Apapun yang tidak ada pencapaian intektual atau di mataku
tidak punya tujuan untuk dilakukan, tidak akan kulakukan.
Misalnya, menghapal al-Qur’an. Aku sempat punya ambisi
menghapal al-Qur’an. Tapi di tengah jalan aku kehilangan napsu. Aku merasa “trus
kenapa kalo udah hapal Qur’an? Di puji-puji orang? Dapat predikat hafidzah?”
Tujuan menghapal al-Qur’anku ternyata ambisi supaya orang tidak meremehkanku. Kalaupun
aku menghapal Qur’an diam-diam supaya dapat reward dari Tuhan di surga, aku
tetap merasa “itu bukan tujuan yang benar!”, buatku. Menghapal al-Quran punya
tujuan sosial, misalnya supaya al-Qur’an terjaga. Aku bukan orang rendah hati,
karna itu aku berhenti.
Kedua, aku ingin memakai jubah hitam dan bercadar. Aku merasa
terganggu jika terlalu sering dilihat orang. Makanya aku sering memasang muka
menyeramkan dan akhirnya beberapa teman-teman yang tidak dekat bilang kalo aku “serem”.
Oke, meskipun beberapa bilang aku cantik, imut, baby face, atau mirip NINO! Oh
apakah ini tujuan yang benar? Menurutku iya. Alasan kenapa cadar dianjurkan
bagi perempuan adalah supaya perempuan tidak direndahkan dengan dipandangi
terus oleh laki-laki yang kerjaannya cuma nggodain cewek. Lagipula mayoritas
perempuan punya sifat pemalu, jadi wajarlah kenapa mereka lebih nyaman pakai
cadar. Pakai jubah juga membuat bentuk tubuh mereka tidak kelihatan. Warna hitam
membuat kehadiran mereka lebih elegan sekaligus memberi kesan “jangan ganggu
saya”. Oh, PERFECT sekali buatku.
Tapi lalu aku mempertimbangkan banyak hal. Aku punya segudang
mimpi. Dan salah satunya cara meraihnya adalah aku harus membuka diri dan
bersahabat dengan orang “asing”. Berarti aku tidak boleh bercadar dan berjubah
hitam. Karna kesan yang aku inginkan dari pakaian itu adalah membatasi aku
dengan “yang lain”. Lagipula orang yang menutup aurat dengan sempurna adalah
tipe perempuan yang menjaga diri untuk pasangan masa depannya. Aku tidak menargetkan
diriku untuk menikah, jadi aku tidak merasa perlu menutup diri dengan sempurna
untuk “dia” itu. Aku ingin bekerja di wilayah laki-laki. Dan caranya bukan memberi
batas keras apa laki-laki dan apa perempuan, tapi meleburkan batas itu. Maka aku
berhenti berkeinginan untuk berjubah hitam dan bercadar.
Aku pernah ingin melepas jilbab. Wah! Tepuk tangan untuk
keberanian berpikir seperti itu. Aku mendengar pendapat ahli ilmu agama tentang
hukum jilbab yang bukan wajib. Aku berusaha sekali untuk mempelajarinya. Tapi kenapa
rasanya aku ingin pendapatnya masuk akal? Sepertinya itu karna aku punya
pikiran untuk melepas jilbab demi membuka diri dengan dunia dan demi melebur
batas laki-laki dan perempuan, lagipula lebih praktis. Tapi aku
mempertimbangkan lagi tentang identitas keagamaan. Kalaupun misalnya, Tuhan
memang hanya “menganjurkan” perempuan untuk berjilbab, kesadaran identitas
sebagai muslim yang mendorong perempuan muslim untuk berjilbab membuat agama
islam punya “identitas” kuat. Aku ingin image itu. Aku ingin dunia luar yang
asing melihat aku sebagai perempuan muslim. Maka aku harus berjilbab.
Bicara tentang berubah keinginan atau pikiran sering sekali
aku lakukan. Aku sudah berubah dari pemberontak ekstrim, idealis ekstrim,
apatis ekstrim, dan apapun namanya sekarang aku merasa lebih balance. Ada idealisme
dan juga pragmatism duduk bersampingan. Itu menurutku bukan labil, itu adalah
tipe orang yang dalam istilah bahasa jepangnya “atsui”, atau mungkin bisa
diartikan bersemangat (?) dalam setiap hal yang dilakukan. Harus ada jiwa dan
pemikiran mendalam atas semua yang aku pilih dan lakukan.
Tapi aku tau aku tidak boleh membuat orang yang dekat
denganku sakit jantung mendengar pemikiran ekstrim atau tindakan ekstrim yang
aku lakukan, aku harus cool. Yang pasti aku bukan tipe orang yang hormat dan
menghargai petinggi atau pejabat yang tidak kompeten hanya karna kharismanya. Aku
juga bukan orang yang patuh disuruh melakukan ini itu yang sudah pasti baik. Aku
HARUS menemukan mengapa itu harus “aku” lakukan, seberapa efektif hasilnya, dan
apakah itu menyumbang kepuasan buatku? Oh, 180 derajat berbeda dengan Nino.
tapi aku menyerah untuk menjadi 100 persen sama dengan dia.
Aku banyak belajar tentang betapa kata-kata tidak banyak
berkesan, dan merasa stuck dengan keinginanku merubah dunia dengan kata-kata. Aku
belajar betapa kontingennya kita dan kata-kata membuat perubahan kita memberi
kesan kalau kita labil dan tak punya pendirian. Seperti pengalaman Sartre. Berarti
aku harus lebih sering diam. Apapun yang terjadi, oh tutup mulutmu. Kalau kau
harus bicara, manipulasilah sekelilingmu. Kita yang sebenarnya terlalu berharga
untuk pembicaraan sekedar dan basa-basi.