Rabu, 04 Juli 2018

Omong Kosong Harapan

Berharap? Kita diajarkan untuk menenggak air kekecewaan setiap saat.

Mengapa kita harus berharap lagi?

Kita sudah belajar berharap bertahun-tahun,

Hanya untuk merasakan kekecewaan.

Manusia bukan makhluk yang bisa diharapkan,

Dunia bukan tempat kita menitipkan harapan.

Pada akhirnya kita akan diusir pergi, bahkan sebelum semuanya hilang.


Sudah dua hari Abu tidak pulang. Setelah Veli, Kiro, kemudian Abu.

Setelah sebelumnya kepalaku panas memikirkan untuk menyelamatkannya,

Semalaman kepalaku sibuk memikirkan banyak sekali hal.

Pada akhirnya kegelisahan mendatangiku tiba-tiba.

Pagi itu aku melarikan diri dalam ketidaksadaran.


Kita semua, manusia, seperti itu.

Melihat orang-orang dibantai nun jauh disana, anak-anak tanpa orangtua menangis kelaparan disana,

Sedang kita disini yang sibuk dengan urusan administrasi atau tetek bengek apapun,

Sambil mendengar berita, kita meneruskan sarapan, sambil kembali menghadapi kesibukan kita.


Aku, pagi itu, tidur hingga siang, bangun untuk kemudian pergi menghadapi kesibukanku.

Pagi itu, kulepas Abu, yang aku tau, aku melepasnya untuk mati.

Perasaanku berontak.

Mencoba untuk mencari alasan atas semua yang kulakukan, pikiranku menjelaskan semua kepada diriku sendiri.

Aku tak boleh menyalahkan diriku sendiri.

Apa alasanku menghentikan usaha untuk menyembuhkan Abu?

Abu bisa disembuhkan. Sembuh atau tidaknya dia adalah keputusanku.

Dan pagi itu, aku memutuskan, dia akan mati hari ini atau secepatnya.

Suntikan bekas obatnya kubiarkan saja di meja hingga seseorang membereskannya.

Pulang dari kampus, tidak sedikitpun aku bertanya tentang Abu,

Dan tidak pula ibuku mengajakku bicara tentang Abu ataupun menagih janjiku.

Ya, aku mengatakan, aku akan pergi ke klinik meminta Abu diinfus, aku bilang Abu bisa disembuhkan.

Sepertinya setiap malam, pikiranku jatuh ke dalam depresi sebelum tidur, hingga aku tidak bisa tidur.

Apapun yang kupikir bisa kulakukan tadinya, setiap malam selalu kuragukan.

Dan kemudian, aku melarikan diri dari semua itu.

Sudah ratusan kali aku melarikan diri.


Lalu, kemarin malam,

Mereka memencet tombol yang berbahaya sekali di otakku.

Mereka mulai lagi, membicarakan pernikahan, “Lepi kapan?” sambil tersenyum nakal bercanda. “kakak sudah siap nerima lamaran”, katanya. Mereka tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku. Aku tidak bisa lagi masuk ke dalam dunia mereka. Malam itu, pintuku kututup rapat. Tidak akan kubiarkan mereka masuk lagi ke dalamnya. Dan aku bersumpah pada diriku sendiri, seumur hidup aku tidak akan pernah menikah. Dan semua itu berawal dari pertanyaan tadi malam, dan segala macam kekecewaan yang kutemui dari segala macam harapan optimisku di masa lalu.

Pertandanya adalah, malam itu aku memimpikan seseorang. Seseorang yang sangat optimis, yang membangunkan keoptimisan dan idealismeku di masa lalu. Kenapa di saat seperti ini aku memimpikannya? Aku mengartikannya seenakku, bahwa aku merindukan segala harapan dan prasangka baik dari diriku yang dulu. Sepertinya, aku tidak boleh bersumpah dan menutup pintu. Sepertinya…

Entahlah.

Aku benci manusia. Aku benci diriku sendiri. Hari ini aku berpikir ingin membunuh diriku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar