Rabu, 20 Agustus 2014

Lampu yang Mati


Aku belajar membenci ketika dunia memperlakukanku tak bersesuaian dengan apa yang seharusnya membuatku nyaman di dalam perjalanan kehidupan di dunia yang penuh perubahan yang niscaya.

Aku pernah ada dalam tahap itu, mungkin berkali-kali dan bertahap karna itu tak bisa hilang.

Belajar berbohong, dan menganggapnya bukan hal yang besar. Belajar memperlakukan orang lain dengan keras. Belajar menjadi boss bagi diri sendiri. Hingga pada saatnya aku belajar untuk tidak mempercayai orang lain, tidak mempercayai dunia.

Apakah dunia seperti apa yang terlihat di hadapanku? Mana kutau. Mata kita penuh persepsi.

Pembelajaran bagi seorang manusia memang penuh tahap. Ada tahap di mana ia akan fokus mempelajari moral, kemudian fokus menajamkan sisi emosional, intelektual, dsb. Sering kali pada masanya itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Otak kita bekerja tanpa kita sadari. Ada pula yang namanya alam bawah sadar yang merekam memori yang tidak bisa kita bangkitkan di alam sadar.

Menakutkan memang. Menyadari bahwa kita dikontrol oleh apa yang ada pada kita tanpa bisa sepenuhnya dan seluruhnya kita pilih. Tak ada kesimpulan lain selain ada kekuatan super di balik segalanya.

Tapi tahapan belajar terus berlangsung terkadang tanpa kita menyadari apa yang kita pelajari dari alam.

Hingga gen-gen di dalam tubuh kita yang diwarisi dari orang tua diaktifkan tombol-tombolnya yang semula mati, atau malah dimatikan tombol-tombolnya yang semula aktif.

Sejauh apa pikiran, imajinasi mampu mengontrol diri kita? Oh sejauh apa?

Masa itu memang sudah lewat. Masa di mana aku tak mampu melihat apa-apa di depanku. Masa dimana ada pikiran ingin melarikan diri dari kehidupan yang sekarang. Masa ketika kebencian menyebar di seluruh tubuh.

Namun tidaklah bisa dipungkiri, meskipun maaf dan memaafkan terus mengalir membanjiri energi di alam, ada suatu tombol yang bisa mengaktifkan segala yang sekarang tertidur. Suatu tombol yang keberadaannya membuktikan pada kita bahwa kata-kata dan perlakuan yang pernah kita alami akan terukir di dalam memori, tersimpan di sudut yang tak bisa dibangkitkan ke alam kesadaran, yang terwujud dalam sikap yang tak sepenuhnya mampu dijelaskan, sikap yang sering disalahpahami.

Ada penyakit lain selain yang biasa coba disembuhkan dokter di rumah sakit. Penyakit yang muncul atas ketidaksadaran kita memperlakukan diri dan orang lain. Penyakit yang coba Tuhan minimalkan dengan cara membuat sebuah aturan yang lengkap tentang kehidupan dalam agama, yang coba Tuhan minimalkan dengan memerintahkan manusia untuk membaca segalanya!

Wahai, sadarlah manusia! Ada jiwa, ada emosi, ada mental. Sudah banyak dari kita menjadi korban dari ketidakpedulian dan keskeptisan kita, dari empati kita yang mati, kematian empati yang muncul atas perlakuan empati lainnya yang mati. Seakan-akan manusia berjalan di panggung dunia tanpa lampu yang hidup di bagian di mana seharusnya lampu itu menerangi dan menuntun perjalanan.

Dan perjalanan manusia terus berlangsung, mewarisi “kematian lampu” yang menyesatkan kita dari jalan kebahagiaan sempurna. Bukankah karena dunia memang tidak mengizinkan itu?

Biarlah sejarah terus berlalu, hingga masa dilewati dan berganti dengan masa di mana segala dendam di dalam diri hilang di antara orang beriman. Dan kita bercengkrama tanpa pernah ada dendam. Tuhan mengatakannya dalam firmannya pada Rasul akhir zaman, bahwa akan tiba masanya kita bersamping-sampingan dengan orang lain dengan dendam yang diangkatNya dari hati kita. Kemudian aku berpikir, “baiklah Tuhan, lampu yang mati akan terus diwarisi di dunia, karna Kaulah yang menghendakinya”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar