Rabu, 08 Oktober 2014

Gelisah


Harus dimulai darimana..

Berawal dari kesadaran bahwa perasaan/mood ku bisa jatuh dan terbang sekejap tanpa aku tau alasannya apa. Mungkin ini adalah salah satu bagian dari diri, tapi semenjak aku merasa begitu terganggu dengan kejatuhannya yang tajam, aku bertanya, menggemakan pertanyaanku ke segenap ruang di dada, “ada apa?”. Kugemakan, namun tak juga kunjung datang jawabnya. Di tengah kegelisahan, ditemani kesendirian dan kesepian yang amat menusuk, aku gelisah. Dan kutuangkan kegelisahanku di atas kertas. Apa yang harus dilakukan? Ada suatu perasaan ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar, seperti boneka yang rusak.

Aku tanya kepada yang bisa ditanya tanpa berkomentar, namun selalu menjawab, professor google, iya. Entah sejak kapan, ketika aku bertanya pada banyak orang, mereka selalu menyuruhku bertanya ke google, hingga akhirnya aku tak pernah lagi bertanya pada orang-orang korban keganasan professor google itu.

Hingga kusimpulkan sendiri, aku benar-benar gila, dan aku tau aku tak mau menyadari kesadaranku tentang itu. Kepada siapa aku harus mengatakan kesimpulanku?

Dia datang dan pergi. Perasaan yang diangkat dan dijatuhkan, yang istilahnya tak dipahami oleh orang kebanyakan, yang maknanya disederhanakan sebagai proses alami manusia normal oleh mereka yang “normal”. Aku juga tak mau mengakuinya, tapi bagaimana bisa aku hidup tanpa menerima bagian diriku yang seperti ini?

Di suatu hari di kala itu kubuat segala rencana mutakhir demi menggapai mimpi, kubuat jadwal bagi diri sendiri, dengan keyakinan bahwa aku akan menjadi orang hebat, aku bisa melakukannya, aku bisa melihatnya di dalam kepalaku, masa dimana aku menguasai segalanya. Kepalaku dipenuhi segala macam hal yang akan aku lakukan di setiap harinya di masa depan, begitu bersemangat. Dan keesokan harinya, sialan, rasa jatuh muncul! Lemah, lemas, bodoh sekali aku pernah berpikir bisa menguasainya, siapa aku ini? Sedang apa kamu dan siapa kamu pun tak akan ada yang peduli, tidak ada yang menyukai sifatku. Aku bangun tanpa sedikit senyum dan kecerahan di wajahku, aku berbicara dengan suara yang diseret seret, aku bergerak dengan lamban, aku berjalan lunglai mengikuti kemana kaki akan membawaku. Rasa sepi yang tiba-tiba datang menyayat-nyayat, sakit, kadang-kadang air mata keluar, kadang-kadang tidak. Aku harus menghindari orang lain, muncul perintah di kepalaku, dan aku pergi, pergi ke tempat dimana tak ada yang akan mengenaliku di sana.

Perasaan itu kadang-kadang muncul, membenci manusia. Karna manusia, mayoritas manusia tidak sepertiku. Pernah aku penasaran apakah manusia lain juga merasakan apa yang aku rasakan, tapi semuanya sudah berlalu. Apa pun yang mereka lakukan di depanku, entah itu lucu, menyenangkan, mengganggu, semuanya terasa memuakkan. Aku ingin mereka pergi dari hadapanku, atau aku yang pergi. Reaksiku adalah menjauh, memilih hidup sendiri. Tapi ketika mulai berjalan sendiri, rasa sepi mencambuk. God, aku tak tau apa yang harus kulakukan.

Aku ingin meneriakkannya, aku ingin ada yang mengetahuinya, apa kalian bisa merasakannya? Aku tak tau. Hingga datang masa ketika aku menyadari, segala yang kulakukan demi melegakan diri malah membawaku pada luka yang lain. Ya, sakit sekali rasanya. Apa itu berlebihan bagi mereka? Aku merasa seperti aku harus menjadi aktor yang sempurna di hadapan mereka, aku tak boleh membuat mereka khawatir tanpa menguasai pengetahuan tentangku. Di tengah keinginan dipahami oleh orang lain, mereka menendangku, “what the hell, first you have to understand others!”. Sakit, iya sakit, dan aku tak bisa memanage nya dengan baik. Aku tak akan bisa, tanpa reaksi emosional menghadapi orang-orang seperti itu lagi.

Luka adalah hal yang pasti dialami setiap manusia di dunia ini, aku tau itu. Tapi apakah perasaan sepi luar biasa ketika aku pergi dengan membawa kehampaan -tanpa semangat hidup- ke tempat dimana tak ada orang yang mengenalku tau itu dirasakan oleh banyak orang? Perasaan sepi yang berhasil dijelaskan oleh salah satu tulisan yang membahas tentang salah satu gangguan kejiwaan yang namanya pertama kali kudengar dari seorang teman, cerita tentang kesalahpahamannya tentang penyakit itu dan menyamakannya dengan kepribadian ganda, hingga dipopulerkan oleh seorang artis Indonesia yang melakukan hal yang menghebohkan masyarakat Indonesia.

Kutipannya:

“Sangat sulit untuk mengungkapkan penderitaan penyandang bipolar disorder. Oleh karena itu penderita bipolar diorder sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti tentang dirinya.
Ia, merasa begitu kesepian. Mungkin orang awam tidak pernah memahami kata "sepi" seperti yang dialami penderita bipolar. Sepi itu begitu menyayat-nyayat hatinya.

Ia sering menangis tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas. Tapi rasa sepi dan sedih itu jelas menggerogoti kebahagiaan jiwanya. Ingin mengungkapkan beban-bebannya namun tidak bisa menemukan seseorang yang mengerti tentang dirinya.

Penyandang bipolar disorder terkadang hanya menangis dalam hati, karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Hal ini akan semakin menambah tingkat depresinya. Tangisan tanpa air mata lebih perih dan pedih. Ia mengharapkan ada tangan yang menyeka lukanya, ada telinga yang mendengarkan deritanya, dan ada seseorang yang demikian teduh sehingga ia bisa rebah penuh kedamaian.

Ketika mengalami kondisi depresi, seorang penyandang bipolar ingin berteriak keras melepaskan semua bebannya, pada saat yang bersamaan ia merasa begitu sedih. Duduk terjatuh tidak bergairah di sudut kamar. Ia merasa tidak berguna. Ia putus asa. Ia ingin bangkit. Tapi tiba-tiba rasa takut menyergap dirinya. Ia kembali jatuh ke pangkuan pesimisme.

Dan terus menerus keadaan ini mengisi dirinya silih berganti: sedih, putus asa, keinginan untuk bangkit, menangis, tertawa, sepi, ingin mati, merasa ada pribadi yang berbeda dalam diri, tidak bergairah, merasa sangat berdosa, melihat masa depan begitu suram, sangat malu bertemu orang lain, merasa benci dan ingin bertindak di luar imajinasi normal... begitu seterusnya datang silih berganti dengan sangat cepat.

Masa lalu datang membayanginya. Terkadang ia sangat benci dengan masa lalu. Tetapi ia juga ingin pulang ke masa lalu. Ingin bernostalgia dengan masa-masa indahnya. Mungkin ketika ia merasakan kasih sayang orang-orang terdekatnya, ketika bermain dengan riang tanpa beban di masa kecil, atau ketika ia menikmati keindahan bentangan alam.

Tetapi ketika mengingat hal-hal indah tersebut lagi-lagi kesedihan menyergap tanpa kompromi. Kini ia melihat dirinya hidup dalam penderitaan. Ingin keluar tetapi sulit sekali.

Bagaikan berada di satu dunia yang sangat gelap, pengap, sepi, dingin, menakutkan, penuh aroma racun... ia berusaha sekuat-kuatnya keluar dari dunia itu. Ia melihat di sisinya ada dunia yang cerah dan penuh warna. Ada cahaya kemilau dan taburan kebahagiaan. Terlihat tawa-tawa penuh keceriaan, senyuman dari hati penuh kedamaian, dan ketentraman yang tak terpatahkan. Ia terus berusaha. Meskipun merangkak ingin menggapai dunia indah itu. Tapi malangnya semakin berusaha semakin ia merasakan betapa berat perjuangannya untuk menggapai kehidupan indah itu.

Ia masih di sini, di dunia yang sepi dan gelap itu. Menangis sendiri. Sepi sekali. Tak ada pelukan hangat dari seorangpun. Tak ada belaian penuh kasih. Semua orang hanya menyalahkan dirinya tetapi tidak ada yang mengerti penderitaannya.

Ia sedang berjuang untuk hidup, tak ada seorangpun yang memahami betapa kerasnya perjuangan itu. Mereka hanya menghakimi. Dan, begitulah akhirnya ia semakin terasing dan merasa sendiri. Sepi. Sedih. Dan perih. Seorang diri.” 

Iya, pikiran tentang rencana pemberontakan, rencana kematian, begitu matang dipikirkan, dirombak ulang, dipatahkan dan diganti, segala ide-ide yang muncul ketika berada dalam kondisi putus asa. Dan tak ada banyak yang benar-benar paham. Kebanyakan mereka menyuruh untuk keluar sendiri atau memberikan tangan yang terbuka tapi hatinya tertutup menerima kenyataan bahwa orang yang di hadapannya merasa sangat berbeda. Yah, memaksanya untuk menjadi orang normal ternyata memperburuk luka. Bisa masih bertahan sekarang pun adalah kesyukuran.

Yah, kita hanya perlu melanjutkan hidup, berapa pun banyaknya rasa jatuh dan terangkat, berapa pun banyaknya, asalkan kita tak berhenti berusaha terus berjalan, hingga Tuhan menjemput kita dengan tanganNya. Hingga usaha kita benar-benar dinilaiNya. Karna tak ada yang benar-benar memahami, bahkan diri pada dirinya sendiri, kecuali Tuhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar