Mengapa kita harus berharap lagi?
Kita sudah belajar berharap bertahun-tahun,
Hanya untuk merasakan kekecewaan.
Manusia bukan makhluk yang bisa diharapkan,
Dunia bukan tempat kita menitipkan harapan.
Pada akhirnya kita akan diusir pergi, bahkan sebelum
semuanya hilang.
Sudah dua hari Abu tidak pulang. Setelah Veli, Kiro,
kemudian Abu.
Setelah sebelumnya kepalaku panas memikirkan untuk
menyelamatkannya,
Semalaman kepalaku sibuk memikirkan banyak sekali hal.
Pada akhirnya kegelisahan mendatangiku tiba-tiba.
Pagi itu aku melarikan diri dalam ketidaksadaran.
Kita semua, manusia, seperti itu.
Melihat orang-orang dibantai nun jauh disana, anak-anak
tanpa orangtua menangis kelaparan disana,
Sedang kita disini yang sibuk dengan urusan administrasi
atau tetek bengek apapun,
Sambil mendengar berita, kita meneruskan sarapan, sambil
kembali menghadapi kesibukan kita.
Aku, pagi itu, tidur hingga siang, bangun untuk kemudian
pergi menghadapi kesibukanku.
Pagi itu, kulepas Abu, yang aku tau, aku melepasnya untuk
mati.
Perasaanku berontak.
Mencoba untuk mencari alasan atas semua yang kulakukan,
pikiranku menjelaskan semua kepada diriku sendiri.
Aku tak boleh menyalahkan diriku sendiri.
Apa alasanku menghentikan usaha untuk menyembuhkan Abu?
Abu bisa disembuhkan. Sembuh atau tidaknya dia adalah
keputusanku.
Dan pagi itu, aku memutuskan, dia akan mati hari ini atau
secepatnya.
Suntikan bekas obatnya kubiarkan saja di meja hingga
seseorang membereskannya.
Pulang dari kampus, tidak sedikitpun aku bertanya tentang
Abu,
Dan tidak pula ibuku mengajakku bicara tentang Abu ataupun
menagih janjiku.
Ya, aku mengatakan, aku akan pergi ke klinik meminta Abu
diinfus, aku bilang Abu bisa disembuhkan.
Sepertinya setiap malam, pikiranku jatuh ke dalam depresi
sebelum tidur, hingga aku tidak bisa tidur.
Apapun yang kupikir bisa kulakukan tadinya, setiap malam
selalu kuragukan.
Dan kemudian, aku melarikan diri dari semua itu.
Sudah ratusan kali aku melarikan diri.
Lalu, kemarin malam,
Mereka memencet tombol yang berbahaya sekali di otakku.
Mereka mulai lagi, membicarakan pernikahan, “Lepi kapan?”
sambil tersenyum nakal bercanda. “kakak sudah siap nerima lamaran”, katanya. Mereka
tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. Aku tidak bisa lagi masuk
ke dalam dunia mereka. Malam itu, pintuku kututup rapat. Tidak akan kubiarkan
mereka masuk lagi ke dalamnya. Dan aku bersumpah pada diriku sendiri, seumur
hidup aku tidak akan pernah menikah. Dan semua itu berawal dari pertanyaan tadi
malam, dan segala macam kekecewaan yang kutemui dari segala macam harapan
optimisku di masa lalu.
Pertandanya adalah, malam itu aku memimpikan seseorang. Seseorang
yang sangat optimis, yang membangunkan keoptimisan dan idealismeku di masa
lalu. Kenapa di saat seperti ini aku memimpikannya? Aku mengartikannya
seenakku, bahwa aku merindukan segala harapan dan prasangka baik dari diriku
yang dulu. Sepertinya, aku tidak boleh bersumpah dan menutup pintu. Sepertinya…
Entahlah.
Aku benci manusia. Aku benci diriku sendiri. Hari ini aku
berpikir ingin membunuh diriku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar