Minggu, 21 Januari 2018

Linglung

Sejak kemarin Jum’at aku linglung. Aku menulis di buku harian, di Jum’at pagi tulisan “Sabtu”. Sejak Jum’at pagi aku mengira hari itu adalah hari Sabtu. Ketika hari Sabtu yang kukira hari Minggu datang aku panik karna paket dataku habis sedangkan aku belum belajar apapun untuk UAS hari pertama besok. Ada sebersit keraguan tentang keyakinanku pada hari itu. Aku tiba-tiba ragu pada keyakinanku bahwa hari itu hari Minggu. Aku mendengar keramaian di depan rumahku, tanda bahwa ada kegiatan sekolah. Apakah sekolah diadakan juga di hari Minggu? Aku sempat berpikir jangan-jangan aku salah, jangan-jangan hari itu hari Senin. Aku semakin panik. Di antara kepanikan itu, ada niat untuk memeriksa kalender yang tergantung di rumah (aku mungkin sudah tidak waras). Dari kalender itu, bagaimana caraku tau ini hari apa? Kemudian pikiranku semakin parah, aku terpikir melihat kalender HP (hanya terpikir), tapi aku pikir kalaupun kalender itu menunjukkan suatu hari dan tanggal tertentu, apakah yang menjamin hari ini memang hari yang ditunjuk itu? Kalaupun aku mencoba meyakinkan diri dengan bertanya pada orang-orang tentang ini hari apa, apa yang menjamin ini memang hari yang mereka sebutkan itu? Kalau seenak jidat aku memutuskan ini hari senin, menyabotase segala macam info tentang hari dan perhitungan astronomi, menghilangkan segala jenis kalender di muka bumi, aku bisa membuat setiap sekolah di Indonesia menggelar upacara bendera di lapangan.

Aku pikir ini lucu sekali.

Adikku bangun, tepat saat aku panik dan sedang bersiap pergi membeli pulsa. Sebelumnya aku membangunkannya untuk mengirimkan pesan kepada kakakku lewat handphonenya. Pesannya kira-kira, ”Levi mau beli pulsa 50rb ke nomor ini. Penting. Untuk UAS besok”. Tapi karna pulsa tidak juga datang, aku bersiap keluar rumah. Tapi mulut ini akhirnya bertanya, “ini hari apa?”. Jawabannya, “Sabtu”. Entah apa yang kupikirkan di saat-saat kepanikan itu. Aku bolak-balik sambil jelas sekali mendengar ada kegiatan di sekolah depan rumahku. Kegiatan yang jelas bukan kegiatan lain selain kegiatan belajar biasa, karna aku sempat mendengar peringatan pergantian jam dari sana. Tapi tidak ada gerakan untuk menengok kalender handphone. Aku dipenuhi keraguan terhadap keyakinanku dan tidak ada keinginan untuk mengakhiri misteri yang aku buat-buat sendiri ini. Sampai kata “sabtu” keluar dari mulut adikku. Aku jatuh ke atas bangku di ruang tamu. Tepat di depan ruang tamu, ada tanda-tanda kegiatan belajar di sekolah depan rumahku. Aku lega. Entah apa yang membuatku lega. Dan entah apa yang membuatku berpikir hari itu adalah hari minggu. Sampai ketika buku harianku kuperiksa, jelas sekali kemarin aku menulis hari Jumat sebagai hari sabtu.


Tapi untungnya (untung sekali aku masih waras) aku percaya kepada kata-kata adikku, kegiatan sekolah depan rumahku, dan kalender handphoneku. Tapi ini lucu. Aku merasa dunia benar-benar sudah gila. Bagaimana orang-orang Indonesia khususnya merayakan hari itu sebagai hari sabtu? Jika aku ingin merayakannya sebagai hari minggu, apa salahku?



Sabtu, 20 Januari 2018

"Smooth Criminal"

Arashi ni shiyagare. Tiga orang dancer datang dan di akhir acara mengajarkan tarian improvisasi buatan mereka untuk lagu Michael Jackson. Arashi menarikannya dengan sukses. Dan menariknya, baru kali ini, setelah beberapa hari menonton acara itu, aku terpikir untuk melihat Michael Jackson asli menarikan tarian originalnya. Seumur hidupku aku tak pernah melihat pertunjukkan Michael Jackson. Salah satu alasannya adalah tiga lagu yang diputar sebagai background tarian di acara itu benar-benar menempel di kepalaku. Karena itu aku awalnya berusaha mencari hanya untuk mendengar lagunya saja. Tapi aku mendapat video dan akhirnya selama beberapa jam aku asyik dengan Michael Jackson, di tengah-tengah proses pembuatan tugas. Berulang-ulang kutonton pertunjukkan yang sama. Berulang-ulang kudengarkan lagu yang sama. Smooth criminal dan Billie jeans. Hingga mengantuk.


Yang aku sadari setelah itu adalah bahwa aku tau Jun dan Ohno memang betul-betul terinspirasi dari Michael Jackson. Yappari, arashi lagi. Lagipula di tengah situasi naik turun belakangan ini, arashi adalah pemicu untuk membuatku melihat dunia lagi, membuatku punya harapan lagi. Aku benar-benar seorang INTJ. Di situasi seperti ini yang kulakukan adalah menikmati dunia dengan cara hedonis.

Smooth Criminal masih diulang-ulang di kepalaku, sampai detik ini.

Jumat, 19 Januari 2018

Racun


Salah satu episode Melvina’s Therapy (Back to mornau) mengingatkanku pada sebuah pemikiran Nietzsche tentang kekekalan siklus kehidupan. Bahwa semua yang kita jalani di dunia ini akan terulang lagi, persis sama. Apakah itu sebuah keberkahan? Kekekalan semacam itu tidak akan menjadi sebuah hal yang membahagiakan jika di dalamnya kita mengulang penderitaan. Jika yang diulang adalah kebahagiaan apakah kekekalan bisa membahagiakan? Jika perasaan yang kita gunakan juga kekal, maka benar bahwa setiap kebahagiaan yang diulang akan terus segar perasaannya. Tapi jika kita menyadari kekekalan siklus ini sambil melewatinya, kita akan sakit jiwa. Kebas. Untungnya kekekalan semacam ini punya cara untuk membawa setiap mangsa di dalamnya tidak punya memori apapun karna setiap memori direset. Nietzsche pernah mendapatkan ilham tiba-tiba dan meyakini (aku rasa istilah ini tidak tepat untuk mewakili Nietzsche) bahwa dunia ini kekal dalam sebuah siklus, lingkaran. Aku tidak perduli dengan kebenarannya. Tapi jika aku sadar sekarang tentang itu, sekaranglah saatnya untuk menanggung penderitaan karna pengetahuan kita.

Lelaki di keramaian, karya Edgar Allan Poe, menarik perhatianku. Cerpen ini menceritakan tentang seorang laki-laki tua misterius yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan akhir, hanya mencari keramaian. Seseorang yang penasaran dengan aura misterius di dalam dirinya mengikutinya hingga sampai pada titik kesadaran bahwa semua itu hanya akan diulang ulang terus. Laki-laki misterius itu hanya akan berjalan bolak balik dari keramaian satu ke keramaian lainnya. Dia tidak akan menemukan apa tujuannya. Tujuannya ada dalam siklus bolak-baliknya itu.

Semua pemikiran ini disampaikan lewat cerita. Cerita yang dilapisi racun. Untuk menemukan isinya yang pahit, kita perlu mengunyahnya dulu dan menikmati pahit pembungkusnya. Pahit yang ada di pembungkusnya rasanya benar-benar tidak enak, tapi pahit yang ada di dalamnya rasanya lezat. Seperti buah pare. Kepahitan yang lezat. Tapi apa sebenarnya manfaat dari ‘buah’ semacam itu? Buah pahit yang lezat itu. Apa karna setiap orang menumpuk racun dalam dirinya kemudian munculah karya-karya luar biasa. Mereka puas, mereka telah mengeluarkan racun dalam dirinya menjadi sebuah bangunan. Penikmatnya menyerapnya. Merasakan setiap pahit racun yang ditumpuk oleh pembangunnya. Lalu? Apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap para penyerap racun itu? Apakah mereka perlu menambah racun untuk menggenapkan racun di dalam tubuh mereka, karna itu mereka menikmati bangunan itu? Kemana perginya endapan busuk itu?