Kamis, 16 Oktober 2014

..pada Diri Sendiri


Dikasih hati minta jantung.
Banyak orang keterlaluan jika diperlakukan baik.

Diramahtamahi, diajak ngobrol,
lalu sok akrab, bebas menanyakan hal-hal pribadi, menyusahkan,
sialan!

Aku tak mengerti dengan orang-orang yang gampang suka pada orang lain.
Kemarin suka pada si A, sekarang suka pada si B.
Pun aku tak mengerti dengan orang-orang yang bisa menyukai orang yang sangat menyukainya demi bisa bahagia.
Aku tak tahan dengan orang yang mengatakan “kamu ga boleh bilang kamu bukan jodoh sama seseorang, yang menentukan jodoh itu Allah. Mungkin kamu ga suka dengan seseorang, tapi kalau Allah berkehendak, jodoh ya jodoh”
Fuhh, normatif sekali ya, kata-katanya memang benar,
tapi penuh manipulasi.
Menjijikan.
(Dan aku tak mengerti mengapa kata manipulasi begitu susah aku munculkan di kepala ketika aku perlu menyebutkannya.
Itu terjadi berkali-kali.
Meski aku ingat hurufnya dimulai dengan M dan merupakan sifat mencolok Allen,
salah seorang kepribadian Billy Milligan.
Bahkan aku perlu melihat buku 24 Wajah Billy lagi untuk menuliskan kata itu di sini.
Ketika mencoba mengingatnya aku hanya terpikir “mutilasi?”
Sungguh gila.)
Ya, aku tak mengerti,
dengan mereka yang mau menikahi orang yang tidak 100% dicintainya, tidak mantap bagi dirinya,
hanya mempertimbangkan kebagusan agama dan rekam pendidikannya.
Dengan mereka yang mengizinkan orang asing yang dinikahinya tanpa disukai 100% itu menemaninya sehari-hari,
masuk ruang privasinya,
mengetahui luar dalam tentangnya,
aku sungguh tak mengerti.
Segalanya begitu normatif, begitu dibentuk indah dari luarnya,
dipikirkan dengan keindahan dan kebagusan, hingga pengaruhnya pun bagus.
Apa yang sesungguhnya kalau begitu?
Aku benci dengan ketidakjujuran macam itu,
sungguh aku lebih suka bergaul dengan hewan-hewan yang jujur itu.
Ya aku tau, kita manusia perlu memperhitungkan segalanya, bukan hanya merasakan segalanya.

Aku ingat pelajaran yang pak Tommy sampaikan di kelas filsafat bahasa.
Orang di sisi obyektif dan abstraksi matematis itu penuh manipulasi,
berbeda dengan mereka di sisi subyektif, yang jujur pada emosi yang dirasakannya.
Aku mengerti.
Meski cara menyampaikannya penuh retorik (yah, apa yang tidak cenderung pada sesuatu? Bukankah segalanya kebanyakan selalu berpihak? Demi melepaskan manusia dari rasa kebingungannya terhadap dunia, segalanya perlu condong dan berpihak pada sesuatu. Di sisi ini aku berpikir, kalau begitu bukankah yang obyektif artinya tak punya nilai apa pun? Tak bermakna apa pun kecuali kerelatifan?)
Dan aku tak perlu repot dan memusingkan yang mana yang benar.
Menurutku segala yang di pertengahanlah yang “boleh” dikatakan paling benar.

Orang-orang yang keterlaluan,
yang ketika dikasih hati minta jantung itu,
harus kuberi pemahaman dan pelajaran bahwa mereka sungguh rendahan dengan sikap begitu.
Harus diacuhkan agar paham dan disakiti agar jera.

Aku jijik sekali.
Aku sadar, orang-orang yang pernah menarik bagi kita bisa menjadi orang yang menjijikan bagi kita suatu hari.
Kacau sekali.
(Meski begitu, bagi orang-orang yang benar-benar kusukai, itu tak kurasakan. Terkadang aku berpikir untuk menyukai seseorang itu ada tahapan ujiannya. Ketika semakin jauh ternyata kekurangannya terlihat semua di hadapan kita apakah kita baik-baik saja? Tak bisa dijelaskan dengan –katakanlah- logika, tapi jika kita benar-benar menyukainya, apa pun hampir tak bermasalah. Bahkan sifat dan pemikiran yang bertentangan pun hampir tak bermasalah. Yah, cinta memang buta, katakanlah begitu. Itu kan hanya kata-kata yang dipaksa menjadi gambaran yang tepat bagi yang kujelaskan barusan, tapi bagiku justru itulah “penglihatan dalam cinta”. Orang-orang yang mengatakan itu cinta buta adalah orang-orang yang berpikir terlalu rasional, hingga perasaan pun dilogikakan. Ya, aku tau, kata-kata ini pun sangat subyektif)
Di tengah perasaan campur aduk dan kegiatan gila yang tidak sehat,
emosi yang menjijikan itu seakan mendesak masuk dan mencampuri rasa yang sudah tak bernama itu.
Pada akhirnya keinsafan tercemari lagi dengan penuh kesadaran.
Terkadang ada dorongan pembangkangan yang kuat bagi diri yang sedang lemah.
Ya, dua-duanya memang tentang diri sendiri, siapa lagi yang bertanggungjawab?

Emosi campur aduk yang tak bernama, di hari-hari penuh kelenaan.
Lalu gerakan yang lambat datang lagi,
seperti orang stress, depresi.
Di kesibukan pagi, segalanya datang berangsur-angsur.
Kepekaan terhadap stimulasi, segalanya terasa mengganggu.
Hanya suara seseorang sedang memanggil orang lain,
barang yang tiba-tiba jatuh tertiup angin,
barang yang miring ditempatkan di meja,
pertanyaan peduli dari orang lain,
pada puncaknya kucing yang menganggu aktivitas,
segalanya begitu tajam kurasakan, begitu mengganggu.
Reaksinya adalah teriakan tertahan sambil menendang kucing,
atau membanting barang dengan rasa bersalah sesudahnya.
Juga seringkali aku bisa marah-marah pada orang-orang yang biasanya kuhargai dan kuhormati.
Marah-marah, menyakitinya dengan kata-kata agar dia menjauh dan tak mengangguku lagi.
Atau di luar itu, terkadang aku ingin menyakiti orang untuk mengetes perasaanku sendiri pada orang tersebut, mengetes reaksiku sendiri pada orang tersebut, atau mengetes perasaan dan reaksi orang lainnya.

Aku tak tau apa kaitan perasaan membenci orang lain yang tiba-tiba datang kemarin dengan kepekaan hari ini.
Aku benar-benar perlu waktu untuk menormalkan napas yang memburu karna kemarahan besar yang tertahan.
Ada imajinasi pengancaman terhadap orang-orang yang kubenci, hingga percobaan pembunuhan.
Pada detik itu, aku merasa aku pasti bisa menjadi penulis hebat seperti Edgar Allan Poe, penulis dengan imajinasi gila seperti dia, aku bisa sehebat dia.
Hanya saja aku sadar aku tak bisa mempertahankan rasa peka ini,
hingga ketika rasanya hilang, segala imajinasi ikut hilang.

Memang benar hidup ini begitu sepi.
Ketika berkumpul bersama orang lain dan teman-teman rasanya waktu berjalan begitu saja,
meski aku sadar bahwa waktu yang terlewat dengan bersenang-senang bersama orang lain adalah kelenaan sia-sia.
Ya, itu yang kupikirkan meskipun aku tetap menjalaninya jika aku punya kesempatan itu.
Dan ketika, waktu menghadiahkan sepi bagiku, terkadang justru aku tak benar-benar bisa fokus dengan rencana tentang apa yang bisa aku capai.
Aku tak paham.

Di periode ini,
sebenarnya sama saja, di periode mana pun rasa itu bisa datang,
kepekaan terhadap “kuman” dari luar (bagaimana aku harus menyebutnya?).
Anak kecil yang berbunyi tak jelas dan tak kupahami, tapi reaksi kosong dariku bisa merupakan kesalahanku terhadapnya (dan mereka menyalahkanku karna mengacuhkannya),
bisa kupandangi penuh rasa sebal.
Anak kecil yang oleh banyak orang dijadikan foto wallpaper atau profil (aku tak paham apa bagusnya, apa lucunya, apa menariknya, sumpah aku tak paham),
yang bagi banyak orang begitu tanpa dosa dan lucu.
Bagiku hewan mamalia jauh lebih menarik dijadikan wallpaper, jauh lebih lucu daripada bayi manusia.
Anak-anak sekolah yang berbicara sambil teriak-teriak di depan rumah,
hingga bocah-bocah yang mengaji di musolla samping,
bisa sangat tajam rasa mengganggunya bagiku.
Membuatku tak bisa fokus pada apa pun,
berdiam diri menikmati amarah terpendam.
Hingga ketika tak ada apa pun bisa menghentikan mereka,
aku hanya bisa mengimajinasikan scene pelenyapan mereka di kepalaku.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar meredakan perasaan itu.

Orang-orang yang bolak-balik di rumah (Babi! Rumah gua bukan sarana publik!),
sekedar bertanya-tanya,
bunyi bel yang menggema di rumah,
bunyi anak kecil teriak-teriak bermain,
the hell! Tinggalkan aku sendiri, sialan!
Mereka memaksa untuk tersenyum,
aku merasa ini ujian yang berat, beratnya membuatku membenci apa pun yang ada di sekitarku (bahkan pensil yang ada di tanganku ingin kuremukkan)

Namun ketika keinginan untuk kabur keluar mencari sepi itu ada,
ketakutan akan kesendirian menajam,
aku tak paham.

Di sela waktu istirahat,
sambil meredakan napas yang memburu,
kok air mata mau keluar lagi?
Sungguh Tuhan, aku tak paham.
Aku takut, pada diriku sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar