Jumat, 12 Januari 2024

Nanti

Pada saatnya nanti,

Aku ingin meringkuk saja dalam sunyi
Dalam permenungan tiada henti
Dalam hilangnya jati diri
Dan kuharap lebur dalam namaNya

Aku ingin tenggelam, terasuki,
Kehausan tiada akhir
Pencarian tanpa ujung
IlmuNya yg maha

Akulah makhluk asing,
Dari dunia yg tak terkenali,
Bingung, tersesat dalam belantara
Penuh belukar, monster ganas,
Yg menjelma bagai peri
Berkilap kilap seakan menjanjikan pemenuhan kerongkongan yg kering
tak lagi mampu menguarkan bunyi

Dan janganlah kau biarkan aku tercerai
Dari kasih sayang dan kebaikanmu
Yg adalah satu satunya penawar
kejenuhan kehidupan dalam keasingan ini
Dan peluklah aku
hingga ku mabuk dalam kehangatanmu
Terlupa dinginnya dunia penuh kebusukan ini

Aku rindu
Aku letih, aku ingin pergi
Ingin menuju kebenaran
Ingin meninggalkan kepura puraan
Ingin terikat dalam kepenuhan, kekosongan
Ingin berhenti

Aku ingin semua berhenti
Dalam permenungan yg penuh
Di bawah bintang bintang yg jauh
Di tengah kegelapan tak berujung

Aku ingin pergi dan menyadari
Ini bukanlah tempatku
Ini bukanlah perhentian
Hingga kerinduan dan kehausan tak kan pernah terpenuhi
Dan aku tetaplah dalam pencarian
Hingga pada saatnya, ditariknya aku
Dijemputnya
Menuju perjalanan lain yg lebih panjang lagi

Sabtu, 07 Oktober 2023

ALIF (part 1)

Kita sering tertarik secara spontan dengan seseorang yang baru saja kita temui. Ketertarikan itu bisa jadi sangat berlebihan sehingga akhirnya menjadi cinta pada pandangan pertama, atau sekedar ketertarikan saat itu saja yang tidak terlalu menyita perhatian yang berlebihan dari kita.

Begitu pula kami saat pertama kali bertemu. Aku bisa merasakan ketertarikan dari matanya dan jika dia lebih peka sedikit, ketertarikanku pada orang lain sangat mudah dibaca. Tapi pada saat itu ketertarikan kami adalah ketertarikan sepintas, bukan cinta pada pandangan pertama yang menggebu dan menuntut dipenuhi. Padahal saat itu, aku dan dia bukan satu-satunya lawan jenis yang menarik bagi satu sama lain, karena itulah ketertarikannya tidak memaksa untuk memenuhi pemuasan. Hanya pada pertemuan dan interaksi kesekian kali, ketertarikan kami semakin kuat, seakan menuntut untuk dipuaskan, dengan sekedar bertemu atau melihat sosoknya, atau mencarinya di dunia maya.

Di sisi dia, ketika aku menceritakan tentang diriku sendiri di tangga samping Masjid Agung Al-Azhar, adalah momentum terkuat ketertarikannya padaku semakin besar. Bahwa aku pernah kuliah di UI, kampus impiannya dulu, dan bahwa sosokku berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah dia kenal, dan pula usiaku terlalu jauh dari perkiraannya (yang ia kira aku lebih muda darinya). Kontras dengan perempuan idamannya yang pemalu, penurut, kalem, baik hati, lembut, seakan perlu dilindungi dan dituntun, aku terlihat mandiri, pemberani, kuat, tegas, dan tidak bisa diganggu gugat. Bahwa katanya aku punya sekian jurus memenangkan perdebatan, karena itu dia pernah mewanti kawan-kawan seorganisasi kami untuk menjaga jarak denganku saking khawatirnya kedamaian dalam organisasi terganggu dengan keberadaanku yang “membunuh” ketenangan tim. Bahwa dia kagum dengan sosok Kilua yang membayangi karakterku, apalagi katanya wajahku cantik dan penampilanku menarik.

Dia yang punya kemampuan mata-mata lumayan lihai, mencoba memata-matai keberadaanku di kampus. Dimana kiranya aku suka istirahat saat tidak ada kelas dan sedang apa aku saat itu. Aku cukup peka dan punya rasa penasaran yang tinggi. Aku bisa membedakan pandangan mata orang yang biasa saja, penasaran, atau punya pikiran kompleks tentangku. Pandangannya menunggu untuk bertemu dan berinteraksi dengan keraguan interaksi macam apa yang harus terjadi. Meski aku bukan cenayang, secara intuisi aku bisa merasakan bahasa tubuh orang lain yang tidak biasa, hingga akhirnya aku mencaritau dengan simplisitas rasional akal. Mencari di google dengan kata kunci “mengapa seseorang melihat kita lebih lama dari biasanya”, dan berhenti di artikel-artikel psikologi berbahasa inggris yang cukup berbobot dan berat ilmu. Oh ya tentu saja, orang itu punya perasaan dan pikiran khusus tentang kita, jawabannya. Entah itu benci, suka, kagum, berharap, ingin berteman lebih dekat, entah apa pun itu. Aku mengira dia entah kagum atau disusupi rasa suka terhadapku. Karena baginya aku sosok yang seakan hanya ada di anime atau film, di tengah-tengah manusia-manusia yang level kemenarikannya di bawah itu (baginya semua orang menarik).

Di sisiku, ketika dia bersikukuh ingin bicara secara pribadi dengan semua orang yang baru masuk ke organisasi (yang padahal dia bukan panitia apapun yang punya hak bertanya secara pribadi dan formal pada mereka yang baru masuk), padahal aku menolak untuk ditelpon, menolak untuk bertemu dan ngobrol berdua tanpa ada orang lain. Kemudian dia merasa aku kegeeran karna kelihatannya dia mendekatiku padahal aku memang tidak mau ditelpon atau ngobrol berduaan dengan laki-laki. Ketika dia terus mencari cara agar bisa mengulik informasi dan kepribadianku, aku merasa tertantang untuk memperlihatkan diriku di hadapannya. Pada akhirnya setelah dia menyuruh teman seorganisasinya yang perempuan untuk ngobrol denganku, dia mencari kesempatan bertanya-tanya langsung ketika aku sedang berkumpul dengan teman perempuanku yang lain (yang juga teman satu organisasi kami). Di situ, aku membuka diriku, dan semakin membuka pikiranku di hadapannya semakin hari. Ketika dia merencanakan acara tertentu, aku komentari secara pribadi lewat chat. Aku sarankan dia sesuatu, dan semua hal yang menurutku ada di pikiranku tentang organisasi dan rencana dia, aku ungkapkan saja sejujur-jujurnya. Itulah mengapa dia menganggapku terlalu keras dan berprinsip sehingga susah sekali digoyahkan dengan kemampuan negosiasi dan cita-citanya meleburkan semua jenis orang ke dalam satu organisasi. Levi ini terlalu sulit dimasukkan ke dalam tim, tapi dia punya pikiran yang bagus. Alhasil dia mencoba menjadi pawang Levi di depan teman-temannya yang lain. Tapi hebatnya, selain punya kemampuan mata-mata dan negosiasi, kemampuan pengamatannya di atas rata-rata orang, sehingga dia menghargai perbedaan pemikiranku dan memberikanku ucapan selamat tinggal jika aku memang ingin pergi dari organisasi karna perbedaan prinsip. Aku ingin angkat topi dengan keberanian, idealisme, dan kekuatan pendapatnya (meskipun aku tidak selalu setuju dengan isinya).

Dia terlalu ceria dan optimis di tengah-tengah kawan-kawan yang lain. Orang paling naif yang pernah aku temukan, tapi tidak bodoh, dia cerdas, aku tahu dia cerdas, dan misterius. Dia sangat kaya dengan ide dan kreasi, dia penuh rasa ingin tahu dan menganggap dunia dan manusia adalah taman bermain yang sangat menyenangkan. Dia seperti aku yang sangat optimis, dengan pendekatan yang berbeda. Karna itulah aku merasa tujuanku dan dia sama persis, tapi dengan cara yang benar-benar berbeda. Cara berpikirnya sangat di luar jalur pikiran yang biasa. Secara mudah, orang akan menganggap dia naif atau bodoh (apalagi jika dia mengambil alih sesuatu yang sedang dikerjakan secara konvensional oleh orang lain), tapi sebenarnya dia hanya punya jalur berpikir yang sangat tidak biasa yang jika semuanya berjalan lancar, secara ajaib semuanya bisa dia buktikan. Dia semenarik itu.

Karena aku adalah orang yang sangat suka mengamati cara berpikir orang lain, cara berpikir dia yang aneh dan tidak biasa sangat membuatku penasaran, di samping kesamaan tujuan kami. Aku bisa membacanya sejak bicara dengannya lewat chat. Meskipun di beberapa hal, kami merasa satu sama lain membosankan, ada hal-hal yang sangat menyenangkan untuk dibicarakan bersama. Sayangnya, karena kami sama-sama punya cara berpikir kuat masing-masing, kami sama-sama tidak suka dikalahkan dalam perdebatan. Perbedaan cara berpikir yang tadinya menarik bagi satu sama lain bisa menjadi boomerang yang menghancurkan ritme hidup kami. Kami sama-sama tidak mau diganggu cara hidup kami, atau cara berpikir kami. Karena itu melebur hampir tidak mungkin terjadi bagi kami. Yang tersisa hanya menoleransi perbedaan dan menikmati kelebihan masing-masing untuk melengkapi kekurangan masing-masing.

Dia membayangkan bisa menikah denganku, dengan orang seperti aku. Begitu pun aku. Aku membayangkan kehidupan menjadi sangat penuh warna jika aku menikah dengan orang seperti dia. Meskipun kami berdua harus menghargai kemandirian masing-masing dan tidak ikut campur dalam hal yang sangat pribadi dalam kehidupan satu sama lain. Kehidupan dengannya sangat berbeda dengan kehidupanku yang sebelumnya. Aku merasa keberadaannya jadi seperti kebutuhan. Meskipun hanya sekedar duduk di ruangan yang sama. Aku merasa bicara dengannya bisa jadi sangat memuaskan, bisa jadi pula melelahkan. Tentu saja melelahkan, cara berpikir kami berbeda dan berusaha memahami perbedaan itu untuk disatukan atau bahkan untuk sekedar ditoleransi, sangat melelahkan. Aku mengakui kemampuannya untuk menoleransiku di atas kemampuanku menoleransinya. Aku hanya lebih pandai berdebat dibanding dia sehingga seakan pendapatku lebih layak diaplikasikan dibandingkan pendapatnya.

Setelah hidup lama dengannya, sedikit sedikit aku semakin sadar bahwa dia lebih unggul secara komunikasi dan kompromi dengan orang lain (tidak selalu, aku tahu). Justru momen dia semakin tidak bisa berkompromi dan berani berkomentar adalah setelah dia menyalin karakterku ke dalam kepribadiannya. Katanya dia ingin bisa berkomentar seperti aku, dia ingin ini dan itu seperti aku, seakan dia mengalah dengan kemampuan berdebatku yang padahal belum tentu menunjukkan kebenaran isi pendapatku. Kami terus mencari peleburan yang pas satu sama lain, bergumul dengan perdebatan pribadi tentang sifat sifat apa yang perlu dipertahankan dan perlu dibuang. Yang pasti, kami punya tujuan yang sama.

Tantanganku sekarang adalah, bagaimana aku menikmati kebersamaan kami, memaksimalkan peranku sebagai istrinya yang seharusnya mengikuti kemana pun dia pergi, tapi tetap mengizinkan pikiranku bermain sendiri di wilayah pribadi.

---

Alif, aku suka sekali dengan kamu. Aku hanya lebih egois dan sulit mengekspresikan perasaan dibandingkan kamu, sehingga membelokkan isi dari apa yang sebenarnya ingin kusampaikan. Kamu membuatku lebih jujur dengan perasaanku sendiri, dan kamu layak mendapatkan aku yang semakin baik setiap harinya. Karna itu izinkan aku menjadi satu-satunya rumah yang akan kamu datangi ketika kamu lelah, dan tempat wisata yang kamu rindukan untuk kamu habiskan waktu bersenang-senang di dalamnya.

Sebesar apa pun usahaku mengekspresikan perasaan dan pikiranku tentang kamu, Tuhanlah yang paling tahu sebesar dan sedalam apa perasaanku untuk kamu. Karna itu, semoga Tuhan menyampaikannya dengan caraNya sendiri.


progress

Aku pernah melewati masa kesyukuran yang luar biasa, di dua titik kehidupan yang sangat kusadari. Tidak seperti ketika baru lahir, rasa syukur yang muncul begitu jelas seakan aku bisa melakukan apapun untuk membayar apa yang Tuhan berikan padaku saat itu. Masa itu adalah ketika aku menikah dengan Alif, dan ketika aku selesai melahirkan Mari. Pada saat itu rasanya aku rela apa yang ada padaku diambil demi apa yang Tuhan berikan padaku lewat Alif dan Mari.

Tentu saja aku melewati rasa gelisah yang parah di perjalanannya. Di perjalanan pernikahan bersama Alif, dalam berusaha melebur dengan kepribadiannya, berusaha membangun pernikahan yang ideal bagi masing-masing satu sama lain, terasa meremukkan tulang dan membakar kulit. Seakan jika semuanya hancur dan berakhir, maka aku tidak punya apa-apa lagi dan lebih baik aku mati. Seakan dia adalah satu-satunya yang aku punya di dunia ini, dan tanpanya aku kehilangan tujuan. Tuhan berusaha mengajariku bahwa tidak seperti itu caranya mencintai. Benar bahwa aku begitu mencintai Alif, sehingga mungkin aku kebingungan bagaimana mengekspresikan perasaanku kepadanya. Karena itu aku menyakiti dia dan diriku sendiri, padahal aku mencintainya. Mungkin pula aku terlalu tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam, sehingga aku melupakan banyak hal. Tuhan menegurku dengan banyak cara, dan mengizinkanku menyadari kesalahanku.

Aku masih perlu banyak belajar mencintai dengan benar, yang dengan senang hati ingin kupelajari. Saat ini aku sadar bahwa yang paling harus dan ingin kuberikan kesan adalah Dia yang memberikanku nikmat selama ini. Di atas segala omong kosong kadaluarsa yang pernah kukoarkan tentang kesetiaanku pada Tuhan yang masih naif saat itu, aku ingin membetulkan lemari penyimpanan informasi dan pelajaran yang ada di kepalaku. Membersihkan sistemnya dari virus yang melemahkan dan menggerogoti. Aku ingin kembali pada diriku yang dulu dengan lebih bijak dan dewasa. Aku ingin lebih diam dari aku yang dulu. Aku ingin berhenti bicara sebelum kata-kataku kupertimbangkan dengan benar dan tidak ingin lagi menyakiti orang lain (dan diriku sendiri). Meskipun aku sadar bahwa aku masih belum menguasai semua kebijaksanaan dan keterampilan untuk tidak menyinggung dan menyakiti orang lain, setidaknya aku semakin berkembang dari aku yang dulu.

Aku ingin semakin sadar, semakin berisik di dalam pikiran (dengan suara-suara pertimbangan, bukan melebih-lebihkan kenyataan di sisi negatif), semakin sunyi di mulut, dan semakin aktif mengukir pikiran dan perasaan lewat tulisan dengan lebih bijak dari sebelumnya. Mungkin, aku telah menemukan apa yang harus kulakukan di dunia ini. Peran apa yang akhirnya kuambil dan bagaimana aku harus mengambilnya. Kebimbangan yang dulu pernah memenuhi pikiran diangkat satu persatu sehingga aku semakin yakin. Semua pemicunya adalah keberadaan Alif dan Mari. Mereka berdua adalah unsur paling penting di kehidupanku saat ini (dan juga mamahku). Karena itu aku akan melakukan apa pun yang perlu dan baik untuk mempertahankan apa yang perlu kupertahankan.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa aku menghabiskan waktu dengan orang yang salah atau mengajakku menyesali apa yang kutinggalkan demi kehidupanku yang sekarang (kehidupan yang katanya lebih di bawah kehidupanku yang sebelumnya), aku bisa dengan yakin menjawab bahwa apa yang pernah kulewati sebelumnya mengubahku menjadi lebih bijak, bahwa apa yang kujalani sekarang sesungguhnya lebih berarti dan bermakna, dan bahwa aku semakin jauh dari kebimbangan. Jika ada orang yang mengatakan bahwa aku bicara omong kosong, bahwa aku hanya sedang di fase manik, aku sadar bahwa ketika aku sedih dan putus asa, pikiran jelekku kembali datang. Bedanya dari yang dulu adalah ketika fase depresi datang, aku semakin tangguh untuk memanjat sendiri keluar dari lubangnya, tanpa berteriak meminta tolong lagi dari orang-orang di sekitar. Aku bahagia sekali dengan perubahanku yang sekarang, dengan kemampuanku yang kudapati karna bertahun-tahun mengendap di fase depresi yang panjang tanpa diketahui orang lain. Aku bahagia dengan kemandirian psikis yang aku dapat dari pergulatanku yang panjang dengan diriku sendiri. Jadi, jika ada yang ingin mengajakku menyesali semua yang terjadi (termasuk diriku sendiri), akan kutendang mereka semua dengan lebih santun dari sebelumnya.

Tidak, Levi tidak menjadi orang lain, Levi berkembang, Levi mendewasa dan membijak. Dia menjadi versi lebih canggih dari versi yang sebelumnya masih naif. Belum lebih canggih dari versinya di masa depan, tentu saja, tapi setidaknya dia terus berkembang, seperti teknologi yang ada sekarang, semakin berkembang setiap menitnya. Manusia (atau jika kita membandingkannya dengan teknologi) dengan segala karakternya tidak seharusnya berhenti di satu titik perubahan. Seakan-akan ada titik akhir mutlak yang memberhentikan kita dari perjalanan mendewasa. Selama kesadaran masih bertahan, tidak ada titik akhir dalam mendewasa. Kita tidak berubah menjadi orang lain, kita mengupdate sistem lama diri kita menjadi lebih canggih.

Karena itu kubiarkan diriku berusaha sesuai kemampuanku saat ini untuk terus menyerap unsur perubahan ke arah yang benar, untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi dan di dalam diri sendiri, untuk semakin takjub dengan Tuhan dan apa yang diciptakanNya, untuk memberikan sesuatu yang baik dan manfaat yang bisa kuberikan pada dunia. Berubahlah, menangislah sebentar, bangkitlah semakin cepat, bergeraklah semakin stabil dan seimbang. Semoga saja pada akhirnya kita sampai pada kelegaan luar biasa, di tempat peristirahatan kita di surga abadi.


membijak

Kita pasti pernah berada di fase yang hampir menghancurkan. Seakan-akan sebaiknya segalanya berakhir, karena semuanya terlalu menyakitkan, melelahkan, dan memberatkan untuk terus ditanggung. Suatu saat di titik tertentu dalam usia kita, kebijaksanaan kita memeka, menajam. Kita tahu bahwa segala kesedihan dan penderitaan subyektif kita akan berakhir, bahwa kemudahan akan datang, dan itu adalah kepastian. Karena di masa lalu, semuanya berulang bagai bumi yang pasti akan melewati titik yang sama dalam perputarannya terhadap matahari. Masalahnya hanya kita tidak tahu kapan waktunya, kapan kesedihan dan beban kita meringan.

Seperti aku sekarang ini, di titik yang berbeda jauh dari aku di masa lalu, aku semakin sadar bahwa semua kesedihan ini akan lewat. Bahwa keinginan untuk kabur dan melarikan diri akan kusesali seperti sebelumnya. Karena itu aku menguatkan diri dan tekad, semakin kuat dari sebelumnya, untuk terus saja berjalan, dengan wajah dan rasa sedatar apa pun, asalkan kehidupan tetap dijalani dan tidak berhenti terlalu lama sehingga ritmenya berhenti (yang akan kusesali seperti sebelumnya). Aku ingin menantang diriku yang sekarang, sudah sejauh apa aku semakin dewasa dan bijaksana. Aku berusaha menekan dan menyeimbangkan cara berjalan, agar perjalanan yang berat terasa lebih ringan. Aku tahu tidak ada yang sempurna bagi seorang perfeksionis dan idealis sepertiku. Tapi setidaknya aku berkembang, setidaknya aku berjalan, setidaknya aku mendewasa dan membijak, meskipun di luar sana orang tidak tahu apa yang terjadi.

 

Selasa, 15 Agustus 2023

Bingung

Bagaimana sebaiknya menjadi perempuan?

Rasanya sepanjang usiaku di bumi, aku cuma disibukkan dengan pikiran “bagaimana seharusnya aku hidup”. Pertanyaan yang tidak pernah selesai. Yang seiring usiaku akhirnya aku sadar bahwa persoalan itu pun merupakan bahasan filsafat etika yang tidak pernah benar-benar sampai pada kesimpulan.

Kalau dulu aku hanya sibuk bertanya bagaimana seharusnya aku hidup, sekarang, karna aku sudah menjadi istri dari seseorang, kebingunganku berkutat pada bagaimana seharusnya aku menjadi seorang perempuan.

Aku tiba di dua persimpangan, yang satu adalah mempertahankan ego dan jati diriku tidak diusik orang lain, yang kedua adalah mati-matian mempertahankan pernikahan sambil terus meleburkan elemen kuat di dalam diriku demi seorang laki-laki. Aku memilih yang kedua. Karna pahalanya jelas lebih besar, katanya begitu. Perempuan cerdas adalah perempuan yang berusaha mati-matian mempertahankan pernikahan selama pernikahan itu tidak membawa kepada kekufuran kepada Tuhan. Oh tentu saja aku ingin menjadi versi terbaik diriku, Tuhan. Aku ingin Tuhan melihatku dan terkesan dengan yang kulakukan. Lagipula aku mendapatkan orang yang benar-benar kucintai, belajar mencintai dengan berdarah-darah. Yang tadinya kukira mencintai seseorang hanya persoalan bagaimana sabar dan kuatnya kita menahan rindu, tapi lebih dari itu, bagaimana kuatnya kita menghadapi kekurangannya yang bagaikan monster atau bahkan yang dapat menghancurkan kepribadian kita.

Kemarin aku bilang begini pada Tuhan, “Tuhan, apakah hatiku sudah sepekat itu atau kepalaku sudah setolol itu, sampai sampai sekarang ini aku selalu kebingungan menerka maksudMu.”

Apa yang Dia inginkan? Apakah Dia ingin meruntuhkan jiwa pemberontak di dalam diriku menjadi sepenuhnya pasrah? Pada apa? padaNyakah? Atau pada seorang lelakikah? Pada cintakah? Aku kebingungan. Kebingungan yang lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya, kebingungan perihal apa yang harus kulakukan menghadapi apa yang ada di depanku. Dia mengatakan padaku bahwa aku kebingungan, dan lalu tanpa jelas apa yang kurasakan dan apa yang memantik sensitivitas dalam diriku, aku tersinggung dan marah, membela diriku bahwa aku tau apa yang kulakukan, bahwa aku tidak kebingungan. Jelas-jelas aku bingung. Aku ini kenapa, Tuhan? Apa aku sudah tidak waras? Apakah saking tidak warasnya, aku menganggap orang lain tidak waras?

Lalu setiap kali monster itu muncul di hadapanku, melukai ego dan jati diriku, aku membela diri dengan mengaku kebingungan. Hingga bahkan tidak ada yang mampu kuucapkan selain kata bingung, tolol sekali. Aku bahkan jijik dengan kemampuanku bertingkah setolol ini. Aku bahkan heran padanya yang masih bisa mencintai orang setolol aku. Aku malu pada diriku sendiri.

Tapi ketika aku sudah terlalu sibuk menjaga energiku tetap seimbang untuk melebur menurunkan egoku demi seorang lelaki, entah kenapa aku merasa lelah sekali. Seakan-akan aku berada di atas panggung teater yang tidak pernah selesai. Aku terpancing menjadi diriku sendiri lagi. Aku rindu sekali menjadi aku. Toh, aku yang kurindukan bukanlah aku yang jahat. Tidak apa-apa menjadi aku yang baik asalkan tidak merugikan orang. Kenapa aku tidak bisa? Karna penyakit kronisnya yang tidak pernah secara signifikan berubah, aku merasa berputar di tempat yang sama. Aku berpikir aku harus menjadi lebih kuat, aku harus mampu mengimbangi, aku tidak ingin menjadi setoksik orang-orang yang pernah melukaiku. Aku ingin mencintai dengan menerima, melindungi, mengayomi, memaafkan. Apakah aku senaif itu? Apakah aku meniadakan sifat adil dan tegas yang sebenarnya juga cara mencintai Tuhan kepada makhlukNya? Aku bingung. Apakah sampai mati aku akan sebingung ini, Tuhan?

Aku ingin sampai pada ketenangan yang dirasakan mereka yang sudah pasrah pada takdirMu dan ridho pada semuanya. Di jalan mana aku bisa sampai pada ketenangan semacam itu? Apakah aku tidak sepenuhnya membuka hatiku agar cahaya petunjuk datang? Atau apakah dosaku sudah sebegitu pekat hingga cahaya pun semakin susah menembus?

Lalu, sekarang, apakah hal pertama yang harus kulakukan adalah meninggalkan segala macam dosa? Lalu setelah itu menunggu petunjuk dariMu untuk menjadi tenang, dan setelah itu menjadi perempuan bak malaikat pun tinggal menunggu waktu?

Aku bingung mendeskripsikan sebingung apa aku.