Manusialah yang selalu mengklaim apa yang dilihat hanya oleh
matanya saja sebagai kebenaran yang dimutlakkannya, sebagai yang objektif dan
berlaku universal.
Manusialah yang selalu memperbandingkan segala sesuatu yang
ada di dunia ini. Dengan seenaknya memberi label lebih baik, lebih buruk,
positif, negatif, pada sesuatu yang tak layak diperlakukan demikian.
Manusialah yang selalu terdorong untuk menganggap dirinya
adalah aktor utama dalam kehidupan, mendramatisir kehidupan yang dijalaninya.
Manusialah yang bisa mencintai sambil membenci. Menjadikan segala
pernyataan menjadi alasan.
Manusialah yang dengan egoismenya yang menjadi tirai pendaran
cahaya sejati mengejar sesuatu demi keinginan semata. Tanpa pernah berusaha
melepaskan tirai demi menerangi jiwanya yang rindu.
Manusialah yang dengan percaya diri merasa dunia ini
diciptakan untuk dirinya. Maka segala sesuatu dimanfaatkannya dengan tak
semestinya, mengorbankan kepentingan apa pun untuk kepentingan dirinya.
Manusialah yang merasa terancam, di antara potensi
keilahiannya, dihalangi sosoknya oleh orang lain. Dan mengejarlah dia dunia
ini, tanpa tujuan apa pun selain dirinya yang begitu terbuai dengan ilusi
hingga lupa kemana kembali.
Manusialah yang merasa perlu mencari kebenaran yang mutlak,
demi menegaskan dirinya dari ketakberdayaan menghadapi misteri yang melingkupi
keberadaannya.
Manusialah yang menjadikan sesuatu yang bebas makna menjadi
tertutup bagi segala kemungkinan. Menjadikan sebuah pernyataan yang terikat
ruang dan waktu sebagai dasar bagi kebenaran yang diklaim sendiri berlaku
selamanya.
Manusialah yang membaca kalimat orang dengan matanya lalu mengatakannya cacat demi memperbaiki mata orang lain. Merasa matanyalah yang paling sehat.
Manusialah yang selalu merasa paling benar. Bahkan menghadapi cermin yang memantulkan bayangan kenyataan ini ia akan selalu menganggap bayangan yang dilihatnya penuh cacat, dan merasa pikirannya bahwa “orang lain selalu merasa benar” adalah lebih benar daripada klaim pembenaran orang lain, dan membuatnya terus terjatuh dalam merasa benar.
Manusialah yang selalu merasa paling benar. Bahkan menghadapi cermin yang memantulkan bayangan kenyataan ini ia akan selalu menganggap bayangan yang dilihatnya penuh cacat, dan merasa pikirannya bahwa “orang lain selalu merasa benar” adalah lebih benar daripada klaim pembenaran orang lain, dan membuatnya terus terjatuh dalam merasa benar.
Manusialah,
Selalu manusia.