Sabtu, 07 Oktober 2023

ALIF (part 1)

Kita sering tertarik secara spontan dengan seseorang yang baru saja kita temui. Ketertarikan itu bisa jadi sangat berlebihan sehingga akhirnya menjadi cinta pada pandangan pertama, atau sekedar ketertarikan saat itu saja yang tidak terlalu menyita perhatian yang berlebihan dari kita.

Begitu pula kami saat pertama kali bertemu. Aku bisa merasakan ketertarikan dari matanya dan jika dia lebih peka sedikit, ketertarikanku pada orang lain sangat mudah dibaca. Tapi pada saat itu ketertarikan kami adalah ketertarikan sepintas, bukan cinta pada pandangan pertama yang menggebu dan menuntut dipenuhi. Padahal saat itu, aku dan dia bukan satu-satunya lawan jenis yang menarik bagi satu sama lain, karena itulah ketertarikannya tidak memaksa untuk memenuhi pemuasan. Hanya pada pertemuan dan interaksi kesekian kali, ketertarikan kami semakin kuat, seakan menuntut untuk dipuaskan, dengan sekedar bertemu atau melihat sosoknya, atau mencarinya di dunia maya.

Di sisi dia, ketika aku menceritakan tentang diriku sendiri di tangga samping Masjid Agung Al-Azhar, adalah momentum terkuat ketertarikannya padaku semakin besar. Bahwa aku pernah kuliah di UI, kampus impiannya dulu, dan bahwa sosokku berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah dia kenal, dan pula usiaku terlalu jauh dari perkiraannya (yang ia kira aku lebih muda darinya). Kontras dengan perempuan idamannya yang pemalu, penurut, kalem, baik hati, lembut, seakan perlu dilindungi dan dituntun, aku terlihat mandiri, pemberani, kuat, tegas, dan tidak bisa diganggu gugat. Bahwa katanya aku punya sekian jurus memenangkan perdebatan, karena itu dia pernah mewanti kawan-kawan seorganisasi kami untuk menjaga jarak denganku saking khawatirnya kedamaian dalam organisasi terganggu dengan keberadaanku yang “membunuh” ketenangan tim. Bahwa dia kagum dengan sosok Kilua yang membayangi karakterku, apalagi katanya wajahku cantik dan penampilanku menarik.

Dia yang punya kemampuan mata-mata lumayan lihai, mencoba memata-matai keberadaanku di kampus. Dimana kiranya aku suka istirahat saat tidak ada kelas dan sedang apa aku saat itu. Aku cukup peka dan punya rasa penasaran yang tinggi. Aku bisa membedakan pandangan mata orang yang biasa saja, penasaran, atau punya pikiran kompleks tentangku. Pandangannya menunggu untuk bertemu dan berinteraksi dengan keraguan interaksi macam apa yang harus terjadi. Meski aku bukan cenayang, secara intuisi aku bisa merasakan bahasa tubuh orang lain yang tidak biasa, hingga akhirnya aku mencaritau dengan simplisitas rasional akal. Mencari di google dengan kata kunci “mengapa seseorang melihat kita lebih lama dari biasanya”, dan berhenti di artikel-artikel psikologi berbahasa inggris yang cukup berbobot dan berat ilmu. Oh ya tentu saja, orang itu punya perasaan dan pikiran khusus tentang kita, jawabannya. Entah itu benci, suka, kagum, berharap, ingin berteman lebih dekat, entah apa pun itu. Aku mengira dia entah kagum atau disusupi rasa suka terhadapku. Karena baginya aku sosok yang seakan hanya ada di anime atau film, di tengah-tengah manusia-manusia yang level kemenarikannya di bawah itu (baginya semua orang menarik).

Di sisiku, ketika dia bersikukuh ingin bicara secara pribadi dengan semua orang yang baru masuk ke organisasi (yang padahal dia bukan panitia apapun yang punya hak bertanya secara pribadi dan formal pada mereka yang baru masuk), padahal aku menolak untuk ditelpon, menolak untuk bertemu dan ngobrol berdua tanpa ada orang lain. Kemudian dia merasa aku kegeeran karna kelihatannya dia mendekatiku padahal aku memang tidak mau ditelpon atau ngobrol berduaan dengan laki-laki. Ketika dia terus mencari cara agar bisa mengulik informasi dan kepribadianku, aku merasa tertantang untuk memperlihatkan diriku di hadapannya. Pada akhirnya setelah dia menyuruh teman seorganisasinya yang perempuan untuk ngobrol denganku, dia mencari kesempatan bertanya-tanya langsung ketika aku sedang berkumpul dengan teman perempuanku yang lain (yang juga teman satu organisasi kami). Di situ, aku membuka diriku, dan semakin membuka pikiranku di hadapannya semakin hari. Ketika dia merencanakan acara tertentu, aku komentari secara pribadi lewat chat. Aku sarankan dia sesuatu, dan semua hal yang menurutku ada di pikiranku tentang organisasi dan rencana dia, aku ungkapkan saja sejujur-jujurnya. Itulah mengapa dia menganggapku terlalu keras dan berprinsip sehingga susah sekali digoyahkan dengan kemampuan negosiasi dan cita-citanya meleburkan semua jenis orang ke dalam satu organisasi. Levi ini terlalu sulit dimasukkan ke dalam tim, tapi dia punya pikiran yang bagus. Alhasil dia mencoba menjadi pawang Levi di depan teman-temannya yang lain. Tapi hebatnya, selain punya kemampuan mata-mata dan negosiasi, kemampuan pengamatannya di atas rata-rata orang, sehingga dia menghargai perbedaan pemikiranku dan memberikanku ucapan selamat tinggal jika aku memang ingin pergi dari organisasi karna perbedaan prinsip. Aku ingin angkat topi dengan keberanian, idealisme, dan kekuatan pendapatnya (meskipun aku tidak selalu setuju dengan isinya).

Dia terlalu ceria dan optimis di tengah-tengah kawan-kawan yang lain. Orang paling naif yang pernah aku temukan, tapi tidak bodoh, dia cerdas, aku tahu dia cerdas, dan misterius. Dia sangat kaya dengan ide dan kreasi, dia penuh rasa ingin tahu dan menganggap dunia dan manusia adalah taman bermain yang sangat menyenangkan. Dia seperti aku yang sangat optimis, dengan pendekatan yang berbeda. Karna itulah aku merasa tujuanku dan dia sama persis, tapi dengan cara yang benar-benar berbeda. Cara berpikirnya sangat di luar jalur pikiran yang biasa. Secara mudah, orang akan menganggap dia naif atau bodoh (apalagi jika dia mengambil alih sesuatu yang sedang dikerjakan secara konvensional oleh orang lain), tapi sebenarnya dia hanya punya jalur berpikir yang sangat tidak biasa yang jika semuanya berjalan lancar, secara ajaib semuanya bisa dia buktikan. Dia semenarik itu.

Karena aku adalah orang yang sangat suka mengamati cara berpikir orang lain, cara berpikir dia yang aneh dan tidak biasa sangat membuatku penasaran, di samping kesamaan tujuan kami. Aku bisa membacanya sejak bicara dengannya lewat chat. Meskipun di beberapa hal, kami merasa satu sama lain membosankan, ada hal-hal yang sangat menyenangkan untuk dibicarakan bersama. Sayangnya, karena kami sama-sama punya cara berpikir kuat masing-masing, kami sama-sama tidak suka dikalahkan dalam perdebatan. Perbedaan cara berpikir yang tadinya menarik bagi satu sama lain bisa menjadi boomerang yang menghancurkan ritme hidup kami. Kami sama-sama tidak mau diganggu cara hidup kami, atau cara berpikir kami. Karena itu melebur hampir tidak mungkin terjadi bagi kami. Yang tersisa hanya menoleransi perbedaan dan menikmati kelebihan masing-masing untuk melengkapi kekurangan masing-masing.

Dia membayangkan bisa menikah denganku, dengan orang seperti aku. Begitu pun aku. Aku membayangkan kehidupan menjadi sangat penuh warna jika aku menikah dengan orang seperti dia. Meskipun kami berdua harus menghargai kemandirian masing-masing dan tidak ikut campur dalam hal yang sangat pribadi dalam kehidupan satu sama lain. Kehidupan dengannya sangat berbeda dengan kehidupanku yang sebelumnya. Aku merasa keberadaannya jadi seperti kebutuhan. Meskipun hanya sekedar duduk di ruangan yang sama. Aku merasa bicara dengannya bisa jadi sangat memuaskan, bisa jadi pula melelahkan. Tentu saja melelahkan, cara berpikir kami berbeda dan berusaha memahami perbedaan itu untuk disatukan atau bahkan untuk sekedar ditoleransi, sangat melelahkan. Aku mengakui kemampuannya untuk menoleransiku di atas kemampuanku menoleransinya. Aku hanya lebih pandai berdebat dibanding dia sehingga seakan pendapatku lebih layak diaplikasikan dibandingkan pendapatnya.

Setelah hidup lama dengannya, sedikit sedikit aku semakin sadar bahwa dia lebih unggul secara komunikasi dan kompromi dengan orang lain (tidak selalu, aku tahu). Justru momen dia semakin tidak bisa berkompromi dan berani berkomentar adalah setelah dia menyalin karakterku ke dalam kepribadiannya. Katanya dia ingin bisa berkomentar seperti aku, dia ingin ini dan itu seperti aku, seakan dia mengalah dengan kemampuan berdebatku yang padahal belum tentu menunjukkan kebenaran isi pendapatku. Kami terus mencari peleburan yang pas satu sama lain, bergumul dengan perdebatan pribadi tentang sifat sifat apa yang perlu dipertahankan dan perlu dibuang. Yang pasti, kami punya tujuan yang sama.

Tantanganku sekarang adalah, bagaimana aku menikmati kebersamaan kami, memaksimalkan peranku sebagai istrinya yang seharusnya mengikuti kemana pun dia pergi, tapi tetap mengizinkan pikiranku bermain sendiri di wilayah pribadi.

---

Alif, aku suka sekali dengan kamu. Aku hanya lebih egois dan sulit mengekspresikan perasaan dibandingkan kamu, sehingga membelokkan isi dari apa yang sebenarnya ingin kusampaikan. Kamu membuatku lebih jujur dengan perasaanku sendiri, dan kamu layak mendapatkan aku yang semakin baik setiap harinya. Karna itu izinkan aku menjadi satu-satunya rumah yang akan kamu datangi ketika kamu lelah, dan tempat wisata yang kamu rindukan untuk kamu habiskan waktu bersenang-senang di dalamnya.

Sebesar apa pun usahaku mengekspresikan perasaan dan pikiranku tentang kamu, Tuhanlah yang paling tahu sebesar dan sedalam apa perasaanku untuk kamu. Karna itu, semoga Tuhan menyampaikannya dengan caraNya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar