Hari ini seorang laki-laki muda
mengingatkan bahwa uangku jatuh. Lantas? Arigatou ga nai. Kenapa? ENTAH! Aku merasa
aneh pada diriku sendiri. Tapi ada dorongan untuk tak perlu lagi berpaling
padanya dan mengucapkan itu. Aneh sekali. Sepanjang perjalanan berangkat aku
terus merasa terganggu dengan kejadian tadi. Menyesal? Ada. Tapi tak ada
dorongan untuk mengatakan terima kasih padanya. Bahkan sekedar senyum saja
tidak. Mood sedang buruk? Tidak juga.
Ada melodi didendangkan di hati. Apa
yang sedang membuatnya ceria? Entah! Hanya merasa “ini hari biarkan mengalir
saja. Hanya perlu dinikmati kan?”. Seperti dulu-dulu waktu aku masih
semester-semester awal, perjalanan dalam kesendirian benar-benar waktu yang
menyenangkan. Bisa menikmati pemandangan kota Jakarta yang yahh penuh keacuhan.
Tapi, ketika ada momen dimana masyarakat kota ini dipaksa bekerjasama untuk
menyelesaikan masalah secara mendadak, atau meski hanya sekedar mengomentari
masalah yang terjadi, ada perasaan luar biasa menjumpai pemandangan macam itu. Oase
di tengah padang pasir, seperti itu.
Aku menikmati kesendirianku hari
ini. Kelihatan sedang mengejar ambisi? Sesungguhnya tidak. Aku hanya ingin
menikmati segalanya dan menemukan kenyamananku sendiri seperti dulu kurasakan. Hari
ini aku berhasil merasakannya lagi. Tapi semoga saja tidak ada dorongan mencari
masalah dengan orang lain, seperti yang pernah terjadi dulu.
Pagi ini seorang pengamen “mengganggu”
kenyamananku di kopaja. Pakaiannya lusuh, jalannya tidak normal, dan tubuhnya
terlihat tidak sehat dan juga kotor. Dia mengatakan pada kami bahwa dia stroke.
Oh Tuhan, sesungguhnya aku tak tau siapa saja orang yang jujur di ibukota ini
dan siapa yang berbohong. Karena ibukota sudah dipenuhi orang-orang yang berani
berbohong demi keuntungan, atau demi bertahan hidup di kota keras ini, aku
benar-benar hampir tak mau lagi percaya pada orang asing yang kutemui di
jalanan. Tapi pengamen ini membuatku berpikir lagi..
Ada begitu banyak alasan untuk
bersyukur. Seperti mereka gembor gemborkan itu. Melihat ke sekeliling kita, ke
orang-orang yang tak seberuntung kita, aku merasa tak berhak mengeluh. Di sisi
lain juga aku berpikir di tiap fasenya, manusia dengan status yang berbeda-beda
dilengkapi dengan masalah yang juga berbeda-beda. Jadi aku pun dalam
perspektifku sebenarnya sama menderitanya dengan orang-orang kelaparan dengan
perspektif mereka sendiri. Aku berpikir begitu.
Tapi bagaimana pun juga aku berpikir, semuanya berbeda. Ada yang
atas dan bawah. Begitulah dunia diciptakan. Jika aku memang tidak boleh lagi
mengeluh dengan segala alasan untuk bersyukur ini, apa yang harus kurasa
melihat penderitaan di bawah sana? Oh, apakah keadaan di bawah kita diciptakan
untuk membuat kita tenang, sekedar itu saja? Lalu kita perlu melarikan diri
dengan cara bersedekah pada orang-orang dibawah kita demi memenuhi rasa syukur
dan kasihan kita? SIALAN!
Aku merasa terganggu. Aku merasa
harus ikut bersedih, harus membantu bukan hanya sekedar. Tapi karena keperluan.
Ada suatu kesatuan dalam kemanusiaan. Perasaan bahwa kita memiliki kesamaan,
kita merasa kita satu. Tapi karena ada kecanggungan, muncullah berbagai
kontradiksi di dalam sini. Dan ini sungguh menyiksa, sungguh menyiksa. Karena itu
melihat keadaan yang di bawah kita, aku merasa amat terganggu. Ya, karena
adanya segala kontradiksi perasaan itu. Aku bingung, apa yang harus kurasa? Demi
Tuhan, demi Tuhan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar