Minggu, 30 Maret 2014

Sebuah Kejadian


Sebuah kejadian menggangguku. Tepat di saat aku memutuskan memilih suatu hal baru untuk kulakukan. Tepat di saat moodku sedang naik. Hampir selalu seperti itu. Dan sudah kubilang, Tuhan memang luar biasa!

Kalau kubilang aku stress luar biasa, meskipun bagi banyak orang ini adalah hal kecil yang harusnya diabaikan saja, akankah ada yang terganggu lagi? Dari sejak aku terjun dalam perdebatan antar keyakinan, aku selalu merasa aku perlu membuat orang paham apa yang aku maksud. Ya, disalahpahami itu sangat mengganggu, begitu juga salah paham terhadap orang lain. Aku mengerti mengapa mereka tak bisa lagi mengontrol kejengkelannya padaku. Dan setidaknya akhirnya aku tau bahwa aku telah menyusahkan orang lain dan membuat mereka jengkel.

Aku kaget, sedih, kecewa, dan aku marah. Ya, marah, dan tak tau mesti kuekspresikan bagaimana kemarahan ini. Hari jum’at kemarin, di depan dua orang kawan aku menangis, aku tak bisa mengontrolnya lagi. Segala emosi bercampur aduk tak karuan. Ternyata aku belum pernah memperbaiki segalanya. Segala yang kualami adalah apa yang pernah kualami sebelumnya. Aku marah pada mereka dan pada diriku sendiri. Dan tak bisa kulanjutkan. Aku berpikir, tanggung jawab terakhir yang minimal yang bisa kuberikan adalah menghilang dari hadapan mereka.

Menyerah? Oh, sialan! Terserah mau pikir apa tentang tindakanku. Rencana untuk pergi memang sudah ada sejak dulu. Dan kejadian ini seperti mendorongku dengan kuat untuk benar-benar pergi. Tapi aku tak akan pergi begitu saja. Aku akan memanfaatkan waktuku di sana untuk mendapatkan apa yang kuperlukan. Dan bukan berarti yang tersisa selamanya adalah kebencian, aku tetap akan menghargai mereka seperti dulu. Hanya saja aku tak bisa, tak mau ada dalam kehidupan mereka lagi. Ya, dunia mau mengatakan aku pecundang, lemah dan kalah, terserah. Ini hidupku dan aku tau apa yang kulakukan.

Meneruskan segalanya berarti aku belajar untuk berbohong pada diriku sendiri. Setelah aku melepaskan diri, pasti akan aku dapatkan kelegaan. Meski aku tau, masalah lain akan datang. Terjadilah.

Aku hanyalah salah satu jenis makhluk bernama manusia yang seperti halnya makhluk bernama manusia lainnya, sedang berjuang menjalankan kehidupan ini sambil berusaha mencari makna apa yang ada dalam perjalanannya. Memikirkan apa yang sudah dilewati kadang terpikir “sudah sejauh ini, dan aku masih saja gagal, sudah waktunyakah menyerah?”. Aku tau banyak sekali manusia lainnya yang berada dalam masalah yang jauh lebih berat dan banyak daripada aku. Tapi aku pun sadar bahwa kita semua tumbuh dengan kecenderungan yang berbeda. Kita diatur oleh gen, apa yang kita baca, pola asuh, apa yang kita dengar, dan sebagainya. Karna itulah memaksakan sebuah solusi ata masalah kepada orang yang berbeda adalah hal salah. Sejak aku bertobat dari kesalahanku memperlakukan orang yang bermasalah, aku menyadari itu. Dan salahnya aku, aku memaksakan keyakinanku ini pada orang lain, oh bodohnya!

Dan kejadian ini sukses membuatku bingung, bagaimana aku harus menyikapi kehidupan?

Ah, aku harus berjalan lagi. Tak boleh kubiarkan dadu ini terlalu lama tak bergerak.

Rabu, 26 Maret 2014

Berkomunikasi itu Sulit!


Malam ini aku mendengar cerita tentang kerumitan permasalahan di keluargaku lagi. Bahwa warisan, harta bisa menjadi hal yang sangat krusial dalam hubungan keluarga. Aku heran, karna aku tak pernah merasakan betapa perlunya harta dibagi rata, betapa pembagian itu sangat menentukan kenyamanan hubungan, aku tak paham. Tapi itulah mengapa di dalam Al-Qur’an permasalahan soal warisan dijelaskan dengan begitu detail. Di beberapa kebudayaan permasalahan warisan masih sangat mempengaruhi hubungan antar saudara di dalam keluarga.

Aku orang betawi. Suku yang dalam budayanya permasalahan kepemilikan tanah sangat penting. Mungkin juga karna terlalu bergantung pada tanah warisan, orang betawi jadi tak punya kecenderungan besar untuk mencari uang yang banyak dengan cara lain selain menyewakan tanah atau menjual tanah.

Permasalahan di dalam keluargaku bukan hanya menyangkut itu. Ramai sekali. Dari dulu ramai sekali masalah. Bukan hanya memang karna masalahnya ada, tapi juga karna sifat keluarga yang mempersoalkan hal yang kecil jadi besar. Dari sudut pandangku itu bukan suatu hal yang bisa jadi masalah yang rumit, tapi ternyata di sudut pandang mereka yang mengalami, hal tersebut sangat berkaitan dengan kenyamanan hubungan di dalam silaturahmi keluarga. Ya, “yang tidak mengalami tidak akan memahami”.

Lalu, bagaimana caranya menyampaikan kesalahpahaman tentang masalah warisan? Itu yang sedang kakak dan ibuku bingungkan belakangan ini. Ada permasalahan menyangkut kesalahpahaman yang dipupuk sejak aku belum lahir. Tanpa pernah diselesaikan, mereka hanya saling memendam ketidaknyamanan dan keganjalan dalam hati, tanpa pernah coba dibicarakan. Kini, karna suatu pemicu, terbukalah konflik itu. Bagus memang, tapi kini permasalahannya adalah bagaimana cara menyampaikan maksud sebenarnya yang baik? Komunikasi. Intinya, apa yang mesti dikatakan, dibuka dengan pembicaraan apa, bagaimana mengatur alurnya agar maksudnya tersampaikan. Bahwa ilmu komunikasi memang sesulit itu.

Ima no watashi kawaritai yo, Nino no you ni. Aku yang sekarang ingin berubah, seperti halnya Nino. Seorang introvert yang menguasai hal yang tak biasanya dikuasai seorang introvert. Ya, seperti Nino. Perasaan itu muncul lagi hari ini. Belajar berkomunikasi dengan baik. Belajar menyampaikan bahasa secara pragmatis dan performatif. Bagaimana mempengaruhi orang lain dengan bahasa, bagaimana menyampaikan bahasa dengan baik dalam situasi yang berbeda. Pokoknya persoalan bahasa performatif dan pragmatis! Ya, hidup memanglah bukan hanya tentang menginterpretasikan dunia dan kehidupan, tapi juga tentang berbuat sesuatu untuk memaknainya. Aku bertobat dari pandangan sempit rasionalis, meski aku tak berpindah total secara ekstrim. Tapi Nino memang salah satu inspirator yang membuatku menajamkan sisi pragmatis dalam diriku.

Komunikasi memang sulit, dan aku bukan orang yang berbakat dalam menyampaikan bahasa secara performatif.

Kelas Filsafat Bahasa


Kemarin aku punya niat meninggalkan kelas Filsafat Bahasa dan langsung pulang setelah UTS Pemahaman Bahasa Jepang. Kenapa punya niat seperti itu? Entah. Karena aku merasa benar-benar terbebani dengan PR Sejarah untuk hari ini mungkin. Tapi yappari, aku tak bisa. Rasanya berat sekali meninggalkan kelas itu. Akhirnya aku tetap datang dan benar juga, ketika mengikuti kuliah Filsafat Bahasa kemarin, aku berpikir “untung aku datang!”. Ya, luar biasa rasanya! Aku benar-benar jatuh cinta..

Hari ini juga aku memikirkan banyak hal. Karena ada 2 ekor kucing kecil baru di musolla, entah datang dari mana, dan berusaha diusir oleh kucing cewek dewasa di musolla itu, aku merasa khawatir. Aku sempat membersihkan pipis dan tahi si kecil itu karena dia habis diserang oleh kucing dewasa di musolla. Dari kekhawatiran itu aku mulai berpikir lagi tentang mimpi-mimpiku yang dulu. Ya, aku ingin membangun panti asuhan untuk anak-anak terlantar yang terbuang dan panti asuhan untuk hewan-hewan terlantar. Aku berpikir kuat kemarin soal itu. Untuk mencapainya, aku harus bekerja keras mengumpulkan uang tentu saja. “Bagaimana caranya ya…”, dan sebagainya.

Kehidupan liar binatang. Dilahirkan ke atas dunia, lalu hidup dengan kewaspadaan atas ancaman binatang lain. Perburuan, perkelahian, mewarnai dunia mereka. Kehidupan yang liar. Karena itu mereka dilengkapi senjata di masing-masing jenisnya. Aku stress juga memikirkan bagaimana kalau hidup manusia juga seperti itu? Yah, apakah di zaman perang hidup manusia seperti itu juga?

Selesai kelas terakhir kemarin, pikiranku dipenuhi kuliah dari pak Tommy di Filsafat Bahasa. Bahkan tekanan PR Sejarah hilang begitu saja. Aku senang hari ini karena kelas Filsafat Bahasa, ya seperti biasanya hari selasa di semester ini. Pada akhirnya karena sampai maghrib di rumah, aku tak sanggup lagi berpikir untuk mengerjakan tugas-tugas. Apa yang kurencanakan untuk hari ini belum jelas. Begitu mudah semangat naik turun. Apakah aku akan terus hidup mengikuti mood begini? Kalau iya, apa salahnya sih? Aku heran, kenapa manusia seenaknya melabelkan standar hidup yang benar dan salah.

Sms balasan darinya membuatku merasa diperdulikan sedikit. Tapi mood hari ini membuatku tetap pada rencana tak jelasku. Ada hal-hal yang tidak dia pahami tapi begitu mudah dia keluarkan saran dan nasihat. Ya, filsafat eksistensialis mengatakan “yang dapat memahaminya hanyalah yang mengalaminya”. Bukan seperti pandangan para rasionalis yang berpikir selalu dengan logika ketika menghadapi hal-hal yang tak bisa dilogikakan macam perasaan. Aku selalu mengatakan “kamu tak akan paham sebelum kamu merasakannya sendiri”, apakah dengan begitu sebenarnya aku penganut fenomenologi dan eksistensialis? Tapi di sisi lain aku merasa, ya, “merasa”, teori materialis determinis itu benar. Benar-benar paradoks.

“The thinker without a paradox is like a lover without feeling”, kata Kierkegaard. Kemarin pak Tommy mengatakan fenomenologi meyakini bahasa itu selalu dipenuhi paradoks. Ketika rasionalis tak memahami perkataan seorang empirisis, rasionalis itu harus dulu masuk ke dunia empirisis untuk memahami maksud perkataan yang tak sesuai kaidah semantik itu! Bukannya malah menyocokkannya dengan spekulasi rasionalis yang abstrak! Pak Tommy orang bagian itu, ternyata! Aku? Di persimpangan, entah. Ahh, kuliah Filsafat Bahasa begitu penting dan mungkin aku harus membahasnya di sini nanti.

Senin, 24 Maret 2014

Arigatou ga Nai


Hari ini seorang laki-laki muda mengingatkan bahwa uangku jatuh. Lantas? Arigatou ga nai. Kenapa? ENTAH! Aku merasa aneh pada diriku sendiri. Tapi ada dorongan untuk tak perlu lagi berpaling padanya dan mengucapkan itu. Aneh sekali. Sepanjang perjalanan berangkat aku terus merasa terganggu dengan kejadian tadi. Menyesal? Ada. Tapi tak ada dorongan untuk mengatakan terima kasih padanya. Bahkan sekedar senyum saja tidak. Mood sedang buruk? Tidak juga.

Ada melodi didendangkan di hati. Apa yang sedang membuatnya ceria? Entah! Hanya merasa “ini hari biarkan mengalir saja. Hanya perlu dinikmati kan?”. Seperti dulu-dulu waktu aku masih semester-semester awal, perjalanan dalam kesendirian benar-benar waktu yang menyenangkan. Bisa menikmati pemandangan kota Jakarta yang yahh penuh keacuhan. Tapi, ketika ada momen dimana masyarakat kota ini dipaksa bekerjasama untuk menyelesaikan masalah secara mendadak, atau meski hanya sekedar mengomentari masalah yang terjadi, ada perasaan luar biasa menjumpai pemandangan macam itu. Oase di tengah padang pasir, seperti itu.

Aku menikmati kesendirianku hari ini. Kelihatan sedang mengejar ambisi? Sesungguhnya tidak. Aku hanya ingin menikmati segalanya dan menemukan kenyamananku sendiri seperti dulu kurasakan. Hari ini aku berhasil merasakannya lagi. Tapi semoga saja tidak ada dorongan mencari masalah dengan orang lain, seperti yang pernah terjadi dulu.

Pagi ini seorang pengamen “mengganggu” kenyamananku di kopaja. Pakaiannya lusuh, jalannya tidak normal, dan tubuhnya terlihat tidak sehat dan juga kotor. Dia mengatakan pada kami bahwa dia stroke. Oh Tuhan, sesungguhnya aku tak tau siapa saja orang yang jujur di ibukota ini dan siapa yang berbohong. Karena ibukota sudah dipenuhi orang-orang yang berani berbohong demi keuntungan, atau demi bertahan hidup di kota keras ini, aku benar-benar hampir tak mau lagi percaya pada orang asing yang kutemui di jalanan. Tapi pengamen ini membuatku berpikir lagi..

Ada begitu banyak alasan untuk bersyukur. Seperti mereka gembor gemborkan itu. Melihat ke sekeliling kita, ke orang-orang yang tak seberuntung kita, aku merasa tak berhak mengeluh. Di sisi lain juga aku berpikir di tiap fasenya, manusia dengan status yang berbeda-beda dilengkapi dengan masalah yang juga berbeda-beda. Jadi aku pun dalam perspektifku sebenarnya sama menderitanya dengan orang-orang kelaparan dengan perspektif mereka sendiri. Aku berpikir begitu.

Tapi bagaimana pun  juga aku berpikir, semuanya berbeda. Ada yang atas dan bawah. Begitulah dunia diciptakan. Jika aku memang tidak boleh lagi mengeluh dengan segala alasan untuk bersyukur ini, apa yang harus kurasa melihat penderitaan di bawah sana? Oh, apakah keadaan di bawah kita diciptakan untuk membuat kita tenang, sekedar itu saja? Lalu kita perlu melarikan diri dengan cara bersedekah pada orang-orang dibawah kita demi memenuhi rasa syukur dan kasihan kita? SIALAN!

Aku merasa terganggu. Aku merasa harus ikut bersedih, harus membantu bukan hanya sekedar. Tapi karena keperluan. Ada suatu kesatuan dalam kemanusiaan. Perasaan bahwa kita memiliki kesamaan, kita merasa kita satu. Tapi karena ada kecanggungan, muncullah berbagai kontradiksi di dalam sini. Dan ini sungguh menyiksa, sungguh menyiksa. Karena itu melihat keadaan yang di bawah kita, aku merasa amat terganggu. Ya, karena adanya segala kontradiksi perasaan itu. Aku bingung, apa yang harus kurasa? Demi Tuhan, demi Tuhan..

Minggu, 23 Maret 2014

Waktu


Waktu..
Akhir-akhir ini benar-benar semakin cepat, semakin cepat. Begitu relatif, ataukah sebenarnya bumi berputar semakin cepat?

Semakin sibuk kita, waktu terasa semakin cepat berlalu. Tapi bukan hanya itu. Di hari libur pun, disaat bersantai-santai, waktu terasa sebentar sekali. Aku benar-benar tak tau mengapa bisa begitu. Teori relativitas Einstein benar-benar misterius dan belum mampu kupahami. Ya, tak ada hari yang benar-benar kunikmati sekarang-sekarang ini meskipun hari libur, karena tekanan kehidupan mengejarku. Aku merasa “ada yang harus di kerjakan”.

Mungkin aku belum mampu menjadi dewasa jika dewasa benar-benar harus menyamakan ritme dengan putaran alam semesta. Aku ingin sekali menyediakan waktu untuk berpikir dan berbicara tentang apa apa yang kusadari. Tapi waktu kita habis dengan rutinitas kaku yang memenuhi setiap satu periode rotasi bumi.

Berpikir apa yang akan terjadi besok? Kemana masa-masa itu, masa-masa yang telah lewat itu hilang kemana? Rasanya benar-benar menggelisahkan. Jika hidup kita lebih banyak dihabiskan untuk berpikir “apa yang akan terjadi besok?” tanpa melakukan apa-apa, tertinggalkah kita?

Ya, apa yang akan terjadi 5 atau 10 tahun ke depan? Apakah saat itu aku sudah menikah dan punya anak? Atau apakah saat itu aku jadi orang terkenal? Atau bahkan sudah tak ada lagi di dunia ini? Betapa cepatnya waktu berlalu terkadang melunturkan semua pertanyaan itu. Cepatnya waktu berlalu, hiruk pikuknya manusia dalam kesibukan, membuat segala pertanyaan itu sudah tak lagi punya tempat di pikiran kita. “ayo terus berjalan dengan cepat, besok akan segera datang, tak ada waktu untuk berpikir tentang semua hal itu”.

Apa yang akan terjadi besok? Kapan aku akan mati? Kapan akan menikah? Kapan kapan dan kapan? Argh, aku ingin bebas dari penjara waktu. Apakah salah?

Hari ini aku berpikir lagi tentang optimisme. Benar, aku memang salah ketika mengatakan optimisme itu omong kosong. Seperti doa, optimisme adalah obat penenang. Karena kekuatan pikiran adalah segalanya. Kekuatan imajinasi melahirkan penciptaan. Terpikir perumpamaan yang dibuat Rumi tentang tauhid. Seorang Raja sedang duduk di atas singgasananya dikelilingi para pelayannya. Sang Raja mengatakan “tidak ada Raja selain aku”. Tapi kemudian sang Raja terbangun dari tidurnya, dan tidak ada siapapun di sekelilingnya. Lalu sang Raja mengatakan “tidak ada siapapun kecuali aku di sini”. Ya, sesungguhnya para pelayan adalah mimpi Raja. Kita adalah hasil imajinasi Tuhan. Seperti seorang penulis yang menciptakan tokoh tokoh dalam novelnya. Sesungguhnya tokoh dalam novel tidak pernah ada. Tokoh dalam novel hanya ada dalam imajinasi sang penulis. Begitu pula dengan kita. Karena terpikir itu, aku mulai percaya bahwa optimisme adalah kekuatan untuk menciptakan. Setiap kita sungguh memerlukannya. Kita perlu itu sebagai obat bagi segala masalah kehidupan yang kita miliki, sama seperti doa. Sedangkan kenyataan? Kenyataan bagi kita pasti adalah apa yang kita pikirkan. Semoga aku punya kekuatan untuk menciptakan pikiran baik. Ya, aku butuh kekuatan.

Di tengah waktu yang semakin cepat berpacu, dan kita yang semakin terburu-buru melukiskan makna eksistensi masing-masing, aku berharap aku menemukan lagi ketenangan yang pernah hilang dariku. Semangat hidup. Aku berharap. Aku hanya bisa berharap sambil berjuang mengatasi ketidakstabilan perasaan ini. Yang kadang membuatku ingin tetap terjaga dalam kesadaran ini, di waktu yang lain membuatku ingin terus tidur melarikan diri dari waktu.

Sabtu, 22 Maret 2014

Di Sebuah Kesempatan


Kemarin malam aku bermimpi banyak tentangnya. Setelah kami menghabiskan sisa sore menyongsong akhir pekan dengan perbincangan tentang kegalauan. Aku selalu menginginkan kesempatan semacam itu, mencari keluangan untuk berbincang hal semacam ini. Kami tak punya banyak waktu untuk saling berbagi di antara kejaran waktu dalam rutinitas yang mesti dipenuhi, yang mesti kami kejar untuk mengimbangi gerakan pemain lainnya.

Kemarin aku mengambil kesempatan itu, karna aku pun tau ada beban yang ingin dia ringankan dengan bercerita.

Bicara tentang pilihan penting bagi masa depan adalah sesuatu yang menurutku tidak boleh dicampuri oleh orang luar, bukan suatu pilihan yang boleh orang lain paksakan untuk kita pilih. Kalau mengikuti kata hati, mungkin kita kehilangan kesempatan yang tidak kita sadari penting. Bukankah kita juga butuh mempertimbangkan dengan akal juga dalam memilih sesuatu?, dia berkata. Tentu saja, memang. Kita perlu menyeimbangkan keduanya. Pada dasarnya jika aku dihadapkan pada kondisi yang sama, mungkin aku juga belum mampu memberikan diriku sendiri solusi. Tapi kemungkinan besar dalam hal semacam itu, di saat ada seseorang yang sedang menjadi perhatian kita, aku akan memilih mengikuti kata hati.

Dari perbincangan yang melebar aku sadar banyak yang mulai aku ketahui. Dengan saling berdiskusi begitu, banyak hal terungkap dan banyak pelajaran bermunculan. Pada momen itu juga aku mulai berani mengungkapkan apa yang kurasakan di masa lalu dengan agak ringan. Seperti aku mulai tak begitu terganggu membicarakannya. Aku bersyukur, dan aku lega. Aku menikmati momen ini, momen yang entah akan kita dapati lagikah kesempatannya. Tentu saja, kalaupun kami punya kesempatan seperti ini lagi, perasaan dan kesannya tidak akan sama seperti saat ini.

Aku jadi teringat orang-orang yang dulu pernah singgah dalam sejarah kehidupanku. Aku heran dan belum juga rela menerima bagaimana bisa kita berpisah begitu saja tanpa keinginan saling bertemu lagi? Aku berharap kami bisa seterusnya di jarak ini. Dan tentu saja, seperti yang kukatakan padanya, harapan selalu muncul bersama ketakutan. Di saat kita berharap pada seseorang misalnya, sesungguhnya kita pun menyimpan rasa takut bahwa hal yang kita harapkan tak kan pernah terjadi.

Aku menceritakan segalanya. Ya, di saat aku merasa ingin mendengar lebih banyak biasanya aku akan menceritakan sebanyak yang ingin aku dengar. Atau ketika dia bicara banyak tentang dirinya, aku akan merespon dengan menceritakan sebanyak itu juga. Aku tak masalah sekarang. Semua yang aku alami sudah begitu menumpuk, sehingga aku butuh mencurahkannya pada orang lain. Selama ini segalanya kusimpan rapat sendirian. Ketika aku merasa semuanya sudah terlalu membebani dan membuat stress, aku perlu membuat diriku sendiri lega.

Kami memang punya banyak perbedaan. Perbedaan yang membuat kami terkadang tak bisa menyatu. Tapi aku belajar banyak darinya. Bahwa segalanya memang hanya perlu dinikmati. Dia pernah mengatakan bahwa dia merasa cocok denganku, tapi sebaliknya aku tak pernah ingin mengatakan padanya bahwa aku bersyukur bisa mengenalnya. Mungkin, dia teman yang paling membuatku bersyukur pada Tuhan bahwa aku bisa mengenalnya.

Akhir-akhir ini aku sering memimpikannya, aku pun tak paham mengapa. Ada saat dimana aku mengikuti kemarahanku dan menginjak-injak apa yang sudah kita lewati selama ini. Aku menyesal. Setiap kali marah dan melakukan tindakan dan mengatakan hal-hal yang emosional, aku selalu menyesal pada akhirnya. Tapi aku hampir tak pernah mengucapkan maaf meskipun begitu. Yah, begitulah aku.

Di antara ketidaknormalan kami, ada sisi yang sangat manusiawi. Terlalu normal bagi orang-orang normal lainnya. Yang mungkin tidak akan begitu paham karena mereka tak pernah merasakan apa yang kami rasakan. Dan buat apa menjelaskan pada mereka? Toh mereka tak akan paham dan mereka juga tak punya nafsu besar untuk mendengarkan. Aku tak akan menyalahkan mereka, itu wajar jika mereka tak paham. Ya, kami berusaha menjadi normal, mengimbangi gerakan mereka. Di antara kegelisahan, kegalauan, ketidakstabilan perasaan, berharap perubahan dan kesembuhan. Tuhan hari ini mendengarkan perbincangan ini. Setelahnya aku minta maaf padaNya, atas diriku yang sekarang.

Kamis, 20 Maret 2014

Bukan Orang Normal


Apakah aku benar-benar bukan orang normal?

Ada waktu dimana aku merasa aku sebenarnya punya kehidupan yang baik-baik saja. Semuanya terjadi karena aku terjebak dalam pesimisme. Tapi lalu aku heran, darimana muncul kecenderungan untuk selalu berpikir buruk tentang banyak hal? Dari kekecewaan masa kecil mungkin. Aku tak mampu meraba masalahku. Ya, seperti kukatakan pada mereka, aku ingin sekali konsultasi ke klinik psikoterapi untuk mengetahui apa sesungguhnya masalahku. Permasalahan utamanya adalah bisakah si terapis membuatku nyaman dan percaya padanya? Sehingga hal-hal yang kusimpan sendiri selama ini mampu kuungkapkan akhirnya pada seseorang. Sesuatu yang kuingkari dalam diriku, memori yang ingin sekali kulupakan tapi ternyata mempengaruhi dalam alam bawah sadar selama ini, mungkin saja.

Kawan, aku tak sekuat kelihatannya. Ketika aku bicara pada mereka, pembicaraan yang serius lagi, aku sadar aku sangat sangat bermasalah. Aku tak mampu mengungkapkan bahwa aku benar-benar menolak banyak hal yang mereka katakan. Semuanya karena kekecewaanku membengkak, pesimismeku membesar. Apa yang kurasakan tidak sesederhana itu, rumit. Perasaan dan pikiranku begitu rumit. Ada saat dimana kita perlu menghidupkan diri kita yang lain ketika bersama orang lain.

Aku benar-benar menutup diri. Ketika dia yang kutau punya permasalahan yang hampir sama menceritakan keoptimisannya tentang masalahnya, aku merasa aku benar-benar keras kepala sendiri. Atau mungkin aku yang optimis sedang tidur nyenyak dan lama, belum juga bangun. Aku paling tidak normal, itulah kesimpulan dari perbincangan kami sore ini.

Aku teringat pada seseorang yang cukup membuatku simpati dan merindukan masa-masa akrab dengannya di belakang. Seseorang yang ketika kudengar cerita tentangnya dari orang lain, aku merasakan simpati yang besar padanya. Aku merasa, mungkin sedikitnya aku paham dengan apa yang dia rasakan. Tapi ada kemarahan, mengapa kelihatannya dia tak menyadari permasalahannya.

Pernah aku marah besar padanya. Melihat responnya di hadapanku yang datar, bertambahlah kemarahanku. “Tunjukkan apa yang kau rasakan di depanku!”. Ya, dia selalu menyembunyikan perasaannya. Hanya tiba-tiba air mata jatuh begitu saja ketika dia sedang terdiam lah yang membuat orang lain sadar bahwa dia punya masalah. Ketika apa yang keluar dari mulutnya berbeda dengan apa yang dia lakukan, aku kesal luar biasa. Tapi mengingat latar belakang kehidupannya, aku ingin sekali mendengarkan suara hatinya, demi Tuhan! Tapi aku mengingkarinya. Segala perasaan simpatiku padanya kupaksa mati karena aku takut melangkah terlalu jauh. Ya, aku rindu, pada masa-masa akrab kami. Aku kehilangan.

Ketika orang-orang tak normal lewat di depan mata, mungkin kecenderungan untuk menghampirinya membesar. Mengapa? Aku pernah ingin jadi psikiater. Meski pada akhirnya aku sadar, akulah yang butuh diobati!

Dan kalau bicara tentang rasa suka romantis pada seseorang, pertanyaan “kenapa suka?, apa yang kamu suka dari dia?” terasa omong kosong. Pada banyak orang itu penting sekali. Tapi sebenarnya sama seperti yang lainnya, aku tak mampu meyakini alasan dari perasaan suka pada seseorang. Aku tak tau mana yang benar. Tapi jika aku menyukai orang lain, bukanlah karena aku tau dia sempurna di bidang ini dan itu, atau bukan pula karna dia begitu baik secara umum. Tapi karena dia adalah dia, aku mampu menyukainya. Artinya saat aku tau dia tak sempurna, aku ingin bertumbuh bersama dengannya dalam ketidaksempurnaanku juga. Aku suka menyebutkan bahwa ketika naksir dengan seseorang dan menjadi suka, bukan sisi kesempurnaan atau sisi baiknya yang membuat mataku terhenti padanya. Tapi karena ketidaksempurnaannya. Mengapa begitu sih? Entahlah! Tapi aku yakin sekali itulah yang kurasakan. Aku tak pernah menyukai orang yang dicap sempurna oleh orang lain, yang sifatnya baik sekali, cacatnya susah ditemukan. Atau yang pekerjaannya bagus sekali, prestasinya cemerlang, membosankan! Dan ketika mendengarkan pendapat mereka, aku sadar kami berbeda pendapat. Tapi di kala itu, aku enggan mengungkapkannya. Kenapa? Entahlah! Agak rumit untuk memperjelas segalanya.

Pasti banyak yang tak terucap, aku yakin. Tapi sudah cukup melegakan setelah membagi perasaan dan pikiran pada orang lain. Meski aku berakhir cemas lagi. Kenapa? Karena aku sadar betapa bermasalahnya aku, betapa aku berbeda dari orang normal. Aku tau, pasti aku bisa berubah. Dan aku hanya bisa berharap secara samar-samar agar aku bisa sembuh total. Seperti harapan Sartre bahwa segala yang diyakini dalam teori filsafatnya salah.

Aku perindu kebebasan. Pemberontak dalam penjara kehidupan fana. Dan siapa yang mampu memahaminya selain kau? Dunia semakin panas, katamu? Benar. Pagi ini aku merasakannya kuat sekali. Dan aku pun sadar pula “aku tak berdaya”. Segalanya menekanku, jatuh dalam kontradiksi. Aku tumbuh menjadi salah satu orang yang berbeda dari orang normal, pikiran dan perasaanku yang ekstrim. Meski aku sadar betul aku sedang terus berusaha menyamai gerakan normal. Aku makhluk sosial, bagaimana pun. Aku ingin sembuh dengan tetap memelihara kesadaranku ini. Melihatmu dan dia, aku mulai sadar aku perlu pengobatan. Masalahnya, bisakah aku membuang keras kepala dan egoismeku dulu sebentar?


Rabu, 19 Maret 2014

Bukan Merdu Suara Pemberontakan


Mendengar kabar kematian lagi. Seseorang yang tak kukenal dan menyisakan kesan buruk pada pak supir angkot ini. Entah, aku merasa suram. Kemudian aku berpikir pada apa aku harus fokus? Jika pada banyak hal aku ingin perhatikan begini. Inginku meraba segala hal, segala misteri ini. Tapi manusia punya keterbatasan yang tak bersolusi, hanya bisa fokus pada satu hal. Kenyataan ini menamparku.


Pagi yang ceria. Moodku naik. Bukan karna aku mencintai kuliah lagi! Tapi karna aku ingin bertemu mereka. Ya, kutunggu kesempatan berbicara banyak hal lagi. Tapi ternyata aku masih seperti bocah yang segampang itu perasaannya dibolak-balik, sialan! Meski mood pagi ini bagus, bahkan bertemu Kanazawa sensei pun aku senang sekali rasanya. Mungkin ini kelas kaiwa yang paling menyenangkan buatku, entah karena tema hari ini memecahkan kasus pembunuhan atau karena apa, entah! Ya, meski diawali dengan keceriaan, ketika matahari pindah ke sebelah barat, moodku turun, gila!

Meski aku buka banyak hal, aku sadar sebenarnya ada rasa lebih dalam yang tak bisa kuungkapkan pada siapa pun. Ya, pada siapa pun! Bahkan pada Tuhan pun! Ketika waktu pertemuan kami tiba, aku hanya mengatakan padaNya, “Tuhan, aku tau kau tau semuanya tanpa aku perlu membahasakannya secara verbal”. Dan Dia pun tau segala kebimbangan yang menari-nari di diri ini. Oh Tuhan, sudah sesesat apakah jalanku?

Sesungguhnya pemberontakan di dalam diriku sudah semakin membesar. Otoriter, idealis, skeptis, kecewa, marah, apatis, segalanya bercampur baur. Pada akhirnya bagaimana aku harus memisahkan mereka pada tempatnya masing-masing seperti Aristoteles melakukannya pada makhluk hidup? Bagaimana caranya? Siapakah diriku sesungguhnya? Bagaimana aku harus memaknai kehidupanku?

Waktu sudah semakin jauh dari putaran balik, aku masih di sini. Aku masih terjebak dalam pencarian tanpa habis. Dengan sejuta kebimbangan.

Ada masa dimana aku melarikan diri dalam kelenaan hubungan, ada masanya. Ketika aku memuaskan segala dorongan nafsu apa pun, membiarkan setan dalam darahku memuaskan kekecewaannya pada sang Raja. Ada masanya. Dan ketika masa belum ada, ketika tak ada nama bagi apa pun termasuk bagi Tuhan, ada apa? Dimana? Sialan!

Aku mengembara dalam imajinasimu, setelah mulut tanpa henti menyebutkanmu. Dan tentu saja, aku sadar betapa egois luar biasa aku. Aku hanyalah manusia penyakitan. Iri dan kecewa pada apa pun. Aku berpikir memaksakan diri berpikiran positif adalah memaksakan diri menutupi borok tubuh yang melukai ketelanjangan. Persetan! Aku di tengah dunia yang tak berpihak! Mengapa kalimat memaksaku menjadi pengikut, akulah raja bagi diriku sendiri!


Ya, pada apa aku harus fokus? Ketika dorongan jiwa menginginkan kesempurnaan pemahaman atas segala misteri, keterbatasan diri semakin menunjukkan keberadaannya. Dan dengan kesadaran itu, Kau terlihat! Segala dorongan dan kontradiksi kenyataan ini adalah pengejawantahan diriMu! Wahai, sebesar apa diriMu? Ah, pertanyaan bodoh.

“bebaskanlah aku dari lautan nama”, kata Rumi. Tapi mengapa kau, Rumi, masih menyebut “Tuhan”? Jika memang kau begitu ingin terbebas dari segala penyebutan nama, entah bagaimana kebenaran dikenali. Dunia memang omong kosong. Bahkan segala alasan dan penjelasan bisa dijadikan dalih pengingkaran.

Mereka tak paham? Ya, mungkin mereka tak paham karena mereka tak pernah merasakan pemberontakan sebesar ini dalam diri mereka.

Mungkin kau menemukan oase di sana, dan kau bersejuk sejuk diri di tengah padang pasir membentang di sekelilingmu. Bersama dengan mereka yang terpikat pada fatamorgana imajinasi mereka, berteduh di bawah pohon besar yang telah “berumur”. Hingga pada masanya, segalanya musnah, termasuk pohon itu. Dan karena kau tak lagi meneruskan perjalanan, kau tak akan menemukan kepuasan sesungguhnya. Kenikmatan sesungguhnya dari pembunuhan dan pembantaian karena kerinduan dan kebimbangan yang meradang.

Pada akhirnya, sang kebenaran bersama jubah kebesarannya menciptakan tempat yang banyak. Setelah permainan selesai, ada tempat bagi setiap ranking. Sang kebenaran bersama imajinasinya menciptakan akhir cerita yang penuh ironi. Tak adil? Apa yang kau tau soal keadilan? Belatung tak pernah memberontak bahkan. Sedangkan kita, penuh pemberontakan.

Ya, imajinasimu menciptakan imajinasiku. Kehidupanmu membuatku bahagia sekaligus iri.

Ialah salah satu contohnya. Satu titik yang kufokuskan, dan ketika cahaya lain menyapa sudut lensa, kupalingkan wajah dan kutelusuri sejauh pandangan. Betapa aku dikelilingi misteri. Ketika kusadari, aku terpedaya. Dan ketika kesadaran lain muncul, segala rasa bangkit bermula dan terus bermula hingga habis kontrak tugas ini.


Akhirnya kukatakan juga, aku tak kan patuh pada apa pun selain apa yang kuizinkan mengaturku. Termasuk ketika kau memasukkan ekspresi di dalam tulisan ini ke dalam salah satu jenis atau gaya tulisan. No! Aku dan peraturanku sendiri. Tak ada yang berhak mengaturku tanpa izinku selain sang pengatur semesta raya.

Tiba-tiba ada kemarahan di akhir keceriaan hari. Dan aku tak tau pada apa mesti kusalurkan gejolak ini. Semua berawal dari cerita tentangmu. Dan kunikmati rindu yang datang membunuhku ini.


Selasa, 18 Maret 2014

Rahasia


Kamu tau, mengatakan sesuatu tentang perasaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi adalah perkara sulit. Lebih sulit daripada sekedar berbasa-basi. Ini mengganggu. Tapi memaksa mengatakan pun sama mengganggunya. Mungkin, mereka tak kan pernah tau kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang berarti dan penting dalam sejarah kehidupanku. Mungkin mereka tak kan pernah mengetahui kenyataan terdalam tentang siapa dan bagaimana aku sebenarnya. Mungkin juga aku tak kan pernah bisa melepas topeng di hadapan mereka. Ya, membahagiakan orang lain adalah sebuah pengorbanan.

Belakangan ini, aku merasa mengungkapkan beberapa rahasia diri kepada orang lain adalah bentuk melepaskan segala tekanan dalam diri, melegakan hati. Mereka pernah mengatakan, diantara kami akulah orang yang paling tak begitu terganggu jika privasinya dibongkar mereka. Pada dasarnya iya.

Ada waktu dimana aku adalah seorang pribadi yang sangat tertutup. Aku tak punya tempat mencurahkan perasaanku yang gelisah sama sekali. Tak ada teman, tak ada buku harian, segala tekanan tersimpan rapat di hati, dan aku hampir mau mati karena itu. Ya, ada momen-momen itu. Dimana segala yang kurasakan tak bisa kuungkapkan pada siapa pun. Pahitnya kehidupan di masa-masa beranjak remaja tak mampu kuceritakan pada siapa pun.

Entah sejak kapan, kini aku ingin membongkar segala kegelisahan yang aku rasakan. Aku ingin dunia tau bahwa aku ada. Aku ingin dunia tau apa yang kurasakan dan kupikirkan. Entah sejak kapan. Dan Habibie pernah mengatakan bahwa segala luka dan depresi kehilangan Ainun hanya bisa dilegakan ketika orang lain tau apa yang dia rasakan dan memori apa yang telah dia lukiskan sampai muncul peristiwa itu.

Ketahuilah segalanya. Meski masih ada hal-hal dan perasaan-perasaan yang belum mampu kubahasakan dengan kalimat dan belum siap kuungkapkan. Pun ada banyak hal yang tak kupahami mengapa hingga tak mungkin kuungkapkan dengan kalimat. Aku ingin mengeluarkan segalanya. Karena kecewa? Oh, entahlah. Hampir sepanjang perjalanan pulang hari ini aku terus memikirkannya. Mengapa hidup diisi dengan asumsi-asumsi? Karena atau hingga adanya harapan dan ketakutan? Terhubung dengan kekecewaan? Aku tak mampu berpikir banyak. Aku tak tau. Aku tak paham.

Kelas Filsafat Bahasa hari ini membicarakan karya Aristoteles, “Poetic”. Aku benar-benar ingin membacanya! Buku yang berisi tentang bahasa sebagai alat ekspresi. Ekspresi yang muncul dari gejolak jiwa. Menghasilkan narasi yang berujung pada sastra, prosa atau pun puisi. Kreativitas muncul dari kegelisahan atas segala masalah. Ahh aku jatuh cinta…..

Aku ingin mengungkapkan segala rahasia. Rasanya seperti ingin kutulis biografi kehidupanku sejujur-jujurnya. Ya, aku butuh mengeluarkan semuanya. Bentuk mengangkat eksistensi diri dengan narsisme pribadi begitu? Apa pun itu, karena manusia selalu bermasalah dan kita pun mestinya terbiasa dengan bentuk ekspresi masing-masing pribadi yang telah terjebak dalam jeratan individualitas karena diskriminasi akhir zaman. Aku adalah salah satu pemeran di cerita penutup dunia fana ini. Aku memiliki kesadaran itu.

Ah, aku mengungkapkan rahasiaku lagi. Yang tadinya ingin kusimpan rapat di hati. Apa yang terjadi? Mungkin perasaan tentangmu terlalu dalam dan menyesakkan.


Senin, 17 Maret 2014

Aku bukan lagi anak-anak


Lagi, moodku jatuh. Akhir pekan kemarin kepala pusing hampir seharian. Tak ada hal yang benar-benar dikerjakan kecuali baca buku dan nonton. Dan akhir pekan benar-benar membuatku tidak terbiasa lagi dengan kegiatan kampus. Aku benar-benar hampir tak menyisakan nafsu lagi untuk kuliah. Tugas dilalaikan dengan sengaja, tidak lagi belajar di rumah mempersiapkan untuk kuliah esok harinya. Aku tak menemukan semangatku lagi.

Kini aku hanya menikmati perkuliahan yang benar-benar “kuliah”, mendengarkan dosen bicara di depan kelas. Hanya mata kuliah Filsafat Bahasa yang benar-benar membuatku nafsu untuk datang setiap selasa. Yang lainnya, hanya kujalani tanpa niat apa pun kecuali sekedar melewati segala yang harus dilewati.

Aku datang dengan keceriaan aneh. Seperti “aahh, rasanya bebas sekali jika bisa keluar dari jeratan peraturan yang sedang mengelilingi dibandingkan benar-benar bebas tanpa jeruji apa pun”. Keluar dari lingkaran orbit sementara, aku menyebutnya. Dengan mood yang bercampur-campur, ingin kunikmati waktu ini dengan menenggelamkan diri ke dunia Rumi tanpa pusing memikirkan nasib perkuliahanku yang berantakan. Ya, hidup terlalu singkat untuk distreskan. Dan terlalu fana juga untuk dikejar. Kita kini hanya berada dalam permainan sambil menunggu keberangkatan masing-masing.

Di pertengahan hari, ketika aku bertemu dengannya dan mereka, seperti biasa, secara spontan aku menjadi aku yang mereka kenal. Ketika kami bicara tentang segala hal di luar hal perkuliahan, semangatku naik lagi. Tapi ketika mulai bicara tentang tugas dan tetek bengek sialan itu aku mau muntah. Kemuakanku sudah benar-benar hampir mencapai batasnya.

Di pertengahan hari, kami bicara tentang masa depan dan pernikahan. Pembicaraan tentang sesuatu yang membuatku merasa “ah, aku sudah bukan anak-anak”. Kestabilan hidup orang dewasa, atau berpetualang mencari pengalaman. Dengan siapa dan kapan harus menikah. Pembicaraan orang-orang yang baru memasuki remaja akhir dan dewasa awal. Aku merasa aku sudah berubah. Ya, jadi orang dewasa, sebentar lagi.

Seandainya waktu bisa diperlambat di kala itu. Aku masih ingin mencari jati diri. Aku masih ingin mengetahui banyak hal dari orang lain. Aku belum ingin menjadi orang dewasa. Seandainya boleh memilih, aku ingin jadi kanak-kanak sampai mati.