Kamu tau, mengatakan sesuatu
tentang perasaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi adalah perkara
sulit. Lebih sulit daripada sekedar berbasa-basi. Ini mengganggu. Tapi memaksa
mengatakan pun sama mengganggunya. Mungkin, mereka tak kan pernah tau kenyataan
bahwa mereka adalah orang-orang berarti dan penting dalam sejarah kehidupanku. Mungkin
mereka tak kan pernah mengetahui kenyataan terdalam tentang siapa dan bagaimana
aku sebenarnya. Mungkin juga aku tak kan pernah bisa melepas topeng di hadapan
mereka. Ya, membahagiakan orang lain adalah sebuah pengorbanan.
Belakangan ini, aku merasa
mengungkapkan beberapa rahasia diri kepada orang lain adalah bentuk melepaskan
segala tekanan dalam diri, melegakan hati. Mereka pernah mengatakan, diantara
kami akulah orang yang paling tak begitu terganggu jika privasinya dibongkar
mereka. Pada dasarnya iya.
Ada waktu dimana aku adalah
seorang pribadi yang sangat tertutup. Aku tak punya tempat mencurahkan
perasaanku yang gelisah sama sekali. Tak ada teman, tak ada buku harian, segala
tekanan tersimpan rapat di hati, dan aku hampir mau mati karena itu. Ya, ada
momen-momen itu. Dimana segala yang kurasakan tak bisa kuungkapkan pada siapa
pun. Pahitnya kehidupan di masa-masa beranjak remaja tak mampu kuceritakan pada
siapa pun.
Entah sejak kapan, kini aku ingin
membongkar segala kegelisahan yang aku rasakan. Aku ingin dunia tau bahwa aku
ada. Aku ingin dunia tau apa yang kurasakan dan kupikirkan. Entah sejak kapan. Dan
Habibie pernah mengatakan bahwa segala luka dan depresi kehilangan Ainun hanya
bisa dilegakan ketika orang lain tau apa yang dia rasakan dan memori apa yang
telah dia lukiskan sampai muncul peristiwa itu.
Ketahuilah segalanya. Meski masih
ada hal-hal dan perasaan-perasaan yang belum mampu kubahasakan dengan kalimat
dan belum siap kuungkapkan. Pun ada banyak hal yang tak kupahami mengapa hingga
tak mungkin kuungkapkan dengan kalimat. Aku ingin mengeluarkan segalanya. Karena
kecewa? Oh, entahlah. Hampir sepanjang perjalanan pulang hari ini aku terus
memikirkannya. Mengapa hidup diisi dengan asumsi-asumsi? Karena atau hingga
adanya harapan dan ketakutan? Terhubung dengan kekecewaan? Aku tak mampu
berpikir banyak. Aku tak tau. Aku tak paham.
Kelas Filsafat Bahasa hari ini
membicarakan karya Aristoteles, “Poetic”. Aku benar-benar ingin membacanya! Buku
yang berisi tentang bahasa sebagai alat ekspresi. Ekspresi yang muncul dari
gejolak jiwa. Menghasilkan narasi yang berujung pada sastra, prosa atau pun
puisi. Kreativitas muncul dari kegelisahan atas segala masalah. Ahh aku jatuh
cinta…..
Aku ingin mengungkapkan segala
rahasia. Rasanya seperti ingin kutulis biografi kehidupanku sejujur-jujurnya. Ya,
aku butuh mengeluarkan semuanya. Bentuk mengangkat eksistensi diri dengan
narsisme pribadi begitu? Apa pun itu, karena manusia selalu bermasalah dan kita
pun mestinya terbiasa dengan bentuk ekspresi masing-masing pribadi yang telah
terjebak dalam jeratan individualitas karena diskriminasi akhir zaman. Aku adalah
salah satu pemeran di cerita penutup dunia fana ini. Aku memiliki kesadaran
itu.
Ah, aku mengungkapkan rahasiaku
lagi. Yang tadinya ingin kusimpan rapat di hati. Apa yang terjadi? Mungkin perasaan
tentangmu terlalu dalam dan menyesakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar