Senin, 08 Agustus 2016

KONTRADIKTIF



Apapun yang tidak ada pencapaian intektual atau di mataku tidak punya tujuan untuk dilakukan, tidak akan kulakukan.

Misalnya, menghapal al-Qur’an. Aku sempat punya ambisi menghapal al-Qur’an. Tapi di tengah jalan aku kehilangan napsu. Aku merasa “trus kenapa kalo udah hapal Qur’an? Di puji-puji orang? Dapat predikat hafidzah?” Tujuan menghapal al-Qur’anku ternyata ambisi supaya orang tidak meremehkanku. Kalaupun aku menghapal Qur’an diam-diam supaya dapat reward dari Tuhan di surga, aku tetap merasa “itu bukan tujuan yang benar!”, buatku. Menghapal al-Quran punya tujuan sosial, misalnya supaya al-Qur’an terjaga. Aku bukan orang rendah hati, karna itu aku berhenti.

Kedua, aku ingin memakai jubah hitam dan bercadar. Aku merasa terganggu jika terlalu sering dilihat orang. Makanya aku sering memasang muka menyeramkan dan akhirnya beberapa teman-teman yang tidak dekat bilang kalo aku “serem”. Oke, meskipun beberapa bilang aku cantik, imut, baby face, atau mirip NINO! Oh apakah ini tujuan yang benar? Menurutku iya. Alasan kenapa cadar dianjurkan bagi perempuan adalah supaya perempuan tidak direndahkan dengan dipandangi terus oleh laki-laki yang kerjaannya cuma nggodain cewek. Lagipula mayoritas perempuan punya sifat pemalu, jadi wajarlah kenapa mereka lebih nyaman pakai cadar. Pakai jubah juga membuat bentuk tubuh mereka tidak kelihatan. Warna hitam membuat kehadiran mereka lebih elegan sekaligus memberi kesan “jangan ganggu saya”. Oh, PERFECT sekali buatku.

Tapi lalu aku mempertimbangkan banyak hal. Aku punya segudang mimpi. Dan salah satunya cara meraihnya adalah aku harus membuka diri dan bersahabat dengan orang “asing”. Berarti aku tidak boleh bercadar dan berjubah hitam. Karna kesan yang aku inginkan dari pakaian itu adalah membatasi aku dengan “yang lain”. Lagipula orang yang menutup aurat dengan sempurna adalah tipe perempuan yang menjaga diri untuk pasangan masa depannya. Aku tidak menargetkan diriku untuk menikah, jadi aku tidak merasa perlu menutup diri dengan sempurna untuk “dia” itu. Aku ingin bekerja di wilayah laki-laki. Dan caranya bukan memberi batas keras apa laki-laki dan apa perempuan, tapi meleburkan batas itu. Maka aku berhenti berkeinginan untuk berjubah hitam dan bercadar.

Aku pernah ingin melepas jilbab. Wah! Tepuk tangan untuk keberanian berpikir seperti itu. Aku mendengar pendapat ahli ilmu agama tentang hukum jilbab yang bukan wajib. Aku berusaha sekali untuk mempelajarinya. Tapi kenapa rasanya aku ingin pendapatnya masuk akal? Sepertinya itu karna aku punya pikiran untuk melepas jilbab demi membuka diri dengan dunia dan demi melebur batas laki-laki dan perempuan, lagipula lebih praktis. Tapi aku mempertimbangkan lagi tentang identitas keagamaan. Kalaupun misalnya, Tuhan memang hanya “menganjurkan” perempuan untuk berjilbab, kesadaran identitas sebagai muslim yang mendorong perempuan muslim untuk berjilbab membuat agama islam punya “identitas” kuat. Aku ingin image itu. Aku ingin dunia luar yang asing melihat aku sebagai perempuan muslim. Maka aku harus berjilbab.

Bicara tentang berubah keinginan atau pikiran sering sekali aku lakukan. Aku sudah berubah dari pemberontak ekstrim, idealis ekstrim, apatis ekstrim, dan apapun namanya sekarang aku merasa lebih balance. Ada idealisme dan juga pragmatism duduk bersampingan. Itu menurutku bukan labil, itu adalah tipe orang yang dalam istilah bahasa jepangnya “atsui”, atau mungkin bisa diartikan bersemangat (?) dalam setiap hal yang dilakukan. Harus ada jiwa dan pemikiran mendalam atas semua yang aku pilih dan lakukan.

Tapi aku tau aku tidak boleh membuat orang yang dekat denganku sakit jantung mendengar pemikiran ekstrim atau tindakan ekstrim yang aku lakukan, aku harus cool. Yang pasti aku bukan tipe orang yang hormat dan menghargai petinggi atau pejabat yang tidak kompeten hanya karna kharismanya. Aku juga bukan orang yang patuh disuruh melakukan ini itu yang sudah pasti baik. Aku HARUS menemukan mengapa itu harus “aku” lakukan, seberapa efektif hasilnya, dan apakah itu menyumbang kepuasan buatku? Oh, 180 derajat berbeda dengan Nino. tapi aku menyerah untuk menjadi 100 persen sama dengan dia.

Aku banyak belajar tentang betapa kata-kata tidak banyak berkesan, dan merasa stuck dengan keinginanku merubah dunia dengan kata-kata. Aku belajar betapa kontingennya kita dan kata-kata membuat perubahan kita memberi kesan kalau kita labil dan tak punya pendirian. Seperti pengalaman Sartre. Berarti aku harus lebih sering diam. Apapun yang terjadi, oh tutup mulutmu. Kalau kau harus bicara, manipulasilah sekelilingmu. Kita yang sebenarnya terlalu berharga untuk pembicaraan sekedar dan basa-basi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar