Kemarin aku punya niat
meninggalkan kelas Filsafat Bahasa dan langsung pulang setelah UTS Pemahaman
Bahasa Jepang. Kenapa punya niat seperti itu? Entah. Karena aku merasa
benar-benar terbebani dengan PR Sejarah untuk hari ini mungkin. Tapi yappari, aku
tak bisa. Rasanya berat sekali meninggalkan kelas itu. Akhirnya aku tetap datang
dan benar juga, ketika mengikuti kuliah Filsafat Bahasa kemarin, aku berpikir “untung
aku datang!”. Ya, luar biasa rasanya! Aku benar-benar jatuh cinta..
Hari ini juga aku memikirkan
banyak hal. Karena ada 2 ekor kucing kecil baru di musolla, entah datang dari
mana, dan berusaha diusir oleh kucing cewek dewasa di musolla itu, aku merasa
khawatir. Aku sempat membersihkan pipis dan tahi si kecil itu karena dia habis
diserang oleh kucing dewasa di musolla. Dari kekhawatiran itu aku mulai
berpikir lagi tentang mimpi-mimpiku yang dulu. Ya, aku ingin membangun panti
asuhan untuk anak-anak terlantar yang terbuang dan panti asuhan untuk
hewan-hewan terlantar. Aku berpikir kuat kemarin soal itu. Untuk mencapainya,
aku harus bekerja keras mengumpulkan uang tentu saja. “Bagaimana caranya ya…”,
dan sebagainya.
Kehidupan liar binatang. Dilahirkan
ke atas dunia, lalu hidup dengan kewaspadaan atas ancaman binatang lain. Perburuan,
perkelahian, mewarnai dunia mereka. Kehidupan yang liar. Karena itu mereka
dilengkapi senjata di masing-masing jenisnya. Aku stress juga memikirkan
bagaimana kalau hidup manusia juga seperti itu? Yah, apakah di zaman perang
hidup manusia seperti itu juga?
Selesai kelas terakhir kemarin,
pikiranku dipenuhi kuliah dari pak Tommy di Filsafat Bahasa. Bahkan tekanan PR
Sejarah hilang begitu saja. Aku senang hari ini karena kelas Filsafat Bahasa,
ya seperti biasanya hari selasa di semester ini. Pada akhirnya karena sampai
maghrib di rumah, aku tak sanggup lagi berpikir untuk mengerjakan tugas-tugas. Apa
yang kurencanakan untuk hari ini belum jelas. Begitu mudah semangat naik turun.
Apakah aku akan terus hidup mengikuti mood begini? Kalau iya, apa salahnya sih?
Aku heran, kenapa manusia seenaknya melabelkan standar hidup yang benar dan
salah.
Sms balasan darinya membuatku
merasa diperdulikan sedikit. Tapi mood hari ini membuatku tetap pada rencana
tak jelasku. Ada hal-hal yang tidak dia pahami tapi begitu mudah dia keluarkan
saran dan nasihat. Ya, filsafat eksistensialis mengatakan “yang dapat
memahaminya hanyalah yang mengalaminya”. Bukan seperti pandangan para
rasionalis yang berpikir selalu dengan logika ketika menghadapi hal-hal yang
tak bisa dilogikakan macam perasaan. Aku selalu mengatakan “kamu tak akan paham
sebelum kamu merasakannya sendiri”, apakah dengan begitu sebenarnya aku
penganut fenomenologi dan eksistensialis? Tapi di sisi lain aku merasa, ya, “merasa”,
teori materialis determinis itu benar. Benar-benar paradoks.
“The thinker without a paradox is
like a lover without feeling”, kata Kierkegaard. Kemarin pak Tommy mengatakan fenomenologi
meyakini bahasa itu selalu dipenuhi paradoks. Ketika rasionalis tak memahami
perkataan seorang empirisis, rasionalis itu harus dulu masuk ke dunia empirisis
untuk memahami maksud perkataan yang tak sesuai kaidah semantik itu! Bukannya malah
menyocokkannya dengan spekulasi rasionalis yang abstrak! Pak Tommy orang bagian
itu, ternyata! Aku? Di persimpangan, entah. Ahh, kuliah Filsafat Bahasa begitu
penting dan mungkin aku harus membahasnya di sini nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar