mesin cuci, sementara aku mandi. Tapi entah sejak kapan Kiro tidak lagi kubawa. Mungkin karena dia sudah dewasa, dia tidak lagi mau dibawa menemaniku mandi. Dia ketakutan. Ah, aku ingat, entah sejak kapan aku suka menghukumnya karena ia spraying dimana mana. Buatnya aku pasti sangat menakutkan. Seperti seorang ayah yang ketika kita kecil sangat menyayangi dan memanjakan kita, tapi ketika kita mulai remaja bersikap sangat tegas dan menakutkan. Entah sejak kapan Kiro takut sekali padaku.

Memikirkan semua kenangan itu, aku merasa ada yang mengganjal. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kiro sudah tidak ada, dan hari-hari berjalan seperti biasa. Kecuali, sepanjang hari aku memikirkan kenangan kami. Aku yakin akan bertemu dengannya lagi di surga, jika aku beruntung karena Tuhan mengizinkan. Tapi, apa boleh buat, apa yang Kiro dapatkan dariku tidaklah cukup. Aku menyesal karena bersikap kasar dan suka menghukumnya, sehingga ia menjadi sangat takut padaku. Aku juga memarahinya karena kekhawatirannya terhadap masuknya kucing-kucing lain untuk mengambil posisinya di rumah.

Tapi Kiro sudah tidak ada. Di tengah-tengah segala kekhawatiran tentang kehidupan, Kiro pergi meninggalkanku. Kupikir setidaknya di hari-hari terakhirnya dia tau bahwa aku selalu ada di sampingnya untuk merawatnya, bahwa aku tidak membuangnya. Bahwa aku ikut merasakan hawa neraka yang ia rasakan. Bahwa aku adalah teman terbaik dia di dunia.

Air mata mengalir lagi. Tapi kenapa air mata mengalir lebih banyak ketika kita sudah kehilangan?

Sabtu, 23 Juni 2018

neraka


Apa artinya hidup?

Dari dulu sampai sekarang, mungkin, tidak ada pertanyaan paling serius yang aku tanyakan selain itu.

Apakah aku akan mempertahankan napasku walaupun aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur?

Sudah sekitar sebulan, Kiro mengalami penyakit yang tidak aku ketahui apa. Aku berubah menjadi pengecut paling parah yang pernah aku kenal. Ternyata aku sepenakut ini.

Apakah Kiro harus kupertahankan meskipun dia akan cacat? Atau haruskah kubiarkan dia mati saja? Pertanyaan yang terakhir adalah pertanyaan yang paing takut aku utarakan bahkan pada diriku sendiri. Aku takut pada diriku yang pengecut. Aku benar-benar pengecut.

Untuk apa kita hidup? Kemarin, melihat kondisi Kiro yang sudah tidak mau makan dan tidak bergerak tapi masih bernapas, aku berbisik berkali-kali pada diriku sendiri, “jigoku da, jigoku da, jikogu da”. Ini neraka, ini adalah neraka. Hidup tanpa bisa apa-apa, tapi masih bernapas. Ternyata mati tidak semudah itu. Jika tubuh kita masih ingin hidup, mati tidaklah mudah. Sebaliknya orang yang kelihatannya sehat bisa jadi langsung mati karena serangan jantung mendadak. Apakah sebenarnya Kiro masih bisa dipertahankan, seandainya aku mencari suntikan dan memberinya makan lewat suntikan, memberinya cairan infus dan obat, apakah sebenarnya hidup Kiro bisa dipermudah? Kemungkinan-kemungkinan ini membuatku takut. Aku takut bahwa ternyata akulah yang membuatnya jadi semenderita ini.

Membayangkan dirinya disana, kedinginan. Apakah dia mengharapkanku datang dan sekedar menemaninya melewati hari-hari panjang di neraka?

Kiro, aku takut. Aku tidak bisa mengontrol rasa takutku. Aku benar-benar pengecut.

Bukan hanya rasa takut, perasaan senang, sedih, marah, semuanya, aku tidak bisa mengontrol semua emosiku. Aku adalah orang paling gila yang pernah aku kenal.

Hari ini rasa frustasiku menumpuk, lalu aku menangis, marah, dan ya, kebingungan soal hari ini apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku ingin lari.