Jumat, 14 Februari 2014

Pluto



Aku terbangun pagi ini dengan perasaan yang jatuh. Jauh berbeda dengan perasaan yang kumiliki kemarin. Aku tak pernah paham. Perubahan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Kakiku memaksakan langkahnya bersiap untuk menghadapi matahari di luar, menjalani rutinitas yang telah kuperhitungkan kesempurnaannya kemarin. Setelah segala mimpi dan langkah telah ku atur dengan mantap, aku yang hari ini menghancurkan segalanya.

Perasaan yang terus jatuh dalam kegelapan, di dalam tubuh yang memaksaku bagai robot yang terus bergerak tanpa memperdulikan perasaanku kemarin yang telah hilang. Aku benci pertanyaan “mengapa” dan “ada apa” saat ini, saat aku tak tau segala jawaban, saat aku sendiri tak paham. Aku ingin hilang, aku ingin tak terlihat, aku ingin kesunyian, aku butuh kesendirian, saat ini.

Segala “kenormalan” dan kebohongan dunia membuatku muak saat ini. Segala wajah yang tersenyum dan marah pagi ini, semuanya terlihat seperti kebohongan. Orang-orang yang berarti dalam kehidupanku hari ini terasa seperti jeruji penjara bagiku. Aku ingin melarikan diri. Di sini, di sudut dunia ini aku mencoba melarikan diri, setelah sebuah pertengkaran terjadi di dalam diri. Aku bukan yang kemarin. Bukan seorang ambisius dunia yang begitu merencanakan kesempurnaan dalam kehidupannya.

Aku menghancurkan segalanya. Segala yang kubangun sendiri. Apa mauku? Tak ada air mata, air mata telah mengering. Sebagai gantinya, ada perasaan sakit yang tiba-tiba, yang membuatku membenci identitasku yang mana pun. Ada rencana mengerikan di otakku. Rencana pelarian, pembangkangan. Imajinasi meluap keluar, segalanya seperti berputar-putar di kepalaku, datang dan pergi. Dunia seperti lelucon sialan yang membuatku jadi budaknya selama ini, perasaan membenci segalanya. Siapa ini?

Ku injak-injak kebanggaanku yang kemarin, “bodoh!” terus membesar di kepalaku. Dan tiba-tiba aku melarikan diri ke dalam lingkaran hedonisme sendirian. Perasaan ingin menikmati segala yang perlu dinikmati untuk menghentikan rasa sakit di dalam diri membesar dan mendesak. Aku pergi dengan senyum yang tak kupahami. Ku nikmati, “hanya perlu dinikmati sendiri”, aku hari ini.

Dan aku menghadapi mereka dengan memakai topeng. Memerankan peranku seperti biasa, berbohong seperti biasa, bukankah dunia ini memang penuh kebohongan? Bukankah dunia ini penuh dengan orang-orang yang terus berbohong tentang apa pun, manusia-manusia yang tak pernah jujur? Di sini, di dalam, ada dunia yang berbeda, dunia yang penuh pergolakan, yang tak dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Kucoret-coret kertas itu dengan luapan emosi yang tak tertahankan demi menumpahkan gejolak perasaan di dalam yang hanya terpendam sedari tadi. Hingga tertidur dengan perasaan “alangkah damainya bila kepergianku lebih cepat daripada mereka yang kukenal”, perasaan ingin mendapat perhatian, penyakit yang membusuk.

Aku terbangun lagi, di pagi yang berbeda. Perasaan yang masih sedikit tertinggal adalah kebimbangan. Kini di sini dipenuhi kebimbangan “apa yang harus dilakukan sekarang?”. Tentu saja melangkah lagi, tapi langkah yang sama, tanpa kemajuan apa pun. Linglung. Tanpa arah yang jelas ku langkahkan kaki yang terprogram dalam lingkaran rutinitas. Tanpa niat yang jelas. Tanpa suka, tanpa benci. Ku perankan peranku di dalam sandiwara kehidupan dunia yang masih terus berputar, yang belum juga berakhir. Sejenak segala perasaan di dalam terlupakan dan terkunci. Aku melarikan diri, di tengah sandiwara, menuju dunia hedonisme yang memenjarakanku, memenjarakan perasaanku yang diangkat dan dijatuhkan berkali-kali.

“kuat”, katanya. Ketika mendengar itu aku terhenti, seperti dunia di dalam diriku tiba-tiba terhenti, “andai aku memang kuat”, “kuat itu maksudnya apa?”, pertanyaan yang terpampang tanpa punya nafsu untuk ku cari jawabnya. Warna hitam, warna yang mengundang orang untuk bertanya “ada apa?”, “kenapa?”, warna yang melindungi diriku yang sesungguhnya. Bukan, bukan warna, tapi sebuah simbol dari eksistensi yang fana. Hitam, dan dunia kegelapan yang misterius, dunia tanpa cahaya, sebuah keberadaan yang niscaya karena kehampaan atas keberadaan. Duniaku.

Aku iri pada dunianya. Sebuah keberadaan yang dilingkupi atmosfer, yang tak terlihat permukaannya dari jarak ini. Ada apa di sana? Air beku? Tanah? Badai debu? Apa dia pikir aku mudah paham? Apa dia jauh lebih rumit dari yang ku bayangkan? Apa pun itu, tak ada keberadaan yang bisa ditangkap mataku kecuali eksistensinya. Dia bilang dia mungkin tak jauh berubah dari lingkarannya yang dulu, kalau dia tau bahwa aku hanya berputar-putar di sini. Sebuah perumpamaan mengerikan yang dia sebutkan, tentang lingkaran yang tak berujung, membuatku takut lagi. Dia mungkin selangkah atau beberapa langkah lebih maju dariku, tapi setelah ku sadari aku terus berputar di lingkaran yang sama, entah karena apa terjebak di dalamnya. Seperti kehidupan abadi yang perasaan menjalaninya terlalu misterius untuk dikhawatirkan itu.

Kini, aku hanya berusaha lebih tenang menghadapi segalanya,tapi aku tak tau jika perasaan yang naik tiba-tiba jatuh lagi tanpa ada alasan jelas. Mereka mengatakan manusia itu misterius, rumit, dan sebagainya. Aku tak tau bagaimana menyikapi kerumitan ini. Hanya aku ingin mereka tau bahwa perasaan ini ada, tanpa harus bereaksi berbeda, tetaplah bersandiwara dengan topeng-topeng yang biasa.

Tapi bukankah manusiawi bila aku berkata aku butuh keberadaannya, keberadaan yang membuatku sadar bahwa aku tak sendirian sebagai jiwa yang terombang-ambing dalam rayuan dunia dan kontrolNya. Haruskah aku katakan lagi kata-kata yang tak perlu dikatakan itu? Jangan pernah menghilang…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar