Kamis, 22 Januari 2015

Manusialah


Manusialah yang selalu mengklaim apa yang dilihat hanya oleh matanya saja sebagai kebenaran yang dimutlakkannya, sebagai yang objektif dan berlaku universal.

Manusialah yang selalu memperbandingkan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dengan seenaknya memberi label lebih baik, lebih buruk, positif, negatif, pada sesuatu yang tak layak diperlakukan demikian.

Manusialah yang selalu terdorong untuk menganggap dirinya adalah aktor utama dalam kehidupan, mendramatisir kehidupan yang dijalaninya.

Manusialah yang bisa mencintai sambil membenci. Menjadikan segala pernyataan menjadi alasan.

Manusialah yang dengan egoismenya yang menjadi tirai pendaran cahaya sejati mengejar sesuatu demi keinginan semata. Tanpa pernah berusaha melepaskan tirai demi menerangi jiwanya yang rindu.

Manusialah yang dengan percaya diri merasa dunia ini diciptakan untuk dirinya. Maka segala sesuatu dimanfaatkannya dengan tak semestinya, mengorbankan kepentingan apa pun untuk kepentingan dirinya.

Manusialah yang merasa terancam, di antara potensi keilahiannya, dihalangi sosoknya oleh orang lain. Dan mengejarlah dia dunia ini, tanpa tujuan apa pun selain dirinya yang begitu terbuai dengan ilusi hingga lupa kemana kembali.

Manusialah yang merasa perlu mencari kebenaran yang mutlak, demi menegaskan dirinya dari ketakberdayaan menghadapi misteri yang melingkupi keberadaannya.

Manusialah yang menjadikan sesuatu yang bebas makna menjadi tertutup bagi segala kemungkinan. Menjadikan sebuah pernyataan yang terikat ruang dan waktu sebagai dasar bagi kebenaran yang diklaim sendiri berlaku selamanya.

Manusialah yang membaca kalimat orang dengan matanya lalu mengatakannya cacat demi memperbaiki mata orang lain. Merasa matanyalah yang paling sehat.

Manusialah yang selalu merasa paling benar. Bahkan menghadapi cermin yang memantulkan bayangan kenyataan ini ia akan selalu menganggap bayangan yang dilihatnya penuh cacat, dan merasa pikirannya bahwa “orang lain selalu merasa benar” adalah lebih benar daripada klaim pembenaran orang lain, dan membuatnya terus terjatuh dalam merasa benar.

Manusialah,

Selalu manusia.

Kamis, 15 Januari 2015

Kita Tak Perlu Tau


Terkadang kita tak perlu melihat dan mengetahui sesuatu, demi melindungi perasaan kita. Hari ini aku sampai pada puncak kesadaran tentang itu. Tak semua kebenaran mesti kita ketahui. Bahkan mungkin Ia sengaja tak membiarkan kita mengetahui yang hakiki, karena kita tak akan siap mengetahuinya. Ya, hari ini aku semakin menyadari bahwa meskipun aku mulai membuka ruang untuk banyak makna, tak akan begitu saja kubiarkan aku melangkah tak tentu arah. Benar saja, aku belum begitu saja siap. Aku hanya merasa, “begitu ya….”, lalu keheningan menyergap.

Dan ruang untuk penyesalan kemudian terbuka, untuk membuatku mempelajari bahwa tidak semua hal perlu untuk diketahui. Manusia bukan hanya memiliki pikiran, ia juga punya perasaan. Lalu kisah selanjutnya mari kita beri judul “Pelarian Diri” tanpa melabelkan nilai padanya. Mungkin salah satu cara yang paling mutakhir untuk ditempuh demi memulai perjalanan tanpa pengaruh masa lalu (ya, bagi pecundang yang belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu) adalah hidup maju ke depan dan menjauh ke samping.

Ah, hampir 5 tahun yang lalu, aku berpikir berhari-hari di sebuah masjid, di tengah pemberontakan, untuk menjadi seorang pengembara. Ya, pengembara sesungguhnya. Melakukan perjalanan dari kota ke kota lain, menyusuri dunia tanpa benar-benar menetap di satu tempat. Perasaanku benar-benar menyeriusinya, tapi pikiranku menambahkan pertimbangan tentang kekeluargaan yang selanjutnya kusadari begitu dekat dengan kata “surga” di dunia.

Namun aku tak akan pernah tau sampai aku mencobanya, seberapa jauh aku bisa melarikan diri dari segala pengetahuan yang tak seharusnya terbuka di depan mataku. Aku cukup nyaman dengan membiarkan mulutku terus berbicara tentang hal-hal menarik dan lucu, membuat orang tertawa dan melupakan hal-hal yang berat. Ya, bukan demi orang lain, tapi demi diri sendiri.

Lalu kemudian hampir 4 tahun yang lalu, setahun sesudah kejadian di mesjid, seorang kawan memperkenalkan sesuatu padaku. Sebuah judul anime tentang orang yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sekitar 2 tahun sesudahnya, aku berhasil mendapatkan film itu dan menontonnya. Tokohnya perempuan, masih kecil, yang belajar memegang senjata, mengendarai motor, yang melakukan perjalanan karna melarikan diri dari hukum desanya yang ingin merenggut nyawanya disebabkan peraturan yang dibuat hanya demi memperbudak manusia di desa itu. Membuat peraturan bagi dirinya untuk menginap hanya selama 3 hari di setiap kota yang dikunjunginya. Dan setiap kota yang dikunjunginya mempunyai peraturan dan kebiasaan masing-masing, yang membawa gadis itu mempelajari banyak hal lewat pertemuannya dengan banyak orang.

Dia pernah mengatakan, “dalam perjalanan kita tak boleh menjalin hubungan terlalu jauh dengan setiap orang yang ditemui.” Motornya, satu-satunya teman bicaranya dalam perjalanan mengatakan, “lalu untuk apa kamu melakukan perjalanan? Apa yang paling penting di sana?”. Jawabnya kira-kira begini, “pelajaran yang kita ambil di setiap pertemuan itulah yang akan mengubah kita.”

Bagaimana pun terkadang kita tak perlu membiarkan diri kita mengetahui sesuatu. Atau, seperti sebuah poin yang kudapat di salah satu drama kelam Jepang, mengurung hati di dalam sangkar, dan tak membukanya untuk siapa pun. Dengan meninggalkan emosi di belakang, menutupinya dengan permainan kehidupan yang dibuat sendiri, seakan menjadi Tuhan bagi orang lain, perasaan tak akan terbawa oleh apa pun yang terjadi. Mengurung hati di dalam sangkar dan membuat permainan kehidupan, atau membiarkan diri terbang seperti burung dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui banyak hal yang kemudian akan ditinggalkan begitu cepat untuk menuju pengalaman dan pengetahuan lain,..

Atau, lebih baik terkadang kita tak perlu tau tentang sesuatu. Dan membiarkan diri kita berimajinasi semau kita.


Keheningan


Dunia begitu hening.
Ketika kutuliskan metafora keheningan dunia ini,
ada yang menafsirkannya begitu negatif.
Seenaknya saja memberi nilai pada sesuatu yang tak layak dinilai.

Kita terperangkap dalam ilusi dan imajinasi.
Namun ada pula yang mengatakan kita justru diluaskan oleh keduanya.
Lalu apakah “penglihatan” akan kebenaran itu bisa diklaim?

Dalam keheningan, firman terus mengalir..


Ku Tutup Mulutku


Ku tutup mulutku.
Semoga dia tak membuka dirinya lagi.
Mungkin aku harus tetap menutupnya entah sampai kapan nanti.
Tak lagi kuizinkan ia jujur dan merubah segalanya secara drastis.
Kupikir aku takut, trauma dengan segala kehilanganku.

Kalau aku benar-benar berusaha bijaksana,
maka tak akan ada lagi kata-kata keluar dariku.
Kebijaksanaan adalah ketidaktahuan, keheningan.
Yang dulu coba kugapai,
mungkin telah sampai pada keangkuhan terselubung.
Rupanya aku takut.
Aku takut, entah pada apa.
Yang sekarang aku sampai pada keluasan makna.
Aku merasa hilang, tanpa tau baikkah ini.
Lalu aku takut lagi, aku takut merasa benar sendiri.
Maka aku marah pada diri yang terdorong pada keduniawian.

Oh, kini kukirim kata pada alam.
Dalam keheningan penuh kata, ingin kusampaikan perasaanku yang tergetar karna makna telah meluas di pikiranku.
Dunia ini ilusi, bukanlah bahagia atau duka.
Kuciptakan ilusi bagi diriku dan entah darimana imajinasiku telah diadakan.
Lalu dipaksakan diri pada pengabdian.
Sambil menutup mulut, entah sampai kapan.


Senin, 12 Januari 2015

Tersesat


Sesungguhnya aku ingin merasakannya,
rasa yang tak terdeskripsikan dengan bahasa itu.
Aku kini terbelenggu dunia materi, tenggelam dalam skeptik, mengejar surga dunia.
Apa yang benar? Apa yang salah?
Segalanya semakin blur di mataku.
Aku ingin hidup tanpa penilaian orang lain,
tapi ternyata aku tak bisa.
Manusia tak akan pernah merasa puas, dan kini aku sadar aku terpenjara bertahun-tahun lamanya.
Dan belum kurasakan kebebasan yang sebenarnya.
Aku harus kemana?
Karena aku tak akan bisa membuktikan apa pun dengan akalku, aku hanya mengikuti kemana kehendak membawaku pergi, tanpa tau dimana ujungnya.
Aku terombang-ambing karena kehausan yang begitu menyiksa,
hingga kuminum segala jenis air.
Apakah aku keracunan?
Atau pada akhirnya aku tak bisa merasakan kenikmatan lagi?
Aku tersesat dalam pencarian,
selalu tersesat.
Kini kukejar dunia dengan setengah hati, karena setengah hatiku lagi sibuk dalam kerinduan.
Kelihatannya dangkal setiap yang kutuju, tapi puncaknya adalah rasa kemanusiaan yang tinggi,
yang diremehkan masyarakat buta yang kecanduan pemihakan oleh Tuhan.
Oh, aku muak, aku sungguh muak.
Aku ingin pulang..
Selamatkanlah aku…

Alien

Ggaaaah…
Pernahkah kebanyakan dari mereka merasakan perasaan macam ini?
Aku kecanduan.
Dulu Tuhan sudah begitu berpihak padaku.
Lalu hasil dari proses pembelajaran adalah serangkaian perubahan.
Akulah yang paling merasakannya.
Aku adalah makhluk yang selalu nyaris.
Aku selalu merasa hampir, lalu tak berani ku lanjutkan.
Benar, manusia adalah makhluk sosial.
Keluarga dan teman adalah kehadiran yang sangat penting.
Tapi pernahkah kebanyakan dari mereka merasakan apa yang kurasakan?
Sudah kucoba tak hiraukan tapi perasaan mengganggu itu selalu muncul.
Sungguh sakit!
Kini ketika kucoba untuk membangun jalan yang akan kupilih sendiri dengan bebas nantinya, aku terbelenggu banyak hal dan banyak orang.
Ya, “mereka” yang merasa Tuhan memihak pada mereka lalu membetulkan kesalahan yang mereka pikir dibenci olehNya.
Ah sungguh aneh.
Ada yang semakin belajar semakin merasa tau, ada yang semakin belajar semakin merasa tidak tau.
Kini aku merasa “darimana kita benar-benar bisa membedakan baik, buruk, benar dan salah?”
Karena segala ketentuan ternyata memiliki nilai ketergantungan.
Sedangkan wujud yang keberadaannya berdiri sendiri adalah Realitas Tertinggi, Tuhan.
Padahal aku selalu meminta dalam hati agar Dia jauhkan ku dari kesesatan, lalu masing-masing tampil di jalan yang berbeda.
Kita tak tau, demi Tuhan, mana yang benar dan salah?
Ketika kucari, dengan sendirinya segala jenis kemungkinan terbuka.
Kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah mengklaim kebenaran atas dirinya.
Jika tak ada satu pun kemungkinan yang benar, apakah dunia bisa berjalan?
Ahh, apakah kebodohan punya sensasi kenikmatan seperti ini?
Jealousy…
yang mungkin tak akan pernah sembuh.
Aku selalu menderita karena itu, dan mungkin tak ada siapa pun yang menyadari.
Ketika kutemukan seorang anak manusia sebaya yang memiliki penderitaan yang sama,
yang lebih tak mampu menyembunyikan..
Aku mungkin tak sendirian.
Aku hampir tak pernah benar-benar jujur sebelumnya.
Ketika kuberanikan untuk jujur, kenyataan menghantam wajahku, oh sakit.
Apakah mestinya manusia memang tidak pernah membuka hatinya pada siapa pun?
Dan sampai kapan krisis kepercayaan mewarnai dunia di sekitarku?
Aku seperti ditikam oleh diriku sendiri, pembalasan yang adil atas kehidupan.
Perlunya aku hidup sebenarnya apa?
Mencari Engkau?
Tuhan, Kau begitu ingin dicari?
Apakah ketika kucari Engkau, aku kan selamat?
Bukankah aku akan mati?
Dan ketika mereka merayakan kegemilangan dunianya, hasil kerja keras dunianya,
Aku terduduk di sudut dunia, memandang langit dengan jiwaku, tenggelam dalam kegelapan dan keheningan,
hingga berapa abad pun kulalui, akankah aku sampai padaMu?
Atau haruskah kuberanjak dan mencoba apa yang mereka coba?
Bisakah kuberitaukan padamu sekarang?
Wahai.., aku ingin pulang……