Rabu, 19 Maret 2014

Bukan Merdu Suara Pemberontakan


Mendengar kabar kematian lagi. Seseorang yang tak kukenal dan menyisakan kesan buruk pada pak supir angkot ini. Entah, aku merasa suram. Kemudian aku berpikir pada apa aku harus fokus? Jika pada banyak hal aku ingin perhatikan begini. Inginku meraba segala hal, segala misteri ini. Tapi manusia punya keterbatasan yang tak bersolusi, hanya bisa fokus pada satu hal. Kenyataan ini menamparku.


Pagi yang ceria. Moodku naik. Bukan karna aku mencintai kuliah lagi! Tapi karna aku ingin bertemu mereka. Ya, kutunggu kesempatan berbicara banyak hal lagi. Tapi ternyata aku masih seperti bocah yang segampang itu perasaannya dibolak-balik, sialan! Meski mood pagi ini bagus, bahkan bertemu Kanazawa sensei pun aku senang sekali rasanya. Mungkin ini kelas kaiwa yang paling menyenangkan buatku, entah karena tema hari ini memecahkan kasus pembunuhan atau karena apa, entah! Ya, meski diawali dengan keceriaan, ketika matahari pindah ke sebelah barat, moodku turun, gila!

Meski aku buka banyak hal, aku sadar sebenarnya ada rasa lebih dalam yang tak bisa kuungkapkan pada siapa pun. Ya, pada siapa pun! Bahkan pada Tuhan pun! Ketika waktu pertemuan kami tiba, aku hanya mengatakan padaNya, “Tuhan, aku tau kau tau semuanya tanpa aku perlu membahasakannya secara verbal”. Dan Dia pun tau segala kebimbangan yang menari-nari di diri ini. Oh Tuhan, sudah sesesat apakah jalanku?

Sesungguhnya pemberontakan di dalam diriku sudah semakin membesar. Otoriter, idealis, skeptis, kecewa, marah, apatis, segalanya bercampur baur. Pada akhirnya bagaimana aku harus memisahkan mereka pada tempatnya masing-masing seperti Aristoteles melakukannya pada makhluk hidup? Bagaimana caranya? Siapakah diriku sesungguhnya? Bagaimana aku harus memaknai kehidupanku?

Waktu sudah semakin jauh dari putaran balik, aku masih di sini. Aku masih terjebak dalam pencarian tanpa habis. Dengan sejuta kebimbangan.

Ada masa dimana aku melarikan diri dalam kelenaan hubungan, ada masanya. Ketika aku memuaskan segala dorongan nafsu apa pun, membiarkan setan dalam darahku memuaskan kekecewaannya pada sang Raja. Ada masanya. Dan ketika masa belum ada, ketika tak ada nama bagi apa pun termasuk bagi Tuhan, ada apa? Dimana? Sialan!

Aku mengembara dalam imajinasimu, setelah mulut tanpa henti menyebutkanmu. Dan tentu saja, aku sadar betapa egois luar biasa aku. Aku hanyalah manusia penyakitan. Iri dan kecewa pada apa pun. Aku berpikir memaksakan diri berpikiran positif adalah memaksakan diri menutupi borok tubuh yang melukai ketelanjangan. Persetan! Aku di tengah dunia yang tak berpihak! Mengapa kalimat memaksaku menjadi pengikut, akulah raja bagi diriku sendiri!


Ya, pada apa aku harus fokus? Ketika dorongan jiwa menginginkan kesempurnaan pemahaman atas segala misteri, keterbatasan diri semakin menunjukkan keberadaannya. Dan dengan kesadaran itu, Kau terlihat! Segala dorongan dan kontradiksi kenyataan ini adalah pengejawantahan diriMu! Wahai, sebesar apa diriMu? Ah, pertanyaan bodoh.

“bebaskanlah aku dari lautan nama”, kata Rumi. Tapi mengapa kau, Rumi, masih menyebut “Tuhan”? Jika memang kau begitu ingin terbebas dari segala penyebutan nama, entah bagaimana kebenaran dikenali. Dunia memang omong kosong. Bahkan segala alasan dan penjelasan bisa dijadikan dalih pengingkaran.

Mereka tak paham? Ya, mungkin mereka tak paham karena mereka tak pernah merasakan pemberontakan sebesar ini dalam diri mereka.

Mungkin kau menemukan oase di sana, dan kau bersejuk sejuk diri di tengah padang pasir membentang di sekelilingmu. Bersama dengan mereka yang terpikat pada fatamorgana imajinasi mereka, berteduh di bawah pohon besar yang telah “berumur”. Hingga pada masanya, segalanya musnah, termasuk pohon itu. Dan karena kau tak lagi meneruskan perjalanan, kau tak akan menemukan kepuasan sesungguhnya. Kenikmatan sesungguhnya dari pembunuhan dan pembantaian karena kerinduan dan kebimbangan yang meradang.

Pada akhirnya, sang kebenaran bersama jubah kebesarannya menciptakan tempat yang banyak. Setelah permainan selesai, ada tempat bagi setiap ranking. Sang kebenaran bersama imajinasinya menciptakan akhir cerita yang penuh ironi. Tak adil? Apa yang kau tau soal keadilan? Belatung tak pernah memberontak bahkan. Sedangkan kita, penuh pemberontakan.

Ya, imajinasimu menciptakan imajinasiku. Kehidupanmu membuatku bahagia sekaligus iri.

Ialah salah satu contohnya. Satu titik yang kufokuskan, dan ketika cahaya lain menyapa sudut lensa, kupalingkan wajah dan kutelusuri sejauh pandangan. Betapa aku dikelilingi misteri. Ketika kusadari, aku terpedaya. Dan ketika kesadaran lain muncul, segala rasa bangkit bermula dan terus bermula hingga habis kontrak tugas ini.


Akhirnya kukatakan juga, aku tak kan patuh pada apa pun selain apa yang kuizinkan mengaturku. Termasuk ketika kau memasukkan ekspresi di dalam tulisan ini ke dalam salah satu jenis atau gaya tulisan. No! Aku dan peraturanku sendiri. Tak ada yang berhak mengaturku tanpa izinku selain sang pengatur semesta raya.

Tiba-tiba ada kemarahan di akhir keceriaan hari. Dan aku tak tau pada apa mesti kusalurkan gejolak ini. Semua berawal dari cerita tentangmu. Dan kunikmati rindu yang datang membunuhku ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar