Mereka mengenalnya sebagai orang
yang cukup ceria. Orang yang suka melemparkan dan menikmati lelucon, yang hidup
cukup santai, yang selalu tersenyum dan memberikan motivasi pada
teman-temannya.
Suatu hari dia bangun lagi dari tidurnya di pagi hari dengan
perasaan seakan-akan hujan akan turun deras. Diintipnya pemandangan luar dari
kaca jendelanya. Di pikirannya, “betapa enaknya melarikan diri”. Dia termenung
pasrah, menunggu kedatangan hujan. Waktu berlalu. Diambilnya tas ransel yang
ada di atas meja, dikenakannya jaket, dipakainya sepatu. Dia keluar. Di
pikirannya hanya, “betapa enaknya melarikan diri dari lingkaran setan”.
Kakinya membawanya ke stasiun kereta. Tanpa tau tujuan, dia
mengambil rute kereta terjauh. Sambil menunggu kereta dan memandangi rel,
tiba-tiba dia terpikir, “bagaimana rasanya ditabrak kereta? Apakah tubuhku akan
hancur berantakan? Bagaimana reaksi mereka mendengar kabar itu?”. Suatu pikiran
yang tiba-tiba datang dan mengambil alih imajinasinya. Hingga kereta datang,
dia berpikir, “bagaimana rasanya terjebak di bawah sana, diantara rel dan
kereta?”.
Di dalam kereta ia duduk termenung, menikmati gerimis yang
semakin deras. Di sekitarnya dipandanginya orang-orang yang sibuk dengan
urusannya. Karyawan kantoran, guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, anak sekolah,
semuanya sedang berjalan di atas rel kehidupan. Di pikirannya hanya ada,
“betapa enaknya keluar dari lingkaran orbit, betapa enaknya melarikan diri.
Mengapa aku harus terus menjalani semua cerita ini? Mengapa aku harus menjadi
diriku yang mereka kenal? Siapa aku? Mengapa aku bertanya siapa aku? Mengapa
aku harus bertahan di jalan ini? Mengapa?”
Kereta sampai di sebuah tempat yang asing. Pemandangan hijau
di luar jendela berbeda sekali dengan gedung-gedung raksasa yang sebelumnya ia
lihat. Pemandangan itu menenangkannya. Ia keluar dari kereta, berjalan
menyusuri jalan tanpa tau tujuan, menghirup udara yang asing, memandangi
pemandangan yang asing, tapi langit yang familiar. Sepanjang jalan tidak
ditemukannya keberadaan makhluk sejenisnya, hanya suara burung bersahut-sahutan
dan bayangan mereka yang terbang di atasnya. Dia hanya terpaku pada, “betapa
enaknya melarikan diri”. Dari apa ia melarikan diri? Dari situasi? Dari orang
lain? Dari dirinya sendiri? Tapi ia punya karir yang bagus dan teman yang
menyenangkan. Dari apa ia melarikan diri?
Setitik air keluar dari matanya. Dikiranya hujan turun. Tapi
tidak. Itu adalah air matanya sendiri. Dia masih terpaku pada, “betapa enaknya
melarikan diri”. Tapi dari apa dia melarikan diri?
Waktu berlalu. Malam bersiap menyelimuti bumi. Ia kembali ke
stasiun kereta, pulang ke tempatnya. Kali ini, pikirannya lelah. Ia duduk tanpa
memikirkan apapun selain, “mau kemana aku kali ini? Pulang? Pulang”. Kereta
sampai. Stasiun malam ini penuh dengan orang-orang yang lelah setelah bekerja
seharian dan rindu rumah. Ia berjalan melewati wajah-wajah kusam penuh keringat
menuju tempatnya. Dia tau dia akan pulang.
Dibukanya pintu di depannya,
masuk, kemudian ditutupnya lagi pintu di belakangnya. Dibantingnya tas di atas
meja setelah melepas sepatu, dia duduk disitu, di sofa itu, termenung.
Tiba-tiba gerimis yang semakin deras mengeluarkan petir, hujan kemudian turun
deras sekali beserta petir. Air mata keluar dari matanya dengan emosi yang
besar sekali, air mata yang deras sekali dan tiba-tiba. Ia menangis terisak,
terisak sambil berusaha menutupi isakannya. Di meja dapur sana dilihatnya pisau
dapur. Kemudian tangisannya bertambah deras, isakannya semakin tak bisa ia
kontrol. Diliriknya lagi pisau itu, kemudian ia menangis lagi dengan perasaan
yang tak bisa dijelaskan, ditambah dengan kebimbangan. Ia tau ia bisa
mengakhiri hidupnya dengan pisau itu. Tapi ia kemudian terisak lagi. “tak akan
ada yang peduli. Aku mati ataupun tidak, tak akan ada yang peduli”. Dia
menangis, terus, hingga air matanya kering, hingga ia lelah dan membaringkan
diri di atas kasur. Hari ini tanpa memasukkan apapun ke dalam mulutnya, makanan
ataupun minuman, ia tertidur.
Pagi ini ia terbangun lagi, dengan pikiran yang benar-benar
kosong, seperti perutnya. Ia lapar. Ia berusaha bangkit untuk mencari apa yang
bisa dimakannya. Ditemukannya roti, kemudian dimakannya pelan-pelan, sambil
termenung tanpa memikirkan apapun selain ingin menghabiskan roti yang ada di
tangannya. Kegelisahan kemarin sudah hilang, seperti hujan deras yang telah berhenti
dan menyisakan bau tanah terkena air dan suara titik-titik air yang jatuh dari
daun atau atap. Dingin, semuanya masih dingin. Telepon selularnya masih mati
dan tak disentuhnya. Waktu seakan-akan berhenti.
Setelah urusan perutnya selesai,
ia menatap botol-botol obat di atas meja. Kenapa harus ia minum obat-obat itu?
Mengapa ia harus memaksa dirinya tersenyum ketika ia tidak ingin? Mengapa ia
harus menipu dirinya sendiri dengan obat-obatan itu? Ditinggalkannya obat-obat
yang sudah beberapa hari tidak tersentuh itu, kemudian dibaringkannya tubuhnya
di atas kasur, tubuhnya yang penuh luka. Ditatapnya atap kamar itu hingga waktu
yang berlalu seakan berhenti. Hari ini, gorden jendelanya tidak ia buka
sedikitpun.
Ia terbangun lagi, diliriknya jam di atas meja. Kemudian ia
bangkit. Setelah diam sebentar, ia mengambil telepon selularnya untuk
dinyalakan. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk dilihatnya. Kemudian
setelah ia meneguk sedikit air putih, dikenakannya pakaian yang biasa ia
kenakan untuk pergi kerja, diambilnya tas dan dipakainya sepatu, ia pergi dari
kamar itu, menuju ke tempat ia harus pergi, masuk kembali ke dalam lingkaran.
Di sana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang
bertubi-tubi. Ya, dia bilang dia sakit sampai-sampai tidak sanggup ke dokter
dan berbaring saja di atas tempat tidur sedangkan baterai handphonenya yang
sudah habis dibiarkannya. Semua yang mendengar memaklumi ceritanya. Dia
tersenyum lagi, mengatakan pada mereka agar tidak khawatir karena ia sudah
baik-baik saja.
Sesampainya ia di rumah, ia
mandi, membasuh dirinya yang lelah, lelah berbicara, lelah tersenyum. Setelah
itu dibaringkannya lagi tubuhnya, dipejamkan matanya, dirasainya tubuhnya yang
lelah, dihirupnya udara kemudian dikeluarkannya lagi dengan berat sekali. Hari
ini, perjuangannya telah selesai. Besok, neraka baru harus dilewatinya lagi.
Besok, topeng harus dikenakannya lagi, energi untuk bersandiwara dan berbohong
harus dikeluarkannya lagi. Karena itu, karena itulah, ia harus cepat tidur.
Pagi-pagi berikutnya ia semakin bersemangat untuk berjuang
melawan tantangan hidup di depannya. Pikiran bahwa hari ini harus menang lagi,
harus sukses lagi mendominasi dirinya. Kali ini, di tempat kerjanya,
dikritiknya semua kesalahan rekan-rekannya. Dia kemudian heran, heran sekali,
mengapa orang-orang di sekitarnya bodoh sekali. Teman-teman dekatnya
mendapatkan cukup darinya, kata-kata, “kalian kok bodoh?” sudah cukup membuat
teman-teman dekatnya menjaga jarak. Sekali lagi, semua ini membuatnya berpikir
bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa orang lain, tanpa orang-orang bodoh itu.
Kejadian-kejadian kecil di tempat umum, seperti pelayan yang
salah ucap, atau orang yang tak sengaja menyenggol tasnya ketika berjalan di
tempat yang padat cukup untuk membuat darahnya mendidih. Dia bisa berteriak
memarahi pelayan di depan umum, atau mengajak orang yang menyenggol tasnya
berkelahi. Internet yang koneksinya lambat bisa membuatnya membanting
handphonenya dan berteriak kesal. Atau tutup botol yang jatuh dari tangannya,
serpihan roti yang jatuh ketika ia sedang makan roti bisa membuat moodnya
berantakan. Segala sesuatu di dunia ini tidak benar. Semuanya tidak berjalan
dengan benar.
Telepon selular yang ia matikan kali ini bukanlah dimatikan
dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Ia mematikannya karena ia tidak mau
diganggu oleh orang-orang bodoh itu. Ia ingin tenang menikmati hidupnya ini. Ia
punya hak menikmati hidupnya dengan tenang, mengapa mereka semua harus
menganggu ketenangan hidupnya?
Di kedamaian hidupnya hari ini,
di tengah-tengah malam, ketika tak ada apapun yang bisa mengganggunya, ia
menuliskan segala rencananya dengan detail sekali. Rencana-rencana dalam
mencapai segala mimpinya. Segala sesuatu diaturnya dengan rapih dan benar,
ditatanya setiap gol dan waktu-waktu batasannya. Malam-malam tanpa tidur
dilaluinya untuk menulis, dan mengeluarkan setiap ide kreatifnya untuk
dijadikan nyata.
Hari-hari panjang tanpa tidur berakhir dengan kesadaran yang
datang kembali meninju mukanya. “Tidak ada siapapun yang menyukaimu.” Kejadian-kejadian
kecil membuatnya sadar bahwa dia masih membutuhkan bantuan orang lain,
rekan-rekannya. Ia merasa bersalah namun kesal karena perasaan bersalahnya. Hari
ini dia benci sekali dengan dirinya sendiri. Di depan cermin, ditinjunya
bayangan wajahnya hingga tangannya gemetaran mengeluarkan darah.
Dia bingung dengan apa yang sebaiknya dia lakukan, apa
seharusnya yang ia kerjakan hari ini. Apa yang harus ia capai? Semua di
depannya kelihatan gelap. Semua yang ia kerjakan tidak ada gunanya. Mengapa ia
harus terus melanjutkannya?
Sore ini, ditelponnya nomor-nomor orang yang ada di kontak
handphonenya. Kemudian ditutupnya sebelum orang di seberangnya bahkan
mengatakan apapun. Dibantingnya telepon selular itu. Kemudian dia pergi, menuju
toko bahan-bahan kimia untuk membeli beberapa alat dan bahan yang ia butuhkan. Setelah
itu, dicarinya hotel, check in, dan malam ini diraciknya bahan-bahan itu
sebelum ia siap menyuntikannya ke dalam pembuluh darahnya.
Malam ini, dengan perasaan dendam pada dirinya sendiri,
dibunuhnya ia.
Sebelum itu, sepercik kebimbangan mendatanginya, “apakah di
dunia selanjutnya nanti aku akan menderita lagi?”. Benar, apakah di dunia yang
menunggunya di seberang sana setelah kematiannya, akan didapatinya neraka baru?
Apakah takdirnya telah menentukan bahwa selamanya ia harus berada di neraka?
Malam ini ia tertidur tanpa terbangun lagi. Apakah yang akan
ia hadapi di dunia sana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar