Kiro sudah tidak ada. Kemarin dia meninggal. Lega? Ya lega,
tapi tidak juga. Ada sesuatu yang mengganjal sekali. Perasaan bahwa sejak ia
kecil ia kubawa ke rumah. Aku jatuh cinta padanya. Padanya lah aku bilang pada
diriku sendiri, ”aku jatuh cinta pada anak ini”. Dan akulah yang
bertanggungjawab atas Kiro disini.
Tahun pertama ia lebaran, ia gemetaran mendengar bunyi
kembang api. Tahun itu adalah tahun pertama rumah Po Sela baru selesai
dibangun. Di lantai atas rumah Po Sela yang dtinggal penghuninya pulang
kampung, aku membawa Kiro. Mandi di kamar mandi atas sambil Kiro kubawa
menikmati pemandangan dan suara kembang api yang bisa terlihat dari beranda
kamar mandi lantai atas. Aku ingat sekali momen-momen itu.
Beberapa tahun sebelumnya, ia sakit, tiga hari meringkuk
tanpa mau makan. Kiro kuminta untuk dibawa ke klinik dokter hewan. Karena aku
kuliah, Kiro pergi dengan Po Sela. Disana Kiro diinfus, diberi kapsul secara
oral, kemudian dibawa pulang lagi setelah diberi resep obat dan segala
perlengkapan makan yang dibutuhkan untuk merawatnya. Mungkin sebesar itulah
ketika itu aku menyayangi Kiro. Ketika Kiro pulang dari klinik ia terus
berbunyi saja memberikan tanda bahwa dia ketakutan.
Kiro sering sekali kubawa mandi atau tidur. Ketika aku tidur
aku membawa Kiro ke kamar, meletakkannya di atas bangku, sedangkan aku tidur di
atas kasur. Atau ketika aku mandi, Kiro kuletakkan di atas mesin cuci,
sementara aku mandi. Tapi entah sejak kapan Kiro tidak lagi kubawa. Mungkin karena
dia sudah dewasa, dia tidak lagi mau dibawa menemaniku mandi. Dia ketakutan. Ah,
aku ingat, entah sejak kapan aku suka menghukumnya karena ia spraying dimana
mana. Buatnya aku pasti sangat menakutkan. Seperti seorang ayah yang ketika
kita kecil sangat menyayangi dan memanjakan kita, tapi ketika kita mulai remaja
bersikap sangat tegas dan menakutkan. Entah sejak kapan Kiro takut sekali
padaku.
Memikirkan semua kenangan itu, aku merasa ada yang
mengganjal. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kiro sudah tidak ada, dan
hari-hari berjalan seperti biasa. Kecuali, sepanjang hari aku memikirkan
kenangan kami. Aku yakin akan bertemu dengannya lagi di surga, jika aku
beruntung karena Tuhan mengizinkan. Tapi, apa boleh buat, apa yang Kiro
dapatkan dariku tidaklah cukup. Aku menyesal karena bersikap kasar dan suka
menghukumnya, sehingga ia menjadi sangat takut padaku. Aku juga memarahinya
karena kekhawatirannya terhadap masuknya kucing-kucing lain untuk mengambil
posisinya di rumah.
Tapi Kiro sudah tidak ada. Di tengah-tengah segala
kekhawatiran tentang kehidupan, Kiro pergi meninggalkanku. Kupikir setidaknya
di hari-hari terakhirnya dia tau bahwa aku selalu ada di sampingnya untuk
merawatnya, bahwa aku tidak membuangnya. Bahwa aku ikut merasakan hawa neraka
yang ia rasakan. Bahwa aku adalah teman terbaik dia di dunia.
Air mata mengalir lagi. Tapi kenapa air mata mengalir lebih
banyak ketika kita sudah kehilangan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar