Bagaimana sebaiknya menjadi perempuan?
Rasanya
sepanjang usiaku di bumi, aku cuma disibukkan dengan pikiran “bagaimana
seharusnya aku hidup”. Pertanyaan yang tidak pernah selesai. Yang seiring
usiaku akhirnya aku sadar bahwa persoalan itu pun merupakan bahasan filsafat
etika yang tidak pernah benar-benar sampai pada kesimpulan.
Kalau
dulu aku hanya sibuk bertanya bagaimana seharusnya aku hidup, sekarang, karna
aku sudah menjadi istri dari seseorang, kebingunganku berkutat pada bagaimana
seharusnya aku menjadi seorang perempuan.
Aku tiba
di dua persimpangan, yang satu adalah mempertahankan ego dan jati diriku tidak
diusik orang lain, yang kedua adalah mati-matian mempertahankan pernikahan
sambil terus meleburkan elemen kuat di dalam diriku demi seorang laki-laki. Aku
memilih yang kedua. Karna pahalanya jelas lebih besar, katanya begitu. Perempuan
cerdas adalah perempuan yang berusaha mati-matian mempertahankan pernikahan
selama pernikahan itu tidak membawa kepada kekufuran kepada Tuhan. Oh tentu
saja aku ingin menjadi versi terbaik diriku, Tuhan. Aku ingin Tuhan melihatku
dan terkesan dengan yang kulakukan. Lagipula aku mendapatkan orang yang
benar-benar kucintai, belajar mencintai dengan berdarah-darah. Yang tadinya
kukira mencintai seseorang hanya persoalan bagaimana sabar dan kuatnya kita
menahan rindu, tapi lebih dari itu, bagaimana kuatnya kita menghadapi
kekurangannya yang bagaikan monster atau bahkan yang dapat menghancurkan
kepribadian kita.
Kemarin
aku bilang begini pada Tuhan, “Tuhan, apakah hatiku sudah sepekat itu atau
kepalaku sudah setolol itu, sampai sampai sekarang ini aku selalu kebingungan
menerka maksudMu.”
Apa yang
Dia inginkan? Apakah Dia ingin meruntuhkan jiwa pemberontak di dalam diriku
menjadi sepenuhnya pasrah? Pada apa? padaNyakah? Atau pada seorang lelakikah? Pada
cintakah? Aku kebingungan. Kebingungan yang lebih parah dari yang
sebelum-sebelumnya, kebingungan perihal apa yang harus kulakukan menghadapi apa
yang ada di depanku. Dia mengatakan padaku bahwa aku kebingungan, dan lalu
tanpa jelas apa yang kurasakan dan apa yang memantik sensitivitas dalam diriku,
aku tersinggung dan marah, membela diriku bahwa aku tau apa yang kulakukan,
bahwa aku tidak kebingungan. Jelas-jelas aku bingung. Aku ini kenapa, Tuhan? Apa
aku sudah tidak waras? Apakah saking tidak warasnya, aku menganggap orang lain
tidak waras?
Lalu
setiap kali monster itu muncul di hadapanku, melukai ego dan jati diriku, aku
membela diri dengan mengaku kebingungan. Hingga bahkan tidak ada yang mampu
kuucapkan selain kata bingung, tolol sekali. Aku bahkan jijik dengan
kemampuanku bertingkah setolol ini. Aku bahkan heran padanya yang masih bisa mencintai
orang setolol aku. Aku malu pada diriku sendiri.
Tapi
ketika aku sudah terlalu sibuk menjaga energiku tetap seimbang untuk melebur
menurunkan egoku demi seorang lelaki, entah kenapa aku merasa lelah sekali. Seakan-akan
aku berada di atas panggung teater yang tidak pernah selesai. Aku terpancing
menjadi diriku sendiri lagi. Aku rindu sekali menjadi aku. Toh, aku yang
kurindukan bukanlah aku yang jahat. Tidak apa-apa menjadi aku yang baik asalkan
tidak merugikan orang. Kenapa aku tidak bisa? Karna penyakit kronisnya yang tidak
pernah secara signifikan berubah, aku merasa berputar di tempat yang sama. Aku berpikir
aku harus menjadi lebih kuat, aku harus mampu mengimbangi, aku tidak ingin
menjadi setoksik orang-orang yang pernah melukaiku. Aku ingin mencintai dengan
menerima, melindungi, mengayomi, memaafkan. Apakah aku senaif itu? Apakah aku
meniadakan sifat adil dan tegas yang sebenarnya juga cara mencintai Tuhan
kepada makhlukNya? Aku bingung. Apakah sampai mati aku akan sebingung ini, Tuhan?
Aku ingin
sampai pada ketenangan yang dirasakan mereka yang sudah pasrah pada takdirMu
dan ridho pada semuanya. Di jalan mana aku bisa sampai pada ketenangan semacam
itu? Apakah aku tidak sepenuhnya membuka hatiku agar cahaya petunjuk datang? Atau
apakah dosaku sudah sebegitu pekat hingga cahaya pun semakin susah menembus?
Lalu,
sekarang, apakah hal pertama yang harus kulakukan adalah meninggalkan segala
macam dosa? Lalu setelah itu menunggu petunjuk dariMu untuk menjadi tenang, dan
setelah itu menjadi perempuan bak malaikat pun tinggal menunggu waktu?
Aku bingung
mendeskripsikan sebingung apa aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar