Aku pernah
melewati masa kesyukuran yang luar biasa, di dua titik kehidupan yang sangat
kusadari. Tidak seperti ketika baru lahir, rasa syukur yang muncul begitu jelas
seakan aku bisa melakukan apapun untuk membayar apa yang Tuhan berikan padaku
saat itu. Masa itu adalah ketika aku menikah dengan Alif, dan ketika aku selesai
melahirkan Mari. Pada saat itu rasanya aku rela apa yang ada padaku diambil
demi apa yang Tuhan berikan padaku lewat Alif dan Mari.
Tentu
saja aku melewati rasa gelisah yang parah di perjalanannya. Di perjalanan
pernikahan bersama Alif, dalam berusaha melebur dengan kepribadiannya, berusaha
membangun pernikahan yang ideal bagi masing-masing satu sama lain, terasa
meremukkan tulang dan membakar kulit. Seakan jika semuanya hancur dan berakhir,
maka aku tidak punya apa-apa lagi dan lebih baik aku mati. Seakan dia adalah
satu-satunya yang aku punya di dunia ini, dan tanpanya aku kehilangan tujuan.
Tuhan berusaha mengajariku bahwa tidak seperti itu caranya mencintai. Benar bahwa
aku begitu mencintai Alif, sehingga mungkin aku kebingungan bagaimana
mengekspresikan perasaanku kepadanya. Karena itu aku menyakiti dia dan diriku
sendiri, padahal aku mencintainya. Mungkin pula aku terlalu tenggelam dalam
perasaan cinta yang dalam, sehingga aku melupakan banyak hal. Tuhan menegurku dengan
banyak cara, dan mengizinkanku menyadari kesalahanku.
Aku masih
perlu banyak belajar mencintai dengan benar, yang dengan senang hati ingin
kupelajari. Saat ini aku sadar bahwa yang paling harus dan ingin kuberikan
kesan adalah Dia yang memberikanku nikmat selama ini. Di atas segala omong
kosong kadaluarsa yang pernah kukoarkan tentang kesetiaanku pada Tuhan yang
masih naif saat itu, aku ingin membetulkan lemari penyimpanan informasi dan
pelajaran yang ada di kepalaku. Membersihkan sistemnya dari virus yang
melemahkan dan menggerogoti. Aku ingin kembali pada diriku yang dulu dengan
lebih bijak dan dewasa. Aku ingin lebih diam dari aku yang dulu. Aku ingin
berhenti bicara sebelum kata-kataku kupertimbangkan dengan benar dan tidak
ingin lagi menyakiti orang lain (dan diriku sendiri). Meskipun aku sadar bahwa
aku masih belum menguasai semua kebijaksanaan dan keterampilan untuk tidak
menyinggung dan menyakiti orang lain, setidaknya aku semakin berkembang dari
aku yang dulu.
Aku
ingin semakin sadar, semakin berisik di dalam pikiran (dengan suara-suara
pertimbangan, bukan melebih-lebihkan kenyataan di sisi negatif), semakin sunyi
di mulut, dan semakin aktif mengukir pikiran dan perasaan lewat tulisan dengan
lebih bijak dari sebelumnya. Mungkin, aku telah menemukan apa yang harus
kulakukan di dunia ini. Peran apa yang akhirnya kuambil dan bagaimana aku harus
mengambilnya. Kebimbangan yang dulu pernah memenuhi pikiran diangkat satu
persatu sehingga aku semakin yakin. Semua pemicunya adalah keberadaan Alif dan
Mari. Mereka berdua adalah unsur paling penting di kehidupanku saat ini (dan
juga mamahku). Karena itu aku akan melakukan apa pun yang perlu dan baik untuk
mempertahankan apa yang perlu kupertahankan.
Jika
ada orang yang mengatakan bahwa aku menghabiskan waktu dengan orang yang salah
atau mengajakku menyesali apa yang kutinggalkan demi kehidupanku yang sekarang (kehidupan
yang katanya lebih di bawah kehidupanku yang sebelumnya), aku bisa dengan yakin
menjawab bahwa apa yang pernah kulewati sebelumnya mengubahku menjadi lebih
bijak, bahwa apa yang kujalani sekarang sesungguhnya lebih berarti dan bermakna,
dan bahwa aku semakin jauh dari kebimbangan. Jika ada orang yang mengatakan
bahwa aku bicara omong kosong, bahwa aku hanya sedang di fase manik, aku sadar
bahwa ketika aku sedih dan putus asa, pikiran jelekku kembali datang. Bedanya dari
yang dulu adalah ketika fase depresi datang, aku semakin tangguh untuk memanjat
sendiri keluar dari lubangnya, tanpa berteriak meminta tolong lagi dari
orang-orang di sekitar. Aku bahagia sekali dengan perubahanku yang sekarang,
dengan kemampuanku yang kudapati karna bertahun-tahun mengendap di fase depresi
yang panjang tanpa diketahui orang lain. Aku bahagia dengan kemandirian psikis
yang aku dapat dari pergulatanku yang panjang dengan diriku sendiri. Jadi, jika
ada yang ingin mengajakku menyesali semua yang terjadi (termasuk diriku
sendiri), akan kutendang mereka semua dengan lebih santun dari sebelumnya.
Tidak,
Levi tidak menjadi orang lain, Levi berkembang, Levi mendewasa dan membijak. Dia
menjadi versi lebih canggih dari versi yang sebelumnya masih naif. Belum lebih canggih
dari versinya di masa depan, tentu saja, tapi setidaknya dia terus berkembang,
seperti teknologi yang ada sekarang, semakin berkembang setiap menitnya. Manusia
(atau jika kita membandingkannya dengan teknologi) dengan segala karakternya
tidak seharusnya berhenti di satu titik perubahan. Seakan-akan ada titik akhir
mutlak yang memberhentikan kita dari perjalanan mendewasa. Selama kesadaran
masih bertahan, tidak ada titik akhir dalam mendewasa. Kita tidak berubah
menjadi orang lain, kita mengupdate sistem lama diri kita menjadi lebih
canggih.
Karena
itu kubiarkan diriku berusaha sesuai kemampuanku saat ini untuk terus menyerap
unsur perubahan ke arah yang benar, untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi
dan di dalam diri sendiri, untuk semakin takjub dengan Tuhan dan apa yang diciptakanNya,
untuk memberikan sesuatu yang baik dan manfaat yang bisa kuberikan pada dunia. Berubahlah,
menangislah sebentar, bangkitlah semakin cepat, bergeraklah semakin stabil dan
seimbang. Semoga saja pada akhirnya kita sampai pada kelegaan luar biasa, di
tempat peristirahatan kita di surga abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar