Sabtu, 28 September 2013

Masa lalu (Jejak)

(Kako ~ konseki)
 by Ninomiya Kazunari

Tak kan hilang, tak kan hilang, jejak hujan awal musim panas
(kienu kienu, samidare no ato)
 Jejak air mata tak akan kering
(kawakanu namida no ato)
Tak terhapus, tak terhapus, bayangan orang tercinta yang muncul di malam yang gelap
(kesenu kesenu yamiyo ni ukabu Itoshiki hito no kage)

 Aku berjalan di tepian sungai di kala matahari terbenam
(yuuyake kawara o aruiteru)
Seiring tersenyum bersamamu
(kimi to issho ni egao tsurete)
“Makan malam hari ini sebaiknya apa ya?”
(kyou no bangohan nani shiyou?)
Kecil, kebahagiaan biasa yang sangat kecil
(Chiisana, sugoku chiisana futsuu no shiawase)

Kau sudah mati, kau hidup menembus hatiku
(shindeitta, anata wa boku no kokoro ni shimite ikita)

Meskipun aku mencintai orang lain
(hoka no hito o aishitemo)
Dia bukan siapa-siapa selain orang lain
(hoka no hito de shika arimasen)
Meskipun betapa seringnya musim yang berbunyi kulewati
(ikudo to naku kisetsu mataidemo)
Sesungguhnya ketika berpisah aku takut akan kehilangan
(hontou wa hanarete wa kieru no ga kowakute)

 Memandang bunga violet, bunga ini indah
(sumire o mitsume, kono hana kirei)
Tapi suatu saat akan layu ya..
(demo itsuka wa kareru no ne..)
Kala waktu (senja) semakin gelap dan (cahayanya) berbaur menjadi permata,
(toki wa yuugure shu ni majiwaru to)
Menyisakan kita berdua di atas permukaan air
(minamo ni futari nokoshite)

Bayangan menumpuk bayangan
(kage wa kage o kasanete)
Aku takut akan menjadi satu
(hitotsu ni naru no o osorete)
Saat aku terlambat menyadarinya
(kizuku no ga ososhi to)
Aku sendiri di atas permukaan air
(minamo ni hitori)

 Benih hati yang kukubur hari itu,
(ano hi umeta kokoro no tane wa)
Telah berkecambah lebih dari 20 hari
(hatsuka sugi mebukimashita)
Cinta yang tak kan berubah, meski rupa dan bentuknya berbeda
(sugata katachi chigaedo kawaranu ai)
Cahaya yang lembut (yasashii hikari)



by Ninomiya Kazunari




Rabu, 04 September 2013

Dia tak pernah mengucapkan maaf

Dia tak pernah mengucapkan “maaf”, dia hanya belajar dan diam lalu mengucapkan terima kasih. Adalah dia seorang yang keras hatinya. Dia selalu berpikir manusia terlalu banyak yang lemah dan mengakui kelemahannya sendiri. Misalnya saja seseorang yang datang padanya mengakui bahwa dia merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.

D : Iya aku tau ini salah, tapi gimana dong nih susah banget ninggalinnya. Ngomong itu emang gampang, tapi ngelakuinnya susah..
E : Kamu yang terlalu lemah. Kamu itu bodoh. Cuma orang bodoh, lemah dan males yang ngomong begitu. Melakukan tinggal melakukan kok, ga usah diomongin pun bisa. Kuat dong kuat! Mau selamanya jadi pecundang begitu emangnya!

Selalu dia meyakini bahwa manusia bisa melakukan apapun yang seharusnya dilakukan. Yang menghalangi mereka hanyalah kecintaannya pada keburukan. Tentu sajalah mereka yang terus melakukan keburukan meskipun tau hal tersebut memang buruk hanyalah orang-orang yang memang buruk dan memilih keburukan meskipun di mulutnya mengakui membenci keburukan itu. Itu tidaklah salah, tentu saja. Dia mengakui dirinya yang cerdas, dan dia mengakui dirinya memang meyakini segala hal yang memang benar.

D : Iya, iya deh.. (sambil berpaling dan meninggalkan E)

Siapa yang tahan padanya? Banyak orang berpaling dan semakin dalam pada keburukan sejak dia mengatakan di depan muka mereka yang mengadu itu bahwa mereka hanyalah pecundang. Dan dia semakin membenci keburukan, dia semakin membenci manusia yang dikatakannya adalah makhluk yang lemahnya sampai membuatnya mual dan ingin muntah. 

Segalanya berulang dan berulang, hingga dia bertemu mereka yang mirip sekaligus berbeda dengannya sendiri. Apa yang membuatnya sebagai potongan puzzle menyatu dengan sisi-sisi mereka? Kesekaligusan itu. Siapa yang menyangka? Tentu bukanlah dia kalaupun ada. Tapi ini bukan saja karena mereka dan sisi-sisi puzzle yang cocok itu. Tapi juga karena D dan pecundang-pecundang yang berpaling lainnya yang sudah maupun belum bertobat. Ketika dia mulai mencintai pencarian kebenaran, dia menemukan satu-satunya yang pecundang adalah dirinya.

Mungkinkah karena betapa dialah satu-satunya pecundang, dia menjadi sosok seangkuh dan sekeras itu? Tidak ada yang tau, dia saja tidak. Yang pasti dia telah menolak kepecundangannya yang satu-satunya itu sehingga dia membenci segala kesalahan dan keburukan apapun alasannya. Tapi tumbuhlah kebencian yang satu lagi, kebencian pada dirinya yang angkuh. Bagaimana jadinya kalau kedua kepribadiannya saling membenci?

Dengan segala pertobatan para pecundang dia merasa menang sebentar. Ketika melihat mereka yang terjerumus semakin dalam dia marah, sedih, dan benci. Benci pada para pecundang sekaligus dirinya, mereka saling membenci antar kepribadian yang berlawanan. Hingga ia mengunci dirinya dalam ruang gelap tanpa ventilasi, memendam amarah kemudian menangis. Terpikir untuk kabur ke tempat tak ada siapapun mengenalnya, menjadi orang lain yang baru, berpikir dengan pikiran yang sehat, merencanakan segala sesuatu dengan detail, lalu menangis lagi, membalik rencana dengan yang baru, bagaimana caranya mati dengan tenang. Lalu membayangkan apa saja yang akan dia lakukan untuk mati dan bagaimana reaksi mereka ketika dia baru mati dan sudah mati, apa kata mereka, hingga ia tertidur dan terbangun dengan perasaan yang benar-benar baru, ceria atau apa pun itu. Orang gila! 

Orang menjadi gila karena ia ingin melupakan masalahnya, dengan pikiran yang diakuinya sehat dia meyakini itu kemudian. Dia ingin jadi gila, dengan begitu ia bebas dari beban hidupnya selama ini. Terlalu rumit segalanya ini, ingin sekali tulisan ini kuakhiri. 

Baru tau dia orang-orang datang padanya hanya agar kata-katanya disetujui. Kebanyakan mereka telah menyiapkan perisai. Hanya ingin didengar dan disetujui, persetan bukan?!, pikirnya. Dan siapapun tidak akan benar-benar bisa merubah siapapun, si pemberontak muncul dengan segala ide tentang kebebasan dan manusia manusia bodoh yang dikerangkeng kata-kata orang. Aku tak tau siapa yang dipenjara sebenarnya, yang mengikuti pikirannya sendiri yang sengaja berontak atau mengikuti pikirannya yang bebas memilih patuh? Bukankah keduanya bisa dibilang penjara bisa juga dibilang bebas? Segalanya memang sesat. Segera kita akhiri pembicaraan ini.

Dia mengakui akhirnya dia salah. Karena setiap orang merasa benar dan ingin diakui begitu dan dia pun juga, tak ada cara lain selain masa bodoh soal kebenaran objektif. Terserah apa pun orang boleh berbuat dan berpendapat, toh kebenaran yang kita akui mutlak tak juga diakui orang lain. Mungkin kebenaran objektif hanya dia yang mengakui atau mungkin tak ada kebenaran objektif yang bisa diakui, atau apa pun bentuk penyimpangan kebenaran lainnya, dia berubah. Dari sikap seorang pemimpin yang otoriter dan keras menjadi pemberontak yang masa bodoh pada apa pun. Pemimpin yang otoriter tertidur lama, entah akan bangunkah dia. Dalam sedikit ruang di antara mereka yang tertidur dan terjaga, ada yang mengakui kesalahannya. Tapi sialnya betapa perfeksionisnya dia yang membenci mengakui kesalahannya di depan orang lain, dia tak pernah meminta maaf sekalipun. Kalau pun pernah, itu adalah dia yang lain. Ketika dia benar-benar tersentuh dan merasa bersalah, hanya kata itu saja yang terucap darinya, 

“terima kasih”,

Hanya itu saja, tak ada yang lain. Dan dia pergi tanpa menoleh. Dan tulisan ini berakhir di sini.