Kamis, 15 Januari 2015

Kita Tak Perlu Tau


Terkadang kita tak perlu melihat dan mengetahui sesuatu, demi melindungi perasaan kita. Hari ini aku sampai pada puncak kesadaran tentang itu. Tak semua kebenaran mesti kita ketahui. Bahkan mungkin Ia sengaja tak membiarkan kita mengetahui yang hakiki, karena kita tak akan siap mengetahuinya. Ya, hari ini aku semakin menyadari bahwa meskipun aku mulai membuka ruang untuk banyak makna, tak akan begitu saja kubiarkan aku melangkah tak tentu arah. Benar saja, aku belum begitu saja siap. Aku hanya merasa, “begitu ya….”, lalu keheningan menyergap.

Dan ruang untuk penyesalan kemudian terbuka, untuk membuatku mempelajari bahwa tidak semua hal perlu untuk diketahui. Manusia bukan hanya memiliki pikiran, ia juga punya perasaan. Lalu kisah selanjutnya mari kita beri judul “Pelarian Diri” tanpa melabelkan nilai padanya. Mungkin salah satu cara yang paling mutakhir untuk ditempuh demi memulai perjalanan tanpa pengaruh masa lalu (ya, bagi pecundang yang belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu) adalah hidup maju ke depan dan menjauh ke samping.

Ah, hampir 5 tahun yang lalu, aku berpikir berhari-hari di sebuah masjid, di tengah pemberontakan, untuk menjadi seorang pengembara. Ya, pengembara sesungguhnya. Melakukan perjalanan dari kota ke kota lain, menyusuri dunia tanpa benar-benar menetap di satu tempat. Perasaanku benar-benar menyeriusinya, tapi pikiranku menambahkan pertimbangan tentang kekeluargaan yang selanjutnya kusadari begitu dekat dengan kata “surga” di dunia.

Namun aku tak akan pernah tau sampai aku mencobanya, seberapa jauh aku bisa melarikan diri dari segala pengetahuan yang tak seharusnya terbuka di depan mataku. Aku cukup nyaman dengan membiarkan mulutku terus berbicara tentang hal-hal menarik dan lucu, membuat orang tertawa dan melupakan hal-hal yang berat. Ya, bukan demi orang lain, tapi demi diri sendiri.

Lalu kemudian hampir 4 tahun yang lalu, setahun sesudah kejadian di mesjid, seorang kawan memperkenalkan sesuatu padaku. Sebuah judul anime tentang orang yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sekitar 2 tahun sesudahnya, aku berhasil mendapatkan film itu dan menontonnya. Tokohnya perempuan, masih kecil, yang belajar memegang senjata, mengendarai motor, yang melakukan perjalanan karna melarikan diri dari hukum desanya yang ingin merenggut nyawanya disebabkan peraturan yang dibuat hanya demi memperbudak manusia di desa itu. Membuat peraturan bagi dirinya untuk menginap hanya selama 3 hari di setiap kota yang dikunjunginya. Dan setiap kota yang dikunjunginya mempunyai peraturan dan kebiasaan masing-masing, yang membawa gadis itu mempelajari banyak hal lewat pertemuannya dengan banyak orang.

Dia pernah mengatakan, “dalam perjalanan kita tak boleh menjalin hubungan terlalu jauh dengan setiap orang yang ditemui.” Motornya, satu-satunya teman bicaranya dalam perjalanan mengatakan, “lalu untuk apa kamu melakukan perjalanan? Apa yang paling penting di sana?”. Jawabnya kira-kira begini, “pelajaran yang kita ambil di setiap pertemuan itulah yang akan mengubah kita.”

Bagaimana pun terkadang kita tak perlu membiarkan diri kita mengetahui sesuatu. Atau, seperti sebuah poin yang kudapat di salah satu drama kelam Jepang, mengurung hati di dalam sangkar, dan tak membukanya untuk siapa pun. Dengan meninggalkan emosi di belakang, menutupinya dengan permainan kehidupan yang dibuat sendiri, seakan menjadi Tuhan bagi orang lain, perasaan tak akan terbawa oleh apa pun yang terjadi. Mengurung hati di dalam sangkar dan membuat permainan kehidupan, atau membiarkan diri terbang seperti burung dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui banyak hal yang kemudian akan ditinggalkan begitu cepat untuk menuju pengalaman dan pengetahuan lain,..

Atau, lebih baik terkadang kita tak perlu tau tentang sesuatu. Dan membiarkan diri kita berimajinasi semau kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar