Bagiku mimpi bukan sekedar bunga tidur. Mereka adalah
potongan-potongan kenangan, perasaan dan pikiran kita. Sejak dulu aku sering
termenung dengan mimpiku. Ketika terbangun aku memikirkan lagi runut mimpi,
kadang kucatat semua yang kuingat, atau jika aku hanya berhasil mengingat
kepingannya saja pun tetap kucatat karna mereka begitu meninggalkan kesan
mendalam. Mungkin, karna kebiasaan memikirkan mengapa aku memimpikan sesuatu,
ketika aku sedang bermimpi aku sering merasa sadar bahwa aku sedang berada di
dalam mimpi, aku sering merasa mengarahkan mimpiku menuju sesuatu. Seperti ketika
aku sedang akan dibunuh di dalam mimpi, aku sadar itu cuma mimpi tapi aku tetap
harus melarikan diri dan aku mencoba memikirkan hal lain yang lebih
menyenangkan agar “channel” mimpiku berganti. Aku tak tau apakah orang lain pun
punya pengalaman seperti ini dengan mimpinya. Tapi bagiku, waktu ketika
bermimpi adalah waktu yang spesial.
Seperti malam ini, mimpiku begitu berkesan. Di dunia nyata,
aku selalu berpikir pekerjaanku mengajar privat adalah pekerjaan, dan aku tak
akan mengistimewakan pertemuan dan perpisahannya. Kemarin-kemarin, hari-hari
terakhir aku mengajar mereka pun aku tak berusaha untuk membuatnya jadi spesial,
bahkan segalanya semakin kosong dan membosankan, pertemuan kami. Aku semakin
dingin dan berusaha tak terlibat dengan mereka secara pribadi. Apa alasannya? Mungkin
aku ingin berubah, aku ingin menegaskan diriku untuk tidak terbawa perasaan
atau terlalu sentimentil.
Tapi mimpi malam ini membuka semua perasaanku. Menelanjangiku.
Di malam seperti biasa, Fahira dan Ujay datang, dan Fahira bertanya, “hari ini
les ga kak?”, seperti biasa. Entah kenapa, meskipun mereka sudah libur dan
lewat hari ujian nasional, aku menjawab “ya”, memaksa mereka menungguku di
ruang tamu yang agak gelap. Aku meninggalkan mereka untuk mandi. Ketika aku
terlalu nyaman dengan waktuku, selesai mandi aku menuju kamar dan tiduran
menikmati waktuku, sampai akhirnya aku teringat aku telah meninggalkan mereka
di ruang tamu dalam waktu yang cukup lama.
Dengan suara yang riang, aku melompat pada mereka dan
bertanya, “gimana ujiannya?”, setelah sebelumnya ketika Fahira bertanya hari
ini akan belajar apa, aku telah menjawab dengan “tidak tau”. Mereka dengan
santai bercerita, mengeluarkan soal. Ah, tanpa sadar, dan entah mengapa ada
Revina di sana, entah sejak kapan dia datang. Kami mulai membahas soal-soal
yang entah kenapa bukan soal yang familiar dengan yang pernah kami pelajari. Revina
melingkar lingkarkan lingkaran-lingkaran, di otakku hanya ada image bold bagaimana
Revina senang sekali melakukan hal seperti itu, menajamkan gambar lingkaran
atau bangun ruang lain lalu terbawa dengan dunianya sendiri.
Di waktu selanjutnya ada Ami, adikku. Dia dan soal (entah
apapun itu, aku tak ingat) di tangannya. Aku teralih padanya di ruang sebelah
dan membahas soal itu bersamanya. Aku nyaman dengan waktuku saat itu. Sampai ketika
kutengok anak-anak itu, mereka terpaku dengan soal yang sama, seakan sedang
menungguku kembali. Dan aku pun kembali pada mereka. Di waktu-waktu itu, aku
menceritakan mimpiku kemarin-kemarin, tentang ujay yang kulihat mendapat nilai
100, sedang yang lainnya 50. Aku menceritakan mimpiku di dalam mimpi. Dan aku
yang tertawa sambil bergumam sendiri tanpa merasa diperdulikan, “apakah aku
peramal?!”, lalu tertawa sendiri. Dan aku bertanya, dengan riangnya, “kalo
Fahira gimana? Kira-kira ujian kemaren dapet berapa?”, dia menjawab, “50”.
Lalu hujan, turun deras sekali, di malam yang sangat gelap. Di
depan rumahku, sekolah Assa’adah tidak disinari lampu sedikit pun, suasana yang
mecekam dan romantis. Kami melihat hujan dengan jeda yang cukup untuk menikmati
kebingungan dalam situasi yang menenggelamkan kami ke dalam kekosongan. “gimana
nih, ujan”, Fahira membuka pembicaraan. “nanti tunggu dijemput, pasti dijemput”.
Lalu kami menikmati lagi suasana yang mencekam sekaligus romantis itu.
Aku menyadari sesuatu setelah terbangun dari mimpi. Di dalam
mimpi itu, aku sangat menikmati waktuku bersama mereka. Aku terbawa dalam
kenangan awal-awal dimana kami les bertiga, di musolla yang sepi di malam hari.
Ketika itu, aku tak begitu stress memikirkan strategi macam apa yang akan
kugunakan untuk membuat mereka bisa melalui ujian nasional dengan baik, dan
menggunakan waktu belajar ketika les dengan efektif. Aku menikmati ketika kami
belajar sambil minum es, ketika Ujay masih lepas bercanda, ketika Fahira dan
Revina tidak saling memendam kekesalan. Aku merindukan masa-masa itu.
Lalu Sita dan Mila mulai datang. Bukan karna kehadirannya
tidak diinginkan, tapi karna aku merasa bertambahnya orang membuat konsentrasi
dan fokus bisa hilang, dan ketika itulah aku mulai serius dan menerapkan
jadwal. Semakin hari, aku kehilangan kenyamanan, dan merasa ingin itu semua
segera berakhir. Dan pada akhirnya di hari-hari terakhir, aku melewatinya
dengan sangat enggan.
Yang kusadari adalah bahwa, aku sangat merindukan waktuku
bersama mereka.
Aku telah berkali-kali memimpikan mereka. di musolla yang
tiba-tiba gelap, mengantarkan mereka pulang, melewati jalan yang gelap. Sita yang
jatuh ke dalam got yang besar sekali, dan aku merasa ketakutan. Pada akhirnya
ketika terbangun aku menyadari perasaanku sendiri, yang sedang ketakutan karna
merasa aku bertanggung jawab atas anak-anak itu.
Mimpi yang berikutnya, aku dan Ujay di kelas yang sama,
mengerjakan matematika. Entah kenapa aku sekelas dengannya. Mimpi itu datang
ketika aku sedang resah dengan kegiatan yang akan kulewati di bulan-bulan
berikutnya. Kuliah dari awal lagi.
Yang selanjutnya, dengan Fahira, Sita, dan Revina. Di kelas
yang sama. Momen ketika hari libur, tanggal merah, tapi entah kenapa kami
datang. Ketika sampai di kelas, kelas yang romantis, penuh dengan jendela yang
melewatkan sinar matahari memantul di meja yang mengkilat berwarna kayu,
membiaskan jingga ke sekelilingnya. Begitu detail suasana dalm mimpi itu
kurasakan. Kami menunggu berjam-jam tanpa ada yang datang, sambil menyadari
bahwa itu adalah hari libur. Mimpi itu membuatku sadar bahwa aku sedang
merindukan suasana damai kelas di FIB UI. Aku tau tak akan ada yang
menggantikan suasana damai kelas di FIB UI gedung 4 dan 6. Apalagi ketika hari
mulai sore dan hujan. Seperti ketika itu, di sore yang gelap dan mendung, di
gedung 6 FIB UI yang mati lampu, dengan jendela lebar yang membawakan cahaya
matahari sore ke kelas yang luas namun sepi karna sebagian anak tak datang. Ida
sensei bercerita, dengan gayanya yang damai dan persuasif. Aku tenggelam dalam
suasana semacam itu.
Lalu di dalam mimpi yang kontroversial itu pun juga. Mimpi ketika
pasangan kekasih bertengkar di dalam sebuah gudang. Setelah si lelaki mencumbui
paksa pasangannya, ia menyiramkan bensin dan membakar seluruh gudang beserta
kekasihnya. Gudang meledak dan menyisakan kepingan gosong barang-barang di
dalamnya beserta potongan daging manusia. Scene berganti dengan scene wawancara
ala acara berita kriminal. Seorang perempuan paruh baya bersaksi tentang
potongan daging yang ia lihat menempel di sela-sela pintu dan bahwa pelaku
adalah anak band yang tampan. Channel berganti, seakan-akan aku telah bangun
dari mimpi yang menyeramkan itu. Di SMA 32, aku masuk ke kantor di sore hari
hampir malam dengan ragu-ragu. Hampir tak ada lagi guru yang kukenal. Mereka sudah
dipindahtugaskan, tersisa guru-guru baru dan beberapa guru yang masih
tertinggal. Aku membaca daftar nama guru, lalu bang Kamal datang dari dalam
lagi, bertanya, “cari apa?”, kujawab dengan “Cuma liat-liat, udah ga ada lagi
guru yang lepi kenal”. Entah kenapa lalu Pak Joko masuk, dan kubilang pada
abang ketika itu bahwa aku tak bisa lagi menunggunya, aku mau pulang duluan. Di
luar sudah gelap sekali, aku pulang bersama Fahira. Di jalan yang gelap dan tak
ada sedikit pun orang itu, aku mulai bercerita tentang mimpi pasangan kekasih
yang tragis tadi. Ya, Fahira muncul di mimpi itu.
Yang kusadari lagi adalah, aku adalah orang yang sentimentil
dan romantis. Aku adalah orang yang fokus dengan suasana. Kenapa aku mampu
mengingat beberapa kejadian dengan baik? Mungkin karna aku menikmati suasana
ketika itu terjadi. Aku menyerapnya dan menjadikannya potongan kenangan yang
nantinya akan muncul di dalam mimpiku, berkolaborasi satu sama lain. Tapi di
samping fakta bahwa aku bisa menyayangi orang-orang sedalam aku tenggelam dalam
suasana romantis, aku berusaha agar keputusan dan jalanku tidak didasarkan atas
itu semua. Dan aku sangat sadar bahwa apa yang kukatakan dan apa yang
kuputuskan lebih sering tak menggambarkan apa yang benar-benar kurasakan.
Jadi beginilah aku berjalan.