Kita
sering tertarik secara spontan dengan seseorang yang baru saja kita temui. Ketertarikan
itu bisa jadi sangat berlebihan sehingga akhirnya menjadi cinta pada pandangan pertama,
atau sekedar ketertarikan saat itu saja yang tidak terlalu menyita perhatian
yang berlebihan dari kita.
Begitu
pula kami saat pertama kali bertemu. Aku bisa merasakan ketertarikan dari
matanya dan jika dia lebih peka sedikit, ketertarikanku pada orang lain sangat
mudah dibaca. Tapi pada saat itu ketertarikan kami adalah ketertarikan
sepintas, bukan cinta pada pandangan pertama yang menggebu dan menuntut dipenuhi.
Padahal saat itu, aku dan dia bukan satu-satunya lawan jenis yang menarik bagi
satu sama lain, karena itulah ketertarikannya tidak memaksa untuk memenuhi pemuasan.
Hanya pada pertemuan dan interaksi kesekian kali, ketertarikan kami semakin
kuat, seakan menuntut untuk dipuaskan, dengan sekedar bertemu atau melihat
sosoknya, atau mencarinya di dunia maya.
Di sisi
dia, ketika aku menceritakan tentang diriku sendiri di tangga samping Masjid Agung
Al-Azhar, adalah momentum terkuat ketertarikannya padaku semakin besar. Bahwa aku
pernah kuliah di UI, kampus impiannya dulu, dan bahwa sosokku berbeda dari
perempuan-perempuan yang pernah dia kenal, dan pula usiaku terlalu jauh dari
perkiraannya (yang ia kira aku lebih muda darinya). Kontras dengan perempuan
idamannya yang pemalu, penurut, kalem, baik hati, lembut, seakan perlu
dilindungi dan dituntun, aku terlihat mandiri, pemberani, kuat, tegas, dan
tidak bisa diganggu gugat. Bahwa katanya aku punya sekian jurus memenangkan perdebatan,
karena itu dia pernah mewanti kawan-kawan seorganisasi kami untuk menjaga jarak
denganku saking khawatirnya kedamaian dalam organisasi terganggu dengan
keberadaanku yang “membunuh” ketenangan tim. Bahwa dia kagum dengan sosok Kilua
yang membayangi karakterku, apalagi katanya wajahku cantik dan penampilanku
menarik.
Dia
yang punya kemampuan mata-mata lumayan lihai, mencoba memata-matai keberadaanku
di kampus. Dimana kiranya aku suka istirahat saat tidak ada kelas dan sedang
apa aku saat itu. Aku cukup peka dan punya rasa penasaran yang tinggi. Aku bisa
membedakan pandangan mata orang yang biasa saja, penasaran, atau punya pikiran
kompleks tentangku. Pandangannya menunggu untuk bertemu dan berinteraksi dengan
keraguan interaksi macam apa yang harus terjadi. Meski aku bukan cenayang,
secara intuisi aku bisa merasakan bahasa tubuh orang lain yang tidak biasa,
hingga akhirnya aku mencaritau dengan simplisitas rasional akal. Mencari di
google dengan kata kunci “mengapa seseorang melihat kita lebih lama dari
biasanya”, dan berhenti di artikel-artikel psikologi berbahasa inggris yang
cukup berbobot dan berat ilmu. Oh ya tentu saja, orang itu punya perasaan dan
pikiran khusus tentang kita, jawabannya. Entah itu benci, suka, kagum, berharap,
ingin berteman lebih dekat, entah apa pun itu. Aku mengira dia entah kagum atau
disusupi rasa suka terhadapku. Karena baginya aku sosok yang seakan hanya ada
di anime atau film, di tengah-tengah manusia-manusia yang level kemenarikannya
di bawah itu (baginya semua orang menarik).
Di sisiku,
ketika dia bersikukuh ingin bicara secara pribadi dengan semua orang yang baru
masuk ke organisasi (yang padahal dia bukan panitia apapun yang punya hak
bertanya secara pribadi dan formal pada mereka yang baru masuk), padahal aku
menolak untuk ditelpon, menolak untuk bertemu dan ngobrol berdua tanpa ada
orang lain. Kemudian dia merasa aku kegeeran karna kelihatannya dia mendekatiku
padahal aku memang tidak mau ditelpon atau ngobrol berduaan dengan laki-laki. Ketika
dia terus mencari cara agar bisa mengulik informasi dan kepribadianku, aku
merasa tertantang untuk memperlihatkan diriku di hadapannya. Pada akhirnya setelah
dia menyuruh teman seorganisasinya yang perempuan untuk ngobrol denganku, dia
mencari kesempatan bertanya-tanya langsung ketika aku sedang berkumpul dengan
teman perempuanku yang lain (yang juga teman satu organisasi kami). Di situ,
aku membuka diriku, dan semakin membuka pikiranku di hadapannya semakin hari. Ketika
dia merencanakan acara tertentu, aku komentari secara pribadi lewat chat. Aku sarankan
dia sesuatu, dan semua hal yang menurutku ada di pikiranku tentang organisasi
dan rencana dia, aku ungkapkan saja sejujur-jujurnya. Itulah mengapa dia
menganggapku terlalu keras dan berprinsip sehingga susah sekali digoyahkan
dengan kemampuan negosiasi dan cita-citanya meleburkan semua jenis orang ke
dalam satu organisasi. Levi ini terlalu sulit dimasukkan ke dalam tim, tapi dia
punya pikiran yang bagus. Alhasil dia mencoba menjadi pawang Levi di depan
teman-temannya yang lain. Tapi hebatnya, selain punya kemampuan mata-mata dan
negosiasi, kemampuan pengamatannya di atas rata-rata orang, sehingga dia
menghargai perbedaan pemikiranku dan memberikanku ucapan selamat tinggal jika
aku memang ingin pergi dari organisasi karna perbedaan prinsip. Aku ingin
angkat topi dengan keberanian, idealisme, dan kekuatan pendapatnya (meskipun
aku tidak selalu setuju dengan isinya).
Dia terlalu
ceria dan optimis di tengah-tengah kawan-kawan yang lain. Orang paling naif
yang pernah aku temukan, tapi tidak bodoh, dia cerdas, aku tahu dia cerdas, dan
misterius. Dia sangat kaya dengan ide dan kreasi, dia penuh rasa ingin tahu dan
menganggap dunia dan manusia adalah taman bermain yang sangat menyenangkan. Dia
seperti aku yang sangat optimis, dengan pendekatan yang berbeda. Karna itulah
aku merasa tujuanku dan dia sama persis, tapi dengan cara yang benar-benar
berbeda. Cara berpikirnya sangat di luar jalur pikiran yang biasa. Secara mudah,
orang akan menganggap dia naif atau bodoh (apalagi jika dia mengambil alih
sesuatu yang sedang dikerjakan secara konvensional oleh orang lain), tapi
sebenarnya dia hanya punya jalur berpikir yang sangat tidak biasa yang jika
semuanya berjalan lancar, secara ajaib semuanya bisa dia buktikan. Dia semenarik
itu.
Karena
aku adalah orang yang sangat suka mengamati cara berpikir orang lain, cara
berpikir dia yang aneh dan tidak biasa sangat membuatku penasaran, di samping kesamaan
tujuan kami. Aku bisa membacanya sejak bicara dengannya lewat chat. Meskipun di
beberapa hal, kami merasa satu sama lain membosankan, ada hal-hal yang sangat
menyenangkan untuk dibicarakan bersama. Sayangnya, karena kami sama-sama punya
cara berpikir kuat masing-masing, kami sama-sama tidak suka dikalahkan dalam
perdebatan. Perbedaan cara berpikir yang tadinya menarik bagi satu sama lain
bisa menjadi boomerang yang menghancurkan ritme hidup kami. Kami sama-sama
tidak mau diganggu cara hidup kami, atau cara berpikir kami. Karena itu melebur
hampir tidak mungkin terjadi bagi kami. Yang tersisa hanya menoleransi
perbedaan dan menikmati kelebihan masing-masing untuk melengkapi kekurangan
masing-masing.
Dia membayangkan
bisa menikah denganku, dengan orang seperti aku. Begitu pun aku. Aku membayangkan
kehidupan menjadi sangat penuh warna jika aku menikah dengan orang seperti dia.
Meskipun kami berdua harus menghargai kemandirian masing-masing dan tidak ikut campur
dalam hal yang sangat pribadi dalam kehidupan satu sama lain. Kehidupan dengannya
sangat berbeda dengan kehidupanku yang sebelumnya. Aku merasa keberadaannya
jadi seperti kebutuhan. Meskipun hanya sekedar duduk di ruangan yang sama. Aku merasa
bicara dengannya bisa jadi sangat memuaskan, bisa jadi pula melelahkan. Tentu saja
melelahkan, cara berpikir kami berbeda dan berusaha memahami perbedaan itu
untuk disatukan atau bahkan untuk sekedar ditoleransi, sangat melelahkan. Aku mengakui
kemampuannya untuk menoleransiku di atas kemampuanku menoleransinya. Aku hanya
lebih pandai berdebat dibanding dia sehingga seakan pendapatku lebih layak
diaplikasikan dibandingkan pendapatnya.
Setelah
hidup lama dengannya, sedikit sedikit aku semakin sadar bahwa dia lebih unggul
secara komunikasi dan kompromi dengan orang lain (tidak selalu, aku tahu). Justru
momen dia semakin tidak bisa berkompromi dan berani berkomentar adalah setelah
dia menyalin karakterku ke dalam kepribadiannya. Katanya dia ingin bisa
berkomentar seperti aku, dia ingin ini dan itu seperti aku, seakan dia mengalah
dengan kemampuan berdebatku yang padahal belum tentu menunjukkan kebenaran isi
pendapatku. Kami terus mencari peleburan yang pas satu sama lain, bergumul
dengan perdebatan pribadi tentang sifat sifat apa yang perlu dipertahankan dan
perlu dibuang. Yang pasti, kami punya tujuan yang sama.
Tantanganku
sekarang adalah, bagaimana aku menikmati kebersamaan kami, memaksimalkan
peranku sebagai istrinya yang seharusnya mengikuti kemana pun dia pergi, tapi
tetap mengizinkan pikiranku bermain sendiri di wilayah pribadi.
---
Alif,
aku suka sekali dengan kamu. Aku hanya lebih egois dan sulit mengekspresikan
perasaan dibandingkan kamu, sehingga membelokkan isi dari apa yang sebenarnya
ingin kusampaikan. Kamu membuatku lebih jujur dengan perasaanku sendiri, dan
kamu layak mendapatkan aku yang semakin baik setiap harinya. Karna itu izinkan
aku menjadi satu-satunya rumah yang akan kamu datangi ketika kamu lelah, dan
tempat wisata yang kamu rindukan untuk kamu habiskan waktu bersenang-senang di
dalamnya.
Sebesar
apa pun usahaku mengekspresikan perasaan dan pikiranku tentang kamu, Tuhanlah
yang paling tahu sebesar dan sedalam apa perasaanku untuk kamu. Karna itu,
semoga Tuhan menyampaikannya dengan caraNya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar