Minggu, 24 Juni 2018

Teman Terbaik KIRO


Kiro sudah tidak ada. Kemarin dia meninggal. Lega? Ya lega, tapi tidak juga. Ada sesuatu yang mengganjal sekali. Perasaan bahwa sejak ia kecil ia kubawa ke rumah. Aku jatuh cinta padanya. Padanya lah aku bilang pada diriku sendiri, ”aku jatuh cinta pada anak ini”. Dan akulah yang bertanggungjawab atas Kiro disini.

Tahun pertama ia lebaran, ia gemetaran mendengar bunyi kembang api. Tahun itu adalah tahun pertama rumah Po Sela baru selesai dibangun. Di lantai atas rumah Po Sela yang dtinggal penghuninya pulang kampung, aku membawa Kiro. Mandi di kamar mandi atas sambil Kiro kubawa menikmati pemandangan dan suara kembang api yang bisa terlihat dari beranda kamar mandi lantai atas. Aku ingat sekali momen-momen itu.

Beberapa tahun sebelumnya, ia sakit, tiga hari meringkuk tanpa mau makan. Kiro kuminta untuk dibawa ke klinik dokter hewan. Karena aku kuliah, Kiro pergi dengan Po Sela. Disana Kiro diinfus, diberi kapsul secara oral, kemudian dibawa pulang lagi setelah diberi resep obat dan segala perlengkapan makan yang dibutuhkan untuk merawatnya. Mungkin sebesar itulah ketika itu aku menyayangi Kiro. Ketika Kiro pulang dari klinik ia terus berbunyi saja memberikan tanda bahwa dia ketakutan.

Kiro sering sekali kubawa mandi atau tidur. Ketika aku tidur aku membawa Kiro ke kamar, meletakkannya di atas bangku, sedangkan aku tidur di atas kasur. Atau ketika aku mandi, Kiro kuletakkan di atas mesin cuci, sementara aku mandi. Tapi entah sejak kapan Kiro tidak lagi kubawa. Mungkin karena dia sudah dewasa, dia tidak lagi mau dibawa menemaniku mandi. Dia ketakutan. Ah, aku ingat, entah sejak kapan aku suka menghukumnya karena ia spraying dimana mana. Buatnya aku pasti sangat menakutkan. Seperti seorang ayah yang ketika kita kecil sangat menyayangi dan memanjakan kita, tapi ketika kita mulai remaja bersikap sangat tegas dan menakutkan. Entah sejak kapan Kiro takut sekali padaku.

Memikirkan semua kenangan itu, aku merasa ada yang mengganjal. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kiro sudah tidak ada, dan hari-hari berjalan seperti biasa. Kecuali, sepanjang hari aku memikirkan kenangan kami. Aku yakin akan bertemu dengannya lagi di surga, jika aku beruntung karena Tuhan mengizinkan. Tapi, apa boleh buat, apa yang Kiro dapatkan dariku tidaklah cukup. Aku menyesal karena bersikap kasar dan suka menghukumnya, sehingga ia menjadi sangat takut padaku. Aku juga memarahinya karena kekhawatirannya terhadap masuknya kucing-kucing lain untuk mengambil posisinya di rumah.

Tapi Kiro sudah tidak ada. Di tengah-tengah segala kekhawatiran tentang kehidupan, Kiro pergi meninggalkanku. Kupikir setidaknya di hari-hari terakhirnya dia tau bahwa aku selalu ada di sampingnya untuk merawatnya, bahwa aku tidak membuangnya. Bahwa aku ikut merasakan hawa neraka yang ia rasakan. Bahwa aku adalah teman terbaik dia di dunia.

Air mata mengalir lagi. Tapi kenapa air mata mengalir lebih banyak ketika kita sudah kehilangan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar