Waktu..
Akhir-akhir ini benar-benar semakin cepat, semakin cepat. Begitu relatif, ataukah sebenarnya bumi berputar semakin cepat?
Akhir-akhir ini benar-benar semakin cepat, semakin cepat. Begitu relatif, ataukah sebenarnya bumi berputar semakin cepat?
Semakin sibuk kita, waktu terasa
semakin cepat berlalu. Tapi bukan hanya itu. Di hari libur pun, disaat
bersantai-santai, waktu terasa sebentar sekali. Aku benar-benar tak tau mengapa
bisa begitu. Teori relativitas Einstein benar-benar misterius dan belum mampu
kupahami. Ya, tak ada hari yang benar-benar kunikmati sekarang-sekarang ini
meskipun hari libur, karena tekanan kehidupan mengejarku. Aku merasa “ada yang
harus di kerjakan”.
Mungkin aku belum mampu menjadi
dewasa jika dewasa benar-benar harus menyamakan ritme dengan putaran alam
semesta. Aku ingin sekali menyediakan waktu untuk berpikir dan berbicara
tentang apa apa yang kusadari. Tapi waktu kita habis dengan rutinitas kaku yang
memenuhi setiap satu periode rotasi bumi.
Berpikir apa yang akan terjadi
besok? Kemana masa-masa itu, masa-masa yang telah lewat itu hilang kemana? Rasanya
benar-benar menggelisahkan. Jika hidup kita lebih banyak dihabiskan untuk
berpikir “apa yang akan terjadi besok?” tanpa melakukan apa-apa, tertinggalkah
kita?
Ya, apa yang akan terjadi 5 atau
10 tahun ke depan? Apakah saat itu aku sudah menikah dan punya anak? Atau apakah
saat itu aku jadi orang terkenal? Atau bahkan sudah tak ada lagi di dunia ini? Betapa
cepatnya waktu berlalu terkadang melunturkan semua pertanyaan itu. Cepatnya waktu
berlalu, hiruk pikuknya manusia dalam kesibukan, membuat segala pertanyaan itu
sudah tak lagi punya tempat di pikiran kita. “ayo terus berjalan dengan cepat,
besok akan segera datang, tak ada waktu untuk berpikir tentang semua hal itu”.
Apa yang akan terjadi besok? Kapan
aku akan mati? Kapan akan menikah? Kapan kapan dan kapan? Argh, aku ingin bebas
dari penjara waktu. Apakah salah?
Hari ini aku berpikir lagi
tentang optimisme. Benar, aku memang salah ketika mengatakan optimisme itu
omong kosong. Seperti doa, optimisme adalah obat penenang. Karena kekuatan
pikiran adalah segalanya. Kekuatan imajinasi melahirkan penciptaan. Terpikir perumpamaan
yang dibuat Rumi tentang tauhid. Seorang Raja sedang duduk di atas
singgasananya dikelilingi para pelayannya. Sang Raja mengatakan “tidak ada Raja
selain aku”. Tapi kemudian sang Raja terbangun dari tidurnya, dan tidak ada
siapapun di sekelilingnya. Lalu sang Raja mengatakan “tidak ada siapapun
kecuali aku di sini”. Ya, sesungguhnya para pelayan adalah mimpi Raja. Kita adalah
hasil imajinasi Tuhan. Seperti seorang penulis yang menciptakan tokoh tokoh
dalam novelnya. Sesungguhnya tokoh dalam novel tidak pernah ada. Tokoh dalam
novel hanya ada dalam imajinasi sang penulis. Begitu pula dengan kita. Karena terpikir
itu, aku mulai percaya bahwa optimisme adalah kekuatan untuk menciptakan. Setiap
kita sungguh memerlukannya. Kita perlu itu sebagai obat bagi segala masalah
kehidupan yang kita miliki, sama seperti doa. Sedangkan kenyataan? Kenyataan bagi
kita pasti adalah apa yang kita pikirkan. Semoga aku punya kekuatan untuk
menciptakan pikiran baik. Ya, aku butuh kekuatan.
Di tengah waktu yang semakin
cepat berpacu, dan kita yang semakin terburu-buru melukiskan makna eksistensi
masing-masing, aku berharap aku menemukan lagi ketenangan yang pernah hilang
dariku. Semangat hidup. Aku berharap. Aku hanya bisa berharap sambil berjuang
mengatasi ketidakstabilan perasaan ini. Yang kadang membuatku ingin tetap
terjaga dalam kesadaran ini, di waktu yang lain membuatku ingin terus tidur
melarikan diri dari waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar