Apakah aku benar-benar bukan
orang normal?
Ada waktu dimana aku merasa aku
sebenarnya punya kehidupan yang baik-baik saja. Semuanya terjadi karena aku
terjebak dalam pesimisme. Tapi lalu aku heran, darimana muncul kecenderungan
untuk selalu berpikir buruk tentang banyak hal? Dari kekecewaan masa kecil
mungkin. Aku tak mampu meraba masalahku. Ya, seperti kukatakan pada mereka, aku
ingin sekali konsultasi ke klinik psikoterapi untuk mengetahui apa sesungguhnya
masalahku. Permasalahan utamanya adalah bisakah si terapis membuatku nyaman dan
percaya padanya? Sehingga hal-hal yang kusimpan sendiri selama ini mampu
kuungkapkan akhirnya pada seseorang. Sesuatu yang kuingkari dalam diriku,
memori yang ingin sekali kulupakan tapi ternyata mempengaruhi dalam alam bawah
sadar selama ini, mungkin saja.
Kawan, aku tak sekuat
kelihatannya. Ketika aku bicara pada mereka, pembicaraan yang serius lagi, aku
sadar aku sangat sangat bermasalah. Aku tak mampu mengungkapkan bahwa aku
benar-benar menolak banyak hal yang mereka katakan. Semuanya karena
kekecewaanku membengkak, pesimismeku membesar. Apa yang kurasakan tidak
sesederhana itu, rumit. Perasaan dan pikiranku begitu rumit. Ada saat dimana
kita perlu menghidupkan diri kita yang lain ketika bersama orang lain.
Aku benar-benar menutup diri. Ketika
dia yang kutau punya permasalahan yang hampir sama menceritakan keoptimisannya
tentang masalahnya, aku merasa aku benar-benar keras kepala sendiri. Atau mungkin
aku yang optimis sedang tidur nyenyak dan lama, belum juga bangun. Aku paling
tidak normal, itulah kesimpulan dari perbincangan kami sore ini.
Aku teringat pada seseorang yang
cukup membuatku simpati dan merindukan masa-masa akrab dengannya di belakang. Seseorang
yang ketika kudengar cerita tentangnya dari orang lain, aku merasakan simpati
yang besar padanya. Aku merasa, mungkin sedikitnya aku paham dengan apa yang
dia rasakan. Tapi ada kemarahan, mengapa kelihatannya dia tak menyadari
permasalahannya.
Pernah aku marah besar padanya. Melihat
responnya di hadapanku yang datar, bertambahlah kemarahanku. “Tunjukkan apa
yang kau rasakan di depanku!”. Ya, dia selalu menyembunyikan perasaannya. Hanya
tiba-tiba air mata jatuh begitu saja ketika dia sedang terdiam lah yang membuat
orang lain sadar bahwa dia punya masalah. Ketika apa yang keluar dari mulutnya
berbeda dengan apa yang dia lakukan, aku kesal luar biasa. Tapi mengingat latar
belakang kehidupannya, aku ingin sekali mendengarkan suara hatinya, demi Tuhan!
Tapi aku mengingkarinya. Segala perasaan simpatiku padanya kupaksa mati karena
aku takut melangkah terlalu jauh. Ya, aku rindu, pada masa-masa akrab kami. Aku
kehilangan.
Ketika orang-orang tak normal
lewat di depan mata, mungkin kecenderungan untuk menghampirinya membesar. Mengapa?
Aku pernah ingin jadi psikiater. Meski pada akhirnya aku sadar, akulah yang
butuh diobati!
Dan kalau bicara tentang rasa
suka romantis pada seseorang, pertanyaan “kenapa suka?, apa yang kamu suka dari
dia?” terasa omong kosong. Pada banyak orang itu penting sekali. Tapi sebenarnya
sama seperti yang lainnya, aku tak mampu meyakini alasan dari perasaan suka
pada seseorang. Aku tak tau mana yang benar. Tapi jika aku menyukai orang lain,
bukanlah karena aku tau dia sempurna di bidang ini dan itu, atau bukan pula
karna dia begitu baik secara umum. Tapi karena dia adalah dia, aku mampu
menyukainya. Artinya saat aku tau dia tak sempurna, aku ingin bertumbuh bersama
dengannya dalam ketidaksempurnaanku juga. Aku suka menyebutkan bahwa ketika
naksir dengan seseorang dan menjadi suka, bukan sisi kesempurnaan atau sisi
baiknya yang membuat mataku terhenti padanya. Tapi karena ketidaksempurnaannya.
Mengapa begitu sih? Entahlah! Tapi aku yakin sekali itulah yang kurasakan. Aku tak
pernah menyukai orang yang dicap sempurna oleh orang lain, yang sifatnya baik
sekali, cacatnya susah ditemukan. Atau yang pekerjaannya bagus sekali,
prestasinya cemerlang, membosankan! Dan ketika mendengarkan pendapat mereka,
aku sadar kami berbeda pendapat. Tapi di kala itu, aku enggan mengungkapkannya.
Kenapa? Entahlah! Agak rumit untuk memperjelas segalanya.
Pasti banyak yang tak terucap,
aku yakin. Tapi sudah cukup melegakan setelah membagi perasaan dan pikiran pada
orang lain. Meski aku berakhir cemas lagi. Kenapa? Karena aku sadar betapa
bermasalahnya aku, betapa aku berbeda dari orang normal. Aku tau, pasti aku
bisa berubah. Dan aku hanya bisa berharap secara samar-samar agar aku bisa
sembuh total. Seperti harapan Sartre bahwa segala yang diyakini dalam teori
filsafatnya salah.
Aku perindu kebebasan. Pemberontak
dalam penjara kehidupan fana. Dan siapa yang mampu memahaminya selain kau? Dunia semakin panas, katamu? Benar. Pagi ini aku
merasakannya kuat sekali. Dan aku pun sadar pula “aku tak berdaya”. Segalanya menekanku,
jatuh dalam kontradiksi. Aku tumbuh menjadi salah satu orang yang berbeda dari
orang normal, pikiran dan perasaanku yang ekstrim. Meski aku sadar betul aku
sedang terus berusaha menyamai gerakan normal. Aku makhluk sosial, bagaimana
pun. Aku ingin sembuh dengan tetap memelihara kesadaranku ini. Melihatmu dan
dia, aku mulai sadar aku perlu pengobatan. Masalahnya, bisakah aku membuang
keras kepala dan egoismeku dulu sebentar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar