Senin, 24 Maret 2014

Arigatou ga Nai


Hari ini seorang laki-laki muda mengingatkan bahwa uangku jatuh. Lantas? Arigatou ga nai. Kenapa? ENTAH! Aku merasa aneh pada diriku sendiri. Tapi ada dorongan untuk tak perlu lagi berpaling padanya dan mengucapkan itu. Aneh sekali. Sepanjang perjalanan berangkat aku terus merasa terganggu dengan kejadian tadi. Menyesal? Ada. Tapi tak ada dorongan untuk mengatakan terima kasih padanya. Bahkan sekedar senyum saja tidak. Mood sedang buruk? Tidak juga.

Ada melodi didendangkan di hati. Apa yang sedang membuatnya ceria? Entah! Hanya merasa “ini hari biarkan mengalir saja. Hanya perlu dinikmati kan?”. Seperti dulu-dulu waktu aku masih semester-semester awal, perjalanan dalam kesendirian benar-benar waktu yang menyenangkan. Bisa menikmati pemandangan kota Jakarta yang yahh penuh keacuhan. Tapi, ketika ada momen dimana masyarakat kota ini dipaksa bekerjasama untuk menyelesaikan masalah secara mendadak, atau meski hanya sekedar mengomentari masalah yang terjadi, ada perasaan luar biasa menjumpai pemandangan macam itu. Oase di tengah padang pasir, seperti itu.

Aku menikmati kesendirianku hari ini. Kelihatan sedang mengejar ambisi? Sesungguhnya tidak. Aku hanya ingin menikmati segalanya dan menemukan kenyamananku sendiri seperti dulu kurasakan. Hari ini aku berhasil merasakannya lagi. Tapi semoga saja tidak ada dorongan mencari masalah dengan orang lain, seperti yang pernah terjadi dulu.

Pagi ini seorang pengamen “mengganggu” kenyamananku di kopaja. Pakaiannya lusuh, jalannya tidak normal, dan tubuhnya terlihat tidak sehat dan juga kotor. Dia mengatakan pada kami bahwa dia stroke. Oh Tuhan, sesungguhnya aku tak tau siapa saja orang yang jujur di ibukota ini dan siapa yang berbohong. Karena ibukota sudah dipenuhi orang-orang yang berani berbohong demi keuntungan, atau demi bertahan hidup di kota keras ini, aku benar-benar hampir tak mau lagi percaya pada orang asing yang kutemui di jalanan. Tapi pengamen ini membuatku berpikir lagi..

Ada begitu banyak alasan untuk bersyukur. Seperti mereka gembor gemborkan itu. Melihat ke sekeliling kita, ke orang-orang yang tak seberuntung kita, aku merasa tak berhak mengeluh. Di sisi lain juga aku berpikir di tiap fasenya, manusia dengan status yang berbeda-beda dilengkapi dengan masalah yang juga berbeda-beda. Jadi aku pun dalam perspektifku sebenarnya sama menderitanya dengan orang-orang kelaparan dengan perspektif mereka sendiri. Aku berpikir begitu.

Tapi bagaimana pun  juga aku berpikir, semuanya berbeda. Ada yang atas dan bawah. Begitulah dunia diciptakan. Jika aku memang tidak boleh lagi mengeluh dengan segala alasan untuk bersyukur ini, apa yang harus kurasa melihat penderitaan di bawah sana? Oh, apakah keadaan di bawah kita diciptakan untuk membuat kita tenang, sekedar itu saja? Lalu kita perlu melarikan diri dengan cara bersedekah pada orang-orang dibawah kita demi memenuhi rasa syukur dan kasihan kita? SIALAN!

Aku merasa terganggu. Aku merasa harus ikut bersedih, harus membantu bukan hanya sekedar. Tapi karena keperluan. Ada suatu kesatuan dalam kemanusiaan. Perasaan bahwa kita memiliki kesamaan, kita merasa kita satu. Tapi karena ada kecanggungan, muncullah berbagai kontradiksi di dalam sini. Dan ini sungguh menyiksa, sungguh menyiksa. Karena itu melihat keadaan yang di bawah kita, aku merasa amat terganggu. Ya, karena adanya segala kontradiksi perasaan itu. Aku bingung, apa yang harus kurasa? Demi Tuhan, demi Tuhan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar