Aku belajar membenci ketika
dunia memperlakukanku tak bersesuaian dengan apa yang seharusnya membuatku
nyaman di dalam perjalanan kehidupan di dunia yang penuh perubahan yang
niscaya.
Aku pernah ada dalam tahap
itu, mungkin berkali-kali dan bertahap karna itu tak bisa hilang.
Belajar berbohong, dan
menganggapnya bukan hal yang besar. Belajar memperlakukan orang lain dengan
keras. Belajar menjadi boss bagi diri sendiri. Hingga pada saatnya aku belajar
untuk tidak mempercayai orang lain, tidak mempercayai dunia.
Apakah dunia seperti apa yang
terlihat di hadapanku? Mana kutau. Mata kita penuh persepsi.
Pembelajaran bagi seorang
manusia memang penuh tahap. Ada tahap di mana ia akan fokus mempelajari moral,
kemudian fokus menajamkan sisi emosional, intelektual, dsb. Sering kali pada
masanya itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Otak kita bekerja tanpa kita
sadari. Ada pula yang namanya alam bawah sadar yang merekam memori yang tidak
bisa kita bangkitkan di alam sadar.
Menakutkan memang. Menyadari bahwa
kita dikontrol oleh apa yang ada pada kita tanpa bisa sepenuhnya dan seluruhnya
kita pilih. Tak ada kesimpulan lain selain ada kekuatan super di balik
segalanya.
Tapi tahapan belajar terus
berlangsung terkadang tanpa kita menyadari apa yang kita pelajari dari alam.
Hingga gen-gen di dalam tubuh
kita yang diwarisi dari orang tua diaktifkan tombol-tombolnya yang semula mati,
atau malah dimatikan tombol-tombolnya yang semula aktif.
Sejauh apa pikiran, imajinasi
mampu mengontrol diri kita? Oh sejauh apa?
Masa itu memang sudah lewat. Masa
di mana aku tak mampu melihat apa-apa di depanku. Masa dimana ada pikiran ingin
melarikan diri dari kehidupan yang sekarang. Masa ketika kebencian menyebar di
seluruh tubuh.
Namun tidaklah bisa dipungkiri,
meskipun maaf dan memaafkan terus mengalir membanjiri energi di alam, ada suatu
tombol yang bisa mengaktifkan segala yang sekarang tertidur. Suatu tombol yang
keberadaannya membuktikan pada kita bahwa kata-kata dan perlakuan yang pernah
kita alami akan terukir di dalam memori, tersimpan di sudut yang tak bisa
dibangkitkan ke alam kesadaran, yang terwujud dalam sikap yang tak sepenuhnya
mampu dijelaskan, sikap yang sering disalahpahami.
Ada penyakit lain selain yang
biasa coba disembuhkan dokter di rumah sakit. Penyakit yang muncul atas
ketidaksadaran kita memperlakukan diri dan orang lain. Penyakit yang coba Tuhan
minimalkan dengan cara membuat sebuah aturan yang lengkap tentang kehidupan
dalam agama, yang coba Tuhan minimalkan dengan memerintahkan manusia untuk
membaca segalanya!
Wahai, sadarlah manusia! Ada jiwa,
ada emosi, ada mental. Sudah banyak dari kita menjadi korban dari
ketidakpedulian dan keskeptisan kita, dari empati kita yang mati, kematian
empati yang muncul atas perlakuan empati lainnya yang mati. Seakan-akan manusia
berjalan di panggung dunia tanpa lampu yang hidup di bagian di mana seharusnya
lampu itu menerangi dan menuntun perjalanan.
Dan perjalanan manusia terus
berlangsung, mewarisi “kematian lampu” yang menyesatkan kita dari jalan
kebahagiaan sempurna. Bukankah karena dunia memang tidak mengizinkan itu?
Biarlah sejarah terus
berlalu, hingga masa dilewati dan berganti dengan masa di mana segala dendam di
dalam diri hilang di antara orang beriman. Dan kita bercengkrama tanpa pernah
ada dendam. Tuhan mengatakannya dalam firmannya pada Rasul akhir zaman, bahwa
akan tiba masanya kita bersamping-sampingan dengan orang lain dengan dendam
yang diangkatNya dari hati kita. Kemudian aku berpikir, “baiklah Tuhan, lampu
yang mati akan terus diwarisi di dunia, karna Kaulah yang menghendakinya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar