Rabu, 25 Mei 2016

Mimpi dan Kesadaran



Bagiku mimpi bukan sekedar bunga tidur. Mereka adalah potongan-potongan kenangan, perasaan dan pikiran kita. Sejak dulu aku sering termenung dengan mimpiku. Ketika terbangun aku memikirkan lagi runut mimpi, kadang kucatat semua yang kuingat, atau jika aku hanya berhasil mengingat kepingannya saja pun tetap kucatat karna mereka begitu meninggalkan kesan mendalam. Mungkin, karna kebiasaan memikirkan mengapa aku memimpikan sesuatu, ketika aku sedang bermimpi aku sering merasa sadar bahwa aku sedang berada di dalam mimpi, aku sering merasa mengarahkan mimpiku menuju sesuatu. Seperti ketika aku sedang akan dibunuh di dalam mimpi, aku sadar itu cuma mimpi tapi aku tetap harus melarikan diri dan aku mencoba memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan agar “channel” mimpiku berganti. Aku tak tau apakah orang lain pun punya pengalaman seperti ini dengan mimpinya. Tapi bagiku, waktu ketika bermimpi adalah waktu yang spesial.

Seperti malam ini, mimpiku begitu berkesan. Di dunia nyata, aku selalu berpikir pekerjaanku mengajar privat adalah pekerjaan, dan aku tak akan mengistimewakan pertemuan dan perpisahannya. Kemarin-kemarin, hari-hari terakhir aku mengajar mereka pun aku tak berusaha untuk membuatnya jadi spesial, bahkan segalanya semakin kosong dan membosankan, pertemuan kami. Aku semakin dingin dan berusaha tak terlibat dengan mereka secara pribadi. Apa alasannya? Mungkin aku ingin berubah, aku ingin menegaskan diriku untuk tidak terbawa perasaan atau terlalu sentimentil.

Tapi mimpi malam ini membuka semua perasaanku. Menelanjangiku. Di malam seperti biasa, Fahira dan Ujay datang, dan Fahira bertanya, “hari ini les ga kak?”, seperti biasa. Entah kenapa, meskipun mereka sudah libur dan lewat hari ujian nasional, aku menjawab “ya”, memaksa mereka menungguku di ruang tamu yang agak gelap. Aku meninggalkan mereka untuk mandi. Ketika aku terlalu nyaman dengan waktuku, selesai mandi aku menuju kamar dan tiduran menikmati waktuku, sampai akhirnya aku teringat aku telah meninggalkan mereka di ruang tamu dalam waktu yang cukup lama.

Dengan suara yang riang, aku melompat pada mereka dan bertanya, “gimana ujiannya?”, setelah sebelumnya ketika Fahira bertanya hari ini akan belajar apa, aku telah menjawab dengan “tidak tau”. Mereka dengan santai bercerita, mengeluarkan soal. Ah, tanpa sadar, dan entah mengapa ada Revina di sana, entah sejak kapan dia datang. Kami mulai membahas soal-soal yang entah kenapa bukan soal yang familiar dengan yang pernah kami pelajari. Revina melingkar lingkarkan lingkaran-lingkaran, di otakku hanya ada image bold bagaimana Revina senang sekali melakukan hal seperti itu, menajamkan gambar lingkaran atau bangun ruang lain lalu terbawa dengan dunianya sendiri.

Di waktu selanjutnya ada Ami, adikku. Dia dan soal (entah apapun itu, aku tak ingat) di tangannya. Aku teralih padanya di ruang sebelah dan membahas soal itu bersamanya. Aku nyaman dengan waktuku saat itu. Sampai ketika kutengok anak-anak itu, mereka terpaku dengan soal yang sama, seakan sedang menungguku kembali. Dan aku pun kembali pada mereka. Di waktu-waktu itu, aku menceritakan mimpiku kemarin-kemarin, tentang ujay yang kulihat mendapat nilai 100, sedang yang lainnya 50. Aku menceritakan mimpiku di dalam mimpi. Dan aku yang tertawa sambil bergumam sendiri tanpa merasa diperdulikan, “apakah aku peramal?!”, lalu tertawa sendiri. Dan aku bertanya, dengan riangnya, “kalo Fahira gimana? Kira-kira ujian kemaren dapet berapa?”, dia menjawab, “50”.

Lalu hujan, turun deras sekali, di malam yang sangat gelap. Di depan rumahku, sekolah Assa’adah tidak disinari lampu sedikit pun, suasana yang mecekam dan romantis. Kami melihat hujan dengan jeda yang cukup untuk menikmati kebingungan dalam situasi yang menenggelamkan kami ke dalam kekosongan. “gimana nih, ujan”, Fahira membuka pembicaraan. “nanti tunggu dijemput, pasti dijemput”. Lalu kami menikmati lagi suasana yang mencekam sekaligus romantis itu.

Aku menyadari sesuatu setelah terbangun dari mimpi. Di dalam mimpi itu, aku sangat menikmati waktuku bersama mereka. Aku terbawa dalam kenangan awal-awal dimana kami les bertiga, di musolla yang sepi di malam hari. Ketika itu, aku tak begitu stress memikirkan strategi macam apa yang akan kugunakan untuk membuat mereka bisa melalui ujian nasional dengan baik, dan menggunakan waktu belajar ketika les dengan efektif. Aku menikmati ketika kami belajar sambil minum es, ketika Ujay masih lepas bercanda, ketika Fahira dan Revina tidak saling memendam kekesalan. Aku merindukan masa-masa itu.

Lalu Sita dan Mila mulai datang. Bukan karna kehadirannya tidak diinginkan, tapi karna aku merasa bertambahnya orang membuat konsentrasi dan fokus bisa hilang, dan ketika itulah aku mulai serius dan menerapkan jadwal. Semakin hari, aku kehilangan kenyamanan, dan merasa ingin itu semua segera berakhir. Dan pada akhirnya di hari-hari terakhir, aku melewatinya dengan sangat enggan.

Yang kusadari adalah bahwa, aku sangat merindukan waktuku bersama mereka.

Aku telah berkali-kali memimpikan mereka. di musolla yang tiba-tiba gelap, mengantarkan mereka pulang, melewati jalan yang gelap. Sita yang jatuh ke dalam got yang besar sekali, dan aku merasa ketakutan. Pada akhirnya ketika terbangun aku menyadari perasaanku sendiri, yang sedang ketakutan karna merasa aku bertanggung jawab atas anak-anak itu.

Mimpi yang berikutnya, aku dan Ujay di kelas yang sama, mengerjakan matematika. Entah kenapa aku sekelas dengannya. Mimpi itu datang ketika aku sedang resah dengan kegiatan yang akan kulewati di bulan-bulan berikutnya. Kuliah dari awal lagi.

Yang selanjutnya, dengan Fahira, Sita, dan Revina. Di kelas yang sama. Momen ketika hari libur, tanggal merah, tapi entah kenapa kami datang. Ketika sampai di kelas, kelas yang romantis, penuh dengan jendela yang melewatkan sinar matahari memantul di meja yang mengkilat berwarna kayu, membiaskan jingga ke sekelilingnya. Begitu detail suasana dalm mimpi itu kurasakan. Kami menunggu berjam-jam tanpa ada yang datang, sambil menyadari bahwa itu adalah hari libur. Mimpi itu membuatku sadar bahwa aku sedang merindukan suasana damai kelas di FIB UI. Aku tau tak akan ada yang menggantikan suasana damai kelas di FIB UI gedung 4 dan 6. Apalagi ketika hari mulai sore dan hujan. Seperti ketika itu, di sore yang gelap dan mendung, di gedung 6 FIB UI yang mati lampu, dengan jendela lebar yang membawakan cahaya matahari sore ke kelas yang luas namun sepi karna sebagian anak tak datang. Ida sensei bercerita, dengan gayanya yang damai dan persuasif. Aku tenggelam dalam suasana semacam itu.

Lalu di dalam mimpi yang kontroversial itu pun juga. Mimpi ketika pasangan kekasih bertengkar di dalam sebuah gudang. Setelah si lelaki mencumbui paksa pasangannya, ia menyiramkan bensin dan membakar seluruh gudang beserta kekasihnya. Gudang meledak dan menyisakan kepingan gosong barang-barang di dalamnya beserta potongan daging manusia. Scene berganti dengan scene wawancara ala acara berita kriminal. Seorang perempuan paruh baya bersaksi tentang potongan daging yang ia lihat menempel di sela-sela pintu dan bahwa pelaku adalah anak band yang tampan. Channel berganti, seakan-akan aku telah bangun dari mimpi yang menyeramkan itu. Di SMA 32, aku masuk ke kantor di sore hari hampir malam dengan ragu-ragu. Hampir tak ada lagi guru yang kukenal. Mereka sudah dipindahtugaskan, tersisa guru-guru baru dan beberapa guru yang masih tertinggal. Aku membaca daftar nama guru, lalu bang Kamal datang dari dalam lagi, bertanya, “cari apa?”, kujawab dengan “Cuma liat-liat, udah ga ada lagi guru yang lepi kenal”. Entah kenapa lalu Pak Joko masuk, dan kubilang pada abang ketika itu bahwa aku tak bisa lagi menunggunya, aku mau pulang duluan. Di luar sudah gelap sekali, aku pulang bersama Fahira. Di jalan yang gelap dan tak ada sedikit pun orang itu, aku mulai bercerita tentang mimpi pasangan kekasih yang tragis tadi. Ya, Fahira muncul di mimpi itu.

Yang kusadari lagi adalah, aku adalah orang yang sentimentil dan romantis. Aku adalah orang yang fokus dengan suasana. Kenapa aku mampu mengingat beberapa kejadian dengan baik? Mungkin karna aku menikmati suasana ketika itu terjadi. Aku menyerapnya dan menjadikannya potongan kenangan yang nantinya akan muncul di dalam mimpiku, berkolaborasi satu sama lain. Tapi di samping fakta bahwa aku bisa menyayangi orang-orang sedalam aku tenggelam dalam suasana romantis, aku berusaha agar keputusan dan jalanku tidak didasarkan atas itu semua. Dan aku sangat sadar bahwa apa yang kukatakan dan apa yang kuputuskan lebih sering tak menggambarkan apa yang benar-benar kurasakan.

Jadi beginilah aku berjalan.