Sabtu, 24 September 2011

"Untuk ayah tercinta,maaf...."


"untuk ayah tercinta... Aku ingin bertemu... Walau hanya dalam mimpi........"

Seorang pengamen menyanyikan baris lirik di atas dgn penuh penghayatan di sebuah kopaja, dan tanpa sadar air mata jatuh dari mataku yg sudah sangat perih dan merah karna polusi Jakarta yg semakin parah. Ya, baris lirik itu begitu menyentuh hatiku yg sudah begitu jenuh dengan cerita ini dan sudah lelah memainkan sandiwara.

Baris lirik itu mengguncang hatiku yg penuh dengan segala hitam dan putih. Pula yg sedang resah dengan segala pikiran tentang "dia" yg tak mampu kupalingkan. Sakit sekali, ngilu rasanya. Setiap kali jenuh dan kecewa muncul, ngilu rasanya ketika sadar bahwa seorang ayah yg hebat sudah tidak ada lagi di sisi. 

Pernah aku berjanji di malam pertamanya meninggal dunia, bahwa aku akan membuatnya bangga. Bukan dengan pencapaian prestasi atau segala macam tetek bengek dunia yg "bullshit", melainkan membuatnya bangga melihat akhlak baikku dan kesadaran ketuhananku serta kecerdasan spiritual yg tinggi. Aku berjanji akan meneruskan jejak dakwah dengan caraku. Aku ingin sepertinya yg begitu penyabar, dermawan, menjaga lisan agar tidak menyakiti orang, menjadi pembawa orang yg jauh kembali dekat pada asalnya.
Tetapi, sebaliknyalah yg terjadi. Aku membuatnya malu di depan Tuhan. Dosa dan cinta dunia membuat imanku merosot tajam. 

Air mata ini jatuh di sebuah kopaja jurusan pasar minggu-cipulir ketika sekeliling berhiruk pikuk bersama kota metropolitan, sibuk dengan berbagai tugas beban menumpuk, sembari menikmati bising klakson para sopir yg mengerutkan wajah marah-marah lalu membahayakan kami dengan melanggar peraturan dan kebut-kebutan, juga tak kalah polusi dari setiap mesin bermotor entah dari sepeda motor atau mobil-mobil berkilau memanjakan kami..
Aku termenung sembari menahan rasa ngilu di hati dan berusaha menahan air mata karna ego "harga diri" yg kuagung-agungkan. Padahal air mata ini justru melegakan ngilu yg muncul bertubi-tubi.

"Maaf..."
Hanya kata itu yg mampu kuulang-ulang menimpali senandung lagu yg dialunkan si pengamen. Dan pula berpuluh kalimat dan kata yg kutujukan bagi diriku, kata-kata hinaan, menyalahkan diriku, hingga sejenak aku "down" dan tersadar, "apa gunanya aku disini?"
Aku jatuh. Dan kemana akan kucari iman yg telah tertiup angin kencang? Ke puncak gunungkah ianya terhempas? Ke dasar samudra? Terbakar api?
Entah.. Yg pasti, aku kini terjebak di suatu lubang dalam di sela perjalananku yg penuh aral melintang.

"hidup di ibukota lebih tajam dari sayatan silet ini.." kata seorang pemuda yg minta uang setelah mempertontonkan adegan menyayat tangannya dengan silet di sebuah kopaja yg kutumpangi di sore hari. 

Benar, darinya aku sadar bahwa aku dibesarkan di ibukota ini. Berkembang dengan mewarisi budaya hedonis dan konsumtif masyarakat ibukota. Hidup dikelilingi banyak manusia yg sibuk dgn urusannya hingga kepedulian makin menipis. Kerasnya ibukota membesarkanku seperti ini. Rasa muak pun muncul dari sini, melengkapi sisi kecintaanku pada dunia.

Dan..
Lelah..
Aku tidak tau kapan tiba masanya detakan terakhir jantungku akan tercatat. Resah? Jelas. Tapi bisa apa? Rasanya setiap hari ingin melihat "mereka" meski harus menempuh berjam-jam perjalanan penuh kestresan. Tak peduli. Karna aku tak tau kapan Tuhan memisahkanku dari mereka. 

Aku lelah bersandiwara di panggung dunia ini. Krisis makna dsb menggoncangku. Seperti apakah hidup yg bermakna itu? Entah... Aku bahkan tidak tau apa-apa tentang diriku yg terlalu tidak jelas. 

Tuhan, aku letih... 
Jenuh dengan cerita ini. Andai boleh memilih, aku ingin berhenti. Namun, suara-suara "itu" memaksaku terus berjalan meski dengan satu kaki. Menjalani segala hukum sosial yg memuakkan, budaya yg tak kumengerti, dan segala hal tak nyaman lainnya. Ingin muntah dan semakin sakit. Seperti dibawa oleh pikiran-pikiran yg terlatih kecewa, aku terus muak. Ingin menjadi batu di dalam kali yg diam memandangi langit luas tak berbatas tanpa harus meninggi angkuh. Tersunyi di kedalaman kali, tanpa harus melihat mereka mati karna keangkuhan petinggi alam. 

Pendosa ini tertawa di atas penderitaan dan dosa-dosanya. Dengan segala topeng kemunafikan, membawa dirinya terus berjalan menyimpan rasa tak nyaman. Seperti bumi yg mengelilingi matahari, ingin ku berpadu dengan hukum alam. Tapi sinar ini membuat terus gelisah.
Maaf, diri ini "berpikir" melemahkan kekuatan yg sesungguhnya ada. Terus membohongi dirinya sendiri. Membunuh dengan segala keangkuhan. Hidup dalam mimpi yg terbawa angin menuju gua yg gelap. 

Dan..
Seandainya malam tak pernah habis dan bumi tak berotasi. Aku ingin terus tidur sambil memandangi langit, sembari menikmati mimpi tentangmu, bapak...... 


2 komentar: