Rabu, 26 Maret 2014

Kelas Filsafat Bahasa


Kemarin aku punya niat meninggalkan kelas Filsafat Bahasa dan langsung pulang setelah UTS Pemahaman Bahasa Jepang. Kenapa punya niat seperti itu? Entah. Karena aku merasa benar-benar terbebani dengan PR Sejarah untuk hari ini mungkin. Tapi yappari, aku tak bisa. Rasanya berat sekali meninggalkan kelas itu. Akhirnya aku tetap datang dan benar juga, ketika mengikuti kuliah Filsafat Bahasa kemarin, aku berpikir “untung aku datang!”. Ya, luar biasa rasanya! Aku benar-benar jatuh cinta..

Hari ini juga aku memikirkan banyak hal. Karena ada 2 ekor kucing kecil baru di musolla, entah datang dari mana, dan berusaha diusir oleh kucing cewek dewasa di musolla itu, aku merasa khawatir. Aku sempat membersihkan pipis dan tahi si kecil itu karena dia habis diserang oleh kucing dewasa di musolla. Dari kekhawatiran itu aku mulai berpikir lagi tentang mimpi-mimpiku yang dulu. Ya, aku ingin membangun panti asuhan untuk anak-anak terlantar yang terbuang dan panti asuhan untuk hewan-hewan terlantar. Aku berpikir kuat kemarin soal itu. Untuk mencapainya, aku harus bekerja keras mengumpulkan uang tentu saja. “Bagaimana caranya ya…”, dan sebagainya.

Kehidupan liar binatang. Dilahirkan ke atas dunia, lalu hidup dengan kewaspadaan atas ancaman binatang lain. Perburuan, perkelahian, mewarnai dunia mereka. Kehidupan yang liar. Karena itu mereka dilengkapi senjata di masing-masing jenisnya. Aku stress juga memikirkan bagaimana kalau hidup manusia juga seperti itu? Yah, apakah di zaman perang hidup manusia seperti itu juga?

Selesai kelas terakhir kemarin, pikiranku dipenuhi kuliah dari pak Tommy di Filsafat Bahasa. Bahkan tekanan PR Sejarah hilang begitu saja. Aku senang hari ini karena kelas Filsafat Bahasa, ya seperti biasanya hari selasa di semester ini. Pada akhirnya karena sampai maghrib di rumah, aku tak sanggup lagi berpikir untuk mengerjakan tugas-tugas. Apa yang kurencanakan untuk hari ini belum jelas. Begitu mudah semangat naik turun. Apakah aku akan terus hidup mengikuti mood begini? Kalau iya, apa salahnya sih? Aku heran, kenapa manusia seenaknya melabelkan standar hidup yang benar dan salah.

Sms balasan darinya membuatku merasa diperdulikan sedikit. Tapi mood hari ini membuatku tetap pada rencana tak jelasku. Ada hal-hal yang tidak dia pahami tapi begitu mudah dia keluarkan saran dan nasihat. Ya, filsafat eksistensialis mengatakan “yang dapat memahaminya hanyalah yang mengalaminya”. Bukan seperti pandangan para rasionalis yang berpikir selalu dengan logika ketika menghadapi hal-hal yang tak bisa dilogikakan macam perasaan. Aku selalu mengatakan “kamu tak akan paham sebelum kamu merasakannya sendiri”, apakah dengan begitu sebenarnya aku penganut fenomenologi dan eksistensialis? Tapi di sisi lain aku merasa, ya, “merasa”, teori materialis determinis itu benar. Benar-benar paradoks.

“The thinker without a paradox is like a lover without feeling”, kata Kierkegaard. Kemarin pak Tommy mengatakan fenomenologi meyakini bahasa itu selalu dipenuhi paradoks. Ketika rasionalis tak memahami perkataan seorang empirisis, rasionalis itu harus dulu masuk ke dunia empirisis untuk memahami maksud perkataan yang tak sesuai kaidah semantik itu! Bukannya malah menyocokkannya dengan spekulasi rasionalis yang abstrak! Pak Tommy orang bagian itu, ternyata! Aku? Di persimpangan, entah. Ahh, kuliah Filsafat Bahasa begitu penting dan mungkin aku harus membahasnya di sini nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar