Jumat, 16 November 2012

Sartre dan Kebebasan Hamba



Aku tertarik pada sifatku yang sama sekali bukan penyabar. Aku pernah berapa kali mengatakan aku tak suka anak kecil. Itu adalah salah satu pernyataanku yang tak masuk akal dan penuh emosional. Tapi aku benar-benar tak suka anak kecil, dan itu serius. Tapi aku dengan penuh keyakinan meyakini, aku akan sangat menyukai anak yang nanti akan menjadi anakku. Iya, benar-benar pernyataan yang tak masuk akal! Dan aku biasanya membenci pernyataan yang tak bisa dijelaskan dengan masuk akal. Ternyata untuk beberapa hal, atau mungkin untuk banyak hal, kita meyakini sesuatu secara emosional.

Banyak sekali hal yang kubenci. Dan pikirkan, bagaimana seseorang bisa bertahan dikelilingi hal-hal yang dibencinya. Aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa bertahan. Karna segala rasa diangkat dan dijatuhkan, ya itu jawabannya. Tapi setiap kali rasa benci datang aku jadi terlalu tegang untuk bersikap normal. Meski tak ingin kupertunjukkan, terkadang, itu tetap terlihat! Dan berapa kali kukatakan, aku bukanlah orang yang pandai menyembunyikan emosiku.

Hari ini segala rencana terabaikan. Entahlah, waktu menjadi sangat pendek. Dan aku merenungi, jika aku hanya terpaku pada pendeknya waktu, aku tak kan pernah berjalan. Jika aku hanya sibuk bertanya siapa aku, aku tak akan pernah mengukir sejarah yang berarti. Dengan ini, aku hanya bisa berjalan mengukir sejarahku sambil ketakutan, khawatir, dan sambil membenci segala cerita masa lalu yang terbangkitkan. “manusia dikutuk untuk bebas”. Banyak konsep filsafat yang sudah kubaca, banyak pula tokoh-tokoh filsafat yang pernah “mampir” di pikiranku. Tapi eksistensialisme Sartre lama sekali bertahan di kepalaku, bahkan membuat yang pernah mampir lainnya tidak lagi bisa kumunculkan.

Sartre meniadakan Tuhan. Kitalah yang berwewenang mengukir pilihan hidup kita, dan kitalah yang bertanggung jawab atas baik buruknya yang kita pilih. Sartre pintar, sekaligus bodoh. Dan aku yang sering menyebut namanya, bukanlah seorang atheis. Aku hanyalah seorang hamba yang meyakini kebebasannya. Ya, aku bebas atas apapun kecuali atas tuannya.

Seorang hamba hanyalah mengenal perintah tuannya, bukan perintah yang lain. Dan inilah tauhid yang kuyakini. Jika seorang hamba berjalan dalam perjalanannya mengemban tugas dari sang tuan, dalam perjalanannya dia bebas melakukan apapun yang tidak dilarang tuannya. Ya, apapun yang tuannya tidak larang. Jika tuannya melarang membunuh, maka dia tak akan membunuh. Tapi jika ada seseorang yang berani memerintahkan sang hamba, sebuah perintah yang tak ada gunanya buat sang hamba dan tak juga mengandung kebaikan yang kentara demi dunia yang tuan bebankan kepemimpinannya pada si hamba, adalah kebebasannya untuk memberontak, pun kebebasannya pula untuk mematuhi. Dan begitulah aku memperbaiki konsep eksistensialisme Sartre!

Dan waktu terus berjalan
Dan terasa cepat berlalu
Dan kita menginginkannya bergulir cepat
Dan menginginkannya terasa lama
Manusia, aku tak memahamimu..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar