Senin, 07 Januari 2013

Terbiasa dengan Gelap


Siang ini Hpku berbunyi, menandakan ada SMS yang masuk
Sebelumnya aku mengirim SMS pada kakakku, mengajaknya makan di rumah
Kupikir, SMS yang masuk itu balasan darinya
Dengan berat langkah aku menghampiri HPku yang sedang dicharge, meninggalkan komik yang sedang kubaca dari tanganku
Dari teman kampusku
Berita tentang kecelakaan seorang teman
Aku agak shock membacanya
Ada banyak kekhawatiran, membayangkan seperti apa kondisinya, bagaimana situasinya
Tapi aku mencoba tenang dan berpikir
Mana ada seorang teman yang baru mendapat kabar kecelakaan tentang temannya tapi tidak sedikitpun khawatir, kalau begitu aku normal, aku tersenyum
Apa sih?!

Aku terdiam di situ, di tempat aku membaca HP
Sambil terus mengulang-ulang membaca SMS yang aku sudah pahami isinya itu
“bagaimana kalau hal buruk terjadi?”
“apakah aku harus mendatanginya?, tapi buat apa?”
Ah, ada kejadian menarik, apa aku harus bersyukur
Banyak sekali yang mampir di otakku saat itu
Bukan hanya kekhawatiran
Tapi kekhawatiranlah yang paling kupahami

Aku hanya perlu menunggu kabar selanjutnya
Aku berharap dia baik-baik saja
Ada yang terlintas di benakku…

Di Jakarta, jumlah kecelakaan lalu lintas tidak bisa dibandingkan dengan kota lain
Dia kan bukan orang Jakarta,
harus mengalami kecelakaan di kota perantauannya ini…
Setiap hari, aku yang selalu melewati jalan-jalan di Jakarta,
naik kopaja dan angkot yang ngebut dan sopir yang emosi
Setiap hari harus dibayangi kemungkinan kematian di jalanan
Aku benci itu
Aku tidak suka mati di jalanan
Meski begitu, fakta tentang jumlah kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat di Jakarta,
membuatku terus terbayang kematian setiap harinya
Setiap ada di jalan, imajinasiku mengambil alih
Aku melihat kopaja yang kutumpangi tertabrak,
atau saat melewati jalan antasari, aku membayangkan jalan layang di atasnya runtuh
Di mataku kami terjepit batu-batu dari atas, “bagaimana aku akan melarikan diri?”
Aku terus disibukkan dengan pikiran “bagaimana aku harus melarikan diri jika kondisinya begini atau begitu?”

Pernah suatu kali, kopaja sepi dan aku merasa beberapa orang di dalamnya mencurigakan,
aku sibuk memikirkan dengan cara apa aku harus melarikan diri jika sesuatu yang buruk terjadi
Begitulah
Setiap hari disuguhi berita kejahatan yang terjadi di Jakarta,
berita kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan
Setiap harinya, aku diliputi kecemasan akan kemungkinan mati di jalan
Bagaimana kecemasan ini menjadi hal yang wajar di Jakarta
Bahkan di dalam mushalla masih tertulis “orang di samping anda mungkin adalah pencuri, waspadalah!”
Oh, sampai kapan kita harus selalu mencurigai orang?

Meski begitu, ketika menyebrang jalan aku masih cukup berani
Ya memang keberanianlah yang diperlukan untuk menyebrang jalanan yang ada di Jakarta
Karena ketakutan dan keraguan justru membuatmu tertabrak mobil!
Tapi setelah 3 bulan libur akhir semester
Aku hampir tak pernah keluar rumah dan menyebrang jalan
Hari pertama aku keluar untuk ke kampus,
kakiku gemetaran ketika akan menyebrang!
Omong kosong apa?!

Sampai Jakarta suatu saat disulap seperti mukjizat,
Atau sampai Jakarta benar-benar hilang dari peta,
Malaikat pencabut nyawa masih sibuk mengeliminasi orang-orang Jakarta yang terlalu banyak
Awan gelap kecemasan akan selalu membayangi
Tapi kita disini akan terbiasa dengan gelapnya langit
Seperti sudah biasanya kita dengan sengatan matahari, kemacetan dan banjir, serta copet
Hingga kecemasan bukan lagi menjadi ketakutan yang ketakutan
Kecelakaan lalu lintas adalah hal wajar
Polisi dan warga yang sering melihatnya pun hanya akan berkata, “ada kecelakaan lagi?” dengan tampang yang biasa-biasa saja….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar