Berhasil. Tuhan berhasil
menggoncang perjalanan hidupku. Lewat Rumi, Tuhan mengajariku dengan lebih
mendalam, bahwa segala hal apa pun yang terjadi adalah rencanaNya, dan mengapa
aku mencerca rencana sang Raja? Aku mengerti. Aku mengerti bahwa aku sebegitu
mengganggu bagi banyak orang. Dan bahwa aku salah menghadapi segalanya sampai
saat ini. Tuhan berhasil membuatku sadar, dan terima kasih serta syukur padaNya
karna itu.
Aku akan tetap berjalan, dan
semoga tetap berjalan dengan sisa kekuatan yang kupunya. Yah, aku hanya
singgah, dan apa yang harus kulakukan agar orang lain bisa terbantu karna aku? Ya,
segala kekecewaan karna perasaan kuat itu tak tersalurkan, aku mencoba
melarikan diri dari stress dengan cara hanya memikirkan diriku sendiri. Dan apakah
orang lain tau? Mereka memang tidak tau, bagaimana aku menceritakannya? Terlalu
panjang dan akan memicu prasangka bahkan sebelum habis ceritanya. Mengapa harus
mengambil resiko salah paham yang lebih besar? Aku tidaklah tau apa-apa. Segala
yang kuyakini selama ini bergantung pada kerelatifan, Tuhanlah kebenaran yang
penuh misteri.
Sekarang memang aku kehilangan
banyak hal yang tak bisa kuelakkan, tapi Tuhan membuatku berpikir dan bergerak
lagi. Mencari diriku yang dahulu, yang telah tertidur cukup lama. Dari lubuk
hati yang terdalam, sungguh ingin kusampaikan maaf yang sedalam-dalamnya pada setiap
orang yang mengenalku. Penyampaian maaf dengan kerendahan, tapi ada penghalang
yang membuatku takut menyampaikan secara langsung. Ya, apa reaksi yang akan kudapati?
Beberapa orang mengatakan kita
unik, keunikan masing-masing. Beberapa menyanjung, sanjungan yang tidak perlu. Dan
beberapa mencerca. Terkadang aku bingung. Perasaan apa yang harus kurasa? Aku harus
bersyukur? Harus terganggu dan merespon? Aku harus tetap tersenyum? Menjauh dari
mereka yang tidak menyukaiku? Harus bagaimana? Oh, aku tidaklah paham apapun,
aku tidak paham.
Apa yang telah kurasa selama
perjalanan hidupku? Hanya aku dan Tuhan yang tau. Bercerita supaya dunia tau? Ide
bagus, atau nanti mereka mengatakan aku terlalu narsis dan sombong? Aku bingung.
Apa yang kupikirkan menghadapi segala hal dalam hidupku? Darimana muncul segala
rasa dan ide yang sekarang? Apa mereka tau? Tentu tidak. Dan jika aku
bercerita, aku mungkin akan mengungkap sisi malaikatku yang membuat orang lain
terganggu mendengarnya, sekaligus mengungkapkan sisi iblisku yang membuat orang
lain juga terganggu. Tuhan, aku bingung. Wajarkah aku bingung? Simple minded? Jika
itu membuatku mengerikan bagi masalah dan orang lain, dan membuatku memendam
segala pertanyaan yang akhirnya meledak ini, bagaimana aku bisa kawan?
Aku bercerita pada orang yang
salah. Dan apa aku menyesal? Tidak, mengapa menyesal? Tuhan menginginkan itu
terjadi. Dan aku pantas untuk semua hal yang kuterima. Kuanggap itu kasih sayang
Tuhan padaku, kepedulianNya pada jiwa yang kebosanan dan kehilangan dirinya
ini. Sungguh terima kasih atas segala rencanaNya.
Dan apakah eksistensi setiap diri
tidak penting? Justru karna pentinglah, kita saling menghargai orang lain. Karna
eksistensilah kita menyadari keberadaan kebenaran yang hakiki. Apakah aku tak
perduli pada orang lain? Itu semua karna aku tak ingin menunjukkannya, aku tak
mau menunjukkan sisi diriku yang satu itu. Itulah mengapa segalanya muncul
bertentangan di dalam penglihatan mata. “Maksudnya apa?“. Bagaimana lagi aku
harus menyampaikannya kawan?
Ya, memang aku harus belajar
menyampaikan maksudku yang sesungguhnya, hingga tak banyak lagi orang yang
salah memahaminya. Tapi kemampuanku yang sekarang belum cukup untuk itu, dan
kemampuan pemahaman beberapa juga belum cukup membaca maksudku. Atau lebih baik
aku berhenti mengekspresikan kegelisahan dan gejolak hati yang mau meledak ini
demi menyadari bahwa orang lain perlu pertolongan yang mesti didahulukan? Jika begitu,
haruskah setiap orang berjalan di sisi yang sama kawan? Haruskah aku membunuh
diriku yang sekarang dan menjadi orang lain? Haruskah peran setiap orang
disatukan saja? Seperti hingga semua orang jadi bos dan tidak lagi ada yang
jadi budak?
Di saat aku bangkit, segala hal
ingin kumulai dari mula lagi dengan baik dan penuh keyakinan, Tuhan terus
mengguncangkan jalan. Ada yang harus kulakukan di jalan ini, aku paham. Lebih baik
aku yang terus paham dan sadar daripada memberi kesan buruk yang bertambah pada
eksistensi lain. “yang lain adalah neraka”, kata Sartre. Ya, aku paham mengapa
dia bilang begitu. Di kacamata Sartre omongan itu memang benar. Kebenaran memang
bercabang dan memiliki akar yang sejati dan satu, memang. Aku terus belajar dan
terus berubah. Meski jalanku penuh pemberontakan, demi Tuhan ada sesuatu di
sudut hati terdalam ini, dan aku sungguh menghargai keberadaan eksistensi lain
di dunia ini, demi Tuhan.
Tuhan, aku hampir tak punya apa
pun. Dan aku memang tak memahami apa pun. Aku hanya melihat dari mataku
sedangkan mata sering menyesatkanku dan mengatakan bahwa bulan itu kecil berbentuk
sabit.
Allah, namaMu itu terlalu berat
untuk diucapkan. Terlalu mengguncangkan seluruh jiwa dan raga orang beriman. Terima
kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar