Minggu, 02 Februari 2014

Lelucon di Atas Panggung Komedi


Hanya ada menang kalah, sudah ku bilang. Ada posisi atas dan bawah, selalu. Adalah wajar, manusia selalu mengejar apa yang membuatnya bangga menjadi dirinya sendiri. Ketika ia sudah memilih satu hal, dan mendedikasikan dirinya untuk  menjadi yang terbaik dalam hal yang dipilihnya, jangan coba-coba rendahkan dia di bidangnya itu. Manusia, dan dorongan untuk membuktikan keberadaan dirinya yang berharga di dunia. Manusia, dan pengakuan sosial. Hidup manusia adalah menjadi budak sosial.

Hanya ada menang kalah, siapa yang kalah dia yang pergi. Seperti hukum evolusi, hanya ada yang tetap bertahan dan diakui. Pasrah. Hukum adalah hukum. Kita adalah hamba hukum. Di dalam kebebasan yang selalu kita jadikan tema di abad ini, kita semakin terpenjara. Terpenjara dalam ambisi pribadi tentang dunia. Lebih buas dan lebih liar daripada hewan-hewan buas di wilayahnya di kebun binatang. Tersenyum di dalam persaingan.

Step by step kau gambar langkah-langkahmu menaklukkan dunia,menjadi yang terbaik, dan Diakui. Ya, diakui. Hidup manusia dihabiskan untuk mengejar pencapaian agar “yang lain” mengakui keberadaannya. Hukum itu mengikat kita. Dan kita, sambil terikat terus saja membicarakan kemerdekaan, hingga telinga ini muak dan membuatku terus tertawa dalam keseriusan ini.

Sibuk dalam rutinitas, atau dalam perubahan yang semuanya kita lakukan demi mengisi keberadaan kita. Membangun kehidupan kita sendiri, membuat makna hidup kita sendiri. Hari demi hari, seperti planet planet yang terus berputar mengelilingi matahari dalam revolusinya dan orbitnya masing-masing.  Tapi kita berbeda, kita SADAR bahwa kita bisa lelah. Kita manusia.

Hingga ketika seorang penguasa dunia membuat sebuah perlombaan dan hukum tak terlihat versi terbaru, kau mengejar segalanya demi pengakuan dunia. Sibuk hari demi hari. Dan hanya ada kalangan atas dan bawah.

Kau hanya pengejar dunia. Mencoba menggapai tingkat tinggi dalam ibadah, agar apa? Agar kau setara dengan para hamba hamba sholeh, agar apa? Agar mereka para hamba sholeh itu mengakuimu sebagai kawan di dunia. Dan dengan itu, kemuliaanmu terangkat di dunia. Kau selalu ingin jadi yang teratas. Dimana letak Tuhan? Jauh sekali. Alasanmu jelas, karna ingin pengakuan, kau menggunakan agama sebagai alatnya. Dan kenapa kau tak mampu menyadarinya? Tuhan memaklumi kebodohanmu.

Kau hanya budak dunia, sampai kau mati. Pikiranmu dipenuhi bagaimana kau mampu jadi yang terbaik hingga kau puas dan dunia mengakui pencapaianmu. Itulah manusia, itulah dirimu. Itulah hal terendah dari dirimu. Karena dunia di mata Tuhan lebih buruk daripada bangkai seekor hewan yang tak ada gunanya di mata pemiliknya. Dan kau, menjadi budaknya.

Stress, karna kegagalanmu. Pikiranmu dipenuhi semua itu, dan Tuhan yang kau jadikan alasan omong kosong bagi pencapaian duniamu hanya beberapa menit sehari kau datangi. Tuhan yang sangat penyayang itu memaklumimu, sebagai makhluk lemah yang diciptakan dengan kecenderungan selalu menjadi budak bagi apapun.

Bagiku, kau hanya pemuja ilusi, yang tertawa tawa dalam mimpi. Kau hanya pembohong bagi hatimu sendiri. Kau mengejar apa yang bagi Tuhan lebih rendah daripada bangkai hewan yang tak berguna, kau menjadi budaknya. Dan kadang untuk itu, kau jadikan agama sebagai alasanmu. Menjijikan,hingga aku lelah tertawa.

Kau terjebak. Dengan alasan “tak bisa sembuh” kau jalani perlombaan dunia yang busuk ini sambil terus menyemangati diri dengan angan-angan palsu, seperti pelangi yang sebentar menemani kala hujan pergi. Fana, dan ilusi. Ya, kau dibohongi. Kau tau, dan kau menikmati. Katamu, “tak ada yang bisa dilakukan selain ini”.

Kau hanya memikirkan, “berapa nilaiku dalam ujian? Berapa nilaimu? Ah, aku kalah. Yes, aku menang”, sehari-hari. Hingga dewasa, hanya ada menang dan kalah. Dan kau menuntut agar kemenanganmu diakui dunia, setidaknya duniamu sendiri.

Kau dengan munafiknya berdiri memegang tanganku dan mengatakan, “hidup ini yang penting bukan itu” ketika aku kalah. Tapi ketika kau kalah, dan kukatakan hal yang sama kepadamu, kau berteriak marah, “jangan bicarakan itu lagi!”. Sialan!

Apa yang kau cari di dunia fana ini? Pelangi yang sebentar menemani? Kelemahanmu membuatmu mencintai pelangi daripada dunia kekal yang jauh di ujung jalan sana. “apakah dunia kekal benar-benar ada?”, “masih jauh” ,dan sebagainya. Berisik, alasanmu kau iringi melodi musik yang terdengar begitu indah di telinga. Hingga siapa pun yang mendengarnya terhipnotis mengiyakan kata-kata manjamu itu!

Ceritamu terlalu panjang wahai budak dunia,
Cerita tentang lelucon di atas panggung komedi sepanjang bumi berputar.

Aku tertawa dalam ambisi kita, dalam kestresan kita menghadapi dunia.
Hingga kau tau? Aku lelah tertawa. Aku bosan dengan kelelahanku.

Dan bagi dunia, mungkin aku hanya pecundang, dan aku tak perduli.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar