Di sebuah kelas, ketika dosen menyuruh mahasiswanya untuk
memperkenalkan diri di depan kelas sambil melengkapi dengan kutipan pribadi,
seseorang menarik perhatianku. “don’t trust people”, dia bilang. This man is
crazy, aku pikir. Kesannya bagiku adalah dia bukan orang yang akan mengutip
kata-kata semacam itu. Aku bukan orang yang pandai membaca orang lain, dan dia
bukan orang yang bisa kubaca. Tidak, akulah yang tidak benar-benar bisa membaca
orang lain. Segala sesuatu tidak bisa dipastikan dengan jelas, apalagi manusia.
Makhluk yang menyusahkan.
Tentang kutipan itu, akhirnya akhir-akhir ini akulah yang
terikat dengan kutipan itu. Apakah aku serius? Mungkin. Aku benar-benar gila. Alasannya
adalah aku seperti membiarkan dirku terpecah menjadi banyak sisi. Itu normal,
sekilas. Tapi itu amat melelahkan. Di satu sisi aku ingin jadi orang baik. Oh,
ya, aku bukan orang yang bisa disebut baik. Ngomong-ngomong bagaimana caranya
menjadi orang baik? Apa tujuanku? Aku lelah, mungkin. Aku pikir menjadi orang
baik akan mendamaikan dan menyelamatkan. Harusnya memang begitu. Tapi, oh sial,
aku adalah pembenci. Mungkin, aku akhirnya kalah pada pilihanku.
Setiap sesuatu punya indikator, dan kata “percaya” di kutipan
itu bagiku seperti menjadikan orang lain sebagai tempat bersandar? Oh, mungkin
itu maksudku. Ketika badanku sakit semua, meminta mereka untuk membuatnya baik
kembali, memintanya menemaniku ketika lelah, atau sekedar mengabarkan
kebahagiaan personal. Itu bukan seperti memberitau informasi personal tentang
diri kita, aku rasa. Kenapa aku akhirnya berhenti menjadikan orang lain sebagai
kepercayaan? Kekecewaan karna ketidaksempurnaan? Manusia itu miskin, ilmu dan
harta. Bayangan ideal yang terbangun di pikiranku tentang bagaimana semestinya
segala sesuatu berjalan dirusak oleh kenyataan bahwa tidak ada satu biji pun
manusia yang tepat berperan di dunia utopis itu. Mungkin aku memang sinting
karna berpikir bahwa aku mampu jadi pemeran utama di dunia ideal itu. Sudah kuduga
aku sinting.
Ketika bicarakan dampak, aku mungkin akan melemparkan diri ke
dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya, untuk memastikan bahwa aku
independen, aku punya kendali atas diriku sendiri. Lagipula siapa yang peduli. Apakah
aku serius? Entahlah.
Coba pikir kenapa kira-kira manusia cenderung ingin percaya
pada orang lain? Oh kenapa. Manusia benar-benar menyusahkan. Dan aku mulai
berpikir betapa menyayangi orang lain akan melemahkanmu sampai selemah
lemahnya. Makanya, jadikan Tuhan satu-satunya.
Seorang yang idealis punya gambaran sempurna dunia di
kepalanya. Tapi kesadarannya tentang ketidaksempurnaan manusia memberinya
potensi sinis akan ketidakmampuan dunia idealis di kepalanya bisa terwujud jika
pemeran-pemerannya amatiran semua. Benar, dunia yang damai itu tak akan
terwujud kecuali Tuhan memberi suatu mukjizat kepada manusia. Dan juga tak akan
ada manusia yang benar-benar mampu memberikanku kepuasan atas hampir apa pun.
Mungkin aku benar-benar bukan orang baik, dan bukan orang
yang bisa membaca orang lain. Atau jika bukan, berarti aku adalah orang yang
cerdas. Karena aku mampu membaca bahwa manusia melakukan sesuatu hanya untuk
saling memanfaatkan sambil meng ilusi kan dunia dimana ada istilah “tulus” di
dalamnya.
Akan kukurung perasaan di ruang bawah tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar