Kamis, 20 Maret 2014

Bukan Orang Normal


Apakah aku benar-benar bukan orang normal?

Ada waktu dimana aku merasa aku sebenarnya punya kehidupan yang baik-baik saja. Semuanya terjadi karena aku terjebak dalam pesimisme. Tapi lalu aku heran, darimana muncul kecenderungan untuk selalu berpikir buruk tentang banyak hal? Dari kekecewaan masa kecil mungkin. Aku tak mampu meraba masalahku. Ya, seperti kukatakan pada mereka, aku ingin sekali konsultasi ke klinik psikoterapi untuk mengetahui apa sesungguhnya masalahku. Permasalahan utamanya adalah bisakah si terapis membuatku nyaman dan percaya padanya? Sehingga hal-hal yang kusimpan sendiri selama ini mampu kuungkapkan akhirnya pada seseorang. Sesuatu yang kuingkari dalam diriku, memori yang ingin sekali kulupakan tapi ternyata mempengaruhi dalam alam bawah sadar selama ini, mungkin saja.

Kawan, aku tak sekuat kelihatannya. Ketika aku bicara pada mereka, pembicaraan yang serius lagi, aku sadar aku sangat sangat bermasalah. Aku tak mampu mengungkapkan bahwa aku benar-benar menolak banyak hal yang mereka katakan. Semuanya karena kekecewaanku membengkak, pesimismeku membesar. Apa yang kurasakan tidak sesederhana itu, rumit. Perasaan dan pikiranku begitu rumit. Ada saat dimana kita perlu menghidupkan diri kita yang lain ketika bersama orang lain.

Aku benar-benar menutup diri. Ketika dia yang kutau punya permasalahan yang hampir sama menceritakan keoptimisannya tentang masalahnya, aku merasa aku benar-benar keras kepala sendiri. Atau mungkin aku yang optimis sedang tidur nyenyak dan lama, belum juga bangun. Aku paling tidak normal, itulah kesimpulan dari perbincangan kami sore ini.

Aku teringat pada seseorang yang cukup membuatku simpati dan merindukan masa-masa akrab dengannya di belakang. Seseorang yang ketika kudengar cerita tentangnya dari orang lain, aku merasakan simpati yang besar padanya. Aku merasa, mungkin sedikitnya aku paham dengan apa yang dia rasakan. Tapi ada kemarahan, mengapa kelihatannya dia tak menyadari permasalahannya.

Pernah aku marah besar padanya. Melihat responnya di hadapanku yang datar, bertambahlah kemarahanku. “Tunjukkan apa yang kau rasakan di depanku!”. Ya, dia selalu menyembunyikan perasaannya. Hanya tiba-tiba air mata jatuh begitu saja ketika dia sedang terdiam lah yang membuat orang lain sadar bahwa dia punya masalah. Ketika apa yang keluar dari mulutnya berbeda dengan apa yang dia lakukan, aku kesal luar biasa. Tapi mengingat latar belakang kehidupannya, aku ingin sekali mendengarkan suara hatinya, demi Tuhan! Tapi aku mengingkarinya. Segala perasaan simpatiku padanya kupaksa mati karena aku takut melangkah terlalu jauh. Ya, aku rindu, pada masa-masa akrab kami. Aku kehilangan.

Ketika orang-orang tak normal lewat di depan mata, mungkin kecenderungan untuk menghampirinya membesar. Mengapa? Aku pernah ingin jadi psikiater. Meski pada akhirnya aku sadar, akulah yang butuh diobati!

Dan kalau bicara tentang rasa suka romantis pada seseorang, pertanyaan “kenapa suka?, apa yang kamu suka dari dia?” terasa omong kosong. Pada banyak orang itu penting sekali. Tapi sebenarnya sama seperti yang lainnya, aku tak mampu meyakini alasan dari perasaan suka pada seseorang. Aku tak tau mana yang benar. Tapi jika aku menyukai orang lain, bukanlah karena aku tau dia sempurna di bidang ini dan itu, atau bukan pula karna dia begitu baik secara umum. Tapi karena dia adalah dia, aku mampu menyukainya. Artinya saat aku tau dia tak sempurna, aku ingin bertumbuh bersama dengannya dalam ketidaksempurnaanku juga. Aku suka menyebutkan bahwa ketika naksir dengan seseorang dan menjadi suka, bukan sisi kesempurnaan atau sisi baiknya yang membuat mataku terhenti padanya. Tapi karena ketidaksempurnaannya. Mengapa begitu sih? Entahlah! Tapi aku yakin sekali itulah yang kurasakan. Aku tak pernah menyukai orang yang dicap sempurna oleh orang lain, yang sifatnya baik sekali, cacatnya susah ditemukan. Atau yang pekerjaannya bagus sekali, prestasinya cemerlang, membosankan! Dan ketika mendengarkan pendapat mereka, aku sadar kami berbeda pendapat. Tapi di kala itu, aku enggan mengungkapkannya. Kenapa? Entahlah! Agak rumit untuk memperjelas segalanya.

Pasti banyak yang tak terucap, aku yakin. Tapi sudah cukup melegakan setelah membagi perasaan dan pikiran pada orang lain. Meski aku berakhir cemas lagi. Kenapa? Karena aku sadar betapa bermasalahnya aku, betapa aku berbeda dari orang normal. Aku tau, pasti aku bisa berubah. Dan aku hanya bisa berharap secara samar-samar agar aku bisa sembuh total. Seperti harapan Sartre bahwa segala yang diyakini dalam teori filsafatnya salah.

Aku perindu kebebasan. Pemberontak dalam penjara kehidupan fana. Dan siapa yang mampu memahaminya selain kau? Dunia semakin panas, katamu? Benar. Pagi ini aku merasakannya kuat sekali. Dan aku pun sadar pula “aku tak berdaya”. Segalanya menekanku, jatuh dalam kontradiksi. Aku tumbuh menjadi salah satu orang yang berbeda dari orang normal, pikiran dan perasaanku yang ekstrim. Meski aku sadar betul aku sedang terus berusaha menyamai gerakan normal. Aku makhluk sosial, bagaimana pun. Aku ingin sembuh dengan tetap memelihara kesadaranku ini. Melihatmu dan dia, aku mulai sadar aku perlu pengobatan. Masalahnya, bisakah aku membuang keras kepala dan egoismeku dulu sebentar?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar