Terkadang kita tak perlu melihat dan mengetahui sesuatu, demi
melindungi perasaan kita. Hari ini aku sampai pada puncak kesadaran tentang
itu. Tak semua kebenaran mesti kita ketahui. Bahkan mungkin Ia sengaja tak
membiarkan kita mengetahui yang hakiki, karena kita tak akan siap
mengetahuinya. Ya, hari ini aku semakin menyadari bahwa meskipun aku mulai
membuka ruang untuk banyak makna, tak akan begitu saja kubiarkan aku melangkah
tak tentu arah. Benar saja, aku belum begitu saja siap. Aku hanya merasa, “begitu
ya….”, lalu keheningan menyergap.
Dan ruang untuk penyesalan kemudian terbuka, untuk membuatku
mempelajari bahwa tidak semua hal perlu untuk diketahui. Manusia bukan hanya
memiliki pikiran, ia juga punya perasaan. Lalu kisah selanjutnya mari kita beri
judul “Pelarian Diri” tanpa melabelkan nilai padanya. Mungkin salah satu cara
yang paling mutakhir untuk ditempuh demi memulai perjalanan tanpa pengaruh masa
lalu (ya, bagi pecundang yang belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu)
adalah hidup maju ke depan dan menjauh ke samping.
Ah, hampir 5 tahun yang lalu, aku berpikir berhari-hari di
sebuah masjid, di tengah pemberontakan, untuk menjadi seorang pengembara. Ya,
pengembara sesungguhnya. Melakukan perjalanan dari kota ke kota lain, menyusuri
dunia tanpa benar-benar menetap di satu tempat. Perasaanku benar-benar
menyeriusinya, tapi pikiranku menambahkan pertimbangan tentang kekeluargaan
yang selanjutnya kusadari begitu dekat dengan kata “surga” di dunia.
Namun aku tak akan pernah tau sampai aku mencobanya, seberapa
jauh aku bisa melarikan diri dari segala pengetahuan yang tak seharusnya
terbuka di depan mataku. Aku cukup nyaman dengan membiarkan mulutku terus
berbicara tentang hal-hal menarik dan lucu, membuat orang tertawa dan melupakan
hal-hal yang berat. Ya, bukan demi orang lain, tapi demi diri sendiri.
Lalu kemudian hampir 4 tahun yang lalu, setahun sesudah
kejadian di mesjid, seorang kawan memperkenalkan sesuatu padaku. Sebuah judul
anime tentang orang yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sekitar 2
tahun sesudahnya, aku berhasil mendapatkan film itu dan menontonnya. Tokohnya perempuan,
masih kecil, yang belajar memegang senjata, mengendarai motor, yang melakukan
perjalanan karna melarikan diri dari hukum desanya yang ingin merenggut
nyawanya disebabkan peraturan yang dibuat hanya demi memperbudak manusia di
desa itu. Membuat peraturan bagi dirinya untuk menginap hanya selama 3 hari di
setiap kota yang dikunjunginya. Dan setiap kota yang dikunjunginya mempunyai
peraturan dan kebiasaan masing-masing, yang membawa gadis itu mempelajari
banyak hal lewat pertemuannya dengan banyak orang.
Dia pernah mengatakan, “dalam perjalanan kita tak boleh
menjalin hubungan terlalu jauh dengan setiap orang yang ditemui.” Motornya,
satu-satunya teman bicaranya dalam perjalanan mengatakan, “lalu untuk apa kamu
melakukan perjalanan? Apa yang paling penting di sana?”. Jawabnya kira-kira
begini, “pelajaran yang kita ambil di setiap pertemuan itulah yang akan
mengubah kita.”
Bagaimana pun terkadang kita tak perlu membiarkan diri kita
mengetahui sesuatu. Atau, seperti sebuah poin yang kudapat di salah satu drama
kelam Jepang, mengurung hati di dalam sangkar, dan tak membukanya untuk siapa
pun. Dengan meninggalkan emosi di belakang, menutupinya dengan permainan
kehidupan yang dibuat sendiri, seakan menjadi Tuhan bagi orang lain, perasaan
tak akan terbawa oleh apa pun yang terjadi. Mengurung hati di dalam sangkar dan
membuat permainan kehidupan, atau membiarkan diri terbang seperti burung dengan
melakukan perjalanan untuk mengetahui banyak hal yang kemudian akan
ditinggalkan begitu cepat untuk menuju pengalaman dan pengetahuan lain,..
Atau, lebih baik terkadang kita tak perlu tau tentang
sesuatu. Dan membiarkan diri kita berimajinasi semau kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar