Minggu, 01 Juli 2018

Unseen Story


Mereka mengenalnya sebagai orang yang cukup ceria. Orang yang suka melemparkan dan menikmati lelucon, yang hidup cukup santai, yang selalu tersenyum dan memberikan motivasi pada teman-temannya.


Suatu hari dia bangun lagi dari tidurnya di pagi hari dengan perasaan seakan-akan hujan akan turun deras. Diintipnya pemandangan luar dari kaca jendelanya. Di pikirannya, “betapa enaknya melarikan diri”. Dia termenung pasrah, menunggu kedatangan hujan. Waktu berlalu. Diambilnya tas ransel yang ada di atas meja, dikenakannya jaket, dipakainya sepatu. Dia keluar. Di pikirannya hanya, “betapa enaknya melarikan diri dari lingkaran setan”.

Kakinya membawanya ke stasiun kereta. Tanpa tau tujuan, dia mengambil rute kereta terjauh. Sambil menunggu kereta dan memandangi rel, tiba-tiba dia terpikir, “bagaimana rasanya ditabrak kereta? Apakah tubuhku akan hancur berantakan? Bagaimana reaksi mereka mendengar kabar itu?”. Suatu pikiran yang tiba-tiba datang dan mengambil alih imajinasinya. Hingga kereta datang, dia berpikir, “bagaimana rasanya terjebak di bawah sana, diantara rel dan kereta?”.

Di dalam kereta ia duduk termenung, menikmati gerimis yang semakin deras. Di sekitarnya dipandanginya orang-orang yang sibuk dengan urusannya. Karyawan kantoran, guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, anak sekolah, semuanya sedang berjalan di atas rel kehidupan. Di pikirannya hanya ada, “betapa enaknya keluar dari lingkaran orbit, betapa enaknya melarikan diri. Mengapa aku harus terus menjalani semua cerita ini? Mengapa aku harus menjadi diriku yang mereka kenal? Siapa aku? Mengapa aku bertanya siapa aku? Mengapa aku harus bertahan di jalan ini? Mengapa?”

Kereta sampai di sebuah tempat yang asing. Pemandangan hijau di luar jendela berbeda sekali dengan gedung-gedung raksasa yang sebelumnya ia lihat. Pemandangan itu menenangkannya. Ia keluar dari kereta, berjalan menyusuri jalan tanpa tau tujuan, menghirup udara yang asing, memandangi pemandangan yang asing, tapi langit yang familiar. Sepanjang jalan tidak ditemukannya keberadaan makhluk sejenisnya, hanya suara burung bersahut-sahutan dan bayangan mereka yang terbang di atasnya. Dia hanya terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Dari apa ia melarikan diri? Dari situasi? Dari orang lain? Dari dirinya sendiri? Tapi ia punya karir yang bagus dan teman yang menyenangkan. Dari apa ia melarikan diri?

Setitik air keluar dari matanya. Dikiranya hujan turun. Tapi tidak. Itu adalah air matanya sendiri. Dia masih terpaku pada, “betapa enaknya melarikan diri”. Tapi dari apa dia melarikan diri?

Waktu berlalu. Malam bersiap menyelimuti bumi. Ia kembali ke stasiun kereta, pulang ke tempatnya. Kali ini, pikirannya lelah. Ia duduk tanpa memikirkan apapun selain, “mau kemana aku kali ini? Pulang? Pulang”. Kereta sampai. Stasiun malam ini penuh dengan orang-orang yang lelah setelah bekerja seharian dan rindu rumah. Ia berjalan melewati wajah-wajah kusam penuh keringat menuju tempatnya. Dia tau dia akan pulang.

Dibukanya pintu di depannya, masuk, kemudian ditutupnya lagi pintu di belakangnya. Dibantingnya tas di atas meja setelah melepas sepatu, dia duduk disitu, di sofa itu, termenung. Tiba-tiba gerimis yang semakin deras mengeluarkan petir, hujan kemudian turun deras sekali beserta petir. Air mata keluar dari matanya dengan emosi yang besar sekali, air mata yang deras sekali dan tiba-tiba. Ia menangis terisak, terisak sambil berusaha menutupi isakannya. Di meja dapur sana dilihatnya pisau dapur. Kemudian tangisannya bertambah deras, isakannya semakin tak bisa ia kontrol. Diliriknya lagi pisau itu, kemudian ia menangis lagi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan, ditambah dengan kebimbangan. Ia tau ia bisa mengakhiri hidupnya dengan pisau itu. Tapi ia kemudian terisak lagi. “tak akan ada yang peduli. Aku mati ataupun tidak, tak akan ada yang peduli”. Dia menangis, terus, hingga air matanya kering, hingga ia lelah dan membaringkan diri di atas kasur. Hari ini tanpa memasukkan apapun ke dalam mulutnya, makanan ataupun minuman, ia tertidur.


Pagi ini ia terbangun lagi, dengan pikiran yang benar-benar kosong, seperti perutnya. Ia lapar. Ia berusaha bangkit untuk mencari apa yang bisa dimakannya. Ditemukannya roti, kemudian dimakannya pelan-pelan, sambil termenung tanpa memikirkan apapun selain ingin menghabiskan roti yang ada di tangannya. Kegelisahan kemarin sudah hilang, seperti hujan deras yang telah berhenti dan menyisakan bau tanah terkena air dan suara titik-titik air yang jatuh dari daun atau atap. Dingin, semuanya masih dingin. Telepon selularnya masih mati dan tak disentuhnya. Waktu seakan-akan berhenti.

Setelah urusan perutnya selesai, ia menatap botol-botol obat di atas meja. Kenapa harus ia minum obat-obat itu? Mengapa ia harus memaksa dirinya tersenyum ketika ia tidak ingin? Mengapa ia harus menipu dirinya sendiri dengan obat-obatan itu? Ditinggalkannya obat-obat yang sudah beberapa hari tidak tersentuh itu, kemudian dibaringkannya tubuhnya di atas kasur, tubuhnya yang penuh luka. Ditatapnya atap kamar itu hingga waktu yang berlalu seakan berhenti. Hari ini, gorden jendelanya tidak ia buka sedikitpun.


Ia terbangun lagi, diliriknya jam di atas meja. Kemudian ia bangkit. Setelah diam sebentar, ia mengambil telepon selularnya untuk dinyalakan. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk dilihatnya. Kemudian setelah ia meneguk sedikit air putih, dikenakannya pakaian yang biasa ia kenakan untuk pergi kerja, diambilnya tas dan dipakainya sepatu, ia pergi dari kamar itu, menuju ke tempat ia harus pergi, masuk kembali ke dalam lingkaran.

Di sana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Ya, dia bilang dia sakit sampai-sampai tidak sanggup ke dokter dan berbaring saja di atas tempat tidur sedangkan baterai handphonenya yang sudah habis dibiarkannya. Semua yang mendengar memaklumi ceritanya. Dia tersenyum lagi, mengatakan pada mereka agar tidak khawatir karena ia sudah baik-baik saja.

Sesampainya ia di rumah, ia mandi, membasuh dirinya yang lelah, lelah berbicara, lelah tersenyum. Setelah itu dibaringkannya lagi tubuhnya, dipejamkan matanya, dirasainya tubuhnya yang lelah, dihirupnya udara kemudian dikeluarkannya lagi dengan berat sekali. Hari ini, perjuangannya telah selesai. Besok, neraka baru harus dilewatinya lagi. Besok, topeng harus dikenakannya lagi, energi untuk bersandiwara dan berbohong harus dikeluarkannya lagi. Karena itu, karena itulah, ia harus cepat tidur.


Pagi-pagi berikutnya ia semakin bersemangat untuk berjuang melawan tantangan hidup di depannya. Pikiran bahwa hari ini harus menang lagi, harus sukses lagi mendominasi dirinya. Kali ini, di tempat kerjanya, dikritiknya semua kesalahan rekan-rekannya. Dia kemudian heran, heran sekali, mengapa orang-orang di sekitarnya bodoh sekali. Teman-teman dekatnya mendapatkan cukup darinya, kata-kata, “kalian kok bodoh?” sudah cukup membuat teman-teman dekatnya menjaga jarak. Sekali lagi, semua ini membuatnya berpikir bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa orang lain, tanpa orang-orang bodoh itu.

Kejadian-kejadian kecil di tempat umum, seperti pelayan yang salah ucap, atau orang yang tak sengaja menyenggol tasnya ketika berjalan di tempat yang padat cukup untuk membuat darahnya mendidih. Dia bisa berteriak memarahi pelayan di depan umum, atau mengajak orang yang menyenggol tasnya berkelahi. Internet yang koneksinya lambat bisa membuatnya membanting handphonenya dan berteriak kesal. Atau tutup botol yang jatuh dari tangannya, serpihan roti yang jatuh ketika ia sedang makan roti bisa membuat moodnya berantakan. Segala sesuatu di dunia ini tidak benar. Semuanya tidak berjalan dengan benar.

Telepon selular yang ia matikan kali ini bukanlah dimatikan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Ia mematikannya karena ia tidak mau diganggu oleh orang-orang bodoh itu. Ia ingin tenang menikmati hidupnya ini. Ia punya hak menikmati hidupnya dengan tenang, mengapa mereka semua harus menganggu ketenangan hidupnya?

Di kedamaian hidupnya hari ini, di tengah-tengah malam, ketika tak ada apapun yang bisa mengganggunya, ia menuliskan segala rencananya dengan detail sekali. Rencana-rencana dalam mencapai segala mimpinya. Segala sesuatu diaturnya dengan rapih dan benar, ditatanya setiap gol dan waktu-waktu batasannya. Malam-malam tanpa tidur dilaluinya untuk menulis, dan mengeluarkan setiap ide kreatifnya untuk dijadikan nyata.


Hari-hari panjang tanpa tidur berakhir dengan kesadaran yang datang kembali meninju mukanya. “Tidak ada siapapun yang menyukaimu.” Kejadian-kejadian kecil membuatnya sadar bahwa dia masih membutuhkan bantuan orang lain, rekan-rekannya. Ia merasa bersalah namun kesal karena perasaan bersalahnya. Hari ini dia benci sekali dengan dirinya sendiri. Di depan cermin, ditinjunya bayangan wajahnya hingga tangannya gemetaran mengeluarkan darah.

Dia bingung dengan apa yang sebaiknya dia lakukan, apa seharusnya yang ia kerjakan hari ini. Apa yang harus ia capai? Semua di depannya kelihatan gelap. Semua yang ia kerjakan tidak ada gunanya. Mengapa ia harus terus melanjutkannya?

Sore ini, ditelponnya nomor-nomor orang yang ada di kontak handphonenya. Kemudian ditutupnya sebelum orang di seberangnya bahkan mengatakan apapun. Dibantingnya telepon selular itu. Kemudian dia pergi, menuju toko bahan-bahan kimia untuk membeli beberapa alat dan bahan yang ia butuhkan. Setelah itu, dicarinya hotel, check in, dan malam ini diraciknya bahan-bahan itu sebelum ia siap menyuntikannya ke dalam pembuluh darahnya.

Malam ini, dengan perasaan dendam pada dirinya sendiri, dibunuhnya ia.

Sebelum itu, sepercik kebimbangan mendatanginya, “apakah di dunia selanjutnya nanti aku akan menderita lagi?”. Benar, apakah di dunia yang menunggunya di seberang sana setelah kematiannya, akan didapatinya neraka baru? Apakah takdirnya telah menentukan bahwa selamanya ia harus berada di neraka?

Malam ini ia tertidur tanpa terbangun lagi. Apakah yang akan ia hadapi di dunia sana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar