Mendengar kabar kematian lagi. Seseorang
yang tak kukenal dan menyisakan kesan buruk pada pak supir angkot ini. Entah,
aku merasa suram. Kemudian aku berpikir pada apa aku harus fokus? Jika pada
banyak hal aku ingin perhatikan begini. Inginku meraba segala hal, segala
misteri ini. Tapi manusia punya keterbatasan yang tak bersolusi, hanya bisa fokus
pada satu hal. Kenyataan ini menamparku.
Pagi yang ceria. Moodku naik. Bukan
karna aku mencintai kuliah lagi! Tapi karna aku ingin bertemu mereka. Ya,
kutunggu kesempatan berbicara banyak hal lagi. Tapi ternyata aku masih seperti
bocah yang segampang itu perasaannya dibolak-balik, sialan! Meski mood pagi ini
bagus, bahkan bertemu Kanazawa sensei pun aku senang sekali rasanya. Mungkin ini
kelas kaiwa yang paling menyenangkan buatku, entah karena tema hari ini
memecahkan kasus pembunuhan atau karena apa, entah! Ya, meski diawali dengan
keceriaan, ketika matahari pindah ke sebelah barat, moodku turun, gila!
Meski aku buka banyak hal, aku
sadar sebenarnya ada rasa lebih dalam yang tak bisa kuungkapkan pada siapa pun.
Ya, pada siapa pun! Bahkan pada Tuhan pun! Ketika waktu pertemuan kami tiba,
aku hanya mengatakan padaNya, “Tuhan, aku tau kau tau semuanya tanpa aku perlu
membahasakannya secara verbal”. Dan Dia pun tau segala kebimbangan yang
menari-nari di diri ini. Oh Tuhan, sudah sesesat apakah jalanku?
Sesungguhnya pemberontakan di
dalam diriku sudah semakin membesar. Otoriter, idealis, skeptis, kecewa, marah,
apatis, segalanya bercampur baur. Pada akhirnya bagaimana aku harus memisahkan
mereka pada tempatnya masing-masing seperti Aristoteles melakukannya pada
makhluk hidup? Bagaimana caranya? Siapakah diriku sesungguhnya? Bagaimana aku
harus memaknai kehidupanku?
Waktu sudah semakin jauh dari
putaran balik, aku masih di sini. Aku masih terjebak dalam pencarian tanpa
habis. Dengan sejuta kebimbangan.
Ada masa dimana aku melarikan
diri dalam kelenaan hubungan, ada masanya. Ketika aku memuaskan segala dorongan
nafsu apa pun, membiarkan setan dalam darahku memuaskan kekecewaannya pada sang
Raja. Ada masanya. Dan ketika masa belum ada, ketika tak ada nama bagi apa pun
termasuk bagi Tuhan, ada apa? Dimana? Sialan!
Aku mengembara dalam imajinasimu,
setelah mulut tanpa henti menyebutkanmu. Dan tentu saja, aku sadar betapa egois
luar biasa aku. Aku hanyalah manusia penyakitan. Iri dan kecewa pada apa pun. Aku
berpikir memaksakan diri berpikiran positif adalah memaksakan diri menutupi
borok tubuh yang melukai ketelanjangan. Persetan! Aku di tengah dunia yang tak
berpihak! Mengapa kalimat memaksaku menjadi pengikut, akulah raja bagi diriku
sendiri!
Ya, pada apa aku harus fokus? Ketika
dorongan jiwa menginginkan kesempurnaan pemahaman atas segala misteri,
keterbatasan diri semakin menunjukkan keberadaannya. Dan dengan kesadaran itu,
Kau terlihat! Segala dorongan dan kontradiksi kenyataan ini adalah
pengejawantahan diriMu! Wahai, sebesar apa diriMu? Ah, pertanyaan bodoh.
“bebaskanlah aku dari lautan nama”,
kata Rumi. Tapi mengapa kau, Rumi, masih menyebut “Tuhan”? Jika memang kau
begitu ingin terbebas dari segala penyebutan nama, entah bagaimana kebenaran
dikenali. Dunia memang omong kosong. Bahkan segala alasan dan penjelasan bisa dijadikan
dalih pengingkaran.
Mereka tak paham? Ya, mungkin mereka
tak paham karena mereka tak pernah merasakan pemberontakan sebesar ini dalam
diri mereka.
Mungkin kau menemukan oase di
sana, dan kau bersejuk sejuk diri di tengah padang pasir membentang di
sekelilingmu. Bersama dengan mereka yang terpikat pada fatamorgana imajinasi
mereka, berteduh di bawah pohon besar yang telah “berumur”. Hingga pada
masanya, segalanya musnah, termasuk pohon itu. Dan karena kau tak lagi
meneruskan perjalanan, kau tak akan menemukan kepuasan sesungguhnya. Kenikmatan
sesungguhnya dari pembunuhan dan pembantaian karena kerinduan dan kebimbangan
yang meradang.
Pada akhirnya, sang kebenaran
bersama jubah kebesarannya menciptakan tempat yang banyak. Setelah permainan
selesai, ada tempat bagi setiap ranking. Sang kebenaran bersama imajinasinya
menciptakan akhir cerita yang penuh ironi. Tak adil? Apa yang kau tau soal
keadilan? Belatung tak pernah memberontak bahkan. Sedangkan kita, penuh
pemberontakan.
Ya, imajinasimu menciptakan
imajinasiku. Kehidupanmu membuatku bahagia sekaligus iri.
Ialah salah satu contohnya. Satu titik
yang kufokuskan, dan ketika cahaya lain menyapa sudut lensa, kupalingkan wajah
dan kutelusuri sejauh pandangan. Betapa aku dikelilingi misteri. Ketika kusadari,
aku terpedaya. Dan ketika kesadaran lain muncul, segala rasa bangkit bermula
dan terus bermula hingga habis kontrak tugas ini.
Akhirnya kukatakan juga, aku tak
kan patuh pada apa pun selain apa yang kuizinkan mengaturku. Termasuk ketika
kau memasukkan ekspresi di dalam tulisan ini ke dalam salah satu jenis atau
gaya tulisan. No! Aku dan peraturanku sendiri. Tak ada yang berhak mengaturku
tanpa izinku selain sang pengatur semesta raya.
Tiba-tiba ada kemarahan di akhir
keceriaan hari. Dan aku tak tau pada apa mesti kusalurkan gejolak ini. Semua berawal
dari cerita tentangmu. Dan kunikmati rindu yang datang membunuhku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar