D : Iya aku tau ini salah, tapi gimana dong nih susah
banget ninggalinnya. Ngomong itu emang gampang, tapi ngelakuinnya susah..
E : Kamu yang terlalu lemah. Kamu itu bodoh. Cuma
orang bodoh, lemah dan males yang ngomong begitu. Melakukan tinggal melakukan
kok, ga usah diomongin pun bisa. Kuat dong kuat! Mau selamanya jadi pecundang
begitu emangnya!
Selalu dia meyakini bahwa manusia bisa melakukan
apapun yang seharusnya dilakukan. Yang menghalangi mereka hanyalah kecintaannya
pada keburukan. Tentu sajalah mereka yang terus melakukan keburukan meskipun
tau hal tersebut memang buruk hanyalah orang-orang yang memang buruk dan memilih
keburukan meskipun di mulutnya mengakui membenci keburukan itu. Itu tidaklah
salah, tentu saja. Dia mengakui dirinya yang cerdas, dan dia mengakui dirinya
memang meyakini segala hal yang memang benar.
D : Iya, iya deh.. (sambil berpaling dan meninggalkan
E)
Siapa yang tahan padanya? Banyak orang berpaling dan
semakin dalam pada keburukan sejak dia mengatakan di depan muka mereka yang
mengadu itu bahwa mereka hanyalah pecundang. Dan dia semakin membenci
keburukan, dia semakin membenci manusia yang dikatakannya adalah makhluk yang
lemahnya sampai membuatnya mual dan ingin muntah.
Segalanya berulang dan berulang, hingga dia bertemu
mereka yang mirip sekaligus berbeda dengannya sendiri. Apa yang membuatnya
sebagai potongan puzzle menyatu dengan sisi-sisi mereka? Kesekaligusan itu.
Siapa yang menyangka? Tentu bukanlah dia kalaupun ada. Tapi ini bukan saja
karena mereka dan sisi-sisi puzzle yang cocok itu. Tapi juga karena D dan
pecundang-pecundang yang berpaling lainnya yang sudah maupun belum bertobat. Ketika
dia mulai mencintai pencarian kebenaran, dia menemukan satu-satunya yang
pecundang adalah dirinya.
Mungkinkah karena betapa dialah satu-satunya
pecundang, dia menjadi sosok seangkuh dan sekeras itu? Tidak ada yang tau, dia
saja tidak. Yang pasti dia telah menolak kepecundangannya yang satu-satunya itu
sehingga dia membenci segala kesalahan dan keburukan apapun alasannya. Tapi
tumbuhlah kebencian yang satu lagi, kebencian pada dirinya yang angkuh.
Bagaimana jadinya kalau kedua kepribadiannya saling membenci?
Dengan segala pertobatan para pecundang dia merasa
menang sebentar. Ketika melihat mereka yang terjerumus semakin dalam dia marah,
sedih, dan benci. Benci pada para pecundang sekaligus dirinya, mereka saling
membenci antar kepribadian yang berlawanan. Hingga ia mengunci dirinya dalam
ruang gelap tanpa ventilasi, memendam amarah kemudian menangis. Terpikir untuk
kabur ke tempat tak ada siapapun mengenalnya, menjadi orang lain yang baru,
berpikir dengan pikiran yang sehat, merencanakan segala sesuatu dengan detail,
lalu menangis lagi, membalik rencana dengan yang baru, bagaimana caranya mati
dengan tenang. Lalu membayangkan apa saja yang akan dia lakukan untuk mati dan
bagaimana reaksi mereka ketika dia baru mati dan sudah mati, apa kata mereka,
hingga ia tertidur dan terbangun dengan perasaan yang benar-benar baru, ceria
atau apa pun itu. Orang gila!
Orang menjadi gila karena ia ingin melupakan
masalahnya, dengan pikiran yang diakuinya sehat dia meyakini itu kemudian. Dia
ingin jadi gila, dengan begitu ia bebas dari beban hidupnya selama ini. Terlalu
rumit segalanya ini, ingin sekali tulisan ini kuakhiri.
Baru tau dia orang-orang datang padanya hanya agar
kata-katanya disetujui. Kebanyakan mereka telah menyiapkan perisai. Hanya ingin
didengar dan disetujui, persetan bukan?!, pikirnya. Dan siapapun tidak akan
benar-benar bisa merubah siapapun, si pemberontak muncul dengan segala ide
tentang kebebasan dan manusia manusia bodoh yang dikerangkeng kata-kata orang.
Aku tak tau siapa yang dipenjara sebenarnya, yang mengikuti pikirannya sendiri
yang sengaja berontak atau mengikuti pikirannya yang bebas memilih patuh?
Bukankah keduanya bisa dibilang penjara bisa juga dibilang bebas? Segalanya
memang sesat. Segera kita akhiri pembicaraan ini.
Dia mengakui akhirnya dia salah. Karena setiap orang
merasa benar dan ingin diakui begitu dan dia pun juga, tak ada cara lain selain
masa bodoh soal kebenaran objektif. Terserah apa pun orang boleh berbuat dan
berpendapat, toh kebenaran yang kita akui mutlak tak juga diakui orang lain.
Mungkin kebenaran objektif hanya dia yang mengakui atau mungkin tak ada
kebenaran objektif yang bisa diakui, atau apa pun bentuk penyimpangan kebenaran
lainnya, dia berubah. Dari sikap seorang pemimpin yang otoriter dan keras
menjadi pemberontak yang masa bodoh pada apa pun. Pemimpin yang otoriter
tertidur lama, entah akan bangunkah dia. Dalam sedikit ruang di antara mereka
yang tertidur dan terjaga, ada yang mengakui kesalahannya. Tapi sialnya betapa
perfeksionisnya dia yang membenci mengakui kesalahannya di depan orang lain,
dia tak pernah meminta maaf sekalipun. Kalau pun pernah, itu adalah dia yang
lain. Ketika dia benar-benar tersentuh dan merasa bersalah, hanya kata itu saja
yang terucap darinya,
“terima kasih”,
Hanya itu saja, tak ada yang lain. Dan dia pergi tanpa
menoleh. Dan tulisan ini berakhir di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar